Ameera terdiam sesaat, melihat ekspresi keras kepala di wajah Dikara. “Jika kau tidak mau menerima bantuan, maka aku hanya bisa berharap kau tidak menyesal suatu hari nanti,” ucap Ameera dengan suara rendah, mencoba memberikan peringatan terakhirnya.
Kali ini Ameera benar-benar serius mengatakannya, begitu juga dengan ekspresinya.Namun, sebelum Ameera bisa melanjutkan, sebuah notifikasi muncul di ponsel Dikara.Suara yang familiar itu langsung menarik perhatiannya. Dikara melirik ponselnya, dan ekspresinya berubah tajam. “Dia bergerak lagi,” gumamnya dengan nada rendah, penuh kemarahan yang mendidih.Ameera tertegun. “Apa maksudmu… ‘bergerak lagi’?” tanyanya, mulai menyadari sesuatu yang tidak beres.Dikara mengangkat kepalanya, tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip seringai. “Aku memastikan dia tidak akan pernah bisa kabur tanpa sepengetahuanku. Aku tahu di mana dia berada, setiap saat.”Ameera menatapnya tak percaya. “DFabian tak segera melepaskan pelukannya, bahkan ketika Dikara melangkah mendekat, wajahnya semakin menunjukkan kemarahan yang tak tertahan. “Lepaskan dia,” ujar Dikara dengan suara rendah dan tegas, penuh ancaman yang mematikan. Janeetha tersentak, buru-buru menarik diri dari pelukan Fabian dan menatap Dikara dengan perasaan takut sekaligus marah. “Mas, dengarkan aku—” “Aku sudah cukup mendengarkan, Janeetha,” potong Dikara dingin, tatapannya masih terkunci pada Fabian. “Kau pergi diam-diam dan bertemu dengannya di belakangku. Dan kau pikir aku akan membiarkan ini begitu saja?” Fabian berdiri tegak di depan Janeetha, melindungi tubuh wanita itu dari Dikara. “Jangan salah paham, Tuan Dikara. Janeetha hanya ingin memberitahuku tentang pertemuan besok.” “Oh, jadi kau tahu?” Dikara menyeringai sinis, namun sorot matanya penuh ancaman. “Dan kau pikir aku akan membiarkan kalian berdua
Dikara tersenyum, tetapi senyuman itu tidak membawa ketenangan. “Kau tahu, Janeetha, aku sangat mengagumi dirimu. Tapi terkadang, kau membuatku ingin memberimu pelajaran—agar kau ingat bahwa aku tidak suka jika kau melawan.”Janeetha merasa jantungnya semakin cepat berdegup, ketakutan menyelimutinya. “Mas, aku tidak melawanmu… Aku hanya ingin…”“Cukup,” potong Dikara. “Tidak perlu beralasan. Aku akan memastikan kau tidak akan mengulanginya lagi!”Suara Dikara terdengar begitu tegas, penuh ancaman yang tersirat.Janeetha menelan ludah, merasakan hawa dingin yang semakin mencekam di dalam kamar.Dikara tetap menatapnya, wajahnya kini tampak datar, namun ada intensitas yang sulit dijelaskan.“Jadi, ini hukuman kecil dariku,” katanya sambil melepaskan cengkeraman di dagu Janeetha dan melangkah mundur.Dikara, yang diliputi amarah yang menggebu, tiba-tiba mengangkat Janeetha ke atas bahunya dengan mudah, seperti membawa baran
Dikara mengangkat wajahnya dari ponsel ketika Janeetha berjalan mendekat. Senyum yang menghiasi wajahnya tampak hangat, tetapiJaneetha merasa ada sesuatu yang mencekam di balik itu, sesuatu yang membuatnya ingin mundur."Ah, tepat waktu," katanya dengan nada ringan, berdiri dari sofa. "Ikut aku sebentar, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.""Ke mana?" tanya Janeetha pelan, perasaan gelisah menyelusup di benaknya. Namun, Dikara tidak menjawab, hanya melambaikan tangannya, menyuruhnya mengikutinya ke arah koridor.Janeetha ragu, sayangnya kakinya tetap melangkah, mengikuti Dikara yang tampak tenang. Mereka berjalan menyusuri koridor yang biasa, sampai tiba di ujung, di sebuah dinding polos tanpa pintu atau apa pun yang terlihat aneh.Dikara berhenti di sana, menekan bagian tertentu dari dinding itu, dan perlahan, dinding itu terbuka, mengungkapkan ruangan kecil yang tersembunyi."Kau… kau menyembunyikan ruangan di sini?" Janeetha bertanya, kebingungan.
Janeetha menempelkan wajahnya ke pintu, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia mengulang permohonannya, “Kumohon… Dikara… aku tidak sanggup di sini… kumohon…”Kegelapan di ruangan itu semakin menghimpit Janeetha, membuat napasnya makin berat dan tak beraturan. Ia meraba-raba sekeliling, tangan gemetar menyentuh dinding dingin tanpa menemukan apapun yang bisa menjadi jalan keluar. Tak ada celah, tak ada pegangan—hanya kesunyian yang menakutkan.“Dikara!” teriaknya, suaranya pecah dalam keputusasaan. “Dikara! Kumohon… keluarkan aku dari sini! Tolong!”Tapi tak ada jawaban, hanya gema lemah dari suaranya sendiri yang kembali padanya, seakan mengejek. Dia mendekatkan telinganya ke pintu, berharap mendengar apapun dari luar, suara langkah atau mungkin suara Dikara yang akan datang untuk membukanya.“Dikara… kumohon. Aku akan melakukan apa saja… aku akan menuruti semua yang kamu mau,” katanya, suaranya mulai gemetar. “Tolong… aku… aku tidak bisa di sini sen
Melihat itu, Maura tersentak kaget. "Kak!" Sambil berdiri di depan Maura yang masih tersandar dengan ketakutan, salah satu pria itu membungkuk sedikit, menatapnya dengan tajam. “Kalau kamu lapor ke polisi atau mencoba melawan, ingat ini baik-baik—kami tidak segan-segan menghabisi Fabian,” ancamnya, suaranya dingin dan mematikan. Maura menelan ludah, matanya penuh ketakutan saat melihat Fabian yang tergeletak tak berdaya. Ia hanya bisa terdiam, napasnya memburu, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Kedua pria itu kemudian menyeret Fabian yang masih pingsan keluar dari apartemen, meninggalkan Maura yang hanya bisa terisak dalam ketakutan dan kepanikan. *** Fabian membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya berdenyut dan sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Kegelapan menyelimuti sekitarnya, hanya ada cahaya samar dari lampu yang tergantung tinggi, menciptakan bayangan panj
Dikara berhenti tepat di depan Fabian, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dipahami, tetapi jelas menunjukkan kekuasaan yang tidak terbantahkan.Ia menunggu, memaksa Fabian untuk memberi jawaban, sementara udara di sekitar mereka terasa semakin berat dan terperangkap dalam ketegangan yang tak terungkapkan.Fabian, meski dipenuhi rasa takut, mencoba menahan diri. Napasnya cepat dan terengah-engah, tapi ada satu hal yang masih membuatnya bertahan: kebebasan Janeetha."Kau tidak bisa menakut-nakuti aku, Dikara," katanya, suaranya penuh dengan keberanian yang masih tersisa. "Kau bisa lakukan apapun yang kau mau, tapi aku tidak akan diam. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan Janeetha!"Dikara menyeringai, ekspresi wajahnya semakin mengerikan. "Wow, Fabian... kamu benar-benar tidak mengerti, ya?" bisiknya, suaranya penuh dengan kegembiraan yang menakutkan. "Kamu tidak punya pilihan."Dikara menatap Fabian dengan tatapan yan
Fabian menegakkan tubuhnya, meski napasnya berat dan rasa sakit masih menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, tekadnya tidak padam. Dia memandang Dikara dengan penuh kebencian, mengumpulkan kekuatan yang tersisa untuk melawan, setidaknya dengan kata-kata."Kau… benar-benar manusia yang menjijikkan, Dikara," desis Fabian dengan suara serak, tetapi penuh tekad. "Tak peduli seberapa keras kau mencoba… kau tak akan bisa menghancurkan Janeetha. Dia akan bebas darimu, suatu saat nanti!"Dikara hanya tertawa kecil mendengar ancaman Fabian, seolah-olah dia baru saja mendengar lelucon paling lucu.“Fabian ... kau sungguh berani untuk seseorang yang berada dalam posisimu. Aku hampir tersentuh, sungguh.” Dikara mendekatkan wajahnya dengan seringai sinis yang menghantui, membuat bayangannya jatuh menekan Fabian.“Kau ini hanya seperti semut kecil yang bisa kupermainkan… atau kuhancurkan kapan pun aku mau. Tapi, entah kenapa, aku merasa kau terlalu menarik untuk dihabisi
Janeetha terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya menggigil seolah-olah mimpi buruk itu nyata.Wajah Dikara dalam mimpinya begitu jelas—matanya yang dingin dan suaranya penuh ancaman masih terngiang di telinganya.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi saat membuka mata, kesadarannya mulai pulih, dan ia menyadari sesuatu yang aneh.Ia sudah berada di kamarnya.Janeetha tertegun, duduk perlahan di atas tempat tidur dengan tubuh yang lemah. Tangannya bergetar ketika menyentuh keningnya, masih merasa samar-samar dengan mimpi buruk yang baru saja dialaminya.Ingatannya kabur; terakhir yang ia ingat, ia berada di ruang gelap yang menakutkan itu. Namun sekarang, entah bagaimana, ia sudah kembali di kamar tidur mereka.“Jam berapa sekarang?" gumamnya pelan, mengedarkan pandangan di sekitar kamar. Biasanya ada jam di meja kecil di samping tempat tidur, tapi kali ini, jam itu tidak ada.“Dikara…&rdquo
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak