Janeetha terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya menggigil seolah-olah mimpi buruk itu nyata.
Wajah Dikara dalam mimpinya begitu jelas—matanya yang dingin dan suaranya penuh ancaman masih terngiang di telinganya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi saat membuka mata, kesadarannya mulai pulih, dan ia menyadari sesuatu yang aneh.
Ia sudah berada di kamarnya.
Janeetha tertegun, duduk perlahan di atas tempat tidur dengan tubuh yang lemah. Tangannya bergetar ketika menyentuh keningnya, masih merasa samar-samar dengan mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Ingatannya kabur; terakhir yang ia ingat, ia berada di ruang gelap yang menakutkan itu. Namun sekarang, entah bagaimana, ia sudah kembali di kamar tidur mereka.
“Jam berapa sekarang?" gumamnya pelan, mengedarkan pandangan di sekitar kamar. Biasanya ada jam di meja kecil di samping tempat tidur, tapi kali ini, jam itu tidak ada.
“Dikara…&rdquo
Janeetha mendengus pelan, mengalihkan wajahnya. “Kau yang membuatku seperti ini!” Ia berkata dengan penuh kemarahan yang tak mampu ia keluarkan dengan keras.Dikara tertawa kecil, mengakui hal itu tanpa merasa bersalah. “Mungkin benar. Tapi ini demi kebaikanmu. Kau masih belum mengerti.”Pria itu memperbaiki posisi selimut di atas tubuh Janeetha dan menatapnya dengan senyum dingin. “Sekarang istirahatlah. Kau akan butuh banyak tenaga untuk... apapun yang akan kita lalui ke depannya. Dan terutama … untuk mencoba lari dariku. Bukan begitu?”Janeetha mencoba melawan, mengangkat tangannya yang lemah untuk menyingkirkan tangan Dikara dari bahunya, tapi usahanya sia-sia. Tenaganya habis hanya untuk sekadar mengangkat tangan, membuatnya hanya bisa menatap suaminya dengan kebencian yang terpendam. “Aku benci kau,” desisnya.Dikara hanya mengangguk seolah sudah terbiasa mendengar kata-kata itu. “Itu perasaanmu, Janeetha. Aku tidak keberatan selama kau tetap ada di sini.” Ia meraih dagunya, mem
Di bawah langit malam yang diterangi cahaya bintang, Janeetha duduk berhadapan dengan Dikara di balkon kamar mereka.Meja kecil di antara mereka dipenuhi hidangan yang tertata sempurna, sementara lilin-lilin kecil menyala lembut, memberi kesan romantis.Namun, Janeetha merasa semua ini palsu, sekadar topeng bagi sikap Dikara yang sebenarnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kekesalannya sebelum membuka suara.“Jadi ini caramu memperlakukan istrimu?” tanyanya dingin, menatap suaminya dengan pandangan jengah. “Mengurungku seharian di dalam kamar? Bahkan pintu balkon terkunci. Kau pikir aku ini... apa? Aku bukan barang yang bisa kau kunci begitu saja.”Dikara hanya menatapnya sekilas, senyum kecil yang nyaris mengejek terlihat di sudut bibirnya."Kau perlu istirahat, Janeetha," jawabnya ringan, kembali menyuapkan makanan ke mulut tanpa sedikit pun terganggu oleh protesnya. "Kamar ini sudah memiliki semua yang kau butuhkan. Apa lagi yang kurang?"Janeetha menahan diri u
Dikara mendekat, menatap Janeetha lekat. “Dan apa yang salah dengan itu? Bukankah seorang istri seharusnya berada di sisi suaminya?” Nada suaranya menegang. “Semakin sedikit gangguan dari luar, semakin kau bisa fokus pada kehidupan kita. Padaku.”Janeetha menghela napas saat mendegar Dikara memberi tekanan pada kata terakhir, merasa dadanya semakin sesak. Ia tahu argumennya tidak akan menggoyahkan keputusan Dikara. “Kalau begitu, aku harap kau mempertimbangkan… setidaknya berikan aku akses untuk tetap mengunjungi keluargaku.”Dikara tersenyum kecil, memiringkan kepala, tetapi tidak menjawab permintaannya. “Aku akan mengatur semua, termasuk jadwalmu. Jangan khawatir tentang hal-hal yang tidak perlu.” Senyumnya semakin lebar. “Mungkin kau hanya butuh waktu untuk melihat betapa baiknya tempat itu.”Janeetha terdiam, sadar bahwa tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Hatinya penuh kemarahan bercampur dengan ketakutan, membayangkan kehidupannya di mansion yang jauh dari segala hal yang bisa
Dikara tersenyum kecil, hampir sinis, tetapi ada nada intens yang tak terduga dalam suaranya. “Kau tidak mengerti, Janeetha. Semua yang kulakukan ini karena aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Karena bagiku, kau adalah bagian dari diriku.”“Bagian?” Janeetha mengulang kata itu dengan nada yang getir. “Bagian dari dirimu? Apa artinya itu? Karena bagiku, ini semua lebih terasa seperti hukuman.”Dikara mendekatkan wajahnya, hingga Janeetha bisa merasakan napasnya. “Hukuman atau bukan, kau tetap milikku, Jani. Dan apa yang milikku, aku akan jaga. Aku akan tentukan setiap langkahmu, setiap batas yang boleh kau lewati. Apa kau tahu mengapa?”Janeetha menahan diri untuk tidak mundur, menatap Dikara dengan penuh kebencian yang bercampur rasa putus asa. “Karena… karena kau ingin membuatku menyerah, bukan?”Dikara tersenyum lagi, dan kali ini senyum itu membuat Janeetha merinding. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak akan pernah pergi. Sejauh apapun kau mencoba lari, kau akan selalu
Dikara meletakkan Janeetha perlahan di atas tempat tidur, matanya masih terpaku pada wajahnya yang penuh ketegangan dan perlawanan.Setiap gerakan yang dilakukan Janeetha seperti tantangan, namun juga keindahan yang tak bisa ia lewatkan.Ketika tubuh Janeetha menyentuh ranjang, seakan dunia di sekeliling mereka menghilang, meninggalkan hanya mereka berdua di ruang hampa.Tanpa kata, Dikara kembali menundukkan kepalanya, mengecup bibir Janeetha dengan perlahan, seolah ingin menikmati setiap detik yang ada.Namun, kali ini, tidak ada penahanan lagi dalam dirinya. Semuanya terasa seperti api yang membara di dalam tubuhnya. Ia tidak bisa menahan hasrat yang terus membesar, hasrat yang telah dipendam terlalu lama.Ciuman mereka semakin dalam, lebih agresif, seolah-olah Dikara berusaha menghapus semua jarak yang pernah ada di antara mereka. Setiap sentuhan pria itu semakin penuh gairah, tak ada lagi ruang untuk penolakan.Dikara tidak hanya ingin mencium Janeetha, tapi ia ingin menguasai se
Hari persiapan pindah ke mansion tiba, dan rumah itu ramai oleh aktivitas yang sibuk.Rusli, asisten setia Dikara, sibuk mengarahkan para pekerja dari jasa pindahan yang mondar-mandir membawa barang-barang, menyusunnya ke atas troli besar yang ada di depan unit apartemen mereka. “Pastikan semua barang penting sudah ditandai,” ujar Rusli sambil memeriksa daftar panjang yang diketik rapi oleh Dikara. Ia bergerak cepat dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan tak ada satu pun yang terlewat atau terselip.Sementara itu, Janeetha berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper-koper yang sudah tertata di sudut.Perasaan asing menyelimutinya, seolah seluruh apartemen dan setiap barang di dalamnya mendadak tak lagi terasa seperti miliknya. Semuanya terasa cepat, kendali di luar genggamannya. Ia menggigit bibir, mencoba menekan rasa enggan yang semakin kuat.“Nyonya, koper-koper ini sudah siap juga untuk dibawa?” tanya salah satu pekerja yang melihatnya berdiri termenung di sana.Janeetha
Pintu terbuka sepenuhnya, memperlihatkan Gayatri yang berdiri di sana dengan ekspresi bingung. “Janeetha?” panggilnya. Janeetha hampir mengembuskan napas lega saat melihat ibunya, bukan orang lain. Namun, ketegangan di tubuhnya belum sepenuhnya reda. Ia mencoba tersenyum meski wajahnya sedikit pucat. “Bu…” suara Janeetha terdengar sedikit gemetar. Gayatri melangkah masuk, alisnya bertaut. “Apa yang kau lakukan di sini, nak? Dan kenapa kau memegang ponsel Ibu?” tanyanya dengan nada heran. Janeetha mencoba mengatur napasnya, berusaha menjawab dengan tenang. “Aku… aku tadi mencari ponsel Ibu. Aku pikir Ibu mungkin lupa menaruhnya di sini,” katanya sambil berusaha terdengar wajar. Gayatri memiringkan kepalanya, menatap Janeetha dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. “Kau mencarinya? Untuk apa?” Melihat ibunya begitu penasaran, Janeetha cepat-cepat menambahkan, “Aku ingin menghubungi seorang teman, Bu. Tapi aku baru ingat, ponselku sedang diservis, jadi aku pikir bisa memin
Dikara akhirnya melepaskan cengkeramannya di lengan Janeetha, namun tatapannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.Pria itu menghela napas panjang, seolah menenangkan dirinya sendiri. “Kali ini, aku akan membiarkanmu,” ujarnya, suaranya kembali tenang tetapi tetap penuh penekanan.“Aku sedang sangat bersemangat untuk pindah ke tempat baru. Aku tak ingin kau merusak suasana hatiku,” tambahnya, seolah menyiratkan bahwa ini adalah kesempatan langka baginya untuk menikmati momen kebahagiaan yang ia bangun—momen yang, menurutnya, Janeetha seharusnya hargai.Janeetha hanya mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang tak beres di balik kalimat-kalimat itu, namun ia tak bisa berbuat banyak.Mereka kembali ke ruang tamu di mana Gayatri dan Pradipa sudah menunggu. Segera, suasana kembali berubah, seakan mereka hanya dua pasangan suami istri bahagia yang datang untuk bersilaturahmi.Gayatri dan Pradipa, tak curiga sedikit pun, melanjutkan percakapan santai, menyambut mereka dengan s
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak