Di bawah langit malam yang diterangi cahaya bintang, Janeetha duduk berhadapan dengan Dikara di balkon kamar mereka.Meja kecil di antara mereka dipenuhi hidangan yang tertata sempurna, sementara lilin-lilin kecil menyala lembut, memberi kesan romantis.Namun, Janeetha merasa semua ini palsu, sekadar topeng bagi sikap Dikara yang sebenarnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kekesalannya sebelum membuka suara.“Jadi ini caramu memperlakukan istrimu?” tanyanya dingin, menatap suaminya dengan pandangan jengah. “Mengurungku seharian di dalam kamar? Bahkan pintu balkon terkunci. Kau pikir aku ini... apa? Aku bukan barang yang bisa kau kunci begitu saja.”Dikara hanya menatapnya sekilas, senyum kecil yang nyaris mengejek terlihat di sudut bibirnya."Kau perlu istirahat, Janeetha," jawabnya ringan, kembali menyuapkan makanan ke mulut tanpa sedikit pun terganggu oleh protesnya. "Kamar ini sudah memiliki semua yang kau butuhkan. Apa lagi yang kurang?"Janeetha menahan diri u
Dikara mendekat, menatap Janeetha lekat. “Dan apa yang salah dengan itu? Bukankah seorang istri seharusnya berada di sisi suaminya?” Nada suaranya menegang. “Semakin sedikit gangguan dari luar, semakin kau bisa fokus pada kehidupan kita. Padaku.”Janeetha menghela napas saat mendegar Dikara memberi tekanan pada kata terakhir, merasa dadanya semakin sesak. Ia tahu argumennya tidak akan menggoyahkan keputusan Dikara. “Kalau begitu, aku harap kau mempertimbangkan… setidaknya berikan aku akses untuk tetap mengunjungi keluargaku.”Dikara tersenyum kecil, memiringkan kepala, tetapi tidak menjawab permintaannya. “Aku akan mengatur semua, termasuk jadwalmu. Jangan khawatir tentang hal-hal yang tidak perlu.” Senyumnya semakin lebar. “Mungkin kau hanya butuh waktu untuk melihat betapa baiknya tempat itu.”Janeetha terdiam, sadar bahwa tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Hatinya penuh kemarahan bercampur dengan ketakutan, membayangkan kehidupannya di mansion yang jauh dari segala hal yang bisa
Dikara tersenyum kecil, hampir sinis, tetapi ada nada intens yang tak terduga dalam suaranya. “Kau tidak mengerti, Janeetha. Semua yang kulakukan ini karena aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja. Karena bagiku, kau adalah bagian dari diriku.”“Bagian?” Janeetha mengulang kata itu dengan nada yang getir. “Bagian dari dirimu? Apa artinya itu? Karena bagiku, ini semua lebih terasa seperti hukuman.”Dikara mendekatkan wajahnya, hingga Janeetha bisa merasakan napasnya. “Hukuman atau bukan, kau tetap milikku, Jani. Dan apa yang milikku, aku akan jaga. Aku akan tentukan setiap langkahmu, setiap batas yang boleh kau lewati. Apa kau tahu mengapa?”Janeetha menahan diri untuk tidak mundur, menatap Dikara dengan penuh kebencian yang bercampur rasa putus asa. “Karena… karena kau ingin membuatku menyerah, bukan?”Dikara tersenyum lagi, dan kali ini senyum itu membuat Janeetha merinding. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak akan pernah pergi. Sejauh apapun kau mencoba lari, kau akan selalu
Dikara meletakkan Janeetha perlahan di atas tempat tidur, matanya masih terpaku pada wajahnya yang penuh ketegangan dan perlawanan.Setiap gerakan yang dilakukan Janeetha seperti tantangan, namun juga keindahan yang tak bisa ia lewatkan.Ketika tubuh Janeetha menyentuh ranjang, seakan dunia di sekeliling mereka menghilang, meninggalkan hanya mereka berdua di ruang hampa.Tanpa kata, Dikara kembali menundukkan kepalanya, mengecup bibir Janeetha dengan perlahan, seolah ingin menikmati setiap detik yang ada.Namun, kali ini, tidak ada penahanan lagi dalam dirinya. Semuanya terasa seperti api yang membara di dalam tubuhnya. Ia tidak bisa menahan hasrat yang terus membesar, hasrat yang telah dipendam terlalu lama.Ciuman mereka semakin dalam, lebih agresif, seolah-olah Dikara berusaha menghapus semua jarak yang pernah ada di antara mereka. Setiap sentuhan pria itu semakin penuh gairah, tak ada lagi ruang untuk penolakan.Dikara tidak hanya ingin mencium Janeetha, tapi ia ingin menguasai se
Hari persiapan pindah ke mansion tiba, dan rumah itu ramai oleh aktivitas yang sibuk.Rusli, asisten setia Dikara, sibuk mengarahkan para pekerja dari jasa pindahan yang mondar-mandir membawa barang-barang, menyusunnya ke atas troli besar yang ada di depan unit apartemen mereka. “Pastikan semua barang penting sudah ditandai,” ujar Rusli sambil memeriksa daftar panjang yang diketik rapi oleh Dikara. Ia bergerak cepat dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan tak ada satu pun yang terlewat atau terselip.Sementara itu, Janeetha berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper-koper yang sudah tertata di sudut.Perasaan asing menyelimutinya, seolah seluruh apartemen dan setiap barang di dalamnya mendadak tak lagi terasa seperti miliknya. Semuanya terasa cepat, kendali di luar genggamannya. Ia menggigit bibir, mencoba menekan rasa enggan yang semakin kuat.“Nyonya, koper-koper ini sudah siap juga untuk dibawa?” tanya salah satu pekerja yang melihatnya berdiri termenung di sana.Janeetha
Pintu terbuka sepenuhnya, memperlihatkan Gayatri yang berdiri di sana dengan ekspresi bingung. “Janeetha?” panggilnya. Janeetha hampir mengembuskan napas lega saat melihat ibunya, bukan orang lain. Namun, ketegangan di tubuhnya belum sepenuhnya reda. Ia mencoba tersenyum meski wajahnya sedikit pucat. “Bu…” suara Janeetha terdengar sedikit gemetar. Gayatri melangkah masuk, alisnya bertaut. “Apa yang kau lakukan di sini, nak? Dan kenapa kau memegang ponsel Ibu?” tanyanya dengan nada heran. Janeetha mencoba mengatur napasnya, berusaha menjawab dengan tenang. “Aku… aku tadi mencari ponsel Ibu. Aku pikir Ibu mungkin lupa menaruhnya di sini,” katanya sambil berusaha terdengar wajar. Gayatri memiringkan kepalanya, menatap Janeetha dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. “Kau mencarinya? Untuk apa?” Melihat ibunya begitu penasaran, Janeetha cepat-cepat menambahkan, “Aku ingin menghubungi seorang teman, Bu. Tapi aku baru ingat, ponselku sedang diservis, jadi aku pikir bisa memin
Dikara akhirnya melepaskan cengkeramannya di lengan Janeetha, namun tatapannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.Pria itu menghela napas panjang, seolah menenangkan dirinya sendiri. “Kali ini, aku akan membiarkanmu,” ujarnya, suaranya kembali tenang tetapi tetap penuh penekanan.“Aku sedang sangat bersemangat untuk pindah ke tempat baru. Aku tak ingin kau merusak suasana hatiku,” tambahnya, seolah menyiratkan bahwa ini adalah kesempatan langka baginya untuk menikmati momen kebahagiaan yang ia bangun—momen yang, menurutnya, Janeetha seharusnya hargai.Janeetha hanya mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang tak beres di balik kalimat-kalimat itu, namun ia tak bisa berbuat banyak.Mereka kembali ke ruang tamu di mana Gayatri dan Pradipa sudah menunggu. Segera, suasana kembali berubah, seakan mereka hanya dua pasangan suami istri bahagia yang datang untuk bersilaturahmi.Gayatri dan Pradipa, tak curiga sedikit pun, melanjutkan percakapan santai, menyambut mereka dengan s
"Jangan gila!" Janeetha berusaha mendorong Dikara menjauh.Dikara hanya tertawa kecil, suara rendahnya menggema seperti angin yang menusuk telinga Janeetha. Namun, tubuhnya tetap kokoh di tempat, tak bergeming sedikit pun meski Janeetha mencoba mendorongnya. Sebaliknya, ia malah semakin mendekat, menurunkan wajahnya hingga hanya beberapa inci dari wajah istrinya."Jangan gila?" ulangnya dengan nada menggoda, matanya memancarkan kilauan tajam yang membuat Janeetha semakin terpojok. "Tapi kau tahu, Janeetha... aku selalu gila ketika menyangkut dirimu."Janeetha tertegun. Perkataan itu, meski disampaikan dengan nada ringan, memiliki beban yang begitu berat. Tangannya masih menempel di dada Dikara, berusaha menciptakan jarak, tapi pria itu seperti tembok yang tak bisa digeser."Dikara... cukup," katanya pelan, suaranya bergetar, mencoba mengendalikan dirinya. "Kita di luar. Jangan mulai hal ini di sini."Dikara menatapnya lekat, seolah menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan godaannya a
Janeetha memandang ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu jalan yang berkelebat. “Aku hanya ingin jauh dari dia. Itu saja.”“Terkadang, menjauh saja tidak cukup,” kata Arman, nadanya serius. “Kau harus memastikan dia tidak bisa menemukanmu lagi. Itu artinya, kau juga harus menghilangkan apa pun yang bisa mengikatmu padanya.”Kata-kata itu membuat Janeetha terdiam. Ia tahu maksud Arman, tapi memutuskan semua itu tidaklah mudah. Ada terlalu banyak hal yang masih menahannya, meskipun ia tahu semua itu juga yang membuatnya terjebak.Mobil melambat saat memasuki sebuah gang kecil. Arman menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. “Kita ganti mobil di sini,” ujarnya singkat.Janeetha menatapnya dengan cemas. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?”“Tidak,” jawab Arman sambil turun dari mobil. “Ini hanya langkah pengamanan. Fabian memastikan kita tidak meninggalkan jejak.”Janeetha turun dari mobil, memeluk tas kecilnya erat-erat. Di depan mereka, sebuah mobil lain sudah menunggu. Seorang wa
Rusli merasa seluruh tubuhnya membeku.Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dikara melanjutkan, “Dengar, Rusli. Aku sudah cukup lama bekerja denganmu untuk tahu kapan kau mulai berbohong. Jika kau menyembunyikan apa pun dariku…”Pria itu sengaja berhenti sejenak, agar Rusli benar-benar memikirkan kembali tindakannya. “Aku sendiri yang akan memastikan bahwa kau menyesali keputusan ini.”“Tentu tidak, Tuan,” jawab Rusli cepat, mencoba menenangkan situasi. “Saya hanya mencoba melindungi kepentingan Anda.”“Kalau begitu, buktikan!” sahut Dikara dingin. “Kau punya waktu sampai tengah hari untuk membawa laporan tentang Fabian dan rekaman yang kuminta. Kalau tidak…” Dikara tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi ancamannya jelas terasa.“Saya mengerti, Tuan,” balas Rusli dengan nada patuh.Sambungan telepon pun terputus, meninggalkan Rusli dalam diam. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Dikara semakin curiga, dan waktunya untuk membantu Janeetha semakin sed
Hingga akhirnya saat pintu itu terbuka, udara dingin dari luar langsung menyambutnya.Janeetha sempat terdiam sepersekian detik menikmati aroma udara kebebasan lalu bergegas keluar melangkah keluar. Rasanya, dadanya ingin meledak saat kakinya melewati pintu dan merasakan kebebasan kecil untuk pertama kalinya. Namun, ia tahu ini baru permulaan.Di kejauhan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap menunggunya. Sopirnya mengangguk cepat begitu melihat Janeetha.Saat kaca jendela bagian supir turun, pria itu berkata, “Cepat masuk!”Tanpa ragu, Janeetha mempercepat langkahnya dan bergegas masuk ke dalam mobil, menutup pintu di belakangnya.Mobil pun mulai bergerak. Janeetha menatap keluar jendela, menyaksikan hotel itu menjauh.Rasa haru dan bahagia begitu membuncah menyesakkan dadanya hingga akhirnya air mata merebak di pelupuk mata wanita itu. Ia bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya tidak keluar.Supi
Pagi hari di hotel itu tenang.Namun, bagi Janeetha, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di seutas tali yang berada di atas lautan api.Semalam, ia tak dapat memejamkan matanya dengan tenang karena terlalu bersemangat sekaligus khawatir.Tak ingin membuang waktu, Janeetha bergegas keluar dari kamarnya dan turun. Ia mengenakan gaun ringan berwarna pastel, dengan tas kecil yang tersampir di pundaknya.Penampilannya memang terlihat santai, tetapi hatinya tidak tenang.Suara langkah kakinya yang beradu dengan lantai marmer di lorong menggema, mengiringi jantungnya yang berdetak cukup kencang.Di dalam lift menuju spa, Janeetha mengatur napasnya, mencoba menenangkan debaran di dada. Ia tahu bahwa setiap detik pagi ini penting, dan ia harus memanfaatkan kesempatan yang ada.Ketika pintu lift terbuka, aroma terapi lavender langsung menyambutJaneetha. Musik lembut mengalun di latar belakang, memberikan ilusi ketenangan yang
Dikara duduk di kursi besar di ruang kerja hotelnya. Pria itu sedang membaca laporan yang dikirim oleh beberapa orang suruhannya yang mengikuti Janeetha.Mata hitamnya menelusuri setiap detail dalam laporan itu, mencoba menemukan sesuatu yang luput dari perhatian. Sejauh ini, tidak ada gerakan mencurigakan dari Janeetha. Ia tetap berada di hotel, berjalan-jalan di area sekitar tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin kabur.Namun, rasa lega yang seharusnya muncul malah tenggelam dalam pusaran rasa tidak puas yang semakin dalam.Dikara meletakkan ponselnya ke atas meja dengan gerakan kasar, suara benda itu menyentak keheningan ruangan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tetapi bukannya merasa nyaman, tubuhnya terasa semakin tegang.Tatapannya kosong, terpaku pada sesuatu yang tak terlihat di depan sana. Pikirannya berputar begitu cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti bekerja, hingga dada terasa sesak.“Kenapa rasanya semua ini masih salah?” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kep
BAB 108 - "Langkah di Bawah Bayang-Bayang"Dingin malam menyentuh kulit Janeetha saat ia turun dari taksi. Matanya mengamati hotel mewah yang menjulang di hadapannya—tempat yang telah dipesankan Rusli untuknya.Pilihannya tampak disengaja, hotel ini memiliki keamanan tinggi, membuat siapa pun sulit bertindak ceroboh. Namun, Janeetha tahu, di balik kenyamanan ini, Dikara tetap menebarkan bayang-bayangnya.Janeetha melangkah masuk ke lobi hotel dengan langkah percaya diri, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Aroma wangi kayu cendana memenuhi udara, bercampur dengan keheningan khas hotel bintang lima. Seorang resepsionis wanita menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat malam, Nyonya. Apa yang bisa kami bantu?”Janeetha menyerahkan dokumen yang telah diberikan Rusli kepadanya. “Saya ingin check-in. Nama saya sudah terdaftar di bawah reservasi.”“Baik, Nyonya. Sebentar ya,” jawab resepsionis dengan sopan, mengetik cepat di komputer.Janeetha mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencoba
Malam semakin larut, tetapi Dikara tetap terjaga. Ia duduk dalam kegelapan kamar hotelnya, hanya diterangi oleh lampu-lampu kota yang redup dari balik jendela besar yang tirainya sengaja ia biarkan terbuka. Tatapannya kosong, mengarah ke panorama malam yang tak memberikan ketenangan apa pun pada pikirannya.Segelas whiskey di tangan Dikara kini tinggal separuh. Ia menyesapnya perlahan, merasakan panasnya mengalir di tenggorokan, tetapi itu tak cukup untuk mengusir rasa gelisah yang terus membakar pikirannya.Pikirannya tertuju pada Janeetha. Ia tahu, saat ini wanita itu masih berada di atas pesawat, menuju Ardenton dalam penerbangan panjang yang melelahkan."Dia pasti merasa bosan sendirian di pesawat," gumam Dikara pelan. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi senyum itu segera pudar, tergantikan oleh ekspresi masam."Astaga, aku bertingkah seperti orang bodoh," desisnya sambil mendecak keras. Ia memalingkan wajahnya ke arah meja kecil di dekat tempat tidurnya, di mana ponseln
Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka
Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden