Janeetha merasakan amarahnya memuncak. “Ya, terus saja bersikap seperti itu! Kau memang tak akan pernah bisa jadi suami atau ayah yang baik—” Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Dikara tiba-tiba mencengkeram tangannya dengan kuat, menghentikan kata-katanya. “Sudah! Cukup!” suara Dikara terdengar tajam, tegang, dan penuh amarah. Janeetha tertegun, rasa takut menyergapnya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tetap menatap Dikara. Ia menelan ludah, rasa takutnya membuncah, tetapi kini ada juga perasaan lain yang sulit ia jelaskan. Tangan Dikara masih mencekalnya erat, dan ia bisa merasakan denyut napas yang tajam dan teratur di antara mereka. Di balik kemarahannya, ada kilatan yang seakan-akan menunjukkan luka lama yang terpendam di mata Dikara. Dikara tak segera melepaskan genggamannya, tetapi perlahan kekuatannya melonggar, seolah ragu. Wajahnya masih menampi
Ameera terdiam sesaat, melihat ekspresi keras kepala di wajah Dikara. “Jika kau tidak mau menerima bantuan, maka aku hanya bisa berharap kau tidak menyesal suatu hari nanti,” ucap Ameera dengan suara rendah, mencoba memberikan peringatan terakhirnya.Kali ini Ameera benar-benar serius mengatakannya, begitu juga dengan ekspresinya.Namun, sebelum Ameera bisa melanjutkan, sebuah notifikasi muncul di ponsel Dikara.Suara yang familiar itu langsung menarik perhatiannya. Dikara melirik ponselnya, dan ekspresinya berubah tajam. “Dia bergerak lagi,” gumamnya dengan nada rendah, penuh kemarahan yang mendidih.Ameera tertegun. “Apa maksudmu… ‘bergerak lagi’?” tanyanya, mulai menyadari sesuatu yang tidak beres.Dikara mengangkat kepalanya, tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih mirip seringai. “Aku memastikan dia tidak akan pernah bisa kabur tanpa sepengetahuanku. Aku tahu di mana dia berada, setiap saat.”Ameera menatapnya tak percaya. “D
Fabian tak segera melepaskan pelukannya, bahkan ketika Dikara melangkah mendekat, wajahnya semakin menunjukkan kemarahan yang tak tertahan. “Lepaskan dia,” ujar Dikara dengan suara rendah dan tegas, penuh ancaman yang mematikan. Janeetha tersentak, buru-buru menarik diri dari pelukan Fabian dan menatap Dikara dengan perasaan takut sekaligus marah. “Mas, dengarkan aku—” “Aku sudah cukup mendengarkan, Janeetha,” potong Dikara dingin, tatapannya masih terkunci pada Fabian. “Kau pergi diam-diam dan bertemu dengannya di belakangku. Dan kau pikir aku akan membiarkan ini begitu saja?” Fabian berdiri tegak di depan Janeetha, melindungi tubuh wanita itu dari Dikara. “Jangan salah paham, Tuan Dikara. Janeetha hanya ingin memberitahuku tentang pertemuan besok.” “Oh, jadi kau tahu?” Dikara menyeringai sinis, namun sorot matanya penuh ancaman. “Dan kau pikir aku akan membiarkan kalian berdua
Dikara tersenyum, tetapi senyuman itu tidak membawa ketenangan. “Kau tahu, Janeetha, aku sangat mengagumi dirimu. Tapi terkadang, kau membuatku ingin memberimu pelajaran—agar kau ingat bahwa aku tidak suka jika kau melawan.”Janeetha merasa jantungnya semakin cepat berdegup, ketakutan menyelimutinya. “Mas, aku tidak melawanmu… Aku hanya ingin…”“Cukup,” potong Dikara. “Tidak perlu beralasan. Aku akan memastikan kau tidak akan mengulanginya lagi!”Suara Dikara terdengar begitu tegas, penuh ancaman yang tersirat.Janeetha menelan ludah, merasakan hawa dingin yang semakin mencekam di dalam kamar.Dikara tetap menatapnya, wajahnya kini tampak datar, namun ada intensitas yang sulit dijelaskan.“Jadi, ini hukuman kecil dariku,” katanya sambil melepaskan cengkeraman di dagu Janeetha dan melangkah mundur.Dikara, yang diliputi amarah yang menggebu, tiba-tiba mengangkat Janeetha ke atas bahunya dengan mudah, seperti membawa baran
Dikara mengangkat wajahnya dari ponsel ketika Janeetha berjalan mendekat. Senyum yang menghiasi wajahnya tampak hangat, tetapiJaneetha merasa ada sesuatu yang mencekam di balik itu, sesuatu yang membuatnya ingin mundur."Ah, tepat waktu," katanya dengan nada ringan, berdiri dari sofa. "Ikut aku sebentar, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.""Ke mana?" tanya Janeetha pelan, perasaan gelisah menyelusup di benaknya. Namun, Dikara tidak menjawab, hanya melambaikan tangannya, menyuruhnya mengikutinya ke arah koridor.Janeetha ragu, sayangnya kakinya tetap melangkah, mengikuti Dikara yang tampak tenang. Mereka berjalan menyusuri koridor yang biasa, sampai tiba di ujung, di sebuah dinding polos tanpa pintu atau apa pun yang terlihat aneh.Dikara berhenti di sana, menekan bagian tertentu dari dinding itu, dan perlahan, dinding itu terbuka, mengungkapkan ruangan kecil yang tersembunyi."Kau… kau menyembunyikan ruangan di sini?" Janeetha bertanya, kebingungan.
Janeetha menempelkan wajahnya ke pintu, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia mengulang permohonannya, “Kumohon… Dikara… aku tidak sanggup di sini… kumohon…”Kegelapan di ruangan itu semakin menghimpit Janeetha, membuat napasnya makin berat dan tak beraturan. Ia meraba-raba sekeliling, tangan gemetar menyentuh dinding dingin tanpa menemukan apapun yang bisa menjadi jalan keluar. Tak ada celah, tak ada pegangan—hanya kesunyian yang menakutkan.“Dikara!” teriaknya, suaranya pecah dalam keputusasaan. “Dikara! Kumohon… keluarkan aku dari sini! Tolong!”Tapi tak ada jawaban, hanya gema lemah dari suaranya sendiri yang kembali padanya, seakan mengejek. Dia mendekatkan telinganya ke pintu, berharap mendengar apapun dari luar, suara langkah atau mungkin suara Dikara yang akan datang untuk membukanya.“Dikara… kumohon. Aku akan melakukan apa saja… aku akan menuruti semua yang kamu mau,” katanya, suaranya mulai gemetar. “Tolong… aku… aku tidak bisa di sini sen
Melihat itu, Maura tersentak kaget. "Kak!" Sambil berdiri di depan Maura yang masih tersandar dengan ketakutan, salah satu pria itu membungkuk sedikit, menatapnya dengan tajam. “Kalau kamu lapor ke polisi atau mencoba melawan, ingat ini baik-baik—kami tidak segan-segan menghabisi Fabian,” ancamnya, suaranya dingin dan mematikan. Maura menelan ludah, matanya penuh ketakutan saat melihat Fabian yang tergeletak tak berdaya. Ia hanya bisa terdiam, napasnya memburu, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Kedua pria itu kemudian menyeret Fabian yang masih pingsan keluar dari apartemen, meninggalkan Maura yang hanya bisa terisak dalam ketakutan dan kepanikan. *** Fabian membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya berdenyut dan sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Kegelapan menyelimuti sekitarnya, hanya ada cahaya samar dari lampu yang tergantung tinggi, menciptakan bayangan panj
Dikara berhenti tepat di depan Fabian, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dipahami, tetapi jelas menunjukkan kekuasaan yang tidak terbantahkan.Ia menunggu, memaksa Fabian untuk memberi jawaban, sementara udara di sekitar mereka terasa semakin berat dan terperangkap dalam ketegangan yang tak terungkapkan.Fabian, meski dipenuhi rasa takut, mencoba menahan diri. Napasnya cepat dan terengah-engah, tapi ada satu hal yang masih membuatnya bertahan: kebebasan Janeetha."Kau tidak bisa menakut-nakuti aku, Dikara," katanya, suaranya penuh dengan keberanian yang masih tersisa. "Kau bisa lakukan apapun yang kau mau, tapi aku tidak akan diam. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan Janeetha!"Dikara menyeringai, ekspresi wajahnya semakin mengerikan. "Wow, Fabian... kamu benar-benar tidak mengerti, ya?" bisiknya, suaranya penuh dengan kegembiraan yang menakutkan. "Kamu tidak punya pilihan."Dikara menatap Fabian dengan tatapan yan
Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Fabian akhirnya tertangkap. Ia berlutut di atas tanah berlumpur, tangan terikat di belakang punggungnya. Nafasnya terengah-engah, rambut basah menempel di dahinya. Tiga anak buah Dikara berdiri mengawasinya dengan waspada.Meski tampak seperti orang yang tak berdaya, tetapi dalam diri Fabian puas dengan apa yang telah ia lakukan. Setidaknya, ia dapat menyedot perhatia Dikara hanya tertuju padanya.Tak butuh waktu lama, sosok yang Fabian tunggu-tunggu pun tiba.Pria itu terlihat turun dari mobil SUV hitam yang kini terparkir cukup jauh dari lokasi. Fabian memang sengaja memilih jalur yang sedikit sulit dijangkau oleh kendaraan.Langkah Dikara tenang sekaligus tegas, mantel panjang yang dikenakannya berkibar tertiup angin. Matanya langsung menangkap Fabian yang sedang berlutut.“Well, well, well. Bukankah ini Tuan Fabian yang terhormat,” ucap Dikara datar, kedua mata gelapnya sarat dengan penghinaan. Fabian mendongak perlahan. Meski wajahnya penuh
Fabian berlari semakin cepat, napasnya memburu, dan tubuhnya mulai terasa berat oleh hujan yang membasahi pakaiannya. Hutan di sekelilingnya terasa gelap dan suram, seolah-olah bersekongkol untuk menyulitkan pelariannya. Namun, ia tidak peduli.Langkah-langkahnya sengaja dibuat mencolok. Kakinya menjejak tanah berlumpur dengan keras, meninggalkan jejak yang jelas di belakangnya. Sesekali, ia meraih cabang pohon dan mematahkannya dengan sengaja, menciptakan tanda-tanda yang tak mungkin terlewatkan oleh pengejarnya.Dalam pikirannya, rencana ini sederhana.Dikara pasti akan memilih mengejarnya daripada Arman. Fabian tahu betul bagaimana peringai pria itu. Dikara bukan hanya sosok yang obsesif, tapi juga penuh harga diri.Bagi Dikara, Fabian adalah ancaman langsung. Bukan sekadar seseorang yang membantu pelarian Janeetha, tetapi juga orang yang dianggap mencuri sesuatu yang menurutnya adalah miliknya.Fabian kembali melihat sekilas ke belakang, memast
Fabian memandang jalur setapak yang mereka tinggalkan dengan hati-hati. Daun-daun basah yang berserakan di tanah kini menunjukkan jejak kaki yang sengaja mereka ciptakan. Ia melirik Arman yang sedang membenahi tali ranselnya, tampak serius sekaligus gugup.“Sudah cukup?” tanya Fabian pelan, suaranya nyaris tertelan oleh gemerisik angin di antara pepohonan.Arman mengangguk cepat. “Jejaknya terlihat jelas. Kalau mereka mengikuti ini, mereka akan menuju arah yang salah.”Fabian menghela napas, matanya kembali menyisir area di sekitar mereka. Hutan itu terasa mencekam, bukan hanya karena ketenangannya tetapi juga ancaman yang mengejar di belakang mereka.“Janeetha dan Maria harus punya waktu untuk mencapai desa,” gumam Fabian, seperti hendak meyakinkan dirinya sendiri. “Semoga trik ini berhasil.”Arman menepuk bahu Fabian. “Kita hanya perlu menarik perhatian mereka cukup lama. Kalau kita tetap di jalur ini, mereka pasti akan mengira kita bersama Janeetha.”Fabian mengangguk, meskipun ras
Suara deru mesin mendekat dengan cepat, membuat jantung Janeetha berdegup semakin kencang. Di sudut gudang yang gelap, ia memeluk lututnya erat-erat, berusaha mengendalikan napas agar tidak terlalu keras terdengar. Maria, di sisi lain, berdiri diam seperti patung di dekat jendela kecil, mengintip ke luar.“Mereka berhenti,” bisik Maria dengan nada tegang, nyaris tidak terdengar.Janeetha mendongak. “Berhenti di mana?”Maria tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Janeetha tetap diam.Di luar, suara langkah kaki bergema di antara pepohonan. Beberapa suara samar terdengar, percakapan cepat yang sulit dipahami.“Periksa sekitar sini,” suara seorang pria terdengar lebih jelas, keras dan tegas.Janeetha menahan napas. Ia tahu suara itu. Salah satu anak buah Dikara yang sering datang ke rumah mereka dulu.“Maria…” bisik Janeetha, hampir tidak mampu mengucapkannya.Maria menoleh cepat, menaruh jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, tatapan tegas itu juga tidak
Mobil yang dikendarai Maria melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan sempit yang semakin dipenuhi pepohonan rindang. Janeetha mencengkeram kursi dengan erat, jantungnya berpacu seirama dengan ketakutan yang menghantuinya.Dari kaca spion, SUV hitam itu tampak semakin mendekat. Mereka tidak main-main.“Maria, mereka hampir mengejar kita!” suara Janeetha bergetar, memecah keheningan mencekam di dalam mobil.“Diam dan pegang erat!” Maria memutar setir dengan keras, memasuki jalanan berbatu yang lebih terpencil. Getaran akibat jalanan yang tidak rata membuat tubuh mereka terguncang.Janeetha memandangi ke belakang lagi. SUV itu tampak melambat sedikit, tetapi masih berada di jalur yang sama.“Berapa jauh lagi kita harus pergi?” tanya Janeetha, panik.Maria tidak menjawab, hanya fokus pada jalanan di depannya.Namun, suara dering ponsel Maria tiba-tiba memecah ketegangan. Janeetha memandang sekilas ke arah layar yang menyala di dashboard.Arman.Maria langsung mengangkat panggilan itu tan
Mobil yang dikendarai Maria melaju tanpa henti selama berjam-jam, melintasi jalanan sepi dan desa-desa kecil yang nyaris kosong. Janeetha memandangi jendela dengan tatapan kosong. Langit mulai terang, tetapi hawa dingin masih terasa menusuk hingga ke tulang.Maria menurunkan kaca jendela sedikit, membiarkan udara pagi masuk ke dalam mobil. “Kita hampir sampai di perbatasan kota kecil. Mungkin kita bisa berhenti sebentar,” ucapnya, memecah keheningan.Janeetha hanya mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba meredakan rasa gelisah yang menghantui sejak tadi malam. Fabian dan Arman masih belum bisa dihubungi, dan itu semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, mobil memasuki area pom bensin kecil di pinggir kota. Tempat itu terlihat sepi, hanya ada satu kendaraan lain yang sedang mengisi bahan bakar.“Kita berhenti di sini,” ujar Maria sambil memarkirkan mobil di dekat mesin pengisian. “Aku akan mengisi bensin. Kau mau sesuatu?”Janeetha menggeleng. “Aku han
Pagi itu, sinar matahari samar-samar menyelinap di balik jendela besar kamar Dikara. Langit masih kelabu, seolah mencerminkan amarah yang membara di dalam dirinya.Setelah selesai menghabiskan sarapan, Dikara menyeka bibirnya dengan lap sebentar sebelum akhirnya pria itu bersiap untuk melakukan pencarian. Rayhan berdiri tegak di sudut ruangan, menanti instruksi berikutnya dengan sedikit cemas. Ia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara sejak Dikara menerima laporan terakhir tentang keberadaan Janeetha."Apa rencanamu?" tanya Dikara setelah berdiri di dekat Rayhan.Anak buahnya itu berjalan menuju ruang tamu. Di sana, atas meja sudah terbentang sebuah peta.Saat Dikara mendekat, ia dapat melihat banyak titik meras pasa lembaran tersebut. "Jelaskan padaku," ucap Dikara sambil duduk di sofa. "Titik merah otu adalah lokasi yang sudah diperiksa oleh tim kami, Tuan." Rayhan sedikit membungkuk saat menjelaskan.Dikara seketika melihat ke arah Rayhan dengan tatapan merendahka
Dini hari itu terasa lebih dingin dari biasanya. Goyangan pelan di bahu semakin lama semakin terasa, membuat Janeetha terjaga dari tidurnya.“Janeetha,” suara Maria berbisik tetapi terdengar mendesak. “Bangun. Kita harus pergi sekarang.”Janeetha mengerjap berusaha menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar, sementara Maria membantunya untuk duduk.“Apa? Berangkat?” tanyanya dengan suara serak.Maria mengangguk. Meski kamar itu temaram, tetapi tetapi dapat memperlihatkan ekspresi serius di wajah wanita itu. “Arman baru saja mengabari. Anak buah Dikara semakin banyak di sekitar sini. Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita duga.”Sekejap, kantuk Janeetha hilang sepenuhnya. Rasa cemas muncul begitu saja. “Mereka sudah menemukan kita?”“Belum, belum.” Maria menggeleng berusaha menenangkan. “Karena itu kita harus bergerak lebih cepat dari rencana.”“Fabian dan Arman? Bukankah kita akan menunggu mereka untuk berangkat bersama?” Janeetha mengikuti Maria yang sudah berdiri dari tempat tidur
"Kau pikir aku peduli dengan perhatian?!” Suara Dikara seketika naik satu oktaf membuat Rayhan semakin menciut. Ekspresi wajahnya semakin dingin dengan seringai samar terlukis di bibirnya. “Jika perlu, hancurkan seluruh Ardenton! Aku tak peduli!"Rayhan langsung mengetikkan pesan di ponselnya. "Saya akan sampaikan sekarang juga, Tuan."Dikara menyandarkan kepalanya, memejamkan mata sejenak. Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum matanya kembali terbuka, menatap tajam ke arah luar jendela.Janeetha... kau pikir kau bisa lari sejauh ini dariku?Tiba-tiba ponsel Rayhan bergetar. Ia membaca pesan yang masuk dengan cermat sebelum melirik Dikara. "Tuan... mereka melaporkan seseorang yang mencurigakan di penginapan kecil dekat distrik timur. Wanita dengan ciri-ciri yang mirip Nyonya Janeetha."Dikara menoleh, ekspresinya berubah dingin. "Ciri-ciri yang mirip bukan jawaban yang ingin kudengar."Rayhan menelan