Janeetha merasakan tatapan tajam Dikara yang membuat tengkuknya meremang.Saat dering ponsel dari Fabian bergema lagi, Janeetha menggeleng pelan, menolak dengan hati-hati.Namun, Dikara hanya mengulurkan tangannya dengan dingin, isyarat yang tak bisa diabaikan."Angkat," katanya dengan nada rendah yang mengandung ancaman terselubung.Janeetha menggenggam ponselnya dengan erat, hatinya berdebar kencang. "Tidak perlu. Aku akan bilang nanti padanya kalau—""Atau aku yang menjawabnya?"Dikara memotong, suaranya semakin rendah dan menusuk.Janeetha menelan ludah, menyadari bahwa tak ada ruang untuk berdebat. Dengan tangan bergetar, ia menjawab panggilan itu sambil berharap bisa menjaga ketenangannya.Dikara menggerakkan jemarinya, menunjuk layar ponsel, memerintah Janeetha tanpa kata-kata untuk mengaktifkan mode loudspeaker. Tak ada pilihan lain—Janeetha melakukannya, dan suara Fabian langsung terdengar, penuh kekhawatiran.“Ja
Dua tahun yang lalu... "Menikah?" Dikara menatap ke arah ayahnya, Farhan, dengan dahi sedikit berkerut. "Ya. Toh kau sudah 30 tahun. Susah saatnya." Jawaban itu terdengar santai tetapi Dikara tahu itu adalah sebuat perintah yang terselubung. Dengan tenang, Dikara memilih untuk menyesap anggur merah dari gelas tinggi yang sedang ia pegang daripada memberikan pendapatnya. "Kau setuju, 'kan?" Ditanya seperti itu, Dikara hanya tersenyum sekilas, kembali menatap ayahnya. "Tentu. Apapun yang baik menurut Ayah." "Sepertinya bertemu dengan keluarga Khazim akan menyenangkan, bukan?" Farhan kembali mengusulkan. “Khazim? Maksud Ayah, Pradipta Khazim? Teman lama Ayah?” Dikara bertanya sedikit ragu. Pasalnya, keluarga Khazim tidak terlalu memiliki pengaruh di dunia bisnis apalagi kabar beredar perusahaan sedang bangkrut perlahan. Farhan menatap serius ke anaknya. “Ada masalah?” Dikara terdiam sebentar lalu kembali tersenyum tipis. “Tidak.” “Kudengar anak mereka sudah tumbuh de
“Kau suka?”Dikara melontarkan pertanyaan sederhana, tapi Janeetha tak langsung menjawab.Gadis itu hanya terdiam, sibuk memindai benda-benda yang disuguhkan di hadapannya.Gaun putih berbahan silk yang mewah menggantung di sisi ruangan, penuh kesempurnaan. Sepasang sepatu hak tinggi berkilau dengan perhiasan kristal, sementara di meja kecil dekatnya, kalung berlian dan anting senada siap menyempurnakan penampilan pengantin yang sudah pasti akan membuat semua orang terkesima.Meski dalam hatinya ada perasaan berdebar karena keindahan yang jarang dilihatnya, Janeetha tetap tak bisa mengabaikan perasaan asing yang terus menyusup.Semua ini terasa terlalu berlebihan, terlalu asing, dan seakan-akan membawanya pada sesuatu yang mungkin ia tak pernah benar-benar inginkan.Namun, seberapa kuat Janeetha dapat melawan?Dikara, pria yang berdiri di sebelahnya, mengamati setiap reaksi dengan sorot mata yang tajam.Ia tidak han
Ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja Dikara. Hari ini, ia memilih pergi ke kantor setelah Janeetha mengatakan ingin menemani ibunya di rumah sakit bersama ayahnya yang sakit.Dikara tidak terlalu memikirkan kepergian Janeetha, toh ia bisa tetap memantaunya lewat gelang yang selalu dipakai istrinya itu.Hingga saat ini, Dikara sedikit heran Janeetha tak pernah menunjukkan kecurigaan, bahkan tak pernah mencoba melepas gelang itu. Mungkin, aktingnya saat memberikan gelang itu benar-benar berhasil, membuat Janeetha berpikir itu hadiah yang tulus darinya.Tak lama kemudian, Rusli masuk ke ruangannya dan menyerahkan beberapa map ke atas meja Dikara.“Fabian…” Suara Dikara menggantung saat ia memerika sekilas map-map tersebut lalu menatap tajam pada Rusli. “Apa yang sudah kau temukan?”Rusli berdehem. “Fabian belum melakukan hal-hal yang mencurigakan, tapi dia cukup dekat dengan Nyonya Janeetha dan lingkaran teman-temannya. Dari pengamatan saya, dia sangat protektif pada Nyonya. Mere
Janeetha memasukkan ponselnya ke tas, menghirup teh terakhirnya, lalu beranjak keluar dari kafe. Ia berjalan pelan, melintasi beberapa blok, dan seolah mencari-cari toko, tetapi terus melirik ke belakang.Benar saja, kedua pria tadi tetap mengikutinya dari kejauhan.Janeetha menahan senyum getir, merasa bahwa semua teka-teki ini mulai terjawab. “Jadi, memang benar, Dikara… kau mengawasiku, bahkan setiap langkahku.”Meski Janeetha dapat menebak, tetapi tetap saja ia merasa kecewa dan marah terhadap segala tindakan yang Dikara lakukan. Ia pun segera menyetop taksi lalu kembali ke rumah sakit.Di dalam mobil, Janeetha kembali memikirkan bagaimana Dikara bisa selalu mengetahui keberadaannya.Perlahan, matanya tertuju pada gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia menatap benda itu cukup lama, baru menyadari bahwa selama ini ia tak pernah benar-benar memperhatikan keberadaannya karena berbagai kejadian yang akhir-akhir ini me
Janeetha menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Dikara yang penuh teka-teki. Perasaan berkecamuk dalam dirinya—antara marah, kesal, dan tak berdaya.Sementara itu, Dikara malah mengulas senyum tipis yang nyaris tampak menyindir, seakan menikmati ekspresi ketidakberdayaan Janeetha.Senyum di wajah Dikara itu adalah sebuah peringatan, sebuah ejekan halus bahwa, tanpa seizin dirinya, Janeetha tidak akan kemana-mana.Dia ingin mengingatkan Janeetha akan kendali yang tak terlihat namun begitu kuat yang telah ia bangun di sekelilingnya.Dengan tenang, Dikara mendekatkan dirinya pada Janeetha, suara rendahnya seolah hanya untuknya."Jadi," katanya perlahan, senyumnya tetap tak berubah, "kau tak perlu memikirkan hal lain. Ayahmu membutuhkanmu di sini—dan itu artinya kau juga di sini bersamaku."Janeetha mencoba menahan gejolak di hatinya. Sebuah protes hampir meluncur dari bibirnya, tetapi di hadapan ayahnya, ia menahan diri. Hanya soro
Dikara menatap Janeetha yang berdiri di hadapannya, tubuhnya tegang dengan amarah yang jelas terlihat dari sorot matanya.Perlahan, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Tawa kecil keluar dari tenggorokannya, terdengar seperti ejekan yang tak terlalu disembunyikan.“Oh, My Jani…” katanya sambil terkekeh pelan, seolah mendengar lelucon yang hanya ia yang pahami. “Kau tak bersalah. Tidak ada yang perlu kau sesali.”Namun, ucapan itu hanya membuat api dalam diri Janeetha semakin berkobar.“Kalau aku tak bersalah,” katanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi ia tidak membiarkan dirinya goyah.“Mengapa kau berbuat seperti ini padaku? Mengapa kau selalu menyakitiku, mencoba mengatur setiap gerakanku, mengontrol semua yang kuinginkan?” Suaranya meninggi, penuh dengan rasa frustasi yang sudah lama ia tahan. “Apa lagi kalau bukan kebencian?”Dikara menatapnya, masih dengan senyum yang semakin menyebalkan di wajahnya. Ia mendekatkan tubuhnya sedikit, menurunkan suaranya menjadi hampir seperti b
Setelah beberapa hari dirawat, Pradipa pun diizinkan pulang oleh dokter. Di rumah, Janeetha membantu ayahnya berbaring nyaman di kamarnya setelah perjalanan pulang dari rumah sakit. Tangannya perlahan membenarkan posisi bantal dan memastikan selimut menutupi tubuh ayahnya dengan nyaman. Gayatri duduk di kursi dekat ranjang, memperhatikan keduanya dengan penuh kasih. "Terima kasih, Nak," ucap Pradipa dengan suara lemah tapi penuh syukur, menyentuh tangan Janeetha. “Kalau bukan karena kamu…” Janeetha tersenyum kecil, menahan segala beban yang dirasakannya agar tak terlihat. “Ayah, tidak perlu bilang begitu. Yang penting sekarang ayah bisa fokus pulih.” Gayatri mengangguk, menambahkan, “Iya, Ayahmu butuh banyak istirahat. Dan kamu juga, Janeetha. Akhir-akhir ini kau terlihat lelah sekali.” Janeetha hanya tersenyum tanpa kata, merasa ada begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi sulit. Ia ingin mengungkapkan kekhawatirannya, tentang Dikara, tentang hidup yang tak bisa sepen
Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”
“Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham
Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l
Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru
Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&
Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya
"Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s
Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika
Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak