Kini di rumah tinggallah hanya ada aku, papa juga Kartika. Kubereskan semua piring kotor bekas suami dan anakku maka tadi menuju wastafel. Baru saja aku selesai mencuci piring tiba-tiba Kartika datang dan meletakkan dua buah piring yang kuyakini itu adalah miliknya juga milik papa ke dalam wastafel yang sudah kubersihkan tadi. Setelahnya, Kartika pun kembali berbalik badan. Dengan cepat aku menarik tangan Kartika dan mencegah kepergiannya. "Mau kemana kamu?" tanyaku sembari memegang tangan Kartika. "Ya mau ke kamar lah, Mbak, memangnya mau kemana lagi?" ucapnya dengan santai. Apakah dia tak tahu kenapa aku sampai mencekal tangannya?"Peraturan di rumahku, habis makan langsung dicuci piringnya, kenapa kamu geletakin begitu saja di wastafel?" "Ck, tadi Mas Amar dan ketiga anak Mbak habis makan langsung pergi, terus kenapa aku mau pergi gak boleh?"Dasar tidak tahu malu, sudah menumpang seolah sok menjadi ratu. Jangan dikira aku menyetujui mereka untuk tinggal di sini lantas mereka bi
"Ngapain disambut? Emangnya kamu siapa? Yang berhak sambut aku ya Aliyah istri aku. Emangnya kamu istriku?" "Skakmat! Memangnya enak diketusin mas Amar?" ucapku dalam hati."Hehehe, ya bukan begitu, Mas. Kamu 'kan kakak aku meskipun tiri tapi, aku sudah mengnggap Mas Amar itu Kakak aku. Jadi aku merasa kalau wajib menyambut Mas Amar ketika pulang kerja," ucap Kartika gugup."Gak perlu. Menyambutku adalah tugas Aliyah bukan kamu. Minggir aku mau lewat!" ketus mas Amar pada Kartika. Tampak sekali kalau Kartika terlihat seperti kambing congek bagi mas Amar. "Rasain kamu!" geramku dalam hati sembari menaikkan sedikit kedua sudut bibirku."Oh iya satu hal lagi, jangan kamu kira meski kamu adik tiriku kita ini layaknya adik kakak. Kamu bukan mahramku. Jadi, aku harap perbaiki sikapmu!" ucap tegas mas Amar. Ah, suamiku i love you forever. Aku tidak salah memilihku sebagai imamku. Pria yang selalu menundukkan pandangannya pada wanita yang tidak halal bagimu. Sungguh, aku sangat beruntung m
"Iya, Bun. Mau dibantuin gak?" jawab mas Amar setelah melepas peci yang ia kenakan."Gak usah, Yah, cuma sarapan doang. Ayah langsung mandi ya, Bunda ke dapur dulu." Aku pun bergegas keluar kamar dan menuju dapur untuk memasak sarapan untuk keluargaku. Sedangkan untuk Kartika dan papa? Biarkan saja mereka masak sendiri toh Kartika sudah dewasa sudah menjadi tugas dia untuk melayani papanya. Ini sengaja memang kulakukan agar mereka tidak menginjakku di rumahku sendiri. Pagi ini aku akan memasak yang simple dan tentunya porsi pas untuk kami berlima. Menu nasi goreng seafood dengan toping telur mata sapi di atasnya tidak lupa taburan bawang goreng dan potongan mentimun membuat hidangan kali ini tampak menggugah selera. Setelah selesai aku segera membawa piring-piring berisikan nasi goreng seafood itu ke meja makan. Setelah kurasa sempurna aku pun bergegas menuju kamar dan ingin segera mandi karena tubuhku sedikit berkeringat saat memasak tadi. Baru saja tubuhku sampai di depan pintu k
"Kamu yang sabar ya, Dek. Aku yakin Allah menguji kita seperti ini karena kita adalah hamba pilihan. Allah tahu kalau kita ini bisa menhadapi ujiam demi ujian yang Allah berikan. Yakin sama Mas ketika kita berhasil melewati ujian ini maka Allah akan menaikkan derajat kita," ucap mas Amar sembari membeai lembut pipiku dengan tangannya. Seketika hatiku pun terasa tenang. Benar kata mas Amar. Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan. Jika keluargaku mendapatkan ujian seperti ini artinya Tuhan percaya pada kita kalau kita semua mampu melewati semua ini. Saat tangan mas Amar masih membelai pipiku tiba-tiba saja aku teringat kalau tangan itu habis dipegang oleh Kartika. Seketika itu juga aku menepis sedikit kasar tangan mas Amar dari wajahku. "Aww, kamu kenapa? Kok tanganku di kibas?" tanya mas Amar sembari meringis. "Jangan pegang-pegang. Itu tangan bekas dipegang-pegang sama si jalang. Najis ah, sana mandi!" sungutku pada mas Amar. "Aku udah mandi, Dek, masa disuruh mandi l
"Kakak dukung pokoknya, Al. Kalau butuh bantuan kamu hubungi Kakak saja. Kakak siap membantu kalian terlebih lagi ada bibit pelakor di antara kalian," ucap kak Rita dengan menggebu-gebu yang membuatku tidak bisa untuk menahan tawa saat melihat wajah kak Rita yang lucu."Kalian lagi apa sih? Kok kayaknya seru banget?" Tiba-tiba saja ibu datang menghampiriku dan kak Rita yang lagi asik berbincang masalah papa mertua dan Kartika."Eh Ibu, ini lho di rumah Aliyah ada bibit pelakor," ucap kak Rita tanpa tedeng aling-aling. Sontak saja mulut ibu menganga."Apa! Pelor? Siapa yang mau ditembak?" Jawabn ibu tentu saja membuat aku dan kak Rita tergelak. Bagaimana tidak? Jika pelakor dikata pelor sama ibu."Lho kok pada ketawa? Apa ada yang lucu?" ujar ibu lagi."Ya Ibu lah yang lucu, wong pelakor kok disamakan dengan pelor, tapi memang fungsinya sama sih. Sama-sama membunuh. Bedanya yang satu membunuh orang yang satu lagi membunuh rumah tangga orang," ucap kak Rita sarkas."Ini maksudnya apa si
"Iya, Mas, gak enak saja tadi kalau cerita. Takut Bapak jadi kepikiran. Mas 'kan tahu sendiri kondisi Bapak sekarang ini gimana.""Iya juga sih, yaudah nanti sampai di rumah aku tegur mereka.""O iya tadi sih aku udah kasih ultimatum sama Putri kalau Kartika atau Papa datang lagi boleh minta makan maksimal dua porsi kalau lebih harus bayar dan lagi jangan sampai membiarkan mereka mendekati laci keuangan kedai. Maaf ya, Mas, kamu gak tersinggung 'kan?" tanyaku berhati-hati pada mas Amar takut tersinggung dengan ucapanku barusan."Tersinggung kenapa? Gak papa lah, Dek. Aku tahu kamu melakukan yang terbaik untuk keluarga kita.""Ya siapa tahu kamu tersinggung karena mereka orang tua dan adik kam
Wajah Kartika mendadak pias. Aku pun tidak peduli yang aku mau saat ini juga ruang tamuku kembali bersih seperti sedia kala saat aku belum pergi tadi pagi."Oh iya aku peringatkan kau jangan lagi semena-mena berlaku di kedaiku, sebab para karyawanku bukan pesuruhmu," ucapku pada Kartika. Kartika pun menoleh sesaat dan menatapku sembari tersenyum sinis."Jangan pelit jadi orang, hanya mie ayam dan bakso saja lagaknya seperti ngasih makan steak atau pizza.""Meski hanya Mie ayam dan bakso tapi kamu dan Papamu sudah bisa makan enak dengan gratis 'kan?" ujarku membalas ucapan Kartika. Tentu saja aku tidak terima Kartika seolah menjelekkan warung makanku itu."Alah makanan murahan aja
"Kak Aliyah?" ucapnya lagi."Kenapa? Kok pucat? Kaget lihat aku yang datang tiba-tiba?" "Enggak ah, biasa aja tuh," ujar Kartika yang sudah merubah mimik wajahnya menjadi biasa saja."Kenapa masih main ponsel di sini?" "Kenapa? Toh belum ada pembeli 'kan?" Mataku membulat mendengar ucapan Kartika barusan. Astaga Tuhan, berhadapan dengan manusia yang satu ini memang benar-benar menguras emosi jiwa dan raga. "Kenapa gak bantu yang lain? Membersihkan kedai, mencuci piring dan yang lainnya? Kamu kira aku membayarmu untuk bersantai ria?""Ah elah, Kak, begini aja diributin sih, 'kan udah ada karyawan Kakak yang lain!" ujar Kartika ketus. Baru saja aku akan menyeret Kartika tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kedatangan kakakku Rita. "Kamu jangan kurang ajar sama Aliyah ya! Dia itu bosmu di sini! Kamu kira kamu siapa ha!" hardik kak Rita sembari mendorong tubuh Kartika hingga terjengkang ke belakang. "Aw, kamu siapa? Datang-datang langsung main dorong aja!" "Aku Kakaknya Aliyah! Ke