“Ma, apakah sangat penting dalam hidup kalian selalu saja ikut campur dalam setiap tarikan napasku? Aku masih 28 tahun, Ma. Ngapain nyuruh cepat-cepat nikah sih? Kakek juga, kalau mau kasih warisan, ya udah, kasih aja. Repot-repot bikin syarat yang membuat orang jadi marah saja,” jawab Bian secara ketus.
“Bian! Kalau ngomong dipikir dulu. Coba dong, kasih Mama sedikit kebahagiaan karena sudah melahirkanmu, Bi. Selama ini, Mama mendapatkan kebahagiaan dan kebanggaan malah dari kakakmu yang bukan darah daging Mama. Coba tunjukan keberadaanmu, Bian. Nurut untuk sekali ini saja ya?” pinta Laras. Harapannya begitu besar agar Bian mau mendengar perkataannya.“Terus aja dibandingin sama Leo si munafik itu. Dia hanya pintar bersandiwara saja, Ma. Caranya licik. Demi nama baik, dia gunakan berbagai cara. Dia memperlakukanku sangat buruk, Ma.”“Bi, dari dulu, kenapa kamu selalu menjelekkan kakakmu sih? Meski bukan keluar dari rahim yang sama, dia tetap kakakmu. Kalian punya ayah yang sama.”“Itu fakta, Ma. Bukan berkata asal-asalan.”“Ya udahlah, terserah kamu. Yang penting, kamu nggak boleh menolak rencana perjodohan. Mama mohon, Bi, semua untuk kebaikan masa depanmu. Setiap perkataan kakekmu pasti bukan hanya sekadar omong kosong.”“Syaratnya asal menikah kan? Semua berawal dari rumor yang menyebut kalau aku nggak suka sama perempuan kan, Ma? Itu gampang, bisa dipikirkan nanti. Aku ada rapat penting. Pergi dulu, Ma.”Laki-laki bergaris wajah tegas dengan hidungnya yang mancung serta alis tebal yang menambah pesonanya itu berjalan menuju pintu untuk meninggalkan ruangan tempat di mana pemilik surganya berada.Laras yang mendapat perlakuan yang sama hanya bisa menghela napas. Bian orang yang punya prinsip kuat atas kehidupannya sendiri. Tidak mau dipusingkan dengan pendapat orang lain. Terlebih orang-orang yang memaksakan kehendak.Dengan sikapnya yang demikian, Bian nekat keluar dari perusahaan yang dinaungi oleh Abimana—kakeknya. Ia malah mendirikan perusahaan dengan tangannya sendiri dalam bidang pangan. Lebih tepatnya memproduksi dan memasarkan berbagai macam makanan ringan yang digemari anak muda.Bian tidak tertarik dengan perusahaan milik kakeknya yang bergerak di bidang jasa keuangan. Menurutnya, pekerjaan itu tidak membuatnya nyaman. Terlalu serius dan merasa dikekang.Berkat tekadnya yang kuat, Bian yang memutuskan hengkang dari perusahaan yang membesarkan nama keluarganya, bisa menunjukkan hasil usahanya meski harus membangkang pada keluarga.Dalam beberapa tahun, bisnis yang dikelola sesuai hati nuraninya itu telah tumbuh menjadi sebuah perusahaan yang bisa mengerjakan cukup banyak karyawan.Pembelajaran tentang bisnis yang dicekoki sejak belia oleh ayah dan keluarganya bisa digunakan ketika dirinya bertekad untuk mendirikan perusahaannya sendiri tanpa bayang-bayang dari kakeknya yang suka mengekang.***Di dalam mobil setelah mengganti pakaian, Elsa berpikir sejenak. Rencana pertama telah berhasil dilakukan. Tahap selanjutnya adalah menggaet laki-laki yang mungkin dicintai oleh Vela.Namun, Elsa masih ragu karena posisinya hanya seorang anak adopsi yang mungkin tidak terlalu kuat untuk mempengaruhi Bian Abimana pemilik PT. BA Snack Tbk dan salah satu pewaris dari PT. Bank Kristal Tbk—perusahaan perbankan terkemuka di negara ini.“Ayo, otak. Kamu harus berpikir. Perusahaan yang di pimpin Kakek dan Ayah lagi nggak stabil. Ada beberapa hotel yang bermasalah, tapi bagianku baik-baik saja sih, daripada yang lain. Apa mungkin diinvestasikan saja? Tapi, kalau ada masalah, pasti aku yang disalahin. Apalagi kondisi Kakek lagi sakit-sakitan, kalau jadi masalah terus bikin Kakek tambah parah, sudah pasti, hanya aku yang kena getahnya. Ditambah, aku hanya anak adopsi yang nggak punya DNA dari mereka. Tapi, aku harus bisa dekat sama orang itu. Aku harus merebutnya dari Vela biar dia tahu bagaimana rasanya disakiti. Ya, aku akan menanggung risikonya belakangan.”Panjang lebar Elsa berbicara sendiri karena merutuki nasib yang tak pernah berpihak padanya. Namun, rasa sakit di dalam hatinya, menimbulkan dendam membara yang ingin sekali dibalaskan. Meski akan menanggung akibatnya nanti, Elsa tetap bertekad melakukan rencana besarnya.Ponsel di dalam tasnya berbunyi, Elsa mengambilnya dan tertulis Mama Nani di layar benda pipih itu.“Buat apa Mak Lampir meneleponku. Apa dia sudah dengar pembatalan pernikahanku? Hebat memang orang-orang di belakang Rio.”Elsa akhirnya menggulir layar meski teramat berat. Dia tahu, perkataan yang akan keluar dari ibu angkatnya itu selalu bernada sadis dan menyakitkan hati.“Elsa! Kamu harus pulang sekarang. Ada sesuatu hal yang harus kamu jelaskan. Ada Ayah yang sudah menunggumu. Cepat pulang sebelum semuanya semakin kacau,” perintah Nani dari balik telepon.“Kalian mau apa? Mau memarahi dan menyalahkanku lagi?”“Berani sekarang kamu ngomong begitu ya! Cepat pulang! Jangan banyak beralasan sebelum aku adukan perbuatanmu pada Mas Handi yang rela memungutmu dari panti asuhan. Harusnya otakmu bisa digunakan untuk berpikir.”Panggilan terputus. Sama sekali tidak ada celah untuk menyela ucapan Nani. Dengan alasan Handi yang telah mengadopsi Elsa, Nani dengan mudah mengatur kehidupan gadis itu.Kalau bandel, Nani tak segan bermain tangan dan melakukan kekerasan di belakang Handi. Namun, saat di depannya, Nani berlagak seperti orang teraniaya sebab sikap Elsa yang susah diatur.Aduan demi aduan yang Nani lontarkan hanya semakin mencuci otak Handi agar makin benci pada Elsa. Pun anggota keluarga yang lain. Mulutnya sangat berbisa.“Dasar Mak Lampir!” maki Elsa di depan layar ponsel.Pada dasarnya, Elsa adalah wanita kuat. Kelemahannya hanya pada Handi yang sudah mau membesarkannya. Ada hutang budi yang dirasakan sangat kuat dalam hati Elsa. Ancaman yang dikatakan oleh Nani hanya seputar itu saja. Hingga Elsa tak bisa berkutik.***“Apa yang membuatmu menggagalkan pernikahanmu secara sepihak, Elsa?” Pertanyaan itu terucap dari seorang laki-laki yang sangat Elsa hormati.“Ayah, aku minta maaf, tapi dalam waktu dekat ini, perasaanku pada Mas Rio sudah berubah. Ada sesuatu yang membuatku ragu dan memutuskan untuk membatalkan secara sepihak, Yah,” kata Elsa dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan.“Alasan macam apa itu, El? Kamu tahu kan, persiapan sudah matang. Semua sudah tahu kabar pernikahanmu akan segera terlaksana. Dengan seenaknya kamu membatalkan tanpa berbicara sepatah kata pun pada orang tuamu. Kamu lupa, dari mana kamu berasal? Sukanya bikin masalah dan hanya membuat malu! Memangnya persiapan yang dilakukan nggak menelan banyak biaya! Otakmu dipakai dong, El!”Seperti biasa, Nani akan menjadi orang nomor satu yang akan memarahi dan memaki Elsa. Apalagi di sini Elsa terkesan orang yang telah membuat kesalahan besar. Nani akan puas melontarkan kata-kata sadisnya meski di depan Handi.“Ma, bagaimana kalau calon suami Mama malah melakukan pengkhianatan, apakah Mama akan tetap menikahinya?” Ucapan Elsa sengaja menyindir Vela yang berdiri tak jauh darinya.“Elsa! Bicara yang sopan sama mamamu. Tidak usah berkelit tentang kesalahanmu. Ayah tahu Rio seperti apa orangnya. Di sini kamu yang bersalah. Membatalkan pernikahan yang sakral tanpa perundingan sama sekali. Masuk kamarmu, El! Introspeksi kesalahanmu di sana! Jangan keluar kalau bukan masalah yang sangat penting!” hardik Handi. Tampak amarahnya membara. Urat di lehernya terlihat kala berbicara.“Ayah, tolong dengarkan penjelasanku, Yah,” pinta Elsa masih berusaha merebut kepercayaan Handi.“Masuk, Elsa!”Dengan dada yang bergemuruh hebat, Elsa memasuki kamarnya dengan sangat terpaksa.***“Mbak, aku masuk ya? Dari tadi kamu belum makan. Ini, aku bawakan makanan.”Tanpa persetujuan dari Elsa, Vela memasuki kamar.“Keluar, Vel. Aku nggak izinin kamu masuk.”“Setidaknya makan dulu, Mbak.”“Apa pedulimu, Vel? Kamu bahagia melihatku menderita kan?”“Nggak, Mbak. Aku malah kecewa karena pembatalan pernikahan ini, Mbak. Bukankah kamu sangat mencintai Mas Rio, Mbak? Dengan menikah sama dia, kamu pasti akan bahagia. Kamu boleh memilih kebahagiaanmu sendiri bersama Mas Rio, Mbak. Selama ini, kamu mencari orang yang tulus mencintaimu kan? Kalian terlihat sangat cocok dan saling mencintai. Apa nggak sayang melepas orang yang tulus mencintaimu, Mbak? Kamu bebas mencari kebahagiaanmu sendiri, Mbak.”Mendengar omong kosong yang terlontar dari lisan Vela, Elsa mengambil segelas air putih yang dibawa oleh Vela. Lalu, Elsa menyiram segelas air itu tepat ke wajah adik tirinya.“Huwa! Mbak! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela seraya mengusap wajahnya yang baru disiram air.“Katamu, aku boleh memilih kebahagiaanku sendiri. Menyiram wajahmu dengan air adalah sesuatu yang bikin aku bahagia, Vel,” ucap Elsa seraya meletakan gelas kembali ke nampan. Raut wajahnya terlihat puas dengan senyum yang mengembang di bibir.“Apa maumu sebenarnya sih, Mbak? Aku hanya menasihatimu untuk kembali pada orang yang kamu cintai kok. Itu biar kamu bahagia, Mbak!”“Jangan sok peduli sama aku, Vel. Aku tahu akal busukmu. Kamu yang selalu ingin membuat hidupku menderita. Keluar sekarang juga dari kamarku, Vel!” usir Elsa.“Diberi kesempatan untuk bahagia malah dibuang begitu saja. Sombong banget kamu, Mbak.”“Nggak apa-apa kalau aku sombong. Lebih baik merasa sakit saat ini, daripada nantinya semakin sakit hati. Atau silakan kalau kamu mau memungut bekasku, Vel. Mas Rio sangat baik kan? Kamu pasti bahagia kalau hidup sama dia. Itu yang baru saja kamu katakan padaku bukan?”Tanpa menj
Kehadiran Elsa di dalam ruang VVIP sebuah rumah sakit ternama di negara ini disambut oleh senyuman hangat Wicaksono.Tumben, Kakek jadi bisa senyum gini. Sebelumnya, wajahnya ditekuk terus. Apa gara-gara penyakitnya kambuh lagi. Jadi bikin otaknya agak terganggu.Elsa yang heran dengan sikap kakek angkatnya yang tak biasanya itu hanya bisa membatin.Semenjak Nani dan Vela hadir di tengah-tengah keluarga, Elsa mulai terabaikan dan dianggap orang yang kebetulan menumpang sebab syarat untuk menemukan Wulan dan anaknya. Ada perjanjian pula yang mengikat keduanya. Wicaksono pun sikapnya makin dingin karena mendapat hasutan dari Nani.Namun, kali ini seakan berbeda, senyuman dan wajah yang tampak bahagia menghiasi wajah Wicaksono kala bertemu dengan Elsa.“Kakek senang, masih bisa bertemu denganmu, El.”Elsa makin bingung dengan perkataan yang baru saja terucap.“Kakek sudah membaik? Elsa juga senang bisa melihat Kakek tersenyum begitu.”Meski merasa aneh, Elsa tak mungkin bisa mengutarakan
“Apakah kamu punya informasi pribadi tentang Bian Abimana? Saat ini aku membutuhkannya.”Elsa dan Rendi baru keluar dari ruangan tempat Wicaksono dirawat. Tanpa mengulur waktu, Elsa segera memulai rencananya untuk bertemu empat mata dengan Bian.“Memangnya kenapa, Mbak?” Bagaimanapun info yang Rendi miliki tidak boleh tersebar secara sembarangan meski pada Elsa sekalipun.“Aku sangat membutuhkannya. Bisakah kamu membantuku? Kalau kamu mau mengetahui cerita selengkapnya, ayo, kita cari tempat yang lebih nyaman. Aku harap, kamu bisa membantuku. Terima kasih juga sudah mau merawat Kakek selama ini. Setelah nanti Kakek dipindahkan, tolong jaga kerahasiaannya dari siapa saja.”“Iya, saya akan mendengarkan alasan Anda terlebih dulu. Tentang Direktur Utama, itu memang sudah menjadi tugas saya.”Elsa tak menjawab lagi, hanya anggukan dan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat yang lebih nyaman.Suasana di sebuah kafe tampak ramai. Elsa dan Rendi suda
“Kamu bagaimana sih, Mas? Kenapa Mbak Elsa bisa membatalkan pernikahan kalian begitu saja? Apa kalian ada masalah? Kamu bikin dia marah kan, Mas?”Di Restoran Laria sudah ada Vela dan Rio. Sejak tadi, percakapan mereka dipenuhi emosi. Terlebih Vela yang banyak mencecar tuduhan demi tuduhan pada Rio.“Kamu ini, kenapa ikut saja menyalahkanku? Sayang, aku nggak tahu alasan Elsa membatalkan pernikahannya. Tiba-tiba saja dia melakukannya. Nggak ada masalah sama sekali sebelumnya. Kamu lihat kemarin kan, setelah mencoba gaun, kami baik-baik saja? Seharinya malah Elsa melakukan tindakan tak terduga sama sekali,” bela Rio.“Harusnya, kamu bisa mencegahnya, Mas.” Kemarahan tampak jelas di wajah Vela.“Bagaimana caranya? Elsa sudah lebih dulu bertindak. Dari gaun sampai masalah KUA sudah dibatalkan secara sepihak oleh Elsa, Sayang. Maafkan aku.”Rio bermaksud meraih tangan Vela yang tergelatak di meja, tetapi detik yang sama ditepis oleh Vela.“Sayang, apa lebih baik kita berkata jujur di hada
“Apa yang kamu lakukan?” Bian sangat terkejut hingga tubuhnya seakan membeku.“Diamlah. Saya hanya menempelkan sedikit bibir saya yang sangat berharga ke pipi Anda. Jangan salah paham. Karena di dekat sana ada Vela dan mantan calon suamiku yang sedang melihat kita. Bukankah Anda setuju dengan syarat saya tadi?” bisik Elsa tepat di dekat telinga Bian setelah melepas kecupannya.“Mbak Elsa! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela sambil berjalan tergesa makin mendekat.“Eh! Kenapa kamu ada di sini, Vel. Em ... tentang ini ....” Elsa berpura-pura mengalihkan fokusnya ke arah Rio. “Oh, kenapa kamu bersama Mas Rio? Akhirnya kamu mau memungutnya ya, Vel? Menurutmu kan, Mas Rio laki-laki yang sangat baik. Pantas sih, kamu mau menerimanya yang mungkin sedang patah hati gara-gara aku.” Justru Elsa sengaja membuat Vela makin meradang.“Mbak! Bukan itu yang harusnya dibahas, tapi harusnya tentang perbuatanmu tadi. Kamu nggak malu, Mbak? Di tempat umum seperti ini? Dengan calon suamiku?”Elsa berhasil
“Ma! Mama tahu! Vela baru saja melihat Mbak Elsa mencium pipi Bian, Ma! Bukankah itu sangat keterlaluan! Dia bilang, mereka sudah berpacaran secara resmi! Padahal sudah jelas, Bian adalah calon suamiku kan, Ma? Mama harus melakukan sesuatu dong, Ma.”Sampai di rumah, Vela langsung mengadu pada Nani. Perasaan di dalam hatinya merongrong tak mau menerima apa yang baru saja dilihat oleh mata kepalanya sendiri.“Apa, Vel! Kamu nggak salah lihat kan? Beraninya anak pungut itu melampaui batasnya! Sudah bikin malu gara-gara membatalkan pernikahan, sekarang malah bikin ulah lainnya. Anak itu seharusnya tetap dikurung di kamarnya biar nggak bikin orang jadi naik darah!”Kedua mata Nani melotot hampir keluar. Urat di lehernya tampak jelas tergambar. Anak dan ibu itu terbakar amarah yang maha dahsyat sebab sikap Elsa yang sebelumnya tak pernah diduga.“Mama harus melakukan sesuatu, Ma. Pisahkan mereka. Jangan sampai Mbak Elsa merebut Bian dariku. Aku suka sama Bian, Ma. Dia harus menikah dengank
“Apa, Bi? Kamu barusan ngomong apa? Mengantarku?” tegas Elsa.Kebersamaan yang dilakukan beberapa jam itu, ditambah main game bersama, Elsa tanpa sadar telah terbiasa memanggil Bian seperti seorang teman. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bian.“Iya! Kita kan sudah sepakat. Lakukan perjanjian itu mulai sekarang bukan? Mungkin saja kamu membutuhkan bantuanku nanti.”Kedua alis Bian naik-turun. Senyum mengembang di bibirnya. Sengaja dilakukan, karena Bian memang pada dasarnya orang yang suka bercanda dan iseng.Entah mengapa, aku suka berlama-lama sama gadis ini. Dia membuatku merasa bersemangat. Di dalam hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Aku juga bingung, kenapa perasaan aneh itu bisa muncul? Degupan jantungku pun terkadang tak bisa terkontrol gara-gara sikapnya.“Bukankah kamu juga harus pulang? Video itu sudah viral. Nggak mungkin kalau kamu malah mengantarku pulang.”“Udah viral kan? Ya udah. Malah membantu rencana kita kan? Pernikahan kita bisa dipercepat?” Bian mengerlingkan mata
“Bi—bian?” Seketika, Nani menoleh sambil tergagap melihat calon menantu untuk anak kandungnya itu.“Iya, Tante. Ini saya. Apakah Tante sangat terkejut? Lepaskan tangan Elsa, Tan. Tolong.”Bian berjalan mendekati Elsa. Secara sengaja pula, laki-laki berpangkat direktur muda itu memohon pada Nani untuk menuruti kemauannya.Sontak, wajah Nani berubah pias. Ada ketakutan sendiri karena kata-kata yang tadi lantang terdengar. Sudah pasti, Bian mendengarkan segalanya.Dengan terpaksa, Nani menuruti perintah Bian. Tangannya yang mencengkeram erat, bahkan tangan Elsa merasa panas, sudah dilepaskan.“Mas Bian, silakan masuk.” Nani berubah ramah.“Iya, silakan masuk. Kita bicarakan di dalam saja, biar enak.” Handi ikut saja sungkan gara-gara ucapan istrinya.Bagaimanapun, hotel yang sedang dikelola olehnya, sangat membutuhkan suntikan dana. Sudah dibantu dengan sumber dana dari hotel yang Elsa kelola, masih saja belum bisa membuatnya stabil.Sedangkan Elsa, sengaja menyimpan keuntungan yang lain
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek