“Apakah kamu punya informasi pribadi tentang Bian Abimana? Saat ini aku membutuhkannya.”
Elsa dan Rendi baru keluar dari ruangan tempat Wicaksono dirawat. Tanpa mengulur waktu, Elsa segera memulai rencananya untuk bertemu empat mata dengan Bian.“Memangnya kenapa, Mbak?” Bagaimanapun info yang Rendi miliki tidak boleh tersebar secara sembarangan meski pada Elsa sekalipun.“Aku sangat membutuhkannya. Bisakah kamu membantuku? Kalau kamu mau mengetahui cerita selengkapnya, ayo, kita cari tempat yang lebih nyaman. Aku harap, kamu bisa membantuku. Terima kasih juga sudah mau merawat Kakek selama ini. Setelah nanti Kakek dipindahkan, tolong jaga kerahasiaannya dari siapa saja.”“Iya, saya akan mendengarkan alasan Anda terlebih dulu. Tentang Direktur Utama, itu memang sudah menjadi tugas saya.”Elsa tak menjawab lagi, hanya anggukan dan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Mereka berjalan beriringan menuju ke tempat yang lebih nyaman.Suasana di sebuah kafe tampak ramai. Elsa dan Rendi sudah duduk di salah satu meja yang ada di sana.“Nah, gitu ceritanya. Aku hanya ingin keadilan untuk diriku sendiri. Meski terkesan caranya salah, tapi aku berusaha untuk berhati-hati. Seperti Kakek yang tiba-tiba memberi kabar mengejutkan tentang identitas asliku, aku juga akan melakukan hal yang sama pada Vela. Bagaimanapun saat dilihat-lihat dengan teliti, kemiripan Vela dengan Ayah bagiku hampir tidak ada. Pantas dicurigai bukan?”Mau tidak mau, Elsa harus jujur pada asisten pribadi kakeknya. Dia orang yang gampang menggali informasi, entah dari mana didapatnya, tapi laki-laki itu sering mendapat misi rahasia dan berhasil melaksanakannya.“Ya, saya memahami maksud Anda. Kemungkinan kecil bisa saja menjadi sebuah hasil yang besar kalau serius saat mengerjakannya.”Elsa mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Senyumnya tersimpul tipis. Ia senang, Rendi bisa memahami keinginannya.“Jadi, kamu mau membantuku memberikan informasi terkait Bian Abimana kan?” tegas Elsa untuk mendapat jawaban pasti.“Iya, Mbak. Saya akan memberikan informasinya.”“Bisa sekarang?”“Baik. Akan saya kirim lewat email.”Rendi mengambil laptop yang tersimpan di dalam tas. Ia bekerja dengan sangat baik. Cekatan dan sangat teliti.Notifikasi berbunyi. Sudah ada pesan masuk lewat email. Elsa segera membukanya dan memindai setiap kalimat yang tertulis dalam email tersebut.“Informasi yang sangat berguna. Cukup lengkap. Aku sangat berterima kasih.”Tatapan Elsa tertuju pada kedua manik mata laki-laki yang duduk di hadapannya. Bibirnya tersenyum menandakan kalau dia merasa senang sekaligus puas.“Iya, Mbak. Semoga rencana Anda bisa terlaksana dengan lancar. Ayo, saya antar Anda pulang.”Rendi bekerja begitu serius. Wajahnya pun terlihat datar seperti tak punya perasaan. Entah memang tuntutan pekerjaan, atau sikap Rendi yang memang dingin. Senyum di bibirnya jarang terlihat atau bahkan tak pernah dilakukan.Elsa melihat jam pada pergelangan tangannya. Kemudian, ia melihat Rendi lagi sambil tersenyum. Isi di dalam kepalanya sedang memikirkan sebuah rencana sebelum pulang lagi ke tempat yang bagai neraka.“Mumpung masih siang, aku berencana untuk bertemu dengan Bian. Mungkin saja dia bisa diajak untuk sekadar makan. Kamu boleh kembali pada Kakek dan segera mengurus kepindahan Kakek dari rumah sakit itu.”“Tapi, Mbak. Apa tidak bahaya? Bukankah tadi Anda dilarang untuk pergi?” Meski raut wajah yang selalu datar, Rendi bisa menunjukkan sisi perhatiannya lewat kata-kata.“Kamu jangan khawatir. Aku bisa mengurusnya kok.”“Anda mau pergi pakai apa?”“Mungkin kendaraan online.”Rendi tiba-tiba merogoh saku celananya. Lalu, ia meletakan kunci mobil di atas meja tepat di hadapan Elsa.“Anda pakai ini saja. Saya bisa menyuruh orang lain untuk menjemput saya di sini. Setelah urusan Anda selesai, Anda bisa datang ke rumah Direktur Utama untuk mengembalikan mobil itu agar Anda tidak kena marah lagi.”Elsa tersenyum mendengar perhatian yang secara tidak langsung Rendi lakukan. Orang sedingin Rendi, ternyata bisa menunjukkan sisi semacam itu di hadapan Elsa.“Iya, sekali lagi terima kasih. Aku selalu merepotkanmu.”“Tidak masalah, Mbak. Saya harus pergi dulu. Hati-hati saat melakukan rencana Anda. Permisi.”Rendi bangkit dari tempat duduknya, lantas kedua kakinya berayun bergantian untuk meninggalkan Elsa yang masih betah duduk di kafe itu.“Nah, ayo, kita mulai rencana untuk merebut Bian Abimana dari tangan Vela dan menggagalkan perjodohan itu.”Jemari lentik milik gadis berwajah cantik itu menari-nari di layar ponsel. Informasi yang baru saja didapat, memuat kontak yang bisa dihubungi secara pribadi. Elsa sedang melakukannya.“Selamat siang. Perkenalkan, saya Elsa Wicaksono pengelola Hotel Tulip ingin menawarkan kerja sama dengan Direktur PT. BA Snack Tbk, Tuan Bian Abimana, apakah Anda berkenan untuk membuat janji dengan saya? Saya harap, Anda tidak menolaknya. Saya tunggu paling lambat satu jam dari sekarang di Restoran Laria. Ini sangat penting. Mohon direspons secepatnya.”Isi pesan itu pada akhirnya dibumbui oleh paksaan. Kalimat yang baik di awal. Namun, akhir kalimatnya sangat meresahkan.“Dengan ini, aku harap dia peka dan datang tanpa drama penolakan.”Sambil berbicara sendiri, Elsa menekan tombol kirim pada layar ponselnya. Kalimat paksaan yang cukup panjang itu telah masuk ke nomor WA pribadi Bian Abimana. Sudah bercentang dua pula. Tinggal menunggu dibuka.Elsa kembali membuka email data diri dari Bian yang tadi dikirim oleh Rendi.“Ternyata, sekelas direktur punya rumor semacam ini. Diduga tidak menyukai lawan jenis. Menarik juga. Tapi, ada gosip lain yang menyebut kalau dia suka memainkan perasaan orang yang menyukainya. Jadi, dia seorang laki-laki playboy atau penyuka sesama jenis sebenarnya? Atau malah keduanya. Aku harus berhati-hati. Bisa-bisanya Ayah menjodohkan Vela pada pria semacam ini. Hanya demi bisnis, semua bisa terjadi. Vela juga, kenapa tidak menolak perjodohannya? Sudah ada benih cinta rupanya. Aku jadi semakin bersemangat untuk merebutnya.”Matanya sibuk memindai isi email yang tadi sudah dibaca, sedangkan mulut Elsa bergumam tentang sesuatu yang terlintas di kepalanya.Notifikasi berbunyi. Dalam beberapa menit, Bian menjawab pesan yang Elsa kirim. Mengetahuinya, Elsa kegirangan.“Wah, apa ini? Anda bertujuan mengajak untuk bekerja sama atau malah memaksaku menuruti kemauan Anda?”Jawaban yang diharapkan Elsa nyatanya tak semulus itu. Tentu saja akan ada drama. Apalagi Bian memang orangnya keras kepala. Tidak suka dikekang dan dipaksa untuk melakukan sesuatu hal.“Iya, keduanya. Jadi, temui saya di Restoran Laria. Saya akan datang ke sana sekarang.” Elsa malah semakin memaksa.“Hei! Aku nggak mau! Bukan seperti ini meminta orang untuk bekerja sama. Apalagi denganku.”“Bukankah Anda akan dinikahkan dengan Vela? Saya punya banyak informasi tentangnya. Anda rugi kalau tidak mengetahui kebenarannya sekarang. Atau malah Anda memang sudah cinta mati dengannya dan menerima perjodohan itu dengan suka rela?”Meski saat menulisnya Elsa sedikit ragu dan aliran darah di tubuhnya terasa menghangat karena takut mendapatkan jawaban yang tidak diharapkan, akhirnya ia tetap mengirimkan kalimat tersebut. Harapannya tentu saja Bian merasa tersinggung dan dia tak suka dengan perjodohan itu.“Ayo, kita bertemu sekarang. Kita harus berbicara empat mata dengan serius. Apa maumu sebenarnya?”Bibir Elsa seketika mengembang kala membaca jawaban dari Bian yang sesuai dengan harapan.“Bagus. Aku harap, untuk ke depannya tidak ada kendala yang bisa bikin kepalaku jadi pusing. Ayo, tawarkan kesepakatan untuk saling menguntungkan. Kamu bisa Elsa!”Gadis itu menyemangati dirinya sendiri, lantas bangkit dan pergi meninggalkan kafe menuju ke tempat makan lain. Tempat di mana awal berjumpanya dua orang laki-laki dan perempuan yang nantinya akan memiliki perasaan khusus yang tidak diduga sama sekali.“Kamu bagaimana sih, Mas? Kenapa Mbak Elsa bisa membatalkan pernikahan kalian begitu saja? Apa kalian ada masalah? Kamu bikin dia marah kan, Mas?”Di Restoran Laria sudah ada Vela dan Rio. Sejak tadi, percakapan mereka dipenuhi emosi. Terlebih Vela yang banyak mencecar tuduhan demi tuduhan pada Rio.“Kamu ini, kenapa ikut saja menyalahkanku? Sayang, aku nggak tahu alasan Elsa membatalkan pernikahannya. Tiba-tiba saja dia melakukannya. Nggak ada masalah sama sekali sebelumnya. Kamu lihat kemarin kan, setelah mencoba gaun, kami baik-baik saja? Seharinya malah Elsa melakukan tindakan tak terduga sama sekali,” bela Rio.“Harusnya, kamu bisa mencegahnya, Mas.” Kemarahan tampak jelas di wajah Vela.“Bagaimana caranya? Elsa sudah lebih dulu bertindak. Dari gaun sampai masalah KUA sudah dibatalkan secara sepihak oleh Elsa, Sayang. Maafkan aku.”Rio bermaksud meraih tangan Vela yang tergelatak di meja, tetapi detik yang sama ditepis oleh Vela.“Sayang, apa lebih baik kita berkata jujur di hada
“Apa yang kamu lakukan?” Bian sangat terkejut hingga tubuhnya seakan membeku.“Diamlah. Saya hanya menempelkan sedikit bibir saya yang sangat berharga ke pipi Anda. Jangan salah paham. Karena di dekat sana ada Vela dan mantan calon suamiku yang sedang melihat kita. Bukankah Anda setuju dengan syarat saya tadi?” bisik Elsa tepat di dekat telinga Bian setelah melepas kecupannya.“Mbak Elsa! Apa yang kamu lakukan!” pekik Vela sambil berjalan tergesa makin mendekat.“Eh! Kenapa kamu ada di sini, Vel. Em ... tentang ini ....” Elsa berpura-pura mengalihkan fokusnya ke arah Rio. “Oh, kenapa kamu bersama Mas Rio? Akhirnya kamu mau memungutnya ya, Vel? Menurutmu kan, Mas Rio laki-laki yang sangat baik. Pantas sih, kamu mau menerimanya yang mungkin sedang patah hati gara-gara aku.” Justru Elsa sengaja membuat Vela makin meradang.“Mbak! Bukan itu yang harusnya dibahas, tapi harusnya tentang perbuatanmu tadi. Kamu nggak malu, Mbak? Di tempat umum seperti ini? Dengan calon suamiku?”Elsa berhasil
“Ma! Mama tahu! Vela baru saja melihat Mbak Elsa mencium pipi Bian, Ma! Bukankah itu sangat keterlaluan! Dia bilang, mereka sudah berpacaran secara resmi! Padahal sudah jelas, Bian adalah calon suamiku kan, Ma? Mama harus melakukan sesuatu dong, Ma.”Sampai di rumah, Vela langsung mengadu pada Nani. Perasaan di dalam hatinya merongrong tak mau menerima apa yang baru saja dilihat oleh mata kepalanya sendiri.“Apa, Vel! Kamu nggak salah lihat kan? Beraninya anak pungut itu melampaui batasnya! Sudah bikin malu gara-gara membatalkan pernikahan, sekarang malah bikin ulah lainnya. Anak itu seharusnya tetap dikurung di kamarnya biar nggak bikin orang jadi naik darah!”Kedua mata Nani melotot hampir keluar. Urat di lehernya tampak jelas tergambar. Anak dan ibu itu terbakar amarah yang maha dahsyat sebab sikap Elsa yang sebelumnya tak pernah diduga.“Mama harus melakukan sesuatu, Ma. Pisahkan mereka. Jangan sampai Mbak Elsa merebut Bian dariku. Aku suka sama Bian, Ma. Dia harus menikah dengank
“Apa, Bi? Kamu barusan ngomong apa? Mengantarku?” tegas Elsa.Kebersamaan yang dilakukan beberapa jam itu, ditambah main game bersama, Elsa tanpa sadar telah terbiasa memanggil Bian seperti seorang teman. Hal yang sama pun dilakukan oleh Bian.“Iya! Kita kan sudah sepakat. Lakukan perjanjian itu mulai sekarang bukan? Mungkin saja kamu membutuhkan bantuanku nanti.”Kedua alis Bian naik-turun. Senyum mengembang di bibirnya. Sengaja dilakukan, karena Bian memang pada dasarnya orang yang suka bercanda dan iseng.Entah mengapa, aku suka berlama-lama sama gadis ini. Dia membuatku merasa bersemangat. Di dalam hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Aku juga bingung, kenapa perasaan aneh itu bisa muncul? Degupan jantungku pun terkadang tak bisa terkontrol gara-gara sikapnya.“Bukankah kamu juga harus pulang? Video itu sudah viral. Nggak mungkin kalau kamu malah mengantarku pulang.”“Udah viral kan? Ya udah. Malah membantu rencana kita kan? Pernikahan kita bisa dipercepat?” Bian mengerlingkan mata
“Bi—bian?” Seketika, Nani menoleh sambil tergagap melihat calon menantu untuk anak kandungnya itu.“Iya, Tante. Ini saya. Apakah Tante sangat terkejut? Lepaskan tangan Elsa, Tan. Tolong.”Bian berjalan mendekati Elsa. Secara sengaja pula, laki-laki berpangkat direktur muda itu memohon pada Nani untuk menuruti kemauannya.Sontak, wajah Nani berubah pias. Ada ketakutan sendiri karena kata-kata yang tadi lantang terdengar. Sudah pasti, Bian mendengarkan segalanya.Dengan terpaksa, Nani menuruti perintah Bian. Tangannya yang mencengkeram erat, bahkan tangan Elsa merasa panas, sudah dilepaskan.“Mas Bian, silakan masuk.” Nani berubah ramah.“Iya, silakan masuk. Kita bicarakan di dalam saja, biar enak.” Handi ikut saja sungkan gara-gara ucapan istrinya.Bagaimanapun, hotel yang sedang dikelola olehnya, sangat membutuhkan suntikan dana. Sudah dibantu dengan sumber dana dari hotel yang Elsa kelola, masih saja belum bisa membuatnya stabil.Sedangkan Elsa, sengaja menyimpan keuntungan yang lain
“Bukan begitu, Sayang. Kamu harus bersabar dulu. Nggak bisa bertindak gegabah, Sayang. Yang penting, untuk sekarang, kamu sudah kunikahi meski secara siri. Artinya, aku bertanggung jawab atas anak yang kamu kandung. Tinggal menunggu waktu yang tepat, aku akan meresmikan pernikahan kita, Sayang. Kamu harus bersabar, ya.” Handi berusaha menasihati istri sirinya itu.“Mau sampai kapan, Mas? Kamu saja takut sama Wulan, bagaimana bisa merealisasikan perkataanmu tadi? Apa susahnya menceraikan Wulan sih, Mas? Kamu mencintaiku kan?” Perkataan Nani diliputi rasa iri.“Aku mencintaimu, Sayang. Tapi, aku juga mencintai Wulan. Apalagi dia menantu yang paling Ayah sayang. Aku nggak mungkin menceraikannya sesuka hatiku, Sayang. Ayah dan semuanya pasti akan membuangku. Kamu nggak mau semua itu terjadi kan?”Perasaan Handi diliputi perasaan cemas. Dia pikir gampang mempunyai dua istri dalam waktu bersamaan. Ternyata, semua tak seindah bayangan. Akan ada rasa iri dan dengki yang selalu memancing sebua
“Wah, pagi-pagi, Mama sudah menggedor pintuku hanya untuk mengusik pendengaranku?” tanya Elsa sambil mengernyitkan kening.Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Elsa secara tiba-tiba.“Nggak sopan kamu ya! Sekarang sudah berani membantah perkataan Mama! Ingat Elsa! Kamu hanya anak pungut! Ayah terpaksa mengambilmu dari panti asuhan hanya untuk menemukan istrinya yang nggak tahu diri! Kamu itu bukan siapa-siapa di sini, Elsa!”Ada yang berdenyut di dada Elsa. Kini, Nani sengaja menjelekkan istri pertama Handi yang diketahui adalah ibu kandung Elsa.Apakah Nani memang sejak dulu sudah membenci Wulan? Hingga ia mengatakan kalau istri pertama Handi sebagai wanita yang tidak tahu diri?“Iya, Mbak. Lebih baik, kamu batalkan semua rencana pernikahanmu dengan Bian kalau hidupmu masih ingin tenang dan dianggap sebagai bagian keluarga ini.” Vela berucap menambah amarah di dalam hati.“Apakah Ayah akan setuju? Bukankah dia harus meminta persetujuan pada Kakek untuk bisa membuangku? Dan tentang t
Mobil yang dikendarai Bian memasuki halaman rumahnya. Laki-laki itu memutuskan untuk pulang dan siap menerima konsekuensinya. Dia juga akan meneruskan perjanjian yang sudah disepakati. Caranya tentu saja dengan memberitahukan niatnya untuk menikahi Elsa pada orang tuanya secara langsung.“Mudah-mudahan, udah pada tidur,” gumam Bian sembari turun dari mobil.Keadaan rumah sudah sepi. Orang-orang sudah beristirahat di kamarnya masing-masing. Untuk sementara, Bian selamat dari omelan orang tuanya.***“Bian! Jam berapa kamu pulang? Mama sampai pusing gara-gara tindakanmu!”Setelah sarapan, Bian menanti perkataan-perkataan yang akan menghujaninya. Pasti akan ada ucapan yang akan menghunus perasaannya. Terutama perkataan yang akan terlontar dari lisan Erwin. Membandingkan. Itu sudah menjadi hal biasa yang akan dilakukan.“Sampai rumah hampir sekitar tengah malam, Ma,” jawab Bian.Laras menghela napasnya. Pagi-pagi sudah harus memendam emosi dan berdebat dengan anaknya.“Sudah puas main-mai
“Bebaskan aku! Aku nggak bersalah! Mas Aryo yang menyuruhku selama ini! Dia yang awalnya punya rencana busuk itu. Aku nggak bersalah!”Nani histeris kala hakim telah memvonis hukuman penjara selama beberapa tahun kepadanya.“Mas Aryo yang jahat! Dia yang bersalah! Bukan aku!” ulang Nani dengan suara yang masih lantang.“Kita sama-sama berbuat kejahatan. Kita yang merencanakan semuanya! Bukan hanya aku!” balas Aryo tak mau disalahkan.“Diam kamu! Aku nggak mau di penjara!” hardik Nani.“Kita sama-sama salah! Jangan limpahkan semua kesalahan kepadaku! Brengsek!” Aryo kesal karena Nani selalu menyalahkannya.“Tolong diam semuanya! Keputusan sudah ditentukan! Tidak ada gunanya kalian bertengkar seperti sekarang! Silakan bawa tersangka ke dalam sel yang telah disediakan.”Kemarahan Nani tak bisa dilampiaskan lagi karena memang telah mendapatkan keputusan dari pihak berwenang. Percuma saja meski dia marah hingga berteriak-teriak. Vonis itu akan tetap menimpa dirinya sebab perbuatan jahat ya
Kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nani dan Aryo sudah ditangani pihak berwenang. Nani diringkus oleh pihak kepolisian. Namun, Handi memohon untuk menunda kepergian mereka sampai Vela datang.“Yah! Sebenarnya ada apa? Kenapa Ayah datang bersama polisi yang akan menangkapku? Aku nggak melakukan apa-apa, Yah!” bela Nani wajahnya memucat. Ia duduk dengan tangan yang telah diborgol.“Kau selingkuh dengan Aryo kan? Kalau mengelak, hukumanmu akan tambah berat,” ancam Handi.Kata-kata Handi yang Nani dengar itu bagai dentuman bom yang meluluh-lantahkan perasaan di dalam hatinya. Ada ketakutan yang dirasakan di detik yang sama. Tak menyangka, semua yang telah ditutup rapat-rapat akan terkuak begitu saja.“A—apa maksudmu, Yah?” Ya, tentu Nani tak akan mengakuinya dengan mudah meski nasibnya sudah di ujung tanduk.“Kau mendorong Pak Umar dari atas tangga gara-gara dia melihatmu sedang bermesraan dengan Aryo kan? Akui saja Nani.”Nani hanya menggelengkan kepalanya. Ia ingin menyangkal lagi, tet
Sehari setelah Wulan menyampaikan alasannya kepada orang-orang dari masa lalunya, menjadikan hubungan itu kembali membaik. Penyesalan dari masing-masing orang bisa saling diterima dengan lapang dada. Mereka saling memaafkan dan memulai dengan hubungan yang lebih baik dari sebelumnya.Handi dan Wulan belum membicarakan lagi tentang hubungan pernikahan keduanya. Mereka ingin fokus pada kesembuhan Elsa terlebih dulu.Ketika sedang bercengkerama, ponsel Handi berbunyi. Ia mengambil benda itu. Di layar itu tertulis istriku. Ya, Nani orang yang menelepon Handi.Aku harus mengganti nama kontak ini. Dia wanita jahat dan licik. Aku akan menyudahi hubungan pernikahan kami. Tapi, sampai Elsa belum bisa dibawa pulang, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ini demi kelancaran rencanaku untuk menjebloskannya ke penjara.Handi menyingkir dari orang-orang. Kemudian, mengangkat telepon yang berasal dari istrinya.“Halo, Yah. Ayah mau pulang kapan? Jangan lama-lama. Aku sendirian di rumah.”Nan
Septi dan Wulan memasuki ruangan tempat Elsa terbaring tak berdaya. Orang-orang yang ada di ruangan itu, tentu menyambutnya dengan senyum yang lebar. Namun, kala menyadari kalau Wulan adalah orangnya, Wicaksono dan Elsa tercengang. Keduanya tak percaya kalau Wulan masih hidup dan sekarang berdiri di hadapan mereka.“Apa benar kamu Wulan?” tanya Wicaksono menghampiri wanita yang berdiri di sebelah Septi.Wulan mengangguk sambil menahan rasa khawatir. Lisannya bagai terkunci. Meski senang bisa berjumpa lagi dengan mertuanya, tetap ada rasa tidak nyaman yang menyeruak dari lubuk hati terdalam.“Kakek mengenalnya?” Laras tentu tak tahu apa-apa. Juga, suasana ruangan itu berubah canggung karena pertemuan mereka. Hingga Laras makin penasaran.Wicaksono malah terdiam. Pelan-pelan sorot matanya tertuju ke arah Elsa. Hatinya yang mendesir pun mengundang perasaan haru.“El, ternyata bundamu masih hidup. Apa yang kamu lihat, mungkin memang dia. Ini benar-benar keajaiban,” kata Wicaksono pada Els
“Pak, saya mau mengabarkan berita bahagia tentang Ayah saya. Beliau sudah mulai bisa berbicara. Ayah saya ingin mengatakan tentang kejadian saat beliau jatuh di tangga. Kalau berkenan, saya akan mengeraskan suara panggilan ini agar Anda bisa mendengarnya juga. Saya akan merekamnya sekalian sebagai bukti kalau seandainya nanti dibutuhkan.”Rendi menjelaskan tujuannya sebelum Umar mengatakan apa yang ia alami di masa lalu.“Oh, syukurlah kalau memang begitu. Loadspeaker saja, biar kami ikut mendengar,” jawab Handi, kini lebih menghargai Rendi.“Ayah saya masih terbata-bata saat berbicara, mohon pengertiannya kalau ucapannya sulit dipahami.” Rendi menjelaskan lagi secara spesifik tentang kondisi ayahnya.“Tidak masalah, Ren.”“Baik, Pak. Terima kasih.”Apa nantinya, kebusukan Mama Nani akan terbongkar? Menurut Elsa dari ceritanya dulu kan, Mama Nani orang yang sudah mendorong ayahnya Rendi. Kira-kira, apa sebabnya ya?Bian hanya diam saat Rendi mengatakan tujuannya. Ia masih menutupi rah
“Di mana bajingan itu, ha! Sudah diberi kepercayaan, tapi malah berniat membunuh Elsa? Apa alasan bajingan itu, ha! Pengkhianat!”Ketika Handi dan yang lain sudah sampai di rumah sakit tempat Aryo dirawat, ia tak bisa membendung emosinya lagi. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Aryo yang mungkin sedang terkulai tak berdaya di ranjang pesakitan.“Mari, Pak. Saya antar.” Salah satu bodyguard mempersilakan mereka untuk mengikutinya ke ruangan tempat Aryo dirawat.“Iya! Cepat antar aku ke sana!” jawab Handi makin geram sambil melangkahkan kakinya.Kemurkaan terlukis di wajahnya. Orang yang begitu dipercaya, ternyata menusuknya dari belakang. Apalagi Handi telah tahu siapa Elsa sebenarnya, kemarahan makin tak terbendung.Sampai di ruangan tempat Aryo dirawat, Handi menautkan alisnya seraya menatap tajam ke arah Aryo yang terbaring lemah. Orang itu telah sadar setelah tadi sempat pingsan.“Yo! Apa maksudmu! Kamu sengaja mencelakai Elsa? Kamu berniat membunuhnya, ha! Apa yang ada di pikiranmu
“Baiklah, aku akan mengikuti solusimu. Aku ingin melihatnya dalam kondisi baik-baik saja, Sep. Jangan sampai aku menyesali seumur hidup.”Wulan menghapus air matanya. Ia telah menentukan pilihan yang paling baik menurutnya.“Itu pilihan yang paling tepat, Lan. Aku akan langsung mencari tiket pesawat untuk pergi ke tempat mereka setelah mendapat jawaban dari Bu Laras. Kamu persiapkan segalanya. Bawa hasil tes DNA-nya siapa tahu dibutuhkan.”“Baiklah, aku pulang dulu.”“Hati-hati. Jangan terlalu mencemaskan kondisi Elsa. Dia pasti ditangani sebaik mungkin.”Wulan menganggukkan kepala. Kemudian, bangkit dari kursi dan perlahan pergi dari toko bunga itu.Kamu harus baik-baik saja. Kita belum bertemu, Sayang. Bertahanlah.Air mata kembali luruh kala Wulan mengingat kondisi Elsa yang membuatnya merasa ketakutan sendiri.***“Ayo, Sayang. Minum jus jeruknya ya? Kamu harus cepat sembuh,” ucap Handi. Di tangannya sudah ada segelas jus jeruk.Sikap Handi kini berubah 180 derajat dari sebelumnya
“Bi, kenapa kamu duduk di situ?” tanya Elsa meski suaranya lemah. Ia juga mendengar kalimat terakhir yang Bian katakan sambil mengecup tangannya.“Elsa! Kamu sudah sadar, Sayang?” Bian seketika bangkit kala mendengar suara lirih itu.Kedua mata lelaki itu makin berbinar. Ia senang bercampur haru. Tatapannya lekat melihat gadis yang dicintainya itu telah pulih dari masa kritisnya.Elsa hanya tersenyum. Bian begitu mengkhawatirkannya terlihat dari raut wajahnya saat ini. Elsa tak mengingat sama sekali apa saja yang terjadi setelah mobilnya mengalami kecelakaan.“Aku takut banget, Sayang. Aku takut kamu nggak sadar lagi. Aku nggak tahu lagi kalau seandainya kamu meninggalkanku untuk selamanya. Aku nggak bisa, Sayang.”Bian memeluk Elsa meski hati-hati. Air matanya pun tumpah lagi. Di hadapan Elsa, lelaki itu begitu lemah. Rasa cintanya memang tulus. Bukan sekadar omong kosong belaka.“Bi, aku kan masih bisa ngobrol sama kamu. Jangan ngomong begitu.”“Darahmu banyak yang hilang, Sayang. W
“Oh, salam kenal. Saya Zeta, adiknya Mas Bian. Sesuai penjelasan yang Mbak Elsa katakan, saya hanya ingin berterima kasih kepadamu karena sudah mau membantu Mas Bian. Walau melalui Mbak Elsa, tetap saja saya harus berterima kasih padamu,” ucap Zeta sambil mengulurkan tangan.“Salam kenal, saya Rendi. Tentang masalah itu, memang sudah tugas saya. Tidak perlu berterima kasih, tidak masalah.” Rendi menyambut uluran tangan itu.“Baiklah.” Zeta bingung harus berbicara apa lagi.“Ya sudah, saya harus kembali bekerja. Permisi.”“Iya, Ren. Terima kasih sudah mau datang sebentar ke sini,” kata Elsa.Rendi mengangguk seraya pergi.“Dia nggak pernah tersenyum ya, Mbak?” bisik Zeta.“Iya, dia sangat serius orangnya.”“Oh, pantas, pasti nggak asik.”“Tapi, dia baik banget, Ze.”Zeta hanya mangut-mangut. Sorot matanya masih tertuju ke arah perginya Rendi.“Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang,” ajak Bian.“Ya udah, ayo!”Bian dan Elsa berpamitan pada semua orang yang telah mengantarnya. Merek