Malam semakin larut, tetapi mata Anisa masih sulit terpejam. Ia menatap punggung Bagas yang tertidur dengan tenang di sampingnya. Hatinya penuh sesak. Ia ingin berbicara, ingin berteriak, ingin menangis. Tapi untuk apa? Bagas tetap tidak akan mendengarkan. Baginya, pernikahan ini adalah tentang bagaimana mereka bertahan, bukan tentang bagaimana ia merasa dihargai.
Anisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Pikirannya masih dipenuhi kejadian siang tadi. Ibu mertua yang terus meremehkan usahanya, Bagas yang hanya diam dan tidak membela, serta bayangan Rina yang selalu disebut-sebut sebagai perempuan yang lebih pantas untuk Bagas. Sampai kapan ia harus menelan semua ini dalam diam?
Esok paginya, Anisa bangun lebih awal seperti biasa. Ia pergi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Bagas. Sederhana saja, nasi goreng dan telur mata sapi, makanan kesukaan suaminya. Ia menaruh piring di atas meja, menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. Ia tak yakin apakah perhatian kecil seperti ini masih berarti bagi Bagas.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Bagas keluar dari kamar dengan wajah masih setengah mengantuk.
“Pagi,” sapanya sambil menarik kursi.
“Pagi, Mas,” jawab Anisa pelan.
Bagas mulai makan tanpa banyak bicara. Anisa duduk di seberangnya, memainkan jari-jarinya sendiri. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang sudah lama ia pendam.
“Mas…”
Bagas mendongak. “Hmm?”
“Kita bisa bicara sebentar?”
Bagas mengunyah makanannya perlahan, lalu meletakkan sendoknya. “Bicara soal apa?”
Anisa menatap suaminya dalam-dalam. “Aku merasa kita semakin jauh, Mas.”
Bagas mengernyit. “Maksudnya?”
“Aku merasa sendirian dalam pernikahan ini. Aku selalu dibandingkan, selalu diremehkan, dan Mas diam saja. Mas nggak pernah mencoba membelaku.”
Bagas menghela napas, wajahnya tampak sedikit lelah. “Nisa, kamu tahu kan bagaimana ibu? Kalau aku membela kamu, itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk.”
“Jadi lebih baik membiarkan aku dihina terus?”
Bagas terdiam. Anisa merasa dadanya semakin sesak. “Mas, aku nggak butuh Mas bertengkar dengan keluargamu. Aku cuma ingin Mas menunjukkan kalau Mas ada di pihakku. Kalau aku ini istri Mas, bukan sekadar seseorang yang kebetulan menikah dengan Mas.”
Bagas mengusap wajahnya. “Aku cuma nggak mau memperumit keadaan. Aku kira kamu sudah terbiasa.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Anisa. Terbiasa? Apakah ini yang diharapkan Bagas darinya? Bahwa ia harus menerima perlakuan buruk itu tanpa perlawanan?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Anisa bangkit dan masuk ke kamar. Ia menutup pintu, menahan tangis yang nyaris pecah. Hatinya sakit. Ia merasa semakin tidak berarti di rumah ini.
Hari itu, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Ia sibuk memasak dan mengemas pesanan untuk pelanggan. Namun, saat ia hendak mengantar pesanan ke kurir, notifikasi di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari salah satu temannya muncul.
“Nis, tadi aku lihat ibu mertuamu makan di restoran bareng Rina dan beberapa orang lain. Aku dengar mereka membicarakan kamu.”
Anisa menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin bertanya lebih lanjut, tetapi pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Apa lagi yang mereka katakan tentangnya?
Pikirannya semakin kacau saat ia pulang dan menemukan ibu mertuanya sedang duduk santai di ruang tamu bersama Bagas.
“Kamu pulang juga akhirnya,” ujar ibu mertuanya dengan nada sinis.
Anisa berusaha tersenyum. “Iya, Bu. Baru selesai kerja.”
“Kerja?” Wanita itu tertawa kecil. “Kamu menyebut jualan makanan online itu kerja?”
Anisa menggenggam tangannya erat, berusaha menahan emosinya.
“Kalau kamu mau bantu Bagas, ya cari pekerjaan yang lebih pantas. Masih banyak perusahaan besar yang bisa nerima kamu.”
“Bu, aku suka pekerjaanku,” jawab Anisa, suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh.
Ibu mertuanya mendengus. “Kamu ini keras kepala. Lihat Rina, dia kerja di perusahaan besar, punya penghasilan tinggi. Kalau Bagas sama dia, hidupnya pasti lebih enak.”
Kali ini, Anisa tidak bisa menahan tawa kecilnya. Ia menoleh ke arah Bagas yang sejak tadi diam saja. “Mas, kamu setuju dengan pendapat Ibu?”
Bagas tampak terkejut. “Aku…”
Anisa mengangkat tangannya, menghentikan Bagas sebelum ia bisa menjawab. “Sudahlah. Aku tahu jawabannya.”
Ia berbalik, masuk ke kamar, dan mengunci pintu. Tangannya gemetar. Ia merasa kepalanya pusing. Sampai kapan ia harus menghadapi ini sendirian?
Malam itu, ia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong. Ia lelah. Lelah menunggu Bagas membelanya, lelah berusaha diterima oleh keluarga yang tidak menginginkannya. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Apakah pernikahan ini masih layak untuk diperjuangkan?”
Pintu kamar terbuka. Bagas masuk dengan wajah canggung. “Nisa…”
Anisa tidak menoleh. Ia hanya menatap lurus ke depan. “Aku lelah, Mas.”
Bagas menelan ludah. “Aku tahu ini berat untuk kamu, tapi…”
“Tapi apa, Mas?”
Bagas tidak menjawab.
Anisa menutup matanya sejenak. Kemudian, ia berbalik dan menatap suaminya. “Mas, apa Mas pernah menyesali pernikahan ini?”
Bagas terkejut. “Apa maksudmu?”
“Apa Mas pernah berpikir kalau menikah denganku adalah sebuah kesalahan?”
Bagas terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bukan begitu, Nisa. Aku cuma…”
Anisa mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Ia tersenyum, tetapi senyuman itu dipenuhi kepahitan. Dalam hatinya, ia sudah menemukan jawaban yang ia cari.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini ia hindari—mungkin, melepaskan Bagas adalah satu-satunya cara agar ia bisa menemukan kembali dirinya sendiri.
Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin. Anisa melangkah keluar dari kamar dengan perasaan berat. Semalam, ia hampir tidak bisa tidur memikirkan perkataan ibu mertuanya. Selalu saja ada celaan untuknya. Selalu saja ia dibandingkan dengan Rina.Saat Anisa melangkah menuju dapur, ia mendengar suara ibu mertuanya dan adik-adik iparnya di ruang keluarga. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu dengan penuh emosi.“Aku nggak tahu, Bu, kenapa Mas Bagas tetap mempertahankan perempuan itu,” ujar salah satu adik iparnya, Nadya.“Iya, Bu. Padahal jelas-jelas Rina lebih baik. Anisa itu nggak ada apa-apanya dibanding Rina. Udah nggak punya karier jelas, bisnis makanannya juga biasa aja. Jauh dari standar keluarga kita,” timpal adik iparnya yang lain, Dita.Anisa yang mendengar itu mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali maju dan membela diri, tapi ia menahan diri. Ia ingin tahu sejauh mana mereka akan berbicara.“Kalian pikir Ibu nggak berusaha?” suara ibu mertuanya terdengar lebih keras.
Hari-hari setelah kejadian itu, suasana rumah tangga Anisa dan Bagas semakin memburuk. Anisa yang awalnya masih mencoba bertahan, kini mulai kehilangan kesabaran. Bagas tidak pernah benar-benar menegaskan batasan dengan Rina. Sekalipun ia membela Anisa di hadapan keluarganya, sikapnya yang terlalu lembut terhadap Rina membuat keadaan semakin rumit.Anisa semakin sering melihat interaksi kecil antara Bagas dan Rina. Memang, tidak ada yang terlalu mencolok, tetapi tetap saja membuat hatinya tak nyaman. Rina semakin sering muncul dalam kehidupan mereka, entah melalui pesan singkat atau kebetulan bertemu saat ada acara keluarga. Bahkan, beberapa kali ibu mertua Anisa sengaja mengundang Rina ke rumah dengan alasan ‘silaturahmi’.Suatu sore, Anisa sedang merapikan dapur saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu tahu nggak, suamimu tadi siang makan siang bareng Rina? Mesra banget kelihatannya. Hati-hati, ya.”Tangan Anisa menegang. Ia tidak langsung mempercaya
Sebelum semua kekacauan ini terjadi, sebelum ada Anisa dalam hidup Bagas, ada seseorang yang selalu ada di sisinya—Rina.Mereka bertemu saat masih duduk di bangku kuliah. Bagas, sebagai mahasiswa teknik yang sibuk, sering menghabiskan waktunya dengan Rina yang kala itu mengambil jurusan yang sama. Mereka berbagi banyak hal, mulai dari tugas kuliah, proyek penelitian, hingga mimpi-mimpi masa depan. Rina selalu merasa nyaman berada di sisi Bagas, dan perlahan, perasaan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.Namun, Rina tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Bagas adalah pria yang memiliki prinsip, dan Rina takut jika ia mengungkapkan isi hatinya, persahabatan mereka akan hancur. Maka, ia memilih diam, berharap bahwa suatu hari Bagas akan menyadari sendiri perasaannya.Hingga suatu hari, Anisa datang ke dalam kehidupan Bagas.Anisa adalah seorang mahasiswi bisnis yang ceria dan penuh semangat. Berbeda dengan Rina yang selalu serius dan berpikir logis
Sebelum badai ini datang, sebelum keraguan dan kesalahpahaman melukai hati mereka, Bagas dan Anisa pernah berbagi kisah cinta yang begitu manis. Perjalanan mereka penuh dengan tawa, harapan, dan janji-janji indah yang mereka ucapkan satu sama lain.Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah seminar kewirausahaan. Anisa yang penuh semangat datang untuk mencari inspirasi, sementara Bagas yang saat itu bekerja di salah satu perusahaan besar, datang sebagai peserta yang sekadar ingin mencari jaringan. Tanpa sengaja, mereka duduk bersebelahan.Saat sesi diskusi dimulai, Anisa dengan antusias mengutarakan pendapatnya tentang bagaimana usaha kecil harus berani berinovasi agar bisa bersaing dengan perusahaan besar. Bagas yang awalnya tidak begitu memperhatikan, tiba-tiba tertarik dengan cara Anisa berbicara. Ia begitu percaya diri, penuh optimisme, dan bersemangat.Ketika seminar berakhir, Bagas mendekati Anisa. "Kamu punya pemikiran yang menarik. Punya usaha sendiri?" tanyanya.Anisa terseny
Konflik dalam rumah tangga Bagas dan Anisa semakin memanas. Kesalahpahaman yang sebelumnya hanya berupa kecurigaan kini berkembang menjadi api yang membakar kepercayaan di antara mereka. Rina, yang semakin berani menunjukkan perasaannya, menjadi duri dalam daging yang memisahkan mereka perlahan-lahan.Suatu malam, saat Anisa sedang membereskan dapur setelah makan malam yang penuh kecanggungan, ponsel Bagas bergetar di meja makan. Sebuah pesan dari Rina muncul di layar: “Bagas, aku butuh bicara. Aku nggak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian.” Anisa yang melihatnya hanya bisa terdiam. Tangannya mengepal, hatinya terasa semakin remuk. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.Bagas yang baru keluar dari kamar mandi melihat Anisa menatap layar ponselnya. "Kamu baca chat aku?" tanyanya dengan nada kaget.Anisa mengangkat kepala, matanya penuh kemarahan yang selama ini ia pendam. "Aku harus baca, Bagas? Apa lagi yang harus aku tunggu?"Bagas menghela napas, mengambil ponselnya, dan memba
Bagas duduk termenung di ruang tamu rumah mereka yang kini terasa kosong. Anisa sudah pergi, membawa serta seluruh harapan yang pernah mereka bangun bersama. Perasaan bersalah menyesakkan dadanya, membuatnya sadar bahwa selama ini, ia telah lalai sebagai suami. Anisa telah memperingatkannya berkali-kali, tetapi ia tidak pernah benar-benar mendengarkan.Setelah beberapa saat dalam kebingungan, Bagas bergegas keluar rumah. Ia harus menemukan Anisa, harus bicara dengannya. Namun, setelah menanyakan ke beberapa teman dekat dan bahkan keluarganya sendiri, tak ada yang tahu ke mana Anisa pergi. Bagas mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali, tetapi selalu masuk ke kotak suara.Akhirnya, Bagas memutuskan untuk mendatangi rumah keluarga Anisa. Begitu sampai, ia disambut oleh Ardan, kakak Anisa, dengan tatapan dingin dan penuh kebencian."Apa yang kamu lakukan di sini, Bagas?" suara Ardan terdengar tajam."Aku ingin bertemu Anisa. Aku ingin bicara dengannya," jawab Bagas lirih.Ardan tertawa
Bagas merasa dunia seakan runtuh setelah Anisa benar-benar pergi dari rumah mereka. Setiap sudut rumah terasa hampa, sepi tanpa kehadiran istrinya. Ia mencoba menghubungi Anisa berkali-kali, tetapi tak ada satupun panggilan yang dijawab. Pesan yang ia kirim juga hanya berakhir dengan tanda centang tanpa balasan.Bagas akhirnya memberanikan diri untuk datang ke rumah keluarga Anisa. Namun, begitu ia sampai di depan gerbang rumah megah itu, seorang satpam langsung menghadangnya."Maaf, Mas Bagas. Saya diminta Pak Prasetyo untuk tidak mengizinkan Anda masuk," ujar satpam dengan nada sopan namun tegas.Bagas menghela napas panjang. Ia tahu, ini pasti ulah ayah Anisa."Pak Pras ada di rumah? Saya ingin bicara," ujar Bagas.Satpam itu tampak ragu, namun sebelum ia sempat menjawab, pintu rumah terbuka dan sosok tinggi tegap muncul dari dalam. Ardan, kakak Anisa, melangkah keluar dengan tatapan tajam."Pulang, Bagas. Kamu nggak punya tempat di sini," ucap Ardan dingin."Aku cuma mau bicara sa
Bagas mulai mendapatkan celah untuk kembali mendekati Anisa. Namun, ia tidak menyangka bahwa Rina masih memiliki rencana terakhir yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap. Rina tahu bahwa waktunya tidak banyak, jika ia tidak bertindak sekarang, maka Bagas akan kembali ke pelukan Anisa dan semua usahanya akan sia-sia.Sementara itu, Anisa yang selama ini hanya diam dan terluka, akhirnya mulai menemukan bukti tentang kebusukan Rina. Ia mengetahui bahwa Rina-lah dalang di balik semua kesalahpahaman yang terjadi di rumah tangganya. Tidak hanya itu, Anisa juga menemukan bahwa Rina memiliki akun media sosial rahasia yang digunakannya untuk menjelek-jelekkan keluarga mertua Anisa, termasuk ipar-iparnya sendiri.Dengan bukti yang ia kumpulkan, Anisa menyusun rencana balas dendam. Ia tidak akan tinggal diam lagi. Kali ini, ia akan membuktikan bahwa dirinya bukan wanita lemah yang bisa diinjak-injak.Di sisi lain, Bagas mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Rina. Rina semakin agresif da
Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert
Setelah melewati berbagai badai, ternyata perpisahanlah yang justru membuat mereka saling menemukan kembali. Mereka akhirnya menyadari, bahwa hidup tanpa satu sama lain hanyalah kehampaan yang menyakitkan.Bagas menyadari betapa sikapnya dahulu sangat pengecut—membiarkan kesalahpahaman terus tumbuh hingga merusak rumah tangga mereka. Namun, penyesalan itu kini telah ditebus dengan ketulusan dan usaha nyata.Sejak mereka kembali bersama, Bagas tak lagi membiarkan kesalahan yang sama terulang. Ia belajar untuk lebih banyak berkomunikasi, lebih berinisiatif dalam mengurus rumah tangga, dan yang terpenting—lebih peka terhadap perasaan Anisa.Kini, ia tidak hanya menjadi suami, tetapi juga sahabat dan partner sejati bagi Anisa. Karena bagi Bagas, cinta sejati bukan hanya tentang bersama saat bahagia, tetapi juga tentang memperjuangkan satu sama lain saat segalanya terasa tak mudah.Satu tahun telah berlalu sejak Bagas dan Anisa memulai kembali kehidupan rumah tangga mereka. Kini, rumah kec
Setelah melewati begitu banyak rintangan, akhirnya Bagas dan Anisa mendapatkan restu dari keluarga Anisa. Perjuangan panjang mereka terbayar ketika pada suatu hari yang penuh kebahagiaan, mereka mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan sederhana namun penuh makna. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun pengantin yang berlebihan, hanya mereka, keluarga, dan sahabat terdekat yang hadir untuk menyaksikan perayaan cinta mereka.Malam pertama setelah pernikahan, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Anisa yang terbiasa dengan kehidupan mewah awalnya merasa canggung dengan kondisi sederhana ini, tetapi senyum dan pelukan hangat Bagas membuatnya merasa tenang."Maaf ya, Nis. Aku belum bisa memberimu rumah yang besar dan mewah seperti rumah orang tuamu," ujar Bagas dengan nada sedikit bersalah.Anisa tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena harta. Selama kita bersama, semua itu tidak masalah."Sejak saat
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, Rina semakin menjauh dari kehidupan Bagas. Ia tidak lagi sesering dulu menghubungi atau menemani Bagas seperti sebelumnya. Setiap kali melihat Bagas dan Anisa bersama, hatinya terasa semakin sakit. Ia tahu bahwa ia harus merelakan perasaannya, tetapi semakin ia mencoba, semakin perih luka yang ia rasakan.Di sisi lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin dalam. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi impian, dan merancang masa depan mereka. Bagas yang dulu dikenal sebagai pria cuek, kini berubah menjadi sosok yang penuh perhatian. Ia tak segan mengantar dan menjemput Anisa kuliah, membawakan makanan saat Anisa sibuk dengan tugasnya, dan selalu memastikan bahwa gadis itu merasa bahagia di sampingnya.Namun, kebahagiaan mereka tidak serta-merta tanpa rintangan.Suatu hari, setelah mereka menyelesaikan skripsi dan bersiap untuk wisuda, Bagas mengungkapkan niatnya untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius."Nis, aku in
Sebelum kehadiran Anisa dalam hidup Bagas, ada satu sosok yang selalu berada di sisinya: Rina. Mereka telah bersahabat sejak tahun pertama kuliah, melalui berbagai suka dan duka bersama. Rina adalah orang yang selalu memahami Bagas lebih dari siapa pun. Ia adalah tempat Bagas berbagi cerita, tempatnya bersandar ketika dunia terasa terlalu berat.Mereka pertama kali bertemu saat ospek fakultas. Bagas, yang dikenal pendiam dan tidak banyak bergaul, duduk di sudut ruangan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sementara itu, Rina adalah gadis yang ceria dan penuh semangat. Ia tidak suka melihat orang sendirian, apalagi di lingkungan baru seperti ini."Hey, boleh aku duduk di sini?" tanya Rina, tanpa menunggu jawaban langsung duduk di samping Bagas.Bagas hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada ponselnya. Rina tidak menyerah begitu saja. Ia terus berbicara, mulai dari menanyakan jurusan Bagas, asal kota, hingga hal-hal kecil seperti makanan favoritnya. Meskipun Bagas awalnya cuek, lama-lama
Setelah mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin erat. Bagas yang dulunya pendiam dan tidak terlalu peka terhadap hal-hal romantis, perlahan berubah menjadi sosok yang sangat perhatian terhadap Anisa. Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan julukan 'bucin' dari teman-temannya karena tingkah lakunya yang selalu berusaha menyenangkan Anisa.Suatu hari, saat Bagas sedang sibuk dengan tugas kuliahnya di kantin, Anisa datang menghampirinya dengan senyum ceria."Gas, aku lapar," rengek Anisa sambil menarik kursi di hadapan Bagas.Bagas langsung menutup laptopnya dan menatap Anisa dengan penuh perhatian. "Mau makan apa? Aku beliin deh."Anisa tertawa kecil. "Nggak usah repot-repot, aku bisa beli sendiri kok.""Nggak boleh. Pacar aku nggak boleh kelaparan," kata Bagas sambil berdiri dan langsung menuju stand makanan untuk membelikan Anisa makanan favoritnya.Tak lama kemudian, Bagas kembali dengan sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Anisa mena
Bagas masih berjuang mati-matian untuk memperbaiki kesalahannya, tetapi jalan yang ia tempuh tidaklah mudah. Keluarga Anisa, terutama ayah dan kakaknya, tetap menjadi tembok besar yang menghalanginya untuk bertemu dengan istrinya. Sejak Anisa pergi dari rumah, ia benar-benar kehilangan separuh jiwanya. Bagas sudah mencoba berbagai cara untuk membujuk Anisa agar mau berbicara dengannya, tetapi semuanya sia-sia. Setiap kali ia datang ke rumah keluarga Anisa, ia selalu diusir.“Kamu pikir semudah itu? Setelah semua yang kamu lakukan ke Anisa?” kata Ardan dingin, berdiri tegap di depan pintu rumah orang tuanya.“Aku tahu aku salah, Dan. Aku tahu aku bodoh. Aku cuma mau bicara sama Anisa,” pinta Bagas dengan nada putus asa.“Anisa sudah cukup menderita. Pergilah, Bagas.”Bagas hanya bisa menggertakkan giginya dan pergi dengan langkah berat. Ia sadar, kepercayaan yang hancur tidak bisa diperbaiki dalam semalam.Sementara itu, Rina yang merasa posisinya mulai terancam mulai merancang strateg
Dulu, sebelum badai konflik dan perpisahan menghampiri, sebelum mereka diuji dengan berbagai cobaan yang hampir merenggut segalanya, ada masa di mana Bagas dan Anisa hanyalah dua mahasiswa yang sedang meniti mimpi. Takdir mempertemukan mereka di sebuah kampus ternama di Jakarta, dalam suasana yang penuh dengan semangat muda dan ambisi.Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan kampus. Bagas, mahasiswa teknik yang lebih sering bergelut dengan buku-buku perhitungan, sedang sibuk mencari referensi untuk tugasnya. Anisa, mahasiswa jurusan bisnis yang ceria dan penuh semangat, juga sedang mencari bahan bacaan untuk makalahnya. Saat itu, tanpa sengaja, mereka meraih buku yang sama."Eh, maaf!" ujar Anisa sambil tersenyum, menarik tangannya kembali.Bagas yang sedikit kaku hanya mengangguk. "Kamu mau ambil ini duluan?"Anisa tertawa kecil. "Kamu butuh untuk tugasmu, kan? Aku juga. Gimana kalau kita baca bareng aja? Kita bisa saling berbagi catatan."Bagas mengernyit, tak menyangka ada
Kini, kehidupan Bagas dan Anisa dipenuhi kebahagiaan bersama anak-anak mereka. Hari-hari mereka diisi dengan tawa, kehangatan, dan cinta yang semakin kuat. Bagas menjadi seorang ayah yang penuh perhatian, selalu membantu Anisa dalam mengurus anak-anak mereka.Suatu hari, mereka sekeluarga pergi berlibur ke pantai. Anak-anak mereka berlari-lari di pasir, sementara Bagas dan Anisa duduk di bawah payung, menikmati pemandangan laut."Dulu, aku tidak pernah membayangkan kita bisa sebahagia ini," ujar Anisa sambil tersenyum.Bagas meraih tangan Anisa. "Aku juga. Aku bersyukur kita diberi kesempatan kedua. Aku janji akan selalu menjagamu dan anak-anak kita."Malam itu, setelah anak-anak mereka tertidur, Anisa dan Bagas duduk di balkon rumah mereka, menikmati secangkir teh hangat. Bagas memeluk Anisa erat, mencium keningnya dengan penuh kasih."Terima kasih telah bertahan denganku," bisik Bagas.Anisa tersenyum, menatap suaminya dengan penuh cinta. "Kita sudah melalui banyak hal. Yang penting