Sebelum badai ini datang, sebelum keraguan dan kesalahpahaman melukai hati mereka, Bagas dan Anisa pernah berbagi kisah cinta yang begitu manis. Perjalanan mereka penuh dengan tawa, harapan, dan janji-janji indah yang mereka ucapkan satu sama lain.
Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah seminar kewirausahaan. Anisa yang penuh semangat datang untuk mencari inspirasi, sementara Bagas yang saat itu bekerja di salah satu perusahaan besar, datang sebagai peserta yang sekadar ingin mencari jaringan. Tanpa sengaja, mereka duduk bersebelahan.
Saat sesi diskusi dimulai, Anisa dengan antusias mengutarakan pendapatnya tentang bagaimana usaha kecil harus berani berinovasi agar bisa bersaing dengan perusahaan besar. Bagas yang awalnya tidak begitu memperhatikan, tiba-tiba tertarik dengan cara Anisa berbicara. Ia begitu percaya diri, penuh optimisme, dan bersemangat.
Ketika seminar berakhir, Bagas mendekati Anisa. "Kamu punya pemikiran yang menarik. Punya usaha sendiri?" tanyanya.
Anisa tersenyum. "Belum besar, sih. Aku baru mulai usaha makanan online, masih belajar. Kamu sendiri?"
"Aku kerja di perusahaan, tapi sebenarnya punya mimpi punya usaha sendiri juga."
Dari obrolan sederhana itu, mereka mulai bertukar kontak. Awalnya hanya membicarakan bisnis, lama-kelamaan perbincangan mereka berkembang menjadi hal-hal yang lebih pribadi. Bagas mulai menyukai cara Anisa melihat hidup—selalu bersemangat, penuh keyakinan, dan tidak takut mengambil risiko.
Pertemuan demi pertemuan terjadi, dan Bagas merasa semakin nyaman dengan Anisa. Hubungan mereka berkembang secara alami. Bagas yang terbiasa hidup dalam tekanan keluarga merasa bahwa bersama Anisa, hidupnya terasa lebih ringan. Anisa membawa warna baru dalam dunianya yang sebelumnya penuh dengan tuntutan.
Namun, cinta mereka tidak selalu berjalan mulus. Ketika Bagas memperkenalkan Anisa ke keluarganya, masalah mulai muncul. Ibunya, yang memiliki standar tinggi untuk menantu, tidak begitu menyukai Anisa. Baginya, Anisa hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mendampingi Bagas. Ditambah lagi, keluarga Bagas berharap ia menikah dengan seseorang yang bisa membawa keuntungan bagi mereka, bukan sekadar perempuan dengan usaha kecil.
"Bagas, kamu bisa dapat yang lebih baik," kata ibunya suatu malam ketika mereka sedang makan malam keluarga. "Lihat Rina, dia punya karier yang jelas, keluarganya baik-baik, kenapa kamu tidak mempertimbangkannya?"
Bagas hanya menghela napas. "Bu, aku mencintai Anisa. Aku nggak butuh orang lain."
Ibunya mendengus, tetapi tidak membalas. Bagi ibunya, keputusan Bagas hanyalah emosi sesaat, dan ia yakin bahwa Bagas akan berubah pikiran seiring waktu.
Di sisi lain, Anisa menyadari adanya ketidaksetujuan dari keluarga Bagas, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Ia yakin bahwa cinta mereka lebih kuat dari apa pun. Meski begitu, ia tidak bisa memungkiri bahwa terkadang kata-kata dan perlakuan ibu mertua dan ipar-iparnya menyakitinya. Ia sering dibanding-bandingkan dengan Rina yang dianggap lebih layak.
Namun, cinta Bagas dan Anisa begitu kuat. Mereka memutuskan untuk menikah meskipun banyak penolakan. Hari pernikahan mereka penuh kebahagiaan, meskipun di sudut ruangan, ibunya Bagas terlihat tidak begitu bahagia. Anisa memilih untuk tidak memperdulikan hal itu. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan bersama Bagas.
Tahun-tahun pertama pernikahan mereka berjalan dengan penuh cinta. Bagas mendukung usaha Anisa, sering membantu promosi, dan bahkan mulai mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaannya agar bisa membangun usaha bersama. Namun, tekanan dari keluarga Bagas mulai menghantam hubungan mereka.
Setiap kali pulang ke rumah keluarga Bagas, Anisa harus mendengar komentar-komentar pedas dari ibu mertuanya. "Kalau saja kamu kerja di perusahaan besar, mungkin Bagas nggak harus repot begini. Kamu tahu, kan, dia satu-satunya anak laki-laki, harus banyak membantu keluarga ini."
Bagas berusaha membela Anisa, tetapi semakin sering ia membela, semakin ibunya merasa bahwa Anisa telah 'mengambil' Bagas darinya. Bagas mulai merasa terjepit di antara istri dan keluarganya. Ia mencintai Anisa, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan keluarganya.
Saat itulah Rina kembali hadir dalam kehidupan mereka. Awalnya hanya sebagai teman lama yang sekadar menghubungi Bagas untuk reuni kecil-kecilan. Namun, kehadiran Rina menjadi bumbu baru dalam rumah tangga Bagas dan Anisa. Tidak seperti Anisa, Rina langsung diterima oleh keluarga Bagas. Ibunya merasa bahwa inilah perempuan yang seharusnya mendampingi Bagas.
Anisa mulai merasakan perubahan dalam hubungan mereka. Bagas mulai sering terlihat sibuk, lebih banyak diam, dan lebih sering keluar tanpa menjelaskan ke mana. Awalnya, Anisa mencoba berpikir positif, tetapi ketika ia mulai melihat bagaimana Rina semakin sering muncul dalam kehidupan suaminya, ia mulai merasa ada yang tidak beres.
"Kamu masih sering komunikasi sama Rina?" tanya Anisa suatu malam.
Bagas mengangguk. "Iya, tapi cuma teman biasa, Nis. Kita cuma ngobrol soal kerjaan dan masa lalu."
Anisa mengangguk, tetapi hatinya tidak bisa tenang. Terlebih ketika ia melihat Bagas memberikan tanda suka di unggahan Rina. Hal kecil, tetapi cukup untuk membuat hatinya tersayat.
Saat itulah badai mulai datang dalam rumah tangga mereka. Anisa merasa Bagas mulai berubah, sementara Bagas merasa bahwa Anisa terlalu curiga. Kesalahpahaman mulai muncul, dan pertengkaran kecil yang awalnya jarang terjadi, kini menjadi sering.
Cinta yang dulu mereka perjuangkan kini diuji oleh berbagai hal—tekanan dari keluarga, kehadiran orang ketiga, dan komunikasi yang mulai renggang.
Apakah mereka bisa melewati badai ini? Ataukah cinta mereka yang dulu begitu kuat akan hancur oleh keadaan?
Anisa mulai merasa bahwa ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Rina semakin berani mendekati Bagas. Apakah Bagas akan menyadari bahwa ia sedang berada di persimpangan yang berbahaya? Konflik semakin memanas di episode berikutnya!
Konflik dalam rumah tangga Bagas dan Anisa semakin memanas. Kesalahpahaman yang sebelumnya hanya berupa kecurigaan kini berkembang menjadi api yang membakar kepercayaan di antara mereka. Rina, yang semakin berani menunjukkan perasaannya, menjadi duri dalam daging yang memisahkan mereka perlahan-lahan.Suatu malam, saat Anisa sedang membereskan dapur setelah makan malam yang penuh kecanggungan, ponsel Bagas bergetar di meja makan. Sebuah pesan dari Rina muncul di layar: “Bagas, aku butuh bicara. Aku nggak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian.” Anisa yang melihatnya hanya bisa terdiam. Tangannya mengepal, hatinya terasa semakin remuk. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.Bagas yang baru keluar dari kamar mandi melihat Anisa menatap layar ponselnya. "Kamu baca chat aku?" tanyanya dengan nada kaget.Anisa mengangkat kepala, matanya penuh kemarahan yang selama ini ia pendam. "Aku harus baca, Bagas? Apa lagi yang harus aku tunggu?"Bagas menghela napas, mengambil ponselnya, dan memba
Bagas duduk termenung di ruang tamu rumah mereka yang kini terasa kosong. Anisa sudah pergi, membawa serta seluruh harapan yang pernah mereka bangun bersama. Perasaan bersalah menyesakkan dadanya, membuatnya sadar bahwa selama ini, ia telah lalai sebagai suami. Anisa telah memperingatkannya berkali-kali, tetapi ia tidak pernah benar-benar mendengarkan.Setelah beberapa saat dalam kebingungan, Bagas bergegas keluar rumah. Ia harus menemukan Anisa, harus bicara dengannya. Namun, setelah menanyakan ke beberapa teman dekat dan bahkan keluarganya sendiri, tak ada yang tahu ke mana Anisa pergi. Bagas mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali, tetapi selalu masuk ke kotak suara.Akhirnya, Bagas memutuskan untuk mendatangi rumah keluarga Anisa. Begitu sampai, ia disambut oleh Ardan, kakak Anisa, dengan tatapan dingin dan penuh kebencian."Apa yang kamu lakukan di sini, Bagas?" suara Ardan terdengar tajam."Aku ingin bertemu Anisa. Aku ingin bicara dengannya," jawab Bagas lirih.Ardan tertawa
Bagas merasa dunia seakan runtuh setelah Anisa benar-benar pergi dari rumah mereka. Setiap sudut rumah terasa hampa, sepi tanpa kehadiran istrinya. Ia mencoba menghubungi Anisa berkali-kali, tetapi tak ada satupun panggilan yang dijawab. Pesan yang ia kirim juga hanya berakhir dengan tanda centang tanpa balasan.Bagas akhirnya memberanikan diri untuk datang ke rumah keluarga Anisa. Namun, begitu ia sampai di depan gerbang rumah megah itu, seorang satpam langsung menghadangnya."Maaf, Mas Bagas. Saya diminta Pak Prasetyo untuk tidak mengizinkan Anda masuk," ujar satpam dengan nada sopan namun tegas.Bagas menghela napas panjang. Ia tahu, ini pasti ulah ayah Anisa."Pak Pras ada di rumah? Saya ingin bicara," ujar Bagas.Satpam itu tampak ragu, namun sebelum ia sempat menjawab, pintu rumah terbuka dan sosok tinggi tegap muncul dari dalam. Ardan, kakak Anisa, melangkah keluar dengan tatapan tajam."Pulang, Bagas. Kamu nggak punya tempat di sini," ucap Ardan dingin."Aku cuma mau bicara sa
Bagas mulai mendapatkan celah untuk kembali mendekati Anisa. Namun, ia tidak menyangka bahwa Rina masih memiliki rencana terakhir yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap. Rina tahu bahwa waktunya tidak banyak, jika ia tidak bertindak sekarang, maka Bagas akan kembali ke pelukan Anisa dan semua usahanya akan sia-sia.Sementara itu, Anisa yang selama ini hanya diam dan terluka, akhirnya mulai menemukan bukti tentang kebusukan Rina. Ia mengetahui bahwa Rina-lah dalang di balik semua kesalahpahaman yang terjadi di rumah tangganya. Tidak hanya itu, Anisa juga menemukan bahwa Rina memiliki akun media sosial rahasia yang digunakannya untuk menjelek-jelekkan keluarga mertua Anisa, termasuk ipar-iparnya sendiri.Dengan bukti yang ia kumpulkan, Anisa menyusun rencana balas dendam. Ia tidak akan tinggal diam lagi. Kali ini, ia akan membuktikan bahwa dirinya bukan wanita lemah yang bisa diinjak-injak.Di sisi lain, Bagas mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Rina. Rina semakin agresif da
Bagas duduk di dalam mobilnya, memandangi rumah yang pernah ia tinggali bersama Anisa. Sudah dua bulan sejak kebenaran tentang Rina terungkap dan semua orang melihat siapa dia sebenarnya. Namun, meskipun kebohongan Rina telah hancur, hubungan Bagas dan Anisa tak bisa kembali seperti dulu.Setelah semua drama dan pertengkaran, Anisa memilih untuk pergi. Ia memutuskan untuk menerima tawaran beasiswa S2 di luar negeri dan memperluas bisnis kulinernya yang kini berkembang pesat. Kepergiannya membawa luka yang dalam bagi Bagas, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk mereka berdua.Sementara itu, Rina menghilang tanpa jejak. Setelah semua kebohongannya terbongkar, ia tak bisa menghadapi kenyataan dan memutuskan untuk meninggalkan kota tanpa kabar. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, dan sejujurnya, tak ada yang benar-benar peduli.Ibunda Bagas dan adik-adiknya juga harus menerima akibat dari perbuatan mereka. Bagas, yang kini sadar akan kesalahan mereka semua, akhirnya meng
Tiga tahun telah berlalu sejak perpisahan mereka. Anisa kini telah menyelesaikan studinya di luar negeri dan kembali ke Indonesia sebagai seorang wanita yang lebih kuat dan mandiri. Bisnis kulinernya berkembang pesat, dan ia kini memiliki beberapa cabang restoran di berbagai kota. Namun, di balik semua kesuksesannya, ada satu bagian dari dirinya yang masih terasa kosong—hatinya yang pernah ia berikan sepenuhnya kepada Bagas.Bagas, di sisi lain, telah mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Ibunya telah meninggal dunia setelah menderita penyakit yang selama ini tak disadari oleh keluarganya. Kepergian ibunya menjadi pukulan besar baginya, tetapi juga menjadi titik balik yang membuatnya sadar bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dibiarkan dipenuhi dengan penyesalan. Kedua adiknya kini telah menikah dan memiliki kehidupan masing-masing. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Bagas—Anisa.Setelah bertahun-tahun terpisah, Bagas akhirnya memberanikan diri untuk mencari Anisa
Kini, kehidupan Bagas dan Anisa dipenuhi kebahagiaan bersama anak-anak mereka. Hari-hari mereka diisi dengan tawa, kehangatan, dan cinta yang semakin kuat. Bagas menjadi seorang ayah yang penuh perhatian, selalu membantu Anisa dalam mengurus anak-anak mereka.Suatu hari, mereka sekeluarga pergi berlibur ke pantai. Anak-anak mereka berlari-lari di pasir, sementara Bagas dan Anisa duduk di bawah payung, menikmati pemandangan laut."Dulu, aku tidak pernah membayangkan kita bisa sebahagia ini," ujar Anisa sambil tersenyum.Bagas meraih tangan Anisa. "Aku juga. Aku bersyukur kita diberi kesempatan kedua. Aku janji akan selalu menjagamu dan anak-anak kita."Malam itu, setelah anak-anak mereka tertidur, Anisa dan Bagas duduk di balkon rumah mereka, menikmati secangkir teh hangat. Bagas memeluk Anisa erat, mencium keningnya dengan penuh kasih."Terima kasih telah bertahan denganku," bisik Bagas.Anisa tersenyum, menatap suaminya dengan penuh cinta. "Kita sudah melalui banyak hal. Yang penting
Dulu, sebelum badai konflik dan perpisahan menghampiri, sebelum mereka diuji dengan berbagai cobaan yang hampir merenggut segalanya, ada masa di mana Bagas dan Anisa hanyalah dua mahasiswa yang sedang meniti mimpi. Takdir mempertemukan mereka di sebuah kampus ternama di Jakarta, dalam suasana yang penuh dengan semangat muda dan ambisi.Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan kampus. Bagas, mahasiswa teknik yang lebih sering bergelut dengan buku-buku perhitungan, sedang sibuk mencari referensi untuk tugasnya. Anisa, mahasiswa jurusan bisnis yang ceria dan penuh semangat, juga sedang mencari bahan bacaan untuk makalahnya. Saat itu, tanpa sengaja, mereka meraih buku yang sama."Eh, maaf!" ujar Anisa sambil tersenyum, menarik tangannya kembali.Bagas yang sedikit kaku hanya mengangguk. "Kamu mau ambil ini duluan?"Anisa tertawa kecil. "Kamu butuh untuk tugasmu, kan? Aku juga. Gimana kalau kita baca bareng aja? Kita bisa saling berbagi catatan."Bagas mengernyit, tak menyangka ada
Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert
Setelah melewati berbagai badai, ternyata perpisahanlah yang justru membuat mereka saling menemukan kembali. Mereka akhirnya menyadari, bahwa hidup tanpa satu sama lain hanyalah kehampaan yang menyakitkan.Bagas menyadari betapa sikapnya dahulu sangat pengecut—membiarkan kesalahpahaman terus tumbuh hingga merusak rumah tangga mereka. Namun, penyesalan itu kini telah ditebus dengan ketulusan dan usaha nyata.Sejak mereka kembali bersama, Bagas tak lagi membiarkan kesalahan yang sama terulang. Ia belajar untuk lebih banyak berkomunikasi, lebih berinisiatif dalam mengurus rumah tangga, dan yang terpenting—lebih peka terhadap perasaan Anisa.Kini, ia tidak hanya menjadi suami, tetapi juga sahabat dan partner sejati bagi Anisa. Karena bagi Bagas, cinta sejati bukan hanya tentang bersama saat bahagia, tetapi juga tentang memperjuangkan satu sama lain saat segalanya terasa tak mudah.Satu tahun telah berlalu sejak Bagas dan Anisa memulai kembali kehidupan rumah tangga mereka. Kini, rumah kec
Setelah melewati begitu banyak rintangan, akhirnya Bagas dan Anisa mendapatkan restu dari keluarga Anisa. Perjuangan panjang mereka terbayar ketika pada suatu hari yang penuh kebahagiaan, mereka mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan sederhana namun penuh makna. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun pengantin yang berlebihan, hanya mereka, keluarga, dan sahabat terdekat yang hadir untuk menyaksikan perayaan cinta mereka.Malam pertama setelah pernikahan, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Anisa yang terbiasa dengan kehidupan mewah awalnya merasa canggung dengan kondisi sederhana ini, tetapi senyum dan pelukan hangat Bagas membuatnya merasa tenang."Maaf ya, Nis. Aku belum bisa memberimu rumah yang besar dan mewah seperti rumah orang tuamu," ujar Bagas dengan nada sedikit bersalah.Anisa tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena harta. Selama kita bersama, semua itu tidak masalah."Sejak saat
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, Rina semakin menjauh dari kehidupan Bagas. Ia tidak lagi sesering dulu menghubungi atau menemani Bagas seperti sebelumnya. Setiap kali melihat Bagas dan Anisa bersama, hatinya terasa semakin sakit. Ia tahu bahwa ia harus merelakan perasaannya, tetapi semakin ia mencoba, semakin perih luka yang ia rasakan.Di sisi lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin dalam. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi impian, dan merancang masa depan mereka. Bagas yang dulu dikenal sebagai pria cuek, kini berubah menjadi sosok yang penuh perhatian. Ia tak segan mengantar dan menjemput Anisa kuliah, membawakan makanan saat Anisa sibuk dengan tugasnya, dan selalu memastikan bahwa gadis itu merasa bahagia di sampingnya.Namun, kebahagiaan mereka tidak serta-merta tanpa rintangan.Suatu hari, setelah mereka menyelesaikan skripsi dan bersiap untuk wisuda, Bagas mengungkapkan niatnya untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius."Nis, aku in
Sebelum kehadiran Anisa dalam hidup Bagas, ada satu sosok yang selalu berada di sisinya: Rina. Mereka telah bersahabat sejak tahun pertama kuliah, melalui berbagai suka dan duka bersama. Rina adalah orang yang selalu memahami Bagas lebih dari siapa pun. Ia adalah tempat Bagas berbagi cerita, tempatnya bersandar ketika dunia terasa terlalu berat.Mereka pertama kali bertemu saat ospek fakultas. Bagas, yang dikenal pendiam dan tidak banyak bergaul, duduk di sudut ruangan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sementara itu, Rina adalah gadis yang ceria dan penuh semangat. Ia tidak suka melihat orang sendirian, apalagi di lingkungan baru seperti ini."Hey, boleh aku duduk di sini?" tanya Rina, tanpa menunggu jawaban langsung duduk di samping Bagas.Bagas hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada ponselnya. Rina tidak menyerah begitu saja. Ia terus berbicara, mulai dari menanyakan jurusan Bagas, asal kota, hingga hal-hal kecil seperti makanan favoritnya. Meskipun Bagas awalnya cuek, lama-lama
Setelah mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin erat. Bagas yang dulunya pendiam dan tidak terlalu peka terhadap hal-hal romantis, perlahan berubah menjadi sosok yang sangat perhatian terhadap Anisa. Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan julukan 'bucin' dari teman-temannya karena tingkah lakunya yang selalu berusaha menyenangkan Anisa.Suatu hari, saat Bagas sedang sibuk dengan tugas kuliahnya di kantin, Anisa datang menghampirinya dengan senyum ceria."Gas, aku lapar," rengek Anisa sambil menarik kursi di hadapan Bagas.Bagas langsung menutup laptopnya dan menatap Anisa dengan penuh perhatian. "Mau makan apa? Aku beliin deh."Anisa tertawa kecil. "Nggak usah repot-repot, aku bisa beli sendiri kok.""Nggak boleh. Pacar aku nggak boleh kelaparan," kata Bagas sambil berdiri dan langsung menuju stand makanan untuk membelikan Anisa makanan favoritnya.Tak lama kemudian, Bagas kembali dengan sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Anisa mena
Bagas masih berjuang mati-matian untuk memperbaiki kesalahannya, tetapi jalan yang ia tempuh tidaklah mudah. Keluarga Anisa, terutama ayah dan kakaknya, tetap menjadi tembok besar yang menghalanginya untuk bertemu dengan istrinya. Sejak Anisa pergi dari rumah, ia benar-benar kehilangan separuh jiwanya. Bagas sudah mencoba berbagai cara untuk membujuk Anisa agar mau berbicara dengannya, tetapi semuanya sia-sia. Setiap kali ia datang ke rumah keluarga Anisa, ia selalu diusir.“Kamu pikir semudah itu? Setelah semua yang kamu lakukan ke Anisa?” kata Ardan dingin, berdiri tegap di depan pintu rumah orang tuanya.“Aku tahu aku salah, Dan. Aku tahu aku bodoh. Aku cuma mau bicara sama Anisa,” pinta Bagas dengan nada putus asa.“Anisa sudah cukup menderita. Pergilah, Bagas.”Bagas hanya bisa menggertakkan giginya dan pergi dengan langkah berat. Ia sadar, kepercayaan yang hancur tidak bisa diperbaiki dalam semalam.Sementara itu, Rina yang merasa posisinya mulai terancam mulai merancang strateg
Dulu, sebelum badai konflik dan perpisahan menghampiri, sebelum mereka diuji dengan berbagai cobaan yang hampir merenggut segalanya, ada masa di mana Bagas dan Anisa hanyalah dua mahasiswa yang sedang meniti mimpi. Takdir mempertemukan mereka di sebuah kampus ternama di Jakarta, dalam suasana yang penuh dengan semangat muda dan ambisi.Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan kampus. Bagas, mahasiswa teknik yang lebih sering bergelut dengan buku-buku perhitungan, sedang sibuk mencari referensi untuk tugasnya. Anisa, mahasiswa jurusan bisnis yang ceria dan penuh semangat, juga sedang mencari bahan bacaan untuk makalahnya. Saat itu, tanpa sengaja, mereka meraih buku yang sama."Eh, maaf!" ujar Anisa sambil tersenyum, menarik tangannya kembali.Bagas yang sedikit kaku hanya mengangguk. "Kamu mau ambil ini duluan?"Anisa tertawa kecil. "Kamu butuh untuk tugasmu, kan? Aku juga. Gimana kalau kita baca bareng aja? Kita bisa saling berbagi catatan."Bagas mengernyit, tak menyangka ada
Kini, kehidupan Bagas dan Anisa dipenuhi kebahagiaan bersama anak-anak mereka. Hari-hari mereka diisi dengan tawa, kehangatan, dan cinta yang semakin kuat. Bagas menjadi seorang ayah yang penuh perhatian, selalu membantu Anisa dalam mengurus anak-anak mereka.Suatu hari, mereka sekeluarga pergi berlibur ke pantai. Anak-anak mereka berlari-lari di pasir, sementara Bagas dan Anisa duduk di bawah payung, menikmati pemandangan laut."Dulu, aku tidak pernah membayangkan kita bisa sebahagia ini," ujar Anisa sambil tersenyum.Bagas meraih tangan Anisa. "Aku juga. Aku bersyukur kita diberi kesempatan kedua. Aku janji akan selalu menjagamu dan anak-anak kita."Malam itu, setelah anak-anak mereka tertidur, Anisa dan Bagas duduk di balkon rumah mereka, menikmati secangkir teh hangat. Bagas memeluk Anisa erat, mencium keningnya dengan penuh kasih."Terima kasih telah bertahan denganku," bisik Bagas.Anisa tersenyum, menatap suaminya dengan penuh cinta. "Kita sudah melalui banyak hal. Yang penting