BAB 25Ratna mengiba"Bela, Ibu mohon!" Wanita itu kembali memintaku dengan penuh iba. "Bu, 10 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Aku selalu memberi maaf, memberi kesempatan kepada putramu. Tapi apa? Dia kembali menorehkan luka yang sama. Ditempat yang sama. Dan Ibu tahu hal apa yang paling menyakitkan? Ketika Lia, ibu bawa pulang kerumah dengan gelar istri Mas Imam. Remuk, Bu. Hati Bela sakit! Tapi bagaimana dengan Ibu? Ibu malah membelanya dan juga menyalahkan ku atas semuanya. ""Ibu minta maaf, Bela. Ibu salah, ibu khilaf. Entah apa yang akan dirasakan Imam di dalam sana? Dia masih terkejut atas kebenaran yang selama ini kamu tutup rapat! Ayo, Bela. Maafkan Imam. Ibu mohon." pinta wanita itu. Aku tak bergeming, maafkan aku, Bu. Keputusanku sudah bulat. Tak akan aku ubah lagi apa yang menjadi keputusanku saat ini. Meskipun aku akan disibukan dengan rentetan kegiatan mondar-mandir ke kantor kepolisian."Maaf, Bu." Aku melepaskan tangan wanita tua itu. Lalu berniat berjalan menin
Sahabat lamaSudah cukup lama aku bercengkrama dengan Nia. Sahabatku satu itu memang kocak. Statusnya yang perawan tua. Eh, bukan perawan tua hanya saja belum bertemu dengan jodohnya meskipun usianya sudah berkepala tiga. Yang penting bukan kepala naga. Aku bergegas pulang setelah melirik ke arah jam yang menempel di dinding. Meraih tas yang tadi aku letakan di meja sisi kanan. Kemudian aku berjalan menuju lobi depan. Berniat memesan ojek online. Namun langkahku terhenti kala Mas Arya sudah duduk di kursi tunggu."Mas Arya? Ngapain?" Aku bertanya padanya kenapa dia bisa sampai ke sini."Kan kemarin saya sudah bilang jangan menghindari saya.""Saya tidak pernah menghindari Anda." "Kali ini biarkan saya yang mengantar pulang." Mas Arya terlihat beranjak dari tempatnya. Kemudian berjalan perlahan mendekatiku. "E- anu ... Sa-saya ada janji sama Nia!" Aku langsung menarik tangan Nia setelah dia terlihat keluar. Nia pun tergagap terkejut ketika tanganku meraih tangannya. "I-iya Mas. Kit
POV IBU RATNAHatiku remuk ketika mendengar Bela berkata bahwa Imam lah yang selama ini tidak bisa memberi keturunan. Semua bayangan kembali melintas dipikiranku. Bayangan dimana aku memperlakukan Bela begitu kejam. Selalu mengucap kata mandul kepadanya. Entah kenapa perasaan yang dulu pernah terselip tak aku hiraukan. Aku curiga dengan Bela, kenapa dia mau bertahan begitu lama dengan putra satu-satunya yang aku miliki. Aku mengira Bela hanya ingin menguasai harta yang dimiliki Imam. Meskipun aku tahu semua gaji yang Imam terima tidak dipegang Bela. Namun Imam sendiri yang mengaturnya.Jika aku membutuhkan uang. Dengan leluasa dan gampang meminta Imam. Dengan rela dia memberiku uang berapapun yang aku mau. Ah, masa-masa itu sudah terlewati. Kini Bela sudah bukan menantuku lagi. Menantu yang begitu gampang dibodohi. Tapi sekarang? Aku memiliki menantu yang licik. Hingga aku harus kehilangan rumah untuk membeli mobil putih yang kini terparkir di depan rumah."Siapa yang telah menanam ja
POV BELA Aku semakin gusar dan dan juga panik. Padahal Mbak Arumi baru saja menutup teleponnya, kenapa supir yang ia kirim sudah tiba di depan rumah? Apa jangan-jangan memang sudah mereka rencanakan. Ah, apa yang harus aku lakukan? Tok ...tok ...tok "Nduk, Nduk. Kamu sudah tidur belum, Nduk?" Panggil Ibu yang semakin membuatku panik tak karuan. "Ada tamu didepan, Nduk." "Iya, Mak. Sebentar," jawabku asal karena aku bingung harus menjawab apa? Aku memutar kenop pintu lalu membukanya perlahan. Menyapu keseluruh ruangan melihat siapa yang datang. Tak ketemui seorang pun. Yang ada hanya bapak maupun Adit. "Apa sih, Mbak?" "Tamunya dimana?" "No, di depan. Mbak Bela belum mandi ya?" Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Adit. Sebab baru saja tiba sudah di hubungi Mbak Arumi. Mana sempat membersihkan badan yang sudah terasa lengket. Aku berjalan gontai ke depan rumah. Melihat apakah sopir Mbak Arumi benar-benar datang. "Astagfirullahaladzim," Aku beristighfar pelan lalu melemp
BAB 29PenasaranKukuruyuk ….kukuruyuk Aku menggeliat diatas ranjang. Segera kubuka mata perlahan. Menatap langit-langit."Astagfirullahaladzim, semalam aku kan berada dirumah Mbak Arumi. Kenapa sekarang sudah berada dirumah?" Aku mengubah posisiku menjadi duduk lalu memperhatikan setiap sudut kamar. Masih sama seperti kamarku. Kemudian membringsut ke tepi ranjang lalu melangkah keluar kamar. Mencari sosok Adit yang semalam menemaniku ke rumah Mbak Arumi."Dit, Adit," Aku berteriak lagi dan lagi memanggil Adit. Ingin segera menginterogasi dia. Sebenarnya apa yang terjadi disana semalam? Entah mengapa ingatanku tak bisa aku temukan."Dit, bangun!" Aku menggoyangkan tubuhnya cukup kuat hingga dia terbangun lalu mengucek mata yang terlihat masih ingin terpejam."Apa sih, Mbak?" tanya Adit dengan sedikit malas."Kok kita bisa dirumah sih, tidur? Bukannya semalam kita ada di rumah Mbak Arumi ya? Lagi ngobrol di ruang tamu, kok sudah ada di rumah?""Iya, Mbak Bela semalam ketiduran di ruma
POV AryaAku melajukan mobil di keramaian jalan. Setelah Bela menolak pulang bersamaku. Sebenarnya jika harus memilih, aku tidak akan pernah mau mengikuti ide konyol Arumi. Wanita itu benar-benar gila. Aku tidak habis pikir tentangnya. Meskipun dia seorang wanita yang berhijab namun tak membuatnya bersikap santun sebagaimana mestinya. Ah, apakah sebuah pencitraan itu sangat penting baginya?Menjadi istri yang baik yang rela berbagi suami.Aku mengendurkan dasi yang masih melilit di leher. Kuraih ponsel yang tadi sudah kuletakkan di kursi sebelah pengemudi.Menghubungi rumah, memastikan Cleo baik-baik saja. "Halo, gimana, mbok? Cleo sudah mendingan? Ini saya sudah dijalan!""Masih panas, Tuan. Dia nyariin Nyonya.""Arumi belum pulang juga, Mbok?" "Belum, Tuan!""Ya sudah, saya hubungi dokter keluarga, Mbok. Tolong jaga Cleo!""Baik, Tuan!" Aku memutuskan sambungan telepon. Lalu mencari nama Arumi dan segera menghubunginya. Dua kali hingga empat kali, teleponku tidak diangkat olehnya
Anton sakit"Orang tuanya Nak Pandu datang dari kota tadi subuh!""Ow, itu. Bela sudah tahu, Mak. Adit yang bilang." Adit dan juga Aziz sekarang menjadi teman karib. Semenjak kasus pemukulan itu. Mereka tampaknya menjalin persahabatan. "Tapi Bapaknya Pandu pulang karena sakit."Mendengar ucapan Emak seketika aku terkejut. Kalau soal sakit aku benar-benar tidak tahu. Yang Adit katakan tempo hari hanya mereka akan datang, itu saja."Sakit? Sakit apa, Mak?""Emak gak tahu. Ada yang bilang sakit jantung, tapi benar atau tidaknya Emak gak tahu. Ow ya, Bel. Bukannya kamu dekat dengan Pandu?""Ya enggak deket-deket amat sih, Mak." Aku salah tingkah mendengar pertanyaan Emak. Sosok Pandu memang spesial apalagi jika dia tersenyum. Ah, rasanya aku ingin sekali menyimpan senyumannya itu. Jadi malu sendiri, kalau Emak tidak ada hadapanku mungkin aku sudah cengar-cengir sendiri membayangkan senyuman itu.Astagfirullahaladzim."Bela,""Eh, ya Mak?" "Malah ngelamun, mikirin apa?""Bukan apa-apa."
BAB 32POV authorBela menarik napas dalam-dalam. Masih jelas teringat di kepalanya tentang ucapan Nia kala itu. Dia harus bersikap tenang dan juga harus mampu mengontrol emosi saat bertemu dengan Imam. Akan dia tunjukan padanya bahwa keadaannya baik-baik saja tanpa Imam."Ada perlu apa ya?" Bela bertanya dengan mengulas senyum."Eh, Mas. Hati-hati sama dia, nanti dia bikin ulah, berusaha memisahkan kita lagi! Licik, Mas. Perempuan Ini!" Lia datang menghampiri suaminya. Berkacang pinggang meski perutnya sudah besar. Ah, wanita itu seharusnya menjaga sikap dan ucapan.Bela tampak tak mengindahkan ucapan wanita yang bergelayut manja di lengan kekar Imam."Aku hanya mengembalikan semua barang yang tertinggal dirumah." Imam menyerahkan paper bag lumayan besar yang berisi barang-barang mantan istri. Imam menatap lekat sang mantan. Pikirannya berkecamuk seperti terselip rindu pada wanita yang kini sudah tidak memiliki ikatan itu. Bela tampak lebih tenang dan juga lebih segar. Tubuhnya tak