Samar-samar Ziva mendengar suara Idhar. Ia pun segera membuka mata perlahan saat ini. Dugaannya tidak pernah meleset karena memang ia melihat Idhar sedang berbincang-bincang dengan dokter kampus-nya.
Melihat mata Ziva sudah terbuka membuat pandangan Idhar segera menatap takjub ke arahnya. “Astaga! Akhirnya lo sadar juga!”
Ziva tersenyum tipis melihat wajah khawatir pria itu. Bahkan suara dengkusan dari mulut Idhar bisa terdengar begitu sangat jelas di telinganya.
“Kok lo bisa di sini?” tanya Ziva.
Idhar hanya diam saja. Matanya menatap manik mata perempuan yang kini tengah terbaring di brangkar dengan wajah bingung.
“Har,” tegur Ziva karena melihat Idhar hanya diam saja sejak tadi. Bahkan tatapan Idhar tampak bingung saat ini. “Lo kenapa jadi pendiam gitu, sih?” ledek Ziva, tersenyum.
“Lo hamil.”
Mata Ziva langsung membola begitu sempurna mendengar dua kata dari mulut Idhar.
Ziva merasakan pusing luar biasa pagi ini. Beban hidup dalam dirinya benar-benar kian bertambah dengan sikap sang papa yang mendiamkan di pagi ini. Ziva tahu jika sang papa tidak menyukai berita kehamilannya. Bahkan, pagi ini Ziva sudah mengecek dengan tespack untuk membuktikan ucapan dokter itu salah. Namun, faktanya ia memang hamil. Tespack itu menunjukkan dua garis merah yang begitu sangat jelas di matanya. Ziva hanya bisa menghela napas panjang jika ia benar-benar hamil saat ini.Hari ini ia berniat pergi ke counter untuk membeli kartu perdana. Ziva akan menggunakan ponsel milik Regan ini untuk kebutuhan komunikasi ke depannya.Pikiran untuk menggugurkan kandungan pun segera Ziva tepis. Jika ia berani melakukan hal itu sama saja ia menjadi seorang pembunuh bukan? Lalu apa bedanya dengan Regan kalau begini?Dengan sekuat tenaga dan keberanian yang dimiliki, Ziva akan terus mempertahankan kandungannya meski dibenci oleh sang papa.Mengingat har
Ziva kini tengah berjongkok di sebuah tanah gundukan yang terdapat batu nisa bertuliskan ‘Celine Nadira’ dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ziva sengaja mendatangi tempat ini untuk menceritakan kegundahan dan perasaannya selama ini. Ziva berharap setelah menceritakan di depan makam Celine semua perasaannya akan terasa lega.Ziva mulai mengusapi batu nisan itu lembut. Tak lupa juga ia menaburkan bunga tujuh rupa, air mawar, dan sebuket bunga kesukaan Celine yang diletakkan tepat di batu nisan sang kakak. Ziva menatap sendu gundukan tanah itu.“Kak … Ziva ke sini kunjungin kakak. Banyak sekali hal yang ingin Ziva ceritakan sama kakak.” Ziva tersenyum tipis seolah-olah sosok Celine memang berada bersamanya. “Ziva enggak tahu harus cerita sama siapa selain sama kakak. Orang yang selalu mengalah dan menuruti apa yang Ziva inginkan. Ziva kangen sama kakak,” lirihnya.Tak terasa air mata Ziva mulai tumpah. Perempuan itu
Narendra kini tengah pusing menghadapi permasalahan di keluarganya. Regan dan Maya jatuh sakit dalam waktu bersamaan seperti ini. Terlebih ia juga harus mengurusi kantor yang banyak sekali pekerjaan urgent.Satu minggu sudah Regan dan Maya sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama. Mereka berdua sakit disebabkan oleh satu orang. Zivanya Alesha.Regan yang stress memikirkan sang istri sampai menyibukkan diri di kantor sampai larut. Namun, dia juga tidak pernah mengisi perutnya sampai akhirnya jatuh limbung seperti ini. Regan ingin sekali menemui Ziva karena merasakan rindu yang luar biasa. Namun, sang ayah melarangnya keras dan menyuruh tetap tidak usah peduli agar Ziva bisa berpikir dewasa katanya. Narendra menyuruh Regan untuk memberikan ruang sendiri dulu untuk Ziva.Lain hal dengan Maya yang terus melamun dan susah makan. Pikirannya bahkan terus kosong, dan hanya bibirnya saja yang terus memanggil-manggil nama Ziva hingga akhirnya perempuan paruh baya itu la
Mendapat informasi dari Idhar membuat Regan mulai mengawasi pergerakan Ziva dari jauh. Pria itu pagi-pagi selalu menyempatkan ke rumah Ziva dan mengawasi dari jarak jauh. Dan, setelah melihat Ziva pergi ke kampus membuat Regan akan berjalan pergi menuju kantor.Setelah jam kerja selesai pun yang dilakukannya tidaklah pulang ke rumah. Melainkan ke rumah Ziva untuk memandangi wajah sendu perempuan yang sangat dirindukannya ini.Ada gejolak rasa yang sulit sekali ia bendung saat ini. Rasanya ia ingin sekali memeluk, mendekapnya erat hingga mencium istrinya saat ini. Tapi, melihat wajah sendu itu membuat Regan mengurungkan niat.Tak lupa juga ia sudah mendapatkan nomor baru milik Ziva dari Idhar. Meski dengan cara memaksa pria itu.“Sayang … aku rindu,” gumam Regan, menatap Ziva dari kejauhan.Melihat sepeda motor berhenti tepat di depan rumah Ziva membuat kening Regan mengerut. Ia seperti tidak asing dengan sepeda motor itu. Benar s
Pukul tiga sore Ziva keluar ruang sidang dengan perasaan campur aduk. Bahkan wajahnya sudah pucat. Keringat dingin pun sudah membasahi seluruh wajah. Kondisinya yang lagi hamil muda membuat fisiknya gampang terasa lelah. Bisa dibayangkan Ziva berangkat pukul enam pagi dan pukul tiga sore baru selesai sidang. Belum lagi menunggu pengumuman yang akan diumumkan nanti pukul lima sore. Ziva semakin terasa lemas saat ini. Bukan soal ia merasa gugup menjawab pertanyaan dari dosen penguji. Tapi, siang tadi ia tidak menyempatkan makan karena sibuk belajar agar bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.Sekarang kepalanya terasa sakit. Perutnya mual. Kakinya lemas. Pandangannya mulai menguning bahkan terasa lama-lama mulai menghitam. Namun, tubuhnya langsung dipegang oleh Nindi.“Lo kenapa? Wajah lo pucat banget,” kata Nindi.“Gue gapapa, cuma butuh istirahat aja.”“Wajah lo pucat banget, Ziv. Mendingan ke kantin aja yuk,” ajak
Ziva kini tengah makan dengan begitu lahap. Bahkan Regan yang melihatnya merasa tergiur ingin makan banyak seperti Ziva. Namun, Regan merasakan jika perutnya terasa enek dan merasakan seperti sedang diaduk-aduk. Regan bahkan berulang kali pamit ke toilet untuk mengeluarkan muntahan namun nyatanya tidak ada yang keluar.Kini saat kembali duduk dan melihat Ziva perasaannya sangat senang. Terlebih semua makanan yang dipesan langsung habis tak tersisa.Perasaan Regan saat ini kian membaik. Apalagi perilaku Ziva yang sulit ditebak barusan. Regan tidak menyangka jika Ziva akan menciumnya terlebih dulu. Tak membutuhkan waktu lama pun Regan langsung membalas ciuman itu tak kalah dalamnya. Namun, sialnya mereka melakukan di bahu jalan yang otomatis langsung terganggu dengan suara klakson mobil yang berada di belakangnya. Seandainya mereka melakukan di tempat yang tepat mungkin akan berakhir lain lagi.Sial! Benar-benar sial!Namun, meski hanya melakukan ciuman sej
Drrrt … drrrt … drrrt.Ziva merasakan getaran ponselnya yang begitu tidak sabaran. Tangannya pun dengan reflek terus meraba-raba untuk mencari letak di mana ponselnya berada. Ziva yang masih merasa mengantuk rasanya tidak sanggup untuk membuka mata karena ia semalam benar-benar menangis tersendu-sendu hingga menjelang subuh, dan pukul lima pagi barulah Ziva bisa memejamkan mata.“Halo,” ucap Ziva, dengan suara yang begitu tercekat karena merasa tenggorokannya sangat sakit.“Sayang, kamu baru bangun?”Mendengar suara Regan membuat Ziva langsung terlonjak kaget. Ziva merasa seperti disiram air hingga membuatnya segera terbangun. Padahal ia hanya mendengarkan suara Regan dari jarak jauh. Ziva memegang kepalanya yang terasa pusing karena merasakan kurang tidur. Perutnya bahkan sudah terasa lapar karena belum diisi lagi sejak terakhir makan malam di restoran.“Hm,” gumamnya.“Kamu pengin mak
Ziva kini sudah di depan kantor seorang pengacara yang Idhar kenal. Ada sedikit keraguan saat sudah sampai tempat ini. Hati Ziva bahkan terasa sangat deg-degan sekali jika seperti ini.“Har, gue deg-degan banget sumpah,” tutur Ziva kepada Idhar yang masih sibuk melepaskan helm-nya.“Kan kita konsultasi dulu sama beliau. Tapi, saran gue mendingan bertahan aja, Ziv. Anggap saja ini ujian rumah tanggamu sama Regan. Kalau belum lima tahun suka berat ujian rumah tangga itu. Kata Enyak gue gitu soalnya.”“Iya, sih. Tapikan lo tahu sendiri sikap bokap gue yang keras kepala. Gue enggak mau menyesal kalau terjadi apa-apa sama bokap gue.”“Yaudah mendingan kita ceritain semua deh sama yang ahli. Nanti kan kita dikasih solusi tuh. Nah, nanti diikuti saja jika memang itu yang terbaik.”Ziva mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdua akhirnya mulai berjalan menuju ke pintu kantor dan meminta bertemu dengan Bapak He
Setelah lima hari kerja, kini Regan mengajak Ziva dan keluarganya untuk berkunjung ke makam Celine. Regan ingin melakukan ziarah ke makam perempuan yang dulu sempat dekat dengannya. Regan ingin memperbaiki semua agar hidup kedepannya lebih enak.Dan, kini di sinilah Regan bersama sang keluarga saat ini. Mengunjungi makan Celine sambil mendoakan untuk perempuan itu. Regan bahkan mengucapkan permintaan maaf terus karena menuruti keinginan Celine saat itu. Meski semua telat, namun pria itu tetap saja merasa bersalah.“Tidak usah disesali, sayang. Semua itu sudah pilihan Kak Celine.” Kini Ziva mengusap punggung sang suami—mencoba menenangkan dan menguatkan jika apa yang terjadi untuk pembelajaran ke depannya.Regan tersenyum tipis, ia pun menggenggam telapak tangan Ziva erat. “Celine, kini aku sudah hidup bahagia bersama adikmu. Bahkan kita berdua sudah dikaruniai anak yang sangat menggemaskan. Namanya Abbizar, dia anak yang lucu. Andai kamu
Regan dan Ziva kini pergi ke kantor unit agama untuk meluruskan semua data pernikahannya yang sangat berantakan. Semua itu disebabkan oleh Regan, dan pria itu kini sangat begitu gentle untuk menangani dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di masa lalu.Seluruh keluarga Abimana, dan kedua orangtua Ziva pun ikut mengantar anak-anak mereka yang akan meresmikan hubungan pernikahan ini ke tahap yang lebih kuat lagi.Jika selama ini mereka berdua hanya resmi menjadi suami istri yang sah di mata agama, kini mereka akan meresmikan agar sah di mata negara—terlebih Abbizar saat ini membutuhkan akta kelahiran.“Boleh nikah ulang enggak?” tanya Ziva, berbisik.Regan mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?”“Kan, selama ini kita nikah siri, jadi biar tambah sah lagi aku pengin kita nikah ulang di sini. Kamu melakukan ijab qobul lagi di sini. Lagian kemarin nikah pakai data yang salah, dan enggak ada persiapan
Ziva kini sudah dipindahkan kembali ke ruang rawat inapnya bersama sang bayi. Bahkan, Ziva merasa takjub melihat tembok kamar rawat inapnya terdapat beberapa balon yang menempel disertai tulisan sambutan untuk sang anak.“Ini siapa yang dekor?” tanya Ziva.“Bunda sama Mama,” jawab Regan.“Mama sudah sampai sini?”“Iya, mereka lagi pada makan di kantin rumah sakit. Katanya laper pas nungguin kamu lama di ruangan bersalin tadi.”Ziva tersenyum meringis mendengar penjelasan dari Regan. “Iya, tadi jahitan dulu. Terus aku IMD, habis itu dicek dan diperiksa ke seluruh tubuh—memastikan tidak terjadi apa-apa.”“Terus sekarang sudah sehat gitu?”“Iya sehat, tapi seluruh badanku pegal semua.”Kini Regan membantu Ziva dari kursi roda menuju ke ranjang rawat inapnya. Perawat yang mendorong box bayi itu langsung pamit pergi setelah tugasnya selesai.
Pilihan untuk menginap di rumah sakit sudah sangat tepat. Hal yang ditakutkan oleh Maya bahkan kini terjadi. Menantunya—Ziva—mengalami kontraksi berulang—hingga akhirnya dia mengalami flek. Hal itu langsung dilaporkan oleh Maya agar diperiksa oleh dokter yang ternyata sudah memasuki pembukaan satu.Maya terus memijit pinggang Ziva yang merasakan pegal luar biasa. Menantunya terus menangis tersendu-sendu karena merasakan sakit sekaligus mulas yang sangat luar biasa hebat. Bahkan Ziva merasakan lima menit sekali perutnya terasa mulas yang amat begitu mulas.“Tarik napas, ya,” kata Regan, pria itu kini bahkan membolos kerja karena dari semalam istrinya sudah merasakan tidak enak—hingga membuat Ziva tidak bisa tidur dan memilih berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.Dan, benar saja pas pagi dia mengalami flek saat ingin buang air kecil—hingga akhirnya dinyatakan sudah pembukaan satu. Namun, Ziva menolak saat dokter ingin
Saat ini di rumah Maya sedang ada tukang untuk merenovasi kamar yang tidak digunakan untuk menjadi kamar cucunya nanti. Maya sibuk bertemu arsitek untuk mendekor kamar calon cucunya itu. Tak lupa juga dia sibuk bertemu desain interior agar kamar cucunya menjadi begitu bagus, nyaman, dan sempurna.Maya pun setuju untuk menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Semua ini tentu saja atas ide sang arsitek karena memang Maya menginginkan kamar yang luas untuk calon cucunya. Jadi, di dalam ruangan kamar itu akan ada konsep untuk area bermain bayi dan tempat duduk santai sang ibu jika sedang menyusui. Maya ingin memberikan kenyamanan sang cucu dan menantunya.“Bun, apa enggak terlalu besar kamarnya jika dua ruangan itu digabung?” tanya Ziva, tidak enak hati karena anaknya akan disambut begitu berlebihan oleh keluarga Regan.“Tidak sayang, ini sudah cocok untuk kamu dan cucuku nanti. Jadi dia bisa tidur dan bermain nanti di kamar. Soalnya bayi usia enam
Malam ini Ziva tengah merendam kakinya yang bengkak dengan air hangat yang dicampur garam. Entah ini mitos atau fakta yang pasti ia hanya mengikuti saran dari sang mama.“Gimana? Sudah kempes?” tanya Regan, memastikan jika kaki sang istri akan kempes dalam waktu seketika.“Belum.”Regan mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk memegang ponsel. Pria itu tengah mencari tahu semua keluhan yang dialami wanita hamil di internet. Regan membaca-baca soal keluhan itu hingga menemukan kasus yang serupa—yang dialami sang istri.“Kata internet itu hal yang wajar sayang. Di sini dijelaskan karena adanya peningkatan cairan dan darah yang diproduksi.”Ziva hanya tersenyum lembut mendengar semua penuturan dari sang suami. Pasalnya hal itu sudah dijelaskan secara mendetail oleh dokter kandungannya. Dan, Ziva pun sudah mendapatkan solusi dari dokter kandungan agar posisi tidur lebih tinggi kaki dibanding kepala. Namun, na
Hari ini adalah hari yang begitu spesial untuk Ziva. Hari yang sudah sangat dia tunggu-tunggu sejak tiga bulan yang lalu. Ya, karena hari ini adalah jadwal kepulangan suaminya dari dinas luar kota. Ziva bahkan merasa deg-degan sendiri saat mendengar telepon bunda Maya dengan Regan yang mengatakan sudah sampai bandara dan sedang dalam perjalanan ke rumah.Entah kenapa ia merasa seperti anak ABG yang baru merasakan jatuh cinta. Hatinya deg-degan, bahkan kedua telapak tangannya dingin, perasaannya sangat gugup.“Kamu kenapa gugup begitu?” tanya Maya, tersenyum penuh arti.“Deg-degan, Bun,” jawab Ziva jujur.“Gugup mau ketemu misua, hm?” ledek Maya, terkekeh.Ziva langsung mesam-mesem sendiri mendengar ledekan sang bunda. Terlebih ibu mertuanya itu sangatlah paham bahasa anak-anak muda zaman sekarang. Awalnya Ziva terkejut, namun saat melihat interaksi ibu mertuanya dengan para teman-temannya di mall yang mengobrol d
Ziva pikir jika ucapan suaminya waktu itu hanya bercanda semata atau ajang balas dendam karena ulahnya. Namun, ternyata dia benaran ingin bekerja selama tiga bulan ke luar kota.Ada kesedihan yang mendalam di lubuk hatinya saat ini. Terlebih ia saat ini sedang membantu mengemasi beberapa pakaian kerja sang suami untuk dibawa ke kota Malang besok pagi.Melihat suaminya selesai telepon dengan sekertarisnya membuat Ziva tersenyum getir. Regan langsung duduk di pinggiran ranjang sambil sibuk mengotak-atik ponselnya saat ini. Ziva yang melihat itu langsung menghampiri dan segera memeluknya erat.“Aku pasti akan kangen banget sama kamu,” ucapnya lirih.Regan pun langsung menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Ia segera membalas pelukan sang istri. Mengusap punggungnya dengan sangat lembut. “Aku juga pasti akan lebih kangen.”“Jangan selingkuh! Jangan lupain aku! Awas aja kalau ketahuan main sama perempuan lain. Aku enggak ma
Hampir satu mingguan ini sifat Ziva sangatlah manja kepada Regan. Terlebih perempuan itu merengek terus menerus agar keinginannya untuk makan nasi padang akan segera dikabulkan. Namun, pikiran Ziva salah. Pria itu justru tidak mewujudkannya dengan dalih itu hanya mitos saja jika anaknya kelak akan ileran.Masih dengan wajah yang cemberut, Ziva masih memunggungi posisi Regan yang duduk di sampingnya.“Sudahlah Regan turutin saja keinginan istrimu,” dukung Maya.Ziva mengangguk-angguk menyetujui ucapan ibu mertuanya. Lain hal dengan pria itu yang justru menggeleng kuat.“Warung nasi padang banyak, Bun. Ngapain jauh-jauh ke kota Padangnya. Di Jakarta juga banyak.”“Tuh, kan, Bun! Anak Bunda ini kurang peka.” Ziva kembali merajuk dan terus mencari bala dukungan dari Maya yang selalu memihaknya. “Biarin aja nanti anaknya ileran. Kalau pergi kemana-mana anaknya ngiler sampai panjang lima meter. Dia juga nanti yan