Drrrt … drrrt … drrrt.
Ziva merasakan getaran ponselnya yang begitu tidak sabaran. Tangannya pun dengan reflek terus meraba-raba untuk mencari letak di mana ponselnya berada. Ziva yang masih merasa mengantuk rasanya tidak sanggup untuk membuka mata karena ia semalam benar-benar menangis tersendu-sendu hingga menjelang subuh, dan pukul lima pagi barulah Ziva bisa memejamkan mata.
“Halo,” ucap Ziva, dengan suara yang begitu tercekat karena merasa tenggorokannya sangat sakit.
“Sayang, kamu baru bangun?”
Mendengar suara Regan membuat Ziva langsung terlonjak kaget. Ziva merasa seperti disiram air hingga membuatnya segera terbangun. Padahal ia hanya mendengarkan suara Regan dari jarak jauh. Ziva memegang kepalanya yang terasa pusing karena merasakan kurang tidur. Perutnya bahkan sudah terasa lapar karena belum diisi lagi sejak terakhir makan malam di restoran.
“Hm,” gumamnya.
“Kamu pengin mak
Ziva kini sudah di depan kantor seorang pengacara yang Idhar kenal. Ada sedikit keraguan saat sudah sampai tempat ini. Hati Ziva bahkan terasa sangat deg-degan sekali jika seperti ini.“Har, gue deg-degan banget sumpah,” tutur Ziva kepada Idhar yang masih sibuk melepaskan helm-nya.“Kan kita konsultasi dulu sama beliau. Tapi, saran gue mendingan bertahan aja, Ziv. Anggap saja ini ujian rumah tanggamu sama Regan. Kalau belum lima tahun suka berat ujian rumah tangga itu. Kata Enyak gue gitu soalnya.”“Iya, sih. Tapikan lo tahu sendiri sikap bokap gue yang keras kepala. Gue enggak mau menyesal kalau terjadi apa-apa sama bokap gue.”“Yaudah mendingan kita ceritain semua deh sama yang ahli. Nanti kan kita dikasih solusi tuh. Nah, nanti diikuti saja jika memang itu yang terbaik.”Ziva mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdua akhirnya mulai berjalan menuju ke pintu kantor dan meminta bertemu dengan Bapak He
Keluar dari kantor pengacara itu Ziva tidak banyak berkata apa-apa. Yang dilakukannya hanya diam dan menyuruh Idhar segera mengantarkan pulang ke rumah sebelum nanti kedua orangtuanya pulang kerja. Ziva melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Yang artinya mama sama papanya akan pulang kerja sekitar sejam-an lagi. Mengingat jarak antara kantor dengan rumahnya lumayan jauh membuat Ziva pasrah saja jika ditanya macam-macam.Ziva masih memikirkan cara untuk mengatakan ini semua ke Regan. Ziva takut jika pria itu akan menolak usulan ini dengan cara mentah-mentah. Semoga saja Regan bisa bersikap dewasa juga mengerti akan kondisinya.Kurang lebih sejam-an, kini Ziva sampai depan rumahnya. Benar saja kalau kedua orangtuanya sudah sampai di rumah. Ziva melihat papanya tengah duduk di teras depan sambil menyesap secangkir kopi. Papanya memang terbiasa seperti itu setiap hari. Selalu minum kopi sambil menunggu waktu magrib tiba.“Makasih banyak, ya
Ziva langsung membayar ongkos ojek online yang dinaikinya. Ia segera berjalan menuju ke gedung kantor milik keluarga Regan. Saat memasuki lobby kantor pun banyak orang-orang yang menunduk hormat ke arahnya, dan semua itu membuat Ziva merasa risih sendiri. Ia menganggap tidak pantas dihormati seperti ini karena Ziva merasa jika kasta mereka dengannya sama saja. Bahkan Ziva merasa kasta mereka justru lebih tinggi darinya. Ia hanya ketempelan nama Regan saja jadi ikut disegani seperti ini.“Nyonya Abimana selamat siang,” sapa Silvi saat bertemu dengan Ziva di depan pintu lift.“Siang Silvi, apa Regan ada di ruangannya?”“Tuan Abimana ada di dalam ruangannya, Nyonya. Beliau sudah menunggu Nyonya sejak tadi.”Ziva tersenyum tipis mendengar jawaban Silvi. Ziva merasa tidak enak sudah tidak menepati waktu. Bahkan ia melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Yang otomatis jam makan siang sudah habis.Ziv
Pada hari ini akhirnya Regan mendatangi kantor pengacara itu. Ia tentu tidak datang sendirian melainkan bersama Ziva. Ia ingin mendengarkan solusi dari pengacara muda itu yang selalu dipuji-puji kaum hawa.Awalnya tentu saja Regan merasa cemburu melihat interaksi Ziva dan Hendrik yang tampak sangat akrab. Namun, ia berusaha menekan rasa itu agar hubungan dengan Ziva bisa kembali normal dan baik.Setelah gilirannya bercerita tentang permasalahan yang dihadapi, Regan akhirnya mengangguk menyetujui saran untuk melakukan pembatalan pernikahan dengan Celine Nadira. Tentu saja ia tidak menceritakan semua alasan bisa menjebloskan Bramono ke penjara. Regan hanya ingin mengakui itu semua nanti di depan Bramono. Regan tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.Seusai berkonsultasi, mereka berdua memilih pergi ke salah satu tempat makan. Kali ini Ziva meminta makan-makanan Korea dan tentu saja Regan mengabulkan dengan enteng.“Nanti setelah makan, aku pengin k
Selesai makan dan bercengkerama sebentar dengan Maya kini Ziva dan Regan langsung pamit pergi. Regan akan mengantar Ziva pulang sekaligus untuk menemui Bramono. Regan akan memulai berjuang untuk mendapatkan Ziva kembali dengan cara yang lebih baik dan gentleman.Selama perjalanan pun tidak lupa Regan selalu memegang, mengusap, dan meremas telapak tangan Ziva. Meminta dukungan penuh dari perempuan yang kini duduk di sampingnya.“Kamu yakin enggak mau mendengarkan penjelasanku terlebih dulu?” Regan ingin menceritakan semua kepada Ziva terlebih dulu agar perempuan itu tidak kaget nantinya.Ziva menggeleng pelan dan tersenyum lembut. “Simpanlah dulu cerita dan penjelasanmu itu. Aku pengin kamu berjuang terlebih dulu, dan baru menceritakan semuanya padaku dengan jujur.”Regan pun tersenyum dan menuruti keinginan dari sang istri. Ia akan bercerita sejujur-jujurnya agar kehidupan rumah tangga yang dijalani bisa berjalan dengan ba
Tepat pukul delapan malam lebih tiga puluh menitan Idhar datang membawa berbagai jenis makanan. Wajah jenakanya yang khas selalu membuat Ziva tersenyum meski kondisi hatinya sedang tidak karuan.“Malam Om,” sapa Idhar kala melihat Bramono yang berdiri menjulang tinggi di belakang Ziva.“Hm, malam.”“Ini aku bawa makanan dari Enyak untuk Ziva sekeluarga.”Bramono mengerutkan kening curiga. “Dalam acara apa bagi-bagi makanan?”“Soalnya besok aku mau sidang, Om. Doain, ya.”“Oh ….” Bramono mengangguk-angguk percaya dan semua itu membuat Ziva merasa lega. Bahkan papa-nya sudah menyuruh Idhar untuk masuk. Bramono juga sudah menyuruh Ziva membuatkan minuman untuk Idhar. “Kamu teman kuliahnya Ziva?” tanya Bramono, menatap intens Idhar dari ujung kepala ke ujung kaki.“Iya, Om. Tapi aku jurusan teknik.”“Owalah bagus kalau begit
Regan segera membopong tubuh Bramono menuju ke kamar. Dia meletakkan tubuh tua itu dengan sangat hati-hati. Ziva sendiri yang melihat papanya kesakitan hanya bisa menangis. Marina yang sibuk di dapur langsung memegang dadanya terkejut. Kemudian menangis melihat suaminya yang masih meringis kesakitan.“Aku telepon Zhakir dulu,” ujar Regan.Ziva mengangguk setuju, dan ia terus menatap dan menggenggam telapak tangan sang papa. Ziva bahkan mengambil tangan kanan papanya yang memegang dada.“Papa …,” lirih Ziva, terisak.Selesai menelepon Zhakir, Regan langsung menoleh dan menatap Bramono dengan tatapan sendu. Ia merasa bersalah karena yang terjadi kepada pria tua itu karena ulahnya. Pasti papa mertuanya sangat syok mendengar semua pengakuan dan kejujurannya ini. Tapi, bagaimanapun Regan sudah berjanji akan mengatakan sejujur-jujurnya kepada Ziva dan keluarga. Regan hanya ingin memulai semua dari nol dan dari cara baik-baik meski
Menjalani hari-hari tanpa bisa melihat dan berkomunikasi dengan Ziva membuat Regan merasa uring-uringan sendiri saat di kantor. Bahkan pria itu tetap nekat mendatangi ke rumah istrinya—meski hanya untuk melihat atau memantau dari jarak jauh.Dan, inilah waktu yang tepat untuk segera menampakkan diri di depan rumah Ziva dengan nekat dan niat baik. Regan tidak mau menyerah untuk mendapatkan maaf dari sang papa mertua.Tok. Tok. Tok.Regan berdoa agar hari ini tujuan baiknya bisa disambut dengan baik oleh Bramono. Bahkan saat mendengar derap suara langkah kaki menuju ke daun pintu membuat hati seorang Regan merasakan deg-degan.Ceklek.“Sayang,” sapanya dengan senyum lebar seperti biasa.Namun, sambutan Ziva kurang menyenangkan di mata Regan. Perempuan itu mengembuskan napas kasar dan menatapnya datar yang membuat Regan terus bertanya-tanya dalam hati.“Ini sudah satu minggu aku engga