Pagi ini Ziva dan Regan masih merasa kesal satu sama lain. Tidak ada obrolan yang tercipta antara keduanya. Regan yang biasa mengalah dan membuka obrolan terlebih dulu pun kini memilih diam dan fokus menyetir.
Ziva yang masih merasa aneh dengan sikap Regan ikut diam dan terus menatap ke samping jendela. Entah kenapa perasaan manis semalam dalam waktu sekejap langsung berubah menjadi pahit bak buah bratawali.
Dan saat sampai di depan kampus, Ziva merasa bingung sendiri. Apakah akan melakukan kebiasaan sebelum turun mobil atau mengabaikannya begitu saja? Merasa terlalu gengsi membuat Ziva memilih opsi kedua. Mengabaikannya.
Namun, baru ingin memegang pintu mobil tangan Regan sudah menarik tangannya hingga membuat kepala Ziva menoleh.
Netra mata Regan kini kian menatap lembut ke bola mata Ziva. Meski ditatapan itu masih terpancar begitu jelas jika Regan masih kesal. Namun, dengan cepat pula Regan memulai ciuman itu kepada Ziva. Pria itu segera mencecap dan m
Mendengar itu membuat Ziva merasa jika telinganya bermasalah. Kakinya perlahan mulai mundur dengan kepala yang menggeleng pelan. Menampik jika yang diucapkan oleh Regan barusan itu salah. Ya, Ziva menyakini jika telinganya harus diperiksa ke dokter tht.“Aku menyukaimu melebihi diriku sendiri,” lirih Regan, menatap teduh bola mata yang sedang menatapnya lekat. Regan tersenyum tipis mengetahui jika hal ini pasti akan terjadi. Perasaan yang sesungguhnya pasti akan diketahui oleh Ziva mengingat ia sudah tidak tahan harus terus menerus berbohong kepada orang-orang tentang perasaannya kepada Celine dulunya. Regan ingin mengatakan hal yang sebenarnya agar bisa melangkah lebih baik ke depan.Lain hal dengan respon yang diperlihatkan oleh Ziva. Perempuan itu terus melangkah mundur dengan ketidakpercayaan yang dimilikinya. Pasti Regan salah ngomong tadi. Pasti itu hanya alibinya saja agar bisa mangkir dari kesalahan yang diperbuat atas kasus perselingkuhan yang dija
Seusai mengatakan itu, Ziva langsung menoleh ke makam kakaknya. Ia mengusap batu nisan yang bertuliskan ‘Celine Nadira’ dengan lembut. Setelah itu, Ziva langsung berdiri dengan sedikit sempoyongan karena terlalu lama berjongkok. Bahkan di saat Regan ingin membantu pun dengan cepat pula Ziva menangkis uluran tangannya.Ziva hanya menatap lekat ke netra mata pria itu tajam kemudian segera pergi meninggalkan Regan yang masih diam berdiri di sana.Ziva menangis sepanjang jalan setapak area pemakaman hingga sampai area parkir yang terdapat Idhar di sana.“Lo kenapa?” tanya Idhar, khawatir.Ziva masih menangis, dan segera memeluk Idhar. “Ajak gue pergi kemanapun, Har. Gue enggak mau pulang,” ujarnya dengan suara sedikit tercekat.Idhar yang dipeluk pun hanya diam dan merasa bingung. Dan terkejut saat matanya menangkap sesosok Regan yang sedang berjalan menuju keluar makam. Bahkan bisa dilihat jika tampang wajah Regan s
Setelah berputar-putar keliling Jakarta tanpa tujuan, kini Idhar menghentikan motornya di bahu jalan taman Melawai, Blok M, Jakarta Selatan.Idhar langsung mengesah dalam karena Ziva belum menentukan tujuannya sampai pukul sepuluh ini. Perempuan itu masih saja menangis dan menangis. Idhar sendiri merasa benar-benar sudah lelah karena menyetir motor keliling tidak jelas arah tujuannya ke mana. Bahkan sampai berkali-kali isi bahan bakar motornya namun tetap saja hasilnya sama. Tidak punya tujuan.“Kalau lo enggak tentuin tujuannya ke mana, mendingan turun di sini!” titah Idhar, tegas.Ziva masih diam saja, tidak merespon omelan Idhar. Bahkan sepanjang jalan pun Ziva tidak memedulikan makian dan omelan yang dilontarkan pria itu.Ziva hanya bisa merasakan kesedihan luar biasa saat ini. Mengingat perkataan Regan di area pemakaman membuat pikirannya benar-benar kacau. Kakaknya meninggal karena merasa sakit hati mendengar perempuan yang dicintai pria
Pagi ini Ziva terbangun dengan kondisi yang bisa dikatakan masih kurang baik. Ia masih merasa pusing dan banyak pikiran yang berkecambuk di kepalanya. Ziva bahkan bisa terlelap saat menjelang subuh. Mengingat tidak tidur di rumahnya sendiri atau rumah Regan membuat Ziva merasa tidak tenang jika bangun kesiangan. Terlebih, telinga Ziva sudah mendengar suara cempreng Ibu-nya Idhar di luar kamar. Ziva pun melirik ke arah jam yang masih menunjukkan pukul enam pagi.Mengetahui tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi membuat Ziva mengesah dalam. Membuang napas panjang, dan segera keluar kamar untuk memastikan apa yang membuat rame di sana.Ceklek.Ziva langsung terpaku saat pintu terbuka, matanya bersitatap dengan netra mata Regan di sana. Bahkan bisa Ziva lihat jika Ibu-nya Idhar tampak memandang hormat kepada Regan saat ini.“Eh, Neng, sini deh.” Romlah melambaikan tangan ke arah Ziva untuk segera mendekat ke arah sofa minimalis di sana. Bahkan
Tiba di rumah orangtuanya, Ziva langsung menangis dipelukan sang papa. Ziva tidak bisa mengontrol perasaan saat ini hingga membuatnya sangat menggebu-gebu.“Ziva, tenangkan dirimu, Nak.” Bramono terus mengusapi kepala anaknya lembut. Melihat keadaan dan kondisi anaknya yang kacau membuat Bramono tidak tega melihatnya.Marina yang melihat sang putri menangis tergugu membuatnya ikut-ikutan menangis. Merasakan pedihnya menjadi Ziva. Dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai yang membuat hidupnya tertekan.“Tidak perlu cerita sekarang, kamu tenangkan pikiran dan hatimu yang paling utama,” ujar Bramono.Ziva menggeleng, ia menatap sendu ke Bramono dan Marina. Ziva mencoba mengatur napasnya sejenak sebelum menceritakan soal kematian kakaknya yang pasti akan membuat mereka berdua syok.Bahkan, Bramono menuntun Ziva untuk duduk terlebih dulu dan ia menurut. Ziva duduk dan memegang dada karena merasakan sakit hati yang bertubi
Pagi ini setelah setengah hari menghabiskan waktu di kampus, Ziva sudah menyakini jika Regan sudah menyuruh Rio atau Idhar untuk mengawasinya. Ziva yang sudah tahu antek-antek Regan siapa saja merasa tidak peduli saat ini. Yang Ziva pedulikan hanya kebenaran yang sedang dikejarnya agar almarhum kakaknya bisa tenang di alam sana. Ziva akan sekuat tenaga memperjuangkan hak keadilan untuk Kak Celine.Mendapat waktu janjian dengan WO yang menangani pernikahannya dulu membuat Ziva segera melesat pergi ke salah satu kafe yang menjadi tempat mereka bertemu.Meski jujur saja dalam hati jika Ziva merasa sangat deg-degan sendiri. Ziva merasa tidak yakin dengan usahanya meski ia harus tetap melakukan demi menegakkan keadilan.Sampai di meja nomor 4, Ziva melihat perempuan cantik yang duduk di sana. Ziva segera menegurnya terlebih dulu karena memang ia yang mengajaknya bertemu. “Mbak Wina, ya?” sapa Ziva, tersenyum ramah.Perempuan itu mengangguk sambil t
Intan tengah memandang mata Ziva lekat. Ada kesedihan, kepedihan, dan kekecewaan yang tergambar dengan jelas di netra mata perempuan cantik itu. Intan bisa memaklumi perasaan Ziva yang sangat tergoncang saat ini. Pasti perempuan itu sangat syok saat mengetahui fakta sebenarnya meski terasa masih abu-abu.Sebelum menjelaskan apa yang diketahuinya, Intan mengambil napas sejenak. Ia bahkan melakukan berulang hingga membuat ekspresi antusias di wajah Ziva sedikit memudar karena menunggu Intan yang belum kunjung juga bercerita.“Jadi saat itu ….” Intan berhenti, ia mengambil napas lagi karena merasakan pasokan oksigen di sekitarnya merasa telah lenyap. Intan merasakan sesak. “Aku tidak tahu persis dia dibunuh atau memang bunuh diri. Karena saat menerima telepon dan membuat sebuah video, Celine menangis tersendu-sendu. Bahkan tatapan bahagia yang terpancar saat diriku masuk ke ruang make-up berubah dengan wajah kecewa juga sakit hati. Tapi, yang aku
Ziva menerima kotak hitam itu dengan sedikit ragu, namun tetap saja air mukanya menunjukkan powerful kepada Regan.“Kamu bisa membukanya, dan yang dikatakan kamu memang benar jika di dalam itu merupakan alat yang digunakan Celine untuk mengakhiri hidupnya. Namun, alasanku menyimpan hingga detik ini agar kamu bisa melihat sendiri nanti di waktu yang tepat.”Ziva berdecih mendengar serentetan ucapan Regan. Baginya yang diucapkan oleh pria itu hanya alibi semata agar ia berhenti menuntut? Itu tidak akan pernah Ziva kabulkan.“Dan, satu lagi yang aku inginkan agar kamu mengabulkan itu. Ceraikan diriku Regantara Abimana,” tegas Ziva dengan rahang yang sudah mengetat begitu kuat. “Aku tidak sudi menjadi istri pria macam dirimu!” imbuh Ziva, mengejek.Regan yang mendengar itu hanya mengetatkan rahang kuat. Hatinya merasa tercubit dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Ziva. bukan ejekan yang dilontarkan yang membuat sakit hati