Tiba di rumah orangtuanya, Ziva langsung menangis dipelukan sang papa. Ziva tidak bisa mengontrol perasaan saat ini hingga membuatnya sangat menggebu-gebu.
“Ziva, tenangkan dirimu, Nak.” Bramono terus mengusapi kepala anaknya lembut. Melihat keadaan dan kondisi anaknya yang kacau membuat Bramono tidak tega melihatnya.
Marina yang melihat sang putri menangis tergugu membuatnya ikut-ikutan menangis. Merasakan pedihnya menjadi Ziva. Dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai yang membuat hidupnya tertekan.
“Tidak perlu cerita sekarang, kamu tenangkan pikiran dan hatimu yang paling utama,” ujar Bramono.
Ziva menggeleng, ia menatap sendu ke Bramono dan Marina. Ziva mencoba mengatur napasnya sejenak sebelum menceritakan soal kematian kakaknya yang pasti akan membuat mereka berdua syok.
Bahkan, Bramono menuntun Ziva untuk duduk terlebih dulu dan ia menurut. Ziva duduk dan memegang dada karena merasakan sakit hati yang bertubi
Pagi ini setelah setengah hari menghabiskan waktu di kampus, Ziva sudah menyakini jika Regan sudah menyuruh Rio atau Idhar untuk mengawasinya. Ziva yang sudah tahu antek-antek Regan siapa saja merasa tidak peduli saat ini. Yang Ziva pedulikan hanya kebenaran yang sedang dikejarnya agar almarhum kakaknya bisa tenang di alam sana. Ziva akan sekuat tenaga memperjuangkan hak keadilan untuk Kak Celine.Mendapat waktu janjian dengan WO yang menangani pernikahannya dulu membuat Ziva segera melesat pergi ke salah satu kafe yang menjadi tempat mereka bertemu.Meski jujur saja dalam hati jika Ziva merasa sangat deg-degan sendiri. Ziva merasa tidak yakin dengan usahanya meski ia harus tetap melakukan demi menegakkan keadilan.Sampai di meja nomor 4, Ziva melihat perempuan cantik yang duduk di sana. Ziva segera menegurnya terlebih dulu karena memang ia yang mengajaknya bertemu. “Mbak Wina, ya?” sapa Ziva, tersenyum ramah.Perempuan itu mengangguk sambil t
Intan tengah memandang mata Ziva lekat. Ada kesedihan, kepedihan, dan kekecewaan yang tergambar dengan jelas di netra mata perempuan cantik itu. Intan bisa memaklumi perasaan Ziva yang sangat tergoncang saat ini. Pasti perempuan itu sangat syok saat mengetahui fakta sebenarnya meski terasa masih abu-abu.Sebelum menjelaskan apa yang diketahuinya, Intan mengambil napas sejenak. Ia bahkan melakukan berulang hingga membuat ekspresi antusias di wajah Ziva sedikit memudar karena menunggu Intan yang belum kunjung juga bercerita.“Jadi saat itu ….” Intan berhenti, ia mengambil napas lagi karena merasakan pasokan oksigen di sekitarnya merasa telah lenyap. Intan merasakan sesak. “Aku tidak tahu persis dia dibunuh atau memang bunuh diri. Karena saat menerima telepon dan membuat sebuah video, Celine menangis tersendu-sendu. Bahkan tatapan bahagia yang terpancar saat diriku masuk ke ruang make-up berubah dengan wajah kecewa juga sakit hati. Tapi, yang aku
Ziva menerima kotak hitam itu dengan sedikit ragu, namun tetap saja air mukanya menunjukkan powerful kepada Regan.“Kamu bisa membukanya, dan yang dikatakan kamu memang benar jika di dalam itu merupakan alat yang digunakan Celine untuk mengakhiri hidupnya. Namun, alasanku menyimpan hingga detik ini agar kamu bisa melihat sendiri nanti di waktu yang tepat.”Ziva berdecih mendengar serentetan ucapan Regan. Baginya yang diucapkan oleh pria itu hanya alibi semata agar ia berhenti menuntut? Itu tidak akan pernah Ziva kabulkan.“Dan, satu lagi yang aku inginkan agar kamu mengabulkan itu. Ceraikan diriku Regantara Abimana,” tegas Ziva dengan rahang yang sudah mengetat begitu kuat. “Aku tidak sudi menjadi istri pria macam dirimu!” imbuh Ziva, mengejek.Regan yang mendengar itu hanya mengetatkan rahang kuat. Hatinya merasa tercubit dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Ziva. bukan ejekan yang dilontarkan yang membuat sakit hati
Ziva benar-benar berhasil mengelabuhi Regan malam ini dengan pura-pura pingsan. Meski jujur saja ia memang sangat merasakan pusing luar biasa. Namun, Ziva masih bisa kuat menahan kesadarannya. Lebih sialnya lagi saat kabur, ia hanya bisa membawa kotak hitam itu keluar rumah. Sepatunya bahkan ia tinggalkan agar tidak memakan waktu lama. Namun, meski demikian ia masih merasa untung karena ruangan kerja Regan belum terkunci.Mata Ziva menatap kotak hitam itu dengan pandangan berbinar karena besok ia akan menyerahkan ke kantor polisi sebagai bukti atas kasus yang Regan lakukan.Kondisi fisik yang terasa lelah membuat Ziva berjalan pelan di sepanjang trotoar jalan. Ziva memasukkan kotak itu ke dalam tasnya. Ia segera mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online. Namun, baru membuka aplikasi ojek online, ponselnya langsung dirampas oleh seseorang yang memang mengikutinya dari belakang sejak tadi.“Copeeetttt!” teriak Ziva lantang. Suaranya bahkan terasa a
Samar-samar Ziva mendengar suara Idhar. Ia pun segera membuka mata perlahan saat ini. Dugaannya tidak pernah meleset karena memang ia melihat Idhar sedang berbincang-bincang dengan dokter kampus-nya.Melihat mata Ziva sudah terbuka membuat pandangan Idhar segera menatap takjub ke arahnya. “Astaga! Akhirnya lo sadar juga!”Ziva tersenyum tipis melihat wajah khawatir pria itu. Bahkan suara dengkusan dari mulut Idhar bisa terdengar begitu sangat jelas di telinganya.“Kok lo bisa di sini?” tanya Ziva.Idhar hanya diam saja. Matanya menatap manik mata perempuan yang kini tengah terbaring di brangkar dengan wajah bingung.“Har,” tegur Ziva karena melihat Idhar hanya diam saja sejak tadi. Bahkan tatapan Idhar tampak bingung saat ini. “Lo kenapa jadi pendiam gitu, sih?” ledek Ziva, tersenyum.“Lo hamil.”Mata Ziva langsung membola begitu sempurna mendengar dua kata dari mulut Idhar.
Ziva merasakan pusing luar biasa pagi ini. Beban hidup dalam dirinya benar-benar kian bertambah dengan sikap sang papa yang mendiamkan di pagi ini. Ziva tahu jika sang papa tidak menyukai berita kehamilannya. Bahkan, pagi ini Ziva sudah mengecek dengan tespack untuk membuktikan ucapan dokter itu salah. Namun, faktanya ia memang hamil. Tespack itu menunjukkan dua garis merah yang begitu sangat jelas di matanya. Ziva hanya bisa menghela napas panjang jika ia benar-benar hamil saat ini.Hari ini ia berniat pergi ke counter untuk membeli kartu perdana. Ziva akan menggunakan ponsel milik Regan ini untuk kebutuhan komunikasi ke depannya.Pikiran untuk menggugurkan kandungan pun segera Ziva tepis. Jika ia berani melakukan hal itu sama saja ia menjadi seorang pembunuh bukan? Lalu apa bedanya dengan Regan kalau begini?Dengan sekuat tenaga dan keberanian yang dimiliki, Ziva akan terus mempertahankan kandungannya meski dibenci oleh sang papa.Mengingat har
Ziva kini tengah berjongkok di sebuah tanah gundukan yang terdapat batu nisa bertuliskan ‘Celine Nadira’ dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ziva sengaja mendatangi tempat ini untuk menceritakan kegundahan dan perasaannya selama ini. Ziva berharap setelah menceritakan di depan makam Celine semua perasaannya akan terasa lega.Ziva mulai mengusapi batu nisan itu lembut. Tak lupa juga ia menaburkan bunga tujuh rupa, air mawar, dan sebuket bunga kesukaan Celine yang diletakkan tepat di batu nisan sang kakak. Ziva menatap sendu gundukan tanah itu.“Kak … Ziva ke sini kunjungin kakak. Banyak sekali hal yang ingin Ziva ceritakan sama kakak.” Ziva tersenyum tipis seolah-olah sosok Celine memang berada bersamanya. “Ziva enggak tahu harus cerita sama siapa selain sama kakak. Orang yang selalu mengalah dan menuruti apa yang Ziva inginkan. Ziva kangen sama kakak,” lirihnya.Tak terasa air mata Ziva mulai tumpah. Perempuan itu
Narendra kini tengah pusing menghadapi permasalahan di keluarganya. Regan dan Maya jatuh sakit dalam waktu bersamaan seperti ini. Terlebih ia juga harus mengurusi kantor yang banyak sekali pekerjaan urgent.Satu minggu sudah Regan dan Maya sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama. Mereka berdua sakit disebabkan oleh satu orang. Zivanya Alesha.Regan yang stress memikirkan sang istri sampai menyibukkan diri di kantor sampai larut. Namun, dia juga tidak pernah mengisi perutnya sampai akhirnya jatuh limbung seperti ini. Regan ingin sekali menemui Ziva karena merasakan rindu yang luar biasa. Namun, sang ayah melarangnya keras dan menyuruh tetap tidak usah peduli agar Ziva bisa berpikir dewasa katanya. Narendra menyuruh Regan untuk memberikan ruang sendiri dulu untuk Ziva.Lain hal dengan Maya yang terus melamun dan susah makan. Pikirannya bahkan terus kosong, dan hanya bibirnya saja yang terus memanggil-manggil nama Ziva hingga akhirnya perempuan paruh baya itu la
Setelah lima hari kerja, kini Regan mengajak Ziva dan keluarganya untuk berkunjung ke makam Celine. Regan ingin melakukan ziarah ke makam perempuan yang dulu sempat dekat dengannya. Regan ingin memperbaiki semua agar hidup kedepannya lebih enak.Dan, kini di sinilah Regan bersama sang keluarga saat ini. Mengunjungi makan Celine sambil mendoakan untuk perempuan itu. Regan bahkan mengucapkan permintaan maaf terus karena menuruti keinginan Celine saat itu. Meski semua telat, namun pria itu tetap saja merasa bersalah.“Tidak usah disesali, sayang. Semua itu sudah pilihan Kak Celine.” Kini Ziva mengusap punggung sang suami—mencoba menenangkan dan menguatkan jika apa yang terjadi untuk pembelajaran ke depannya.Regan tersenyum tipis, ia pun menggenggam telapak tangan Ziva erat. “Celine, kini aku sudah hidup bahagia bersama adikmu. Bahkan kita berdua sudah dikaruniai anak yang sangat menggemaskan. Namanya Abbizar, dia anak yang lucu. Andai kamu
Regan dan Ziva kini pergi ke kantor unit agama untuk meluruskan semua data pernikahannya yang sangat berantakan. Semua itu disebabkan oleh Regan, dan pria itu kini sangat begitu gentle untuk menangani dan bertanggung jawab atas semua perbuatannya di masa lalu.Seluruh keluarga Abimana, dan kedua orangtua Ziva pun ikut mengantar anak-anak mereka yang akan meresmikan hubungan pernikahan ini ke tahap yang lebih kuat lagi.Jika selama ini mereka berdua hanya resmi menjadi suami istri yang sah di mata agama, kini mereka akan meresmikan agar sah di mata negara—terlebih Abbizar saat ini membutuhkan akta kelahiran.“Boleh nikah ulang enggak?” tanya Ziva, berbisik.Regan mengerutkan kening bingung. “Maksudnya?”“Kan, selama ini kita nikah siri, jadi biar tambah sah lagi aku pengin kita nikah ulang di sini. Kamu melakukan ijab qobul lagi di sini. Lagian kemarin nikah pakai data yang salah, dan enggak ada persiapan
Ziva kini sudah dipindahkan kembali ke ruang rawat inapnya bersama sang bayi. Bahkan, Ziva merasa takjub melihat tembok kamar rawat inapnya terdapat beberapa balon yang menempel disertai tulisan sambutan untuk sang anak.“Ini siapa yang dekor?” tanya Ziva.“Bunda sama Mama,” jawab Regan.“Mama sudah sampai sini?”“Iya, mereka lagi pada makan di kantin rumah sakit. Katanya laper pas nungguin kamu lama di ruangan bersalin tadi.”Ziva tersenyum meringis mendengar penjelasan dari Regan. “Iya, tadi jahitan dulu. Terus aku IMD, habis itu dicek dan diperiksa ke seluruh tubuh—memastikan tidak terjadi apa-apa.”“Terus sekarang sudah sehat gitu?”“Iya sehat, tapi seluruh badanku pegal semua.”Kini Regan membantu Ziva dari kursi roda menuju ke ranjang rawat inapnya. Perawat yang mendorong box bayi itu langsung pamit pergi setelah tugasnya selesai.
Pilihan untuk menginap di rumah sakit sudah sangat tepat. Hal yang ditakutkan oleh Maya bahkan kini terjadi. Menantunya—Ziva—mengalami kontraksi berulang—hingga akhirnya dia mengalami flek. Hal itu langsung dilaporkan oleh Maya agar diperiksa oleh dokter yang ternyata sudah memasuki pembukaan satu.Maya terus memijit pinggang Ziva yang merasakan pegal luar biasa. Menantunya terus menangis tersendu-sendu karena merasakan sakit sekaligus mulas yang sangat luar biasa hebat. Bahkan Ziva merasakan lima menit sekali perutnya terasa mulas yang amat begitu mulas.“Tarik napas, ya,” kata Regan, pria itu kini bahkan membolos kerja karena dari semalam istrinya sudah merasakan tidak enak—hingga membuat Ziva tidak bisa tidur dan memilih berjalan mondar-mandir seperti setrikaan.Dan, benar saja pas pagi dia mengalami flek saat ingin buang air kecil—hingga akhirnya dinyatakan sudah pembukaan satu. Namun, Ziva menolak saat dokter ingin
Saat ini di rumah Maya sedang ada tukang untuk merenovasi kamar yang tidak digunakan untuk menjadi kamar cucunya nanti. Maya sibuk bertemu arsitek untuk mendekor kamar calon cucunya itu. Tak lupa juga dia sibuk bertemu desain interior agar kamar cucunya menjadi begitu bagus, nyaman, dan sempurna.Maya pun setuju untuk menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Semua ini tentu saja atas ide sang arsitek karena memang Maya menginginkan kamar yang luas untuk calon cucunya. Jadi, di dalam ruangan kamar itu akan ada konsep untuk area bermain bayi dan tempat duduk santai sang ibu jika sedang menyusui. Maya ingin memberikan kenyamanan sang cucu dan menantunya.“Bun, apa enggak terlalu besar kamarnya jika dua ruangan itu digabung?” tanya Ziva, tidak enak hati karena anaknya akan disambut begitu berlebihan oleh keluarga Regan.“Tidak sayang, ini sudah cocok untuk kamu dan cucuku nanti. Jadi dia bisa tidur dan bermain nanti di kamar. Soalnya bayi usia enam
Malam ini Ziva tengah merendam kakinya yang bengkak dengan air hangat yang dicampur garam. Entah ini mitos atau fakta yang pasti ia hanya mengikuti saran dari sang mama.“Gimana? Sudah kempes?” tanya Regan, memastikan jika kaki sang istri akan kempes dalam waktu seketika.“Belum.”Regan mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk memegang ponsel. Pria itu tengah mencari tahu semua keluhan yang dialami wanita hamil di internet. Regan membaca-baca soal keluhan itu hingga menemukan kasus yang serupa—yang dialami sang istri.“Kata internet itu hal yang wajar sayang. Di sini dijelaskan karena adanya peningkatan cairan dan darah yang diproduksi.”Ziva hanya tersenyum lembut mendengar semua penuturan dari sang suami. Pasalnya hal itu sudah dijelaskan secara mendetail oleh dokter kandungannya. Dan, Ziva pun sudah mendapatkan solusi dari dokter kandungan agar posisi tidur lebih tinggi kaki dibanding kepala. Namun, na
Hari ini adalah hari yang begitu spesial untuk Ziva. Hari yang sudah sangat dia tunggu-tunggu sejak tiga bulan yang lalu. Ya, karena hari ini adalah jadwal kepulangan suaminya dari dinas luar kota. Ziva bahkan merasa deg-degan sendiri saat mendengar telepon bunda Maya dengan Regan yang mengatakan sudah sampai bandara dan sedang dalam perjalanan ke rumah.Entah kenapa ia merasa seperti anak ABG yang baru merasakan jatuh cinta. Hatinya deg-degan, bahkan kedua telapak tangannya dingin, perasaannya sangat gugup.“Kamu kenapa gugup begitu?” tanya Maya, tersenyum penuh arti.“Deg-degan, Bun,” jawab Ziva jujur.“Gugup mau ketemu misua, hm?” ledek Maya, terkekeh.Ziva langsung mesam-mesem sendiri mendengar ledekan sang bunda. Terlebih ibu mertuanya itu sangatlah paham bahasa anak-anak muda zaman sekarang. Awalnya Ziva terkejut, namun saat melihat interaksi ibu mertuanya dengan para teman-temannya di mall yang mengobrol d
Ziva pikir jika ucapan suaminya waktu itu hanya bercanda semata atau ajang balas dendam karena ulahnya. Namun, ternyata dia benaran ingin bekerja selama tiga bulan ke luar kota.Ada kesedihan yang mendalam di lubuk hatinya saat ini. Terlebih ia saat ini sedang membantu mengemasi beberapa pakaian kerja sang suami untuk dibawa ke kota Malang besok pagi.Melihat suaminya selesai telepon dengan sekertarisnya membuat Ziva tersenyum getir. Regan langsung duduk di pinggiran ranjang sambil sibuk mengotak-atik ponselnya saat ini. Ziva yang melihat itu langsung menghampiri dan segera memeluknya erat.“Aku pasti akan kangen banget sama kamu,” ucapnya lirih.Regan pun langsung menjatuhkan ponselnya di atas ranjang. Ia segera membalas pelukan sang istri. Mengusap punggungnya dengan sangat lembut. “Aku juga pasti akan lebih kangen.”“Jangan selingkuh! Jangan lupain aku! Awas aja kalau ketahuan main sama perempuan lain. Aku enggak ma
Hampir satu mingguan ini sifat Ziva sangatlah manja kepada Regan. Terlebih perempuan itu merengek terus menerus agar keinginannya untuk makan nasi padang akan segera dikabulkan. Namun, pikiran Ziva salah. Pria itu justru tidak mewujudkannya dengan dalih itu hanya mitos saja jika anaknya kelak akan ileran.Masih dengan wajah yang cemberut, Ziva masih memunggungi posisi Regan yang duduk di sampingnya.“Sudahlah Regan turutin saja keinginan istrimu,” dukung Maya.Ziva mengangguk-angguk menyetujui ucapan ibu mertuanya. Lain hal dengan pria itu yang justru menggeleng kuat.“Warung nasi padang banyak, Bun. Ngapain jauh-jauh ke kota Padangnya. Di Jakarta juga banyak.”“Tuh, kan, Bun! Anak Bunda ini kurang peka.” Ziva kembali merajuk dan terus mencari bala dukungan dari Maya yang selalu memihaknya. “Biarin aja nanti anaknya ileran. Kalau pergi kemana-mana anaknya ngiler sampai panjang lima meter. Dia juga nanti yan