Intan tengah memandang mata Ziva lekat. Ada kesedihan, kepedihan, dan kekecewaan yang tergambar dengan jelas di netra mata perempuan cantik itu. Intan bisa memaklumi perasaan Ziva yang sangat tergoncang saat ini. Pasti perempuan itu sangat syok saat mengetahui fakta sebenarnya meski terasa masih abu-abu.
Sebelum menjelaskan apa yang diketahuinya, Intan mengambil napas sejenak. Ia bahkan melakukan berulang hingga membuat ekspresi antusias di wajah Ziva sedikit memudar karena menunggu Intan yang belum kunjung juga bercerita.
“Jadi saat itu ….” Intan berhenti, ia mengambil napas lagi karena merasakan pasokan oksigen di sekitarnya merasa telah lenyap. Intan merasakan sesak. “Aku tidak tahu persis dia dibunuh atau memang bunuh diri. Karena saat menerima telepon dan membuat sebuah video, Celine menangis tersendu-sendu. Bahkan tatapan bahagia yang terpancar saat diriku masuk ke ruang make-up berubah dengan wajah kecewa juga sakit hati. Tapi, yang aku
Ziva menerima kotak hitam itu dengan sedikit ragu, namun tetap saja air mukanya menunjukkan powerful kepada Regan.“Kamu bisa membukanya, dan yang dikatakan kamu memang benar jika di dalam itu merupakan alat yang digunakan Celine untuk mengakhiri hidupnya. Namun, alasanku menyimpan hingga detik ini agar kamu bisa melihat sendiri nanti di waktu yang tepat.”Ziva berdecih mendengar serentetan ucapan Regan. Baginya yang diucapkan oleh pria itu hanya alibi semata agar ia berhenti menuntut? Itu tidak akan pernah Ziva kabulkan.“Dan, satu lagi yang aku inginkan agar kamu mengabulkan itu. Ceraikan diriku Regantara Abimana,” tegas Ziva dengan rahang yang sudah mengetat begitu kuat. “Aku tidak sudi menjadi istri pria macam dirimu!” imbuh Ziva, mengejek.Regan yang mendengar itu hanya mengetatkan rahang kuat. Hatinya merasa tercubit dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Ziva. bukan ejekan yang dilontarkan yang membuat sakit hati
Ziva benar-benar berhasil mengelabuhi Regan malam ini dengan pura-pura pingsan. Meski jujur saja ia memang sangat merasakan pusing luar biasa. Namun, Ziva masih bisa kuat menahan kesadarannya. Lebih sialnya lagi saat kabur, ia hanya bisa membawa kotak hitam itu keluar rumah. Sepatunya bahkan ia tinggalkan agar tidak memakan waktu lama. Namun, meski demikian ia masih merasa untung karena ruangan kerja Regan belum terkunci.Mata Ziva menatap kotak hitam itu dengan pandangan berbinar karena besok ia akan menyerahkan ke kantor polisi sebagai bukti atas kasus yang Regan lakukan.Kondisi fisik yang terasa lelah membuat Ziva berjalan pelan di sepanjang trotoar jalan. Ziva memasukkan kotak itu ke dalam tasnya. Ia segera mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online. Namun, baru membuka aplikasi ojek online, ponselnya langsung dirampas oleh seseorang yang memang mengikutinya dari belakang sejak tadi.“Copeeetttt!” teriak Ziva lantang. Suaranya bahkan terasa a
Samar-samar Ziva mendengar suara Idhar. Ia pun segera membuka mata perlahan saat ini. Dugaannya tidak pernah meleset karena memang ia melihat Idhar sedang berbincang-bincang dengan dokter kampus-nya.Melihat mata Ziva sudah terbuka membuat pandangan Idhar segera menatap takjub ke arahnya. “Astaga! Akhirnya lo sadar juga!”Ziva tersenyum tipis melihat wajah khawatir pria itu. Bahkan suara dengkusan dari mulut Idhar bisa terdengar begitu sangat jelas di telinganya.“Kok lo bisa di sini?” tanya Ziva.Idhar hanya diam saja. Matanya menatap manik mata perempuan yang kini tengah terbaring di brangkar dengan wajah bingung.“Har,” tegur Ziva karena melihat Idhar hanya diam saja sejak tadi. Bahkan tatapan Idhar tampak bingung saat ini. “Lo kenapa jadi pendiam gitu, sih?” ledek Ziva, tersenyum.“Lo hamil.”Mata Ziva langsung membola begitu sempurna mendengar dua kata dari mulut Idhar.
Ziva merasakan pusing luar biasa pagi ini. Beban hidup dalam dirinya benar-benar kian bertambah dengan sikap sang papa yang mendiamkan di pagi ini. Ziva tahu jika sang papa tidak menyukai berita kehamilannya. Bahkan, pagi ini Ziva sudah mengecek dengan tespack untuk membuktikan ucapan dokter itu salah. Namun, faktanya ia memang hamil. Tespack itu menunjukkan dua garis merah yang begitu sangat jelas di matanya. Ziva hanya bisa menghela napas panjang jika ia benar-benar hamil saat ini.Hari ini ia berniat pergi ke counter untuk membeli kartu perdana. Ziva akan menggunakan ponsel milik Regan ini untuk kebutuhan komunikasi ke depannya.Pikiran untuk menggugurkan kandungan pun segera Ziva tepis. Jika ia berani melakukan hal itu sama saja ia menjadi seorang pembunuh bukan? Lalu apa bedanya dengan Regan kalau begini?Dengan sekuat tenaga dan keberanian yang dimiliki, Ziva akan terus mempertahankan kandungannya meski dibenci oleh sang papa.Mengingat har
Ziva kini tengah berjongkok di sebuah tanah gundukan yang terdapat batu nisa bertuliskan ‘Celine Nadira’ dengan perasaan yang begitu campur aduk. Ziva sengaja mendatangi tempat ini untuk menceritakan kegundahan dan perasaannya selama ini. Ziva berharap setelah menceritakan di depan makam Celine semua perasaannya akan terasa lega.Ziva mulai mengusapi batu nisan itu lembut. Tak lupa juga ia menaburkan bunga tujuh rupa, air mawar, dan sebuket bunga kesukaan Celine yang diletakkan tepat di batu nisan sang kakak. Ziva menatap sendu gundukan tanah itu.“Kak … Ziva ke sini kunjungin kakak. Banyak sekali hal yang ingin Ziva ceritakan sama kakak.” Ziva tersenyum tipis seolah-olah sosok Celine memang berada bersamanya. “Ziva enggak tahu harus cerita sama siapa selain sama kakak. Orang yang selalu mengalah dan menuruti apa yang Ziva inginkan. Ziva kangen sama kakak,” lirihnya.Tak terasa air mata Ziva mulai tumpah. Perempuan itu
Narendra kini tengah pusing menghadapi permasalahan di keluarganya. Regan dan Maya jatuh sakit dalam waktu bersamaan seperti ini. Terlebih ia juga harus mengurusi kantor yang banyak sekali pekerjaan urgent.Satu minggu sudah Regan dan Maya sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama. Mereka berdua sakit disebabkan oleh satu orang. Zivanya Alesha.Regan yang stress memikirkan sang istri sampai menyibukkan diri di kantor sampai larut. Namun, dia juga tidak pernah mengisi perutnya sampai akhirnya jatuh limbung seperti ini. Regan ingin sekali menemui Ziva karena merasakan rindu yang luar biasa. Namun, sang ayah melarangnya keras dan menyuruh tetap tidak usah peduli agar Ziva bisa berpikir dewasa katanya. Narendra menyuruh Regan untuk memberikan ruang sendiri dulu untuk Ziva.Lain hal dengan Maya yang terus melamun dan susah makan. Pikirannya bahkan terus kosong, dan hanya bibirnya saja yang terus memanggil-manggil nama Ziva hingga akhirnya perempuan paruh baya itu la
Mendapat informasi dari Idhar membuat Regan mulai mengawasi pergerakan Ziva dari jauh. Pria itu pagi-pagi selalu menyempatkan ke rumah Ziva dan mengawasi dari jarak jauh. Dan, setelah melihat Ziva pergi ke kampus membuat Regan akan berjalan pergi menuju kantor.Setelah jam kerja selesai pun yang dilakukannya tidaklah pulang ke rumah. Melainkan ke rumah Ziva untuk memandangi wajah sendu perempuan yang sangat dirindukannya ini.Ada gejolak rasa yang sulit sekali ia bendung saat ini. Rasanya ia ingin sekali memeluk, mendekapnya erat hingga mencium istrinya saat ini. Tapi, melihat wajah sendu itu membuat Regan mengurungkan niat.Tak lupa juga ia sudah mendapatkan nomor baru milik Ziva dari Idhar. Meski dengan cara memaksa pria itu.“Sayang … aku rindu,” gumam Regan, menatap Ziva dari kejauhan.Melihat sepeda motor berhenti tepat di depan rumah Ziva membuat kening Regan mengerut. Ia seperti tidak asing dengan sepeda motor itu. Benar s
Pukul tiga sore Ziva keluar ruang sidang dengan perasaan campur aduk. Bahkan wajahnya sudah pucat. Keringat dingin pun sudah membasahi seluruh wajah. Kondisinya yang lagi hamil muda membuat fisiknya gampang terasa lelah. Bisa dibayangkan Ziva berangkat pukul enam pagi dan pukul tiga sore baru selesai sidang. Belum lagi menunggu pengumuman yang akan diumumkan nanti pukul lima sore. Ziva semakin terasa lemas saat ini. Bukan soal ia merasa gugup menjawab pertanyaan dari dosen penguji. Tapi, siang tadi ia tidak menyempatkan makan karena sibuk belajar agar bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.Sekarang kepalanya terasa sakit. Perutnya mual. Kakinya lemas. Pandangannya mulai menguning bahkan terasa lama-lama mulai menghitam. Namun, tubuhnya langsung dipegang oleh Nindi.“Lo kenapa? Wajah lo pucat banget,” kata Nindi.“Gue gapapa, cuma butuh istirahat aja.”“Wajah lo pucat banget, Ziv. Mendingan ke kantin aja yuk,” ajak