Semenjak pulang kampung Satria hanya berada di rumah atau berkeliling di sekitar rumahnya. Lelaki itu terlalu lama pergi merantau sehingga tidak begitu akrab dengan warga sekitar. Warga yang seumuran dengannya pun kebanyakan juga pergi meranta di kota-kota besar sehingga Satria tidak ada teman kumpul untuk melepas jenuh. Jika adapun yang menyapa maka kebanyakan yang menyapa adalah orang tua yang ingin memperkenalkannya dengan anak gadis mereka.Satria yang bosan di rumah diam-diam pergi ke sungai. Lelaki itu sengaja tidak berpamitan dengan sang ibu karena takut ibunya kan khawatir dengannya.Terkadang Satria juga merasa jengkel terhadap ibunya yang terus menganggapnya seperti anak kecil dan akan hilang jika pergi terlalu jauh dari rumah, padahal dirinya juga sudah hampir tiga puluh tahun, dimana usia tersebut sudah bukan lagi anak kecil. namun, Satria juga bisa memahami kenapa ibunya bersikap demikian. Satria berpikir mungkin saja ibunya itu hanya ingin menunjukkan perhatian karena se
"Nak! Nak! Bangun, Nak!" Satria membuka matanya saat pipinya terasa ditepuk berkali-kali oleh seseorang. Satria juga mendengar suara kakak tua yang menyuruhnya untuk bangun. "Ah, kepalaku sakit!" Satria berusaha bangun. Ternyata dirinya terbangun dengan posisi tengkurap di atas tanah. Terlihat sesekali Satria menggelengkan kepalanya. "Aku di mana? Kepalaku pusing sekali!" Satria bergumam pelan. Setelah sadar, Satria yang matanya telah terbuka sempurna memindai sekitar. Penglihatannya sedikit menyipit saat melihat jika ada kakek-kakek tengah duduk di sampingnya. "Kakek yang menolong saya?" Satria bertanya dengan ragu. Sang kakek tidak menjawab pertanyaan Satria. Namun, beliau justru tersenyum dan membantu Satria untuk berdiri. "Ayo, Nak. Kakek antar kamu pulang. Kenapa kamu bisa pingsan di sini?" Sang kakek memapah tubuh Satria yang masih sempoyongan karena kepalanya yang pusing. Di ingatan Satria terakhir kali dirinya pagi-pagi datang ke sini hanya untuk membuang rasa stress d
Sepulang dari kediaman Kyai Ibrahim, Satria tidak langsung masuk ke dalam rumah. Lelaki itu memutuskan untuk duduk di bale bambu yang ada di teras rumahnya.Jujur saja, percakapannya dengan sang guru benar-benar telah menguras emosinya. Dalam satu hari dirinya harus menerima kenyataan yang pahit bertubi-tubi. Satria harus mengetahui kebenaran yang selama ini tidak dirinya ketahui dan kebenaran itu adalah hal yang telah merubah jalan hidupnya selama ini.Sejujurnya Satria ingin marah. Namun, dirinya bingung harus marah dengan siapa? Haruskah dirinya menyalahkan takdir yang tidak adil?Bu Hafsah yang melihat anaknya sedang melamun pun mendekati anaknya, berharap anak semata wayangnya itu mau membagi isi hati dengannya."Kok melamun, Nak? Apa yang sedang kamu pikirkan?"Satria menatap ibunya yang baru saja mengusap lembut pucuk kepalanya. Satria tersenyum lalu mengambil tangan sang ibu dan menempelkannya di pipi.“Satria tidak apa-apa, Bu.” Satria memasang senyum di wajahnya berharap ibu
"Seruni, Kyai? Bagaimana mungkin adik sepupuku itu dalang yang menimpa Nur saat ini?"Satria tidak menyangka jika perempuan yang berada di mimpi Nur adalah adik sepupunya, anak dari pamannya, Seruni."Kamu ingin tahu apa yang dikatakan Seruni kepada Nur di mimpinya, Satria?"Satria mengangguk mengiyakan. Bagaimana mungkin Satria tidak penasaran karena mereka yang disebut namanya oleh Kyai Ibrahim adalah perempuan yang dekat dengannya."Seruni berkata jika kamu adalah pengantinnya. Kamu dan Seruni sudah ditakdirkan bersama. Kamu dan Seruni akan menjadi pengantin di Rawa Ireng. Nur tidak di ijinkan untuk mendekatimu. Atau Nur akan berakhir dengan kematian." Kyai Ibrahim menjelaskan dengan singkat dan jelas."Saya dan Seruni menjadi pengantin di Rawa Ireng, Kyai? Lalu, Nur akan meninggal jika bersama saya?" Satria bertanya dengan nada tidak percaya.Kyai Ibrahim mengangguk pelan. Satria mengusap wajahnya kasar.Dirinya tahu cerita tentang Rawa Ireng yang tanahnya menjadi tempat berdirin
Satria diam tidak bergerak saat wajahnya digerayangi oleh tangan halus perempuan cantik di hadapannya. Ujung jarinya yang lentik terus menyentuh setiap lekuk wajah Satria. Mulai dari mata, hidung, pipi dan berakhir di bibir.Satria yang diperlakukan itu entah mengapa menjadi membatu. Tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun, bahkan untuk mengedipkan mata pun Satria tak mampu.Perempuan yang wajahnya begitu cantik itu begitu menikmati tindakannya yang tengah menjamah wajah Satria. Tak lama, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Satria hingga akhirnya dahi mereka saling beradu.Dada Satria langsung berdegup kencang, lelaki itu tak bisa menahan godaan dari paras perempuan yang kecantikannya begitu nyata itu. Terlebih, aroma wangi juga ikut menyebar dan menerobos masuk ke penciuman."Jangan bilang kalau kamu melupakanku, Kang Mas."Hawa hangat yang berhembus dari mulut si perempuan menerpa wajah Satria dan membuat Satria semakin tegang tubuhnya. Seumur hidup baru kali ini Satria begitu dekat den
"Kalian berdua tenanglah! Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang dilakukan oleh Seruni memang salah. Tapi itu juga sudah terlanjur. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bukan hanya anak kalian yang menjadi korban, tapi anakku Nur juga menjadi korban. Namun, dengan bertengkar dan saling menyalahkan itu percuma. Tidak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik sekarang kita tenang dan pikirkan jalan keluarnya." Kyai Ibrahim melerai pertengkaran antara Bu Hafsah dan Paman.Agaknya usaha Kyai Ibrahim untuk membuat suasana kembali tenang berhasil.Terlihat Bu Hafsah kembali duduk di ranjang untuk mengompres Satria. Sementara itu Paman Ahmad terlihat membuang muka sambil membuang nafas kasar. Untuk saat ini tak ada lagi teriakan karena masing-masing orang yang ada disana sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.Seruni, gadis ayu berusia dua puluh tahun itu tanpa sengaja membuka jalan bagi jiwa seorang perempuan yang rela bertapa melewati ratusan masa demi sebuah cinta dan juga dendam. Tentu s
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un