“Bapak...,” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu, Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya telah kembali dengan selamat. “Akhirnya kamu sadar, anakku,” Pak Ahmad tak bisa menahan rasa harunya karena melihat anak gadisnya akhirnya sadar. Sedang Seruni tentu saja kebingungan melihat bapaknya yang seperti itu. “Bapak kenapa? Kenapa Bapak menangis?” Lagi, Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang basah oleh air mata. Gadis itu adalah gadis yang lembut hatinya tentu saja sedih melihat wajah bapaknya yang terlihat kelelahan serta sedih. “Nggak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Pak Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api. “Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak.” Seruni menunjukkan ekspresi wajah bingung. Nampaknya, Seruni sama sekali tidak ingat den
Bu Hafsah yang kini berada di rumah sakit tampak bersedih. Anak semata wayangnya, Satria, terbaring tak berdaya dengan berbagai peralatan medis yang menempel di tubuhnya."Oalah, Cah Bagus, kamu kenapa bisa begini, to?" ucap Bu Hafsah sambil menangis, memegangi tangan Satria yang terpasang jarum infus.Wanita paruh baya itu hanya sendirian di rumah sakit. Tak ada satupun kerabat yang menemani. Ia tampak sangat pilu menyaksikan anaknya yang belum juga sadar.Menurut keterangan dokter, Satria mengalami retak di bagian tulang rusuk akibat menabrak benda tumpul. Lebih tepatnya, tubuh Satria terpental hingga menabrak tembok dengan sangat keras. Keadaan semakin memburuk karena Satria sempat muntah darah, sehingga kondisinya kini memasuki fase kritis.Bu Hafsah terus melantunkan doa, memohon agar anaknya segera selamat dan terbebas dari kondisi kritis.Tak lama kemudian, doanya dikabulkan. Satria perlahan membuka matanya."Ibu..." Satria berucap dengan suara yang sangat pelan, hampir tak ter
Di pesisir pantai yang dihiasi pasir putih, mentari pagi masih menyembul malu-malu dari arah timur. Cahaya oranye yang mulai merekah memberikan sentuhan hangat di balik dinginnya angin pagi yang menusuk kulit. Suasana begitu sunyi, hanya suara debur ombak yang terdengar, seolah pantai itu menjadi dunia tersendiri, jauh dari hiruk-pikuk manusia.Terlihat sosok seorang pria dengan jaket kulit hitam yang telah usang, celana panjang berbahan katun, dan sebuah blangkon yang tersemat di kepalanya. Pria itu melangkah perlahan, menyusuri pantai yang bersih, tanpa jejak manusia. Tak ada penerangan selain sinar jingga mentari yang mulai memecah gulita.Pantai ini seperti tersembunyi dari peradaban, seolah belum pernah dijamah oleh manusia. Pasirnya putih bersih, tak tercemar oleh sampah atau noda apapun. Angin laut membawa aroma khas asin yang menyegarkan, namun dinginnya tetap mampu membuat tubuh menggigil.Semakin lama, semakin terlihat jelas rupa pria itu. Wajahnya dihiasi kumis tebal, menam
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu
Di pesisir pantai yang dihiasi pasir putih, mentari pagi masih menyembul malu-malu dari arah timur. Cahaya oranye yang mulai merekah memberikan sentuhan hangat di balik dinginnya angin pagi yang menusuk kulit. Suasana begitu sunyi, hanya suara debur ombak yang terdengar, seolah pantai itu menjadi dunia tersendiri, jauh dari hiruk-pikuk manusia.Terlihat sosok seorang pria dengan jaket kulit hitam yang telah usang, celana panjang berbahan katun, dan sebuah blangkon yang tersemat di kepalanya. Pria itu melangkah perlahan, menyusuri pantai yang bersih, tanpa jejak manusia. Tak ada penerangan selain sinar jingga mentari yang mulai memecah gulita.Pantai ini seperti tersembunyi dari peradaban, seolah belum pernah dijamah oleh manusia. Pasirnya putih bersih, tak tercemar oleh sampah atau noda apapun. Angin laut membawa aroma khas asin yang menyegarkan, namun dinginnya tetap mampu membuat tubuh menggigil.Semakin lama, semakin terlihat jelas rupa pria itu. Wajahnya dihiasi kumis tebal, menam
Bu Hafsah yang kini berada di rumah sakit tampak bersedih. Anak semata wayangnya, Satria, terbaring tak berdaya dengan berbagai peralatan medis yang menempel di tubuhnya."Oalah, Cah Bagus, kamu kenapa bisa begini, to?" ucap Bu Hafsah sambil menangis, memegangi tangan Satria yang terpasang jarum infus.Wanita paruh baya itu hanya sendirian di rumah sakit. Tak ada satupun kerabat yang menemani. Ia tampak sangat pilu menyaksikan anaknya yang belum juga sadar.Menurut keterangan dokter, Satria mengalami retak di bagian tulang rusuk akibat menabrak benda tumpul. Lebih tepatnya, tubuh Satria terpental hingga menabrak tembok dengan sangat keras. Keadaan semakin memburuk karena Satria sempat muntah darah, sehingga kondisinya kini memasuki fase kritis.Bu Hafsah terus melantunkan doa, memohon agar anaknya segera selamat dan terbebas dari kondisi kritis.Tak lama kemudian, doanya dikabulkan. Satria perlahan membuka matanya."Ibu..." Satria berucap dengan suara yang sangat pelan, hampir tak ter
“Bapak...,” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu, Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya telah kembali dengan selamat. “Akhirnya kamu sadar, anakku,” Pak Ahmad tak bisa menahan rasa harunya karena melihat anak gadisnya akhirnya sadar. Sedang Seruni tentu saja kebingungan melihat bapaknya yang seperti itu. “Bapak kenapa? Kenapa Bapak menangis?” Lagi, Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang basah oleh air mata. Gadis itu adalah gadis yang lembut hatinya tentu saja sedih melihat wajah bapaknya yang terlihat kelelahan serta sedih. “Nggak apa-apa. Bapak tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Pak Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api. “Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak.” Seruni menunjukkan ekspresi wajah bingung. Nampaknya, Seruni sama sekali tidak ingat den
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena