Namaku Susan, dulu aku bekerja sebagai sekertaris dewan direksi di sebuah perusahaan farmasi ternama. Banyak teman seangkatanku yang menganggapku beruntung dengan jenjang karirku yang luar biasa cepat di perusahaan. Tapi taksedikit pula yang iri dan lebih suka berpikiran picik bahwa aku hanya sekedar memanfaatkan kelebihan fisikku untuk menggait perhatian atasanku.
Aku memang selalu ikut serta dalam meeting-meeting penting perusahaan, bepergian keluar kota bahkan keluar negeri adalah hal biasa yang kujalani. Orang kadang memang sering memiliki pikiran negatif saat melihat wanita muda berkarir dengan mudah. Tapi sepertinya juga tidak perlu kujelaskan kepada semua orang tentang prinsipku dalam menjaga diri. Cukup hanya dengan dukungan dan kepercayaan dari kedua orang tuaku, karena bagiku hanya pendapat mereka yang penting.
Keluargaku juga sudah tahu jika aku memiliki hubungan yang sudah sangat stabil dengan salah seorang mantan teman kuliahku. Kami sudah berhubungan hampir dua tahun dan sudah berencana untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius. Meski kami sama-sama belum mengutarakan niat tersebut secara langsung tapi kedua keluarga kami sudah sangat terbuka dan memberi lampu hijau terhadap hubungan kami. Nolan juga memiliki karir yang luar biasa di perusahaan tempatnya bekerja, dia sudah menjabat sebagai wakil dewan direksi di usianya yang masih sangat muda. Aku merasa hidupku sudah sangat sempurna dengan keluarga yang selalu mendukungku, karir yang luar biasa, dan pria sebaik Nolan yang mencintaiku.
'Sampai mimpi buruk itu tiba dan aku merasa benar-benar gila karena ada pria bernama Eric Northman di kepalaku!'
"Susan, " dia memanggilku, tapi aku tetap pura-pura sibuk untuk mengancingkan blazer.
"Susan, tolong dengarkan aku."
"Sudah jangan berisik karena aku sudah hampir terlambat!"
Aku buru-buru menyambar handphone dan tas jinjing, bahkan memakai sepatu sambil menuang susu ke dalam gelas yang kemudian langsung kuteguk sampai habis. Aku tidak sempat membuat sarapan karena aku bakal terlambat.
"Di mana kau menyimpan kunci mobilku? " tanyaku setelah sampai di basemen.
"Di tasmu."
Buru-buru aku merogoh ke dalam tas jinjingku dan menemukan serangkaian kunci dengan gantungan kepala singa. Aku sempat merinding melihat kumisnya tapi coba kuabaikan.
"Di mana mobilku? " Aku bingung karena tidak mendapati sedan merah cherryku di manapun sampai kudengar cuitan dari mobil hitam berbodi kokoh itu ketika kupencet tombol alarm di tanganku. Sangking tidak percayanya aku sampai mengulangnya beberapa kali.
Kemudian aku diam dan berhenti.
"Jangan bilang kau menukar mobilku dengan benda mirip tank ini?"
"Sungguh aku merasa aneh ketika harus duduk di dalam sedan merahmu yang mencolok," awab Eric dari dalam kepalaku.
Coba kukendalikan diriku sampai sejauh ini dan kembali kulihat gantungan kunci berkepala singa itu. Buru-buru aku melepasnya dan menginjak-injak benda itu untuk melampiaskan kekesalanku seperti gadis kecil yang merajuk saat dibelikan mainan yang salah.
"Jangan sampai kau juga menjadikanku miskin karena membeli benda seperti ini!" kutendang bodi besar dari mobil berlapis baja sialan yang membuat kakiku justru hampir terkilir.
"Kau bisa cek sendiri saldo rekeningmu nanti," suara Eric kembali mengingatkanku.
"Jika kau tidak bersembunyi di dalam kepalaku pasti aku sudah mencakarmu pengecut!"
Sungguh aku tidak pernah bermimpi untuk menaiki kendaraan seperti ini. "Aku tidak tahu bagaimana harus memarkirnya nanti. "
"Kau tidak sendiri," kata suara di kepalaku.
Bagaimana aku bisa hampir lupa jika dia juga bisa mengendalikan tubuhku. Aku mulai khawatir jika jangan-jangan dia jauh lebih menguasai tubuhku dari pada diriku sendiri. Sepertinya aku memang harus cepat memikirkan cara untuk menyingkirkannya sebelum hal mengerikan itu benar-benar terjadi dan kuharap dia tidak bisa mendengar apa yang sedang kupikirkan. Aku mulai berpikir hati-hati.
Sepertinya kali ini aku juga belum bisa berpikir waras, sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi walau aku tahu saat ini Eric yang sedang menyetir mobilnya.
Sekali lagi kutegaskan, 'mobilnya!' ... 'bukan mobilku!' karena aku tidak ingin menyebut benda seperti thank ini sebagai mobil.
"Kita mau kemana?" tanyaku bingung karena sepertinya dia tidak membawaku menuju kantor.
"Kau bekerja di tempat lain."
"APA!!!"
"Kau sudah mengundurkan diri sejak tahun lalu."
Spontan kubanting stir ke kanan sampai mobil Eric menabrak pembatas jalan yang akhirnya ringsek, tapi bodi mobilnya tetap utuh.
"Sial! " dia mengumpat dengan mulutku.
Sepertinya dia memang lebih kuat dariku karena aku tidak dapat mencegahnyamengucapkan kata-kata kotor.
"Katakan apa lagi yang sudah kau lakukan terhadap hidupku!" teriakku seperti orang gila yang bicara sendiri setelah membuat mobilnya menabrak pembatas jalan.
Aku tidak mendengar Eric mengatakan apa-apa, mungkin dia diam karena merasa bersalah. Kemudian aku melompat turun dari mobil untuk berjalan kaki.
"Kau mau kemana?" baru saat itu dia bertanya.
"Aku mau bunuh diri, memangnya apa urusanmu!" Aku menantangnya.
Bukannya terus berjalan seperti keinginanku, aku malah balik lagi masuk ke dalam mobil. Duduk dan mulai menghidupkan mesin kembali.
"Hentikan ini, Eric!"___" hentikan!" aku berhasil berteriak meski dia berusaha menutup mulutku dengan tanganku sendiri.
Bayangkan betapa anehnya adegan itu.
"Tenanglah, Susan! tenanglah ...!"
"Kau brengsek!"
"Sepertinya kita harus bicara dan tidak bisa terus bertengkar seperti ini!"
Karena kesal kugigit lenganku sendiri saat Eric lengah. Aku tahu dia juga bisa merasakannya.
"Berhentilah menyakiti dirimu sendiri!" dia terdengar marah tapi aku tidak perduli.
"Ini tubuhku, jangan ikut campur! Jika kau tidak suka pergilah saja!"
"Sungguh, Susan, kita tidak bisa terus seperti ini."
"Aku membencimu Eric Sungguh aku membencimu!" napasku masih berdesis-desis oleh kemurkaan yang aku tidak tahu bagaimana harus melampiaskannya. Eric coba menghalangiku bahkan dia sudah memundurkan mobilnya dan kembali berjalan.
Aku sudah tidak perduli dia mau mebawaku ke mana, bahkan dia juga tidak membiarkanku menangis walaupun aku sedang ingin berteriak dan menjerit. Bibirku seperti di bungkam jika dia memang tidak mengijinkan.
"Tabrak saja tiang listrik di depanmu!"
"Jangan gila, Susan! "
Aku ingin mati saja karena sungguh aku tidak rela hidup dengan tubuh yang dikuasai orang lain seperti ini. Aku hanya bisa berpikir tapi tubuhku seperti terikat, tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menyisir rambut atau mengosok gigi pun sepertinya aku juga tidak akan bisa jika Eric tidak mengijinkannya.
"Aku akan tetap melakukannya jika kau tetap tidak bisa diajak bicara!"
"Kau memang monster!" teriakku.
"Kau tidak harus menyukaiku, tapi paling tidak kita bisa bekerja sama!" tegas Eric.
Aku memilih diam karena tidak sudi memikirkannya sama sekali. Bahkan saat aku berpaling kaku justru Eric memaksa bibirku untuk tetap tersenyum.
"Hentikan ini!"
Bagaimanapun aku tidak ingin nampak sinting dengan senyum yang dibuat Eric.
"Kita akan pulang, dan aku akan mengurungmu di rumah jika kau tetap tidak bisa diajak kompromi!"
"Lakukan saja sesukamu!"
Aku memilih diam karena aku tahu apapun yang kulakukan akan percuma, aku tidak akan bisa menang melawan Eric. Jelas dia lebih kuat dariku dan lebih menguasai tubuhku. Tapi mungkin aku masih bisa melawannya dengan jurus pamungkas wanita, karena ngambek dan tidak mau bicara adalah jurus paling ampuh yang sering dilancarkan para wanita jika sedang kesal.
Kuputuskan, aku akan diam!
Eric benar-benar membawaku pulang, dan aku masih memilih diam tak mengajaknya bicara sama sekali. Bahkan saat satpam apartemenku menyapa, kubiarkan Eric yang melambai dan menjawabnya. Dia juga tidak bicara apa-apa padaku sampai kami kembali ke dalam apartemen.Aku tidak tahu apa yang dicari Eric di dalam lemari pendingin, mungkin dia juga lapar sama sepertiku. Tentu karena kami ada di satu kepala pastinya kami juga merasakan hal yang sama, bahkan sampai sekarang aku masih merasa aneh tentang hal ini. Kubiarkan Eric terus bergerak dan aku sama sekali tidak ingin ikut campur karena jujur aku sempat penasaran juga dengan apa yang dia lakukan terhadap tubuhku selama hampir dua tahun ini.Aku baru tahu jika ternyata Eric juga mengisi cukup banyak makanan di lemari pendinginku, sesuatu yang bahkan dulu tidak pernah kul
"Bangun. Susan! tau aku akan menciummu! "'Sial!'Aku segera terkesiap bangun karena mengira benar-benar ada pria di dekat wajahku. Aku sempat melihat ke sekeliling sebentar dan berharap hidupku akan kembali normal, sampai kemudian kudengar lagi suara Eric dari dalam kepalaku."Kapan kau akan enyah dari kepalaku!""Akhirnya kau kembali bicara," ejeknya dengan cukup puas.Sepertinya hari masih pagi dan aku sudah kembali dibuat kesal."Bisakah kau menyingkir sejenak, aku butuh waktu untuk menjalani rutinitas pagiku." Bagaimanapun aku perlu mandi dan ke toilet."Kau tahu aku tidak bisa ke mana-m
Aku tidak tahu bagaimana lagi harus menghubungi orang tuaku. Sudah dua kali kuperiksa daftar kontak di HP-ku dan sama sekali tidak kutemukan satupun nomor keluargaku. Memangnya apa saja yang dilakukan Eric selama dua tahun ini terhadap hidupku?"Benda tak berguna!"Ingin kulempar benda itu tapi Eric mencegahku. Ingat dia tetap lebih kuat untuk mengendalikan tubuhku dan aku jadi tak berdaya."Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain merusak hidupku!" aku berteriak padanya.Aku benar-benar marah tapi tidak tahu bagaimana harus membalas semua perbuatannya itu. Aku tahu ini baru sebagian dan aku belum sempat memikirkan yang lainnya. Aku sudah kehilangan pekerjaan dan orang tuaku, aku belum mau memikirkan yang
Aku tidak tahu kapan Eric akan enyah dari kepalaku, sedangkan tiga hari saja dia sudah menghancurkan begitu banyak hal dalam hidupku. Sekarang aku tidak tahu kabar keluargaku, kehilangan karir yang sudah susah payah kubangun, ditinggal bertunangan oleh pria yang kucintai, dan semua itu karena Eric Northman!Rasanya layak sekali jika aku masih ingin mengutuknya menjadi batu.Eric coba mengajakku bicara dari pagi, tapi aku masih mengabaikannya karena kesal. Kusibukkan diriku untuk memikirkan hal lain dan menganggapnya tidak ada. Aku tahu dia tidak suka diacuhkan dan anggap saja itu sebagai sedikit hukuman atas perbuatannya, mengingat aku juga tidak dapat memukul atau mencakar wajahnya jika sedang kesal. Sebenarnya hukuman ini tetap tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang sudah dia perbuat terhad
Aku senang Eric melaksanakan kata-katanya untuk tidak mencampuri hidupku, sehingga pagi ini rasanya aku seperti mendapatkan pagi yang normal tanpa suara Eric Northman di kepalaku.Baru kali ini sepertinya aku juga mulai memperhatikan detail kamarku yang ternyata sudah banyak berubah. Eric hampir membuang semua pernak-pernik di meja riasku. Sempat terpikirkan seperti apa penampilanku beberapa tahun ini. Bahkan setelah kubongkar-bongkar isi laci ternyata sama sekali tidak ada jenis skin care apapun seperti yang biasanya aku pakai. Hanya ada makeup standar seperti bedak lipstik pensil alis dan ikat rambut. Segera kuperiksa wajahku di cermin sekedar memastikan Eric juga tidak merusaknya. Kutepuk-tepuk pipiku beberapa kali sekedar untuk memastikan lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang memperhatikannya karena terlalu sibuk dengan urusan Eric Northman yang tiba-tiba ada di kepa
"Bangun Susan .... Bangun! kau harus bekerja hari ini!" Aku jengkel tiap kali suara itu kembali mengusik hidupku bahkan sejak pagi buta. "Kenapa kau berisik sekali, Eric!" "Ingat kau harus bekerja hari ini, kecuali kau mau kehilangan pekerjaanmu lagi! Aku sudah susah payah mendapatkan pekerjaan ini untukmu!"Dia coba mengingatkan lagi meski aku masih malas, bukan malas bangun, tapi malas mengikuti kata-katanya, malas mengikuti perintahnya seolah dia 'Tuan' dan aku budaknya saja. Ini adalah hidupku tapi rasanya seperti aku yang tetap harus mengikuti rutinitas hidupnya. Meski dia sudah berjanji untuk memberiku privasi, tapi tetap saja dia oran
Selain Sidney Parker yang tidak mau berhenti memandangi tubuhku, sepertinya aku tidak terlalu menemui kendala berarti dalam pekerjaan baruku. Jadi aku berusaha percaya diri seperti apa yang dikatakan Eric, karena aku yakin orang seperti Sidney pasti juga tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan memaksakan kehendaknya terhadap wanita. Jadi anggap saja aku aman meskipun rasanya tetap seperti diletakkan di dalam kandang singa yang sewaktu-waktu bisa menerkamku. Dan, berulang kali kukatakan Sidney Parker sama sekali bukan pria buruk rupa, bahkan untuk sekedar diliriknya saja seharusnya aku merasa sangat beruntung. Sebelumnya kau juga tidak pernah tahu jika dipandangi pria dengan cara seperti itu juga bisa berpotensi membuat tubuhku ikut demam. Percaya atau tidak karena dari tadi Sidney memang hanya duduk di mejanya tapi aku yakin otaknya sedang menelanjangi tubuhku. Sidney benar-benar terlihat tega meniduriku di sofa atau di
Aku meminta semua data transaksi rekeningku selama dua tahun terakhir ini kepada pihak bank, karena aku lelah dan tidak ingin mendengar omong kosong Eric lagi. Alangkah terkejutnya diriku saat mengetahui hasil print data transaksiku. Aku baru tau jika Eric orang yang sangat boros untuk barang yang tidak masuk akal seperti mobil noraknya itu. Buru-buru aku kembali fokus pada tujuan utamaku dan setelah kucek berdasarkan data pihak bank tersebut ternyata semua uang yang masuk ke dalam rekeningku dikirim atas nama Sidney Parker, atas nama pribadi bukan dari perusahaan tempatku bekerja sekarang.'Sidney Parker, bos mudaku yang tampan itu, bagaimana dia bisa memberiku uang sebanyak ini?' Berbagai pertanyaan langsung terlintas di kepalaku, mulai dari yang tidak masuk akal sampai yang mengerikan.
Akhirnya Sidney mengalah dan setuju untuk menjemput putra Paris. Selama ini anak itu tinggal bersama pengasuh di bawah perlindungan hukum. Biasanya Paris hanya diijinkan untuk berkunjung tanpa boleh mengajak anak itu keluar bersamanya."Aku tidak mau menangani bocah yang masih mengompol." Sidney tetap bersikeras tidak mau ikut campur jika nanti Susan mendapat masalah."Anak laki-laki tujuh tahun sudah tidak kencing di celana lagi, Sidney!"Kadang Susan juga masih kesal dengan sifat egois suaminya yang bisa sangat tidak masuk akal, Dia mau memiliki banyak anak tapi tidak mau repot mengurusi anak-anak."Kita harus melihatnya dulu siapa tahu nanti kau juga akan menyukaianya!"Susan memencet bel pintu sementara Sidney masih berdiri di undakan tangga paling bawah nampak tak berminat untuk ikut masuk. Sidney benar-benar lebih suka disuruh menunggu di dalam mobil dari pada ikut berbasa-basi seperti yang diajarkan Susan."Ingat kau cukup tersenyum j
Sidney sudah tidur ketika Susan pelan-pelan mengambil buku harian Jessy dari dalam laci. Sidney tidak suka jika Susan membaca buku itu karena biasanya Susan malah jadi menangis setelah membacanya dan Sidney tidak suka melihat Susan bersedih untuk sesuatu yang menurutnya percuma. Tapi tetap saja Susan sering diam-diam membacanya, Jessy memiliki tulisa yang sangat rapi sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Membaca buku harian Jessy membuat Susan serasa ikut mengenal saudarinya meskipun mereka tidak pernah bertemu.***Jessy 12 Maret 2016***Bukannya aku tidak mau tinggal di kampung halama Paris, tapi aku sudah pernah mencobanya dan tidak bisa. Paris adalah orang yang sering bepergian dengan segala kesibukan pekerjaannya yang luar biasa. Paris juga melarangku bekerja lagi sejak kami menikah, sering kali aku merasa bosan ketika harus tinggal sendiri di rumah besarnya. Aku juga tidak punya teman atau keluarga di sana, semua yang kukenal adalah teman-teman Paris dan ling
Susan memperhatikan Sidney yang masih tertidur dan menyentuh bibir penuhnya yang sedikit terbuka. Ternyata pria seperti Sidney juga bisa nampak lucu ketika sedang tertidur dan Susan menyukainya karena jarang-jarang Sidney mau diganggu."Apa yang kau lakukan!" tegur Sidney yang ternyata sudah terbangun."Tidak ada," acuh Susan segera pura-pura mengabaikannya."Kemari kau!""Ao..!" Susan memekik kaget karena Sidney balas memukul bokongnya.Mereka masih sama-sama belum berpakaian sejak selesai bercinta tadi malam dan Tiba-tiba saja Sidney sudah kembali menerjang masuk dan menderanya."Sidney, ingat kau punya janji dengan Notarais pagi ini!"Susan coba mengingatkan tapi Sidney tetap mengabaikanya karena Susan memang bisa sangat cerewet meskipun sedang ia setubuhi. Gilanya Lagi Susan masih sempat meraih ponsel dan membalas pesan."Buang benda itu, Susan!" Sidney langsung membalik tubuh Susan dan merampas ponsel terkutuk itu dari tan
JESSY... Saat pertama kami bertemu dia adalah pemuda yang rupawan, berulang kali dia bertanya bagaimana untuk mendapatkan wanita sepertiku dengan sangat terus terang dan sedikit tidak tahu malu."Masukilah hatinya, maka kau akan mendapatkan segalanya," kataku saat menatap Netra biru gelapnya yang dalam ketika kami duduk di meja bar dan yakin pria tampan itu belum mabuk untuk merayuku. Aku tahu jika Paris Parker adalah pria yang cukup percaya diri untuk mendapatkan apapun keinginannya."Sebutkan apa saja yang bisa kudapatkan, setelah itu? " bisiknya saat mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Love, loyalty, dan keberanian !" Walapun setiap hari aku bekerja di antara para wisatawan asing tapi memang tidak akan pernah kubiarkan diriku terlibat dengan mereka dalam urusan asmara. Namun sepertinya pengecualian utuk seorang Paris Parker, pria yang telah dengan begitu berani berlutut di depanku dan memohon untuk menjadikanku miliknya.
Seorang pengurus rumah menemukan Paris Parker sudah terduduk kaku takbernyawa dengan bekas lobang peluru si pelipis kanannya. Tangan kanana masih memegang pitol dan sebuah ponsel terjatuh di lantai tak jauh dari tempat dududknya. Sebuah buku harian milik Jessy yang juga baru Paris temukan dari dalam laci masih terbuka di atas meja karena sepertinya pria itu juga belum selesai membacanya dan sudah tidak tahan.Pihak kepolisian menghubungi Sidney parker sebagai satu-satunya keluarga Paris. Sidney dan Susan juga langsung terbang ke Bali hari itu juga. Pihak kepolisian meminta Sidney untuk memutuskan bakal di makamkan di mana jenazah saudaranya. Sebenarnya Sidney sendiri juga tidak tahu karena hubungan mereka selama ini memang tidak seperti layaknya keluarga, tapi Susan yang langsung menyela dan minta agar Paris dimakamkan di samping saudarinya. Pihak kepolisian juga memberikan buku harian Jessy kepada Susan dan memberi tahu Sidney jika akan ada notarais dari Paris Parker yang ak
"Oh, Sayang apa yang kau pikirkan?" tanya Sidney pada wanita yang sedang berbaring di bawah naungan tubuhnya tapi entah pikiranya sedang melayang berada di mana."Tidak ada," bohong Susan sambil menggeleng saat Sidney menyentuh bibirnya dengan ibu jari."Aku bisa sangat cemburu jika kau memikirkan pria lain," sarkas Sidney yang sebenarnya juga tahu jika Susan sedang memikirkan Parish yang baru saja menelponya.Sidney merunduk untuk mencium Susan dan tetap bersikeras menahan wanita itu dalam ciumanya meskipun Susan agak enggan untuk menaggapinya."Sungguh aku mencemaskan Parish." Akhirnya Susan terus terang ketika tiba-tiba mendorong Sidney untuk berhenti sejenak."Sudah kubilang jangan memikirkan pria lain, apa lagi brengsek itu!" Sidney terdengar marah."Aku serius, sungguh perasaanku sedang tidak enak." Susan beringsut dari naungan tubuh Sidney dan kembali merapikan gaun tidurnya."Kau mau ke mana?"Sidney melihat Susan berja
Kenapa rasanya ini semakin sulit kujalani. Dulu kupikir cintaku akan cukup meredamnya, dulu aku pikir tubuhku akan kuat menanggungnya. Tapi tiap kali tangan-tangannya kembali merenggutku tanpa kebajikan, dia tetaplah wujud yang hanya peduli dengan kemauannya sendiri. Dia bukan orang yang dulu kukenal juga bukan orang yang akan peduli. Seperti membuka lembar buram yang tidak ingin kubaca atau kutulis. Karena di sini aku sudah tahu, mungkin aku hanya akan hancur sendiri atau hancur bersamanya. Tumpukan dosa yang dia tawarkan sudah seperti racun yang tidak akan bisa berhenti kuhirup, mungkin hingga kelak benar-benar habis nafasku. Jika dia mencintaiku, seharusnya dia tidak memperlakukanku seperti ini. Tubuhku masih sakit, menggigil di atas lantai dingin tempat terakhir aku dihempas oleh tinju dari kepalan tangan yang sama dari lengan yang kali ini juga sedang memelukku. Dengan nafas berge
Susan benar-benar tidak menyangka jika sebuah pesta sudah di siapkan sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan mereka, dan Susan langsung tahu jika semua itu adalah perbuatan Sidney. Yang paling megejutkan bagi Susan ternyata tidak hanya ada ayah dan ibunya tapi ayah dan ibu Jessy juga ada di sana menyambut mereka. Tentu Susan sangat terharu menyaksikan orang tuanya berkumpul seperti itu dan terlihat sudah cukup akrab. Susan yang kemarin sempat merasa seperti orang asing tiba-tiba merasa seperti menjadi anak paling beruntung di muka bumi ini karena bisa berada di tengah-tengah semua keluarga yang mencintainya. Susan masih tidak tahu bagaimana Sidney bisa berbuat seperti ini dan tidak memberitahunya apa-apa. Semua itu memang perbuatan Sidney. Bahkan dia sendiri yang menjemput orang tua kandung susan dari Bali. Itulah kenapa kemarin Sidney sampai harus pulang menjelang pagi dan mendapati susan yang
Karena teleponya tidak pernah di angkat, akhirnya Paris nekat untuk menemui Susan meskipun dengan resiko bakal bertemu juga dengan Sidney, dan mungkin mereka akhirnya akan kembali bertikai. Paris benar-benar menghawatirkan Susan karena dia tahu pasti Susan masih syok setelah semua kejadian kemarin. Paris hanya ingin sekedar memastikan jika Susan baik-baik saja. Saat Paris datang ternyata Sidney sedang tidak ada di rumah, tapi Susan tidak memberi tahu Paris jika sebenarnya mereka berdua sedang bertengkar. Bahkan Susan tetap berpura-pura jika hubungan mereka sedang baik-baik saja. Susan yakin jika Sidney tidak akan suka jika dirinya masih menemui Parish, tapi sepertinya Susan juga mulai tidak perduli. Toh Sidney akan tetap marah. Susan tidak mengerti kenapa sekarang rasanya justru Sidney yang jadi sangat membenci Paris. Walaupun menurut Sidney, Paris jahat dan gila, tapi sepertinya