Aku tidak tahu bagaimana lagi harus menghubungi orang tuaku. Sudah dua kali kuperiksa daftar kontak di HP-ku dan sama sekali tidak kutemukan satupun nomor keluargaku. Memangnya apa saja yang dilakukan Eric selama dua tahun ini terhadap hidupku?
"Benda tak berguna!"
Ingin kulempar benda itu tapi Eric mencegahku. Ingat dia tetap lebih kuat untuk mengendalikan tubuhku dan aku jadi tak berdaya.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain merusak hidupku!" aku berteriak padanya.
Aku benar-benar marah tapi tidak tahu bagaimana harus membalas semua perbuatannya itu. Aku tahu ini baru sebagian dan aku belum sempat memikirkan yang lainnya. Aku sudah kehilangan pekerjaan dan orang tuaku, aku belum mau memikirkan yang lainnya lagi.
"Kau mau kemana?" tanya Eric ketika aku tiba-tiba bangkit berdiri.
"Tenang saja, aku tidak akan bunuh diri, karena aku masih akan membalas dendamku padamu!" itu bukan basa-basi karena aku benar-benar akan membalas jika memiliki kesempatan.
"Katakan kita mau kemana, Susan?"
Aku sengaja tidak mengatakannya dan membiarkan Eric mengikutiku bergerak.
Kali ini aku membawa mobil besarnya dan dia membiarkanku menyetir sendiri. Aku tidak banyak bicara karena masih marah, dan sepertinya dia juga sudah tidak banyak bertanya lagi. Mungkin karena dia sudah tahu aku tidak akan membunuhnya bersamaku.
Aku mendatangi kantor Nolan tanpa memberitahu Eric tentang tujuanku.Karena aku tidak membuat janji dan tidak memiliki nomornya lagi, jadi aku terpaksa disuruh menunggu oleh petugas resepsionisnya.
Katanya Nolan sudah setuju untuk menemuiku, tapi dia masih ada rapat jadi aku harus menunggunya. Kali ini aku tidak berani memikirkan apa-apa aku hanya takut dan cemas. Aku cuma bersyukur karena Eric tidak banyak bicara, atau kalau tidak pasti aku sudah akan meneriakinya untuk keluar dari kepalaku. Aku tidak peduli jika pun setelah itu satpam akan menyeretku seperti orang gila.
Akhirnya kulihat Nolan baru keluar dari lift dan langsung berjalan menghampiriku yang sedang menunggu di lobby.
Aku cukup lega ketika dia memelukku sebentar. "Lama aku tidak melihatmu, Susan," katanya kemudian.
"Maafkan aku." Aku tetap minta maaf meski tidak tahu pasti sudah selama apa kami tidak bertemu.
Nolan terlihat memiringkan wajahnya dan melihatku bingung. Aku sendiri tidak tahu apa yang salah, tapi bisa dipastikan apapun itu pasti akibat perbuatan Eric.
"Kemarilah," Nolan kembali mengajakku duduk di sofa.
"Aku senang kau mau menemuiku lagi," dia meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Kudengar kau juga mengundurkan diri dari tempat kerjamu."
Kenapa aku merasa seperti orang yang ketinggalan banyak episode hidupku sendiri, jujur aku tidak tahu apa yang Nolan bicarakan kecuali hanya garis besarnya saja, karena itu aku mengangguk untuk cari aman.
"Aku sempat berpikir kau tidak akan mau menemuiku lagi, bahkan nomormu pun tidak bisa kuhubungi."
"Maafkan aku," aku pasrah dan hanya bisa berdoa semoga hubungan kami masih baik-baik saja. Tapi melihat cara Nolan yang terlihat sangat berhati-hati bahkan untuk sekedar menyentuhku, sepertinya aku yakin Eric sudah ikut campur terlalu banyak di sini.
"Apa kau akan memaafkanku?"
"Aku sudah lama memaafkanmu," kata Nolan kemudian.
Dan sampai di sini aku masih tidak tahu apa yang telah kuperbuat padanya.
"Maaf, waktu itu aku juga sempat emosi," jujur Nolan, "kupikir kau bersikeras mengakhiri hubungan kita karena pria lain."
"Oh, maafkan aku, Nolan. Sungguh maafkan aku." Aku benar-benar menyesal jika itu yang terjadi.
Setelah semua hidupku yang berantakan kuharap hubungan kami masih bisa diperbaiki. Ikut kugenggam tangan Nolan yang juga masih menggenggamku dengan erat.
"Aku baru bertunangan dua bulan lalu," katanya kemudian dan seketika meruntuhkan segala harapanku.
"Maaf, seharusnya aku memang tidak ke sini," sesalku tiba-tiba dan tidak berani menatap Nolan.
"Tidak, aku senang bisa kembali melihatmu, Susan."
Sepertinya Nolan masih coba untuk menahanku, tapi aku baru saja tahu dia sudah bertunangan.
"Selamat atas pertunanganmu," kataku kemudian saat perlahan menarik tanganku dari genggamannya.
Kutatap wajahnya sedih dan nanar, seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa.
"Sebaiknya aku pulang, dan terimakasih sudah menemuiku," kataku buru-buru karena tidak tahan. Yang ingat terakhir hubungan kami masih baik-baik saja dan rasanya itu masih baru beberapa hari yang lalu.
Kutatap Nolan sebentar sebelum pergi, sepertinya dia juga berat melepaskanku. Tapi aku tahu semuanya sudah terlambat, terlambat hampir dua tahun. Air mata meluncur jatuh dari sudut mataku tanpa ingin kutunjukkan pada siapapun.
Aku segera kembali ke mobil Eric yang terlalu menarik perhatian untuk dikendarai wanita sepertiku. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin perduli dengan penilaian semua orang, aku hanya diam dan Eric pun juga tidak ada bicara apa-apa dari tadi.
Semakin kesini aku semakin tahu, dia memang akan diam seperti itu jika merasa bersalah. Tapi apa peduliku, aku tidak sedang ingin mempertimbangkan perasaanya. Masa bodoh dengan Eric Northman, dia sudah menghancurkan seluruh hidupku.
Orang tuaku, pekerjaanku, bahkan pria yang mencintaiku pun ikut dia hancurkan.
Karena aku sedang tidak mau berbicara, kubiarkan Eric yang menyetir dan membawaku pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar mandi melepas semua pakaianku untuk berendam, bahkan aku sudah tidak terlalu peduli dengan ketelanjanganku kali ini.
Aku meringkuk dan menangis, benar-benar menangis sendiri tanpa ingin orang lain perduli. Aku sudah kehilangan semuanya dan tidak tahu apa masih bisa dibenahi.
Aku tidak ingat apa setelah itu aku ketiduran di jacuzzi, karena saat aku bangun keesokan harinya aku sudah berada di atas tempat tidur dan sudah berpakaian.
Rasanya kepalaku masih hening, tidak ada suara, 'apa mungkin Eric sudah hilang dari kepalaku?'
Mungkin saja, karena jika tugasnya adalah untuk menghancurkan hidupku, kurasa pekerjaannya sudah sempurna dan sudah seharusnya dia pergi. Lagi pula aku juga sudah tidak punya apa-apa lagi.
Aku berguling untuk meraih bantal dan memeluknya, aku sedang tidak ingin beranjak ke mana-mana sampai tiba-tiba kudengar lagi suaranya.
"Susan .... "
Dia coba memanggilku tapi aku tak bergeming.
"Maafkan aku," katanya kemudian.
Tapi menurutku sangat tidak berguna dan tidak perlu.
Aku masih diam sampai cukup lama dan dia bicara lagi.
"Apa kau tidak ingin marah padaku? " tanyanya terdengar aneh.
Dari kemarin aku memang mengabaikannya dan sepertinya dia memang tidak suka diabaikan. Dari situ aku mulai mencatat satu-persatu kelemahannya. 'Eric tidak suka di abaikan!'
"Apa lagi maumu, kenapa kau masih belum pergi?"
"Sudah kukatakan, aku tidak bisa."
"Kalau tidak bisa diamlah, jangan menggangguku!" dia pasti tahu aku masih marah dengan semua perbuatannya.
Aku bahkan mengucapkannya dengan cukup tenang agar dia tahu keseriusanku.
"Aku akan menunggumu, sampai kita bisa bicara."
Terserah apa yang ingin dia bicarakan aku sudah tidak perduli.
"Maafkan aku tentang Nolan," katanya kemudian, setelah kami cukup lama diam.
"Aku sudah tidak peduli, toh kau sudah menghancurkannya."
"Aku hanya tidak bisa pura-pura menyukainya." Eric mulai terus bicara, "Aku memang ada di tubuhmu, tapi aku tetap laki-laki, tidak mungkin aku membiarkan dia menciumku."
Aku mengerti maksud Eric. "Tapi bukan berarti kau boleh menghancurkan hubungan kami!" tegasku.
"Aku tidak tahu kau akan kembali."
"Karena itu menurutmu semua yang ada di hidupku sudah tidak penting?" timpalkiu dengan seringai sinis untuk kemalanganku sendiri.
"Maafkan aku, Susan."
"Apa gunanya untukmu? kau hanya ada di dalam kepalaku tapi tidak benar-benar nyata. Kau tidak memiliki kehidupan! kau tidak memiliki orang tua yang bisa membuatmu sedih, kau tidak punya siapapun yang mencintaimu, atau peduli padamu!"
"Kau benar dan maaf aku sudah mengacaukan hidupmu."
"Itu juga tidak ada gunanya untukmu!"
"Hanya kau yang penting untukku, Susan."
"Karena kau akan ikut mati jika aku mati!"
Aku tidak tahu kapan Eric akan enyah dari kepalaku, sedangkan tiga hari saja dia sudah menghancurkan begitu banyak hal dalam hidupku. Sekarang aku tidak tahu kabar keluargaku, kehilangan karir yang sudah susah payah kubangun, ditinggal bertunangan oleh pria yang kucintai, dan semua itu karena Eric Northman!Rasanya layak sekali jika aku masih ingin mengutuknya menjadi batu.Eric coba mengajakku bicara dari pagi, tapi aku masih mengabaikannya karena kesal. Kusibukkan diriku untuk memikirkan hal lain dan menganggapnya tidak ada. Aku tahu dia tidak suka diacuhkan dan anggap saja itu sebagai sedikit hukuman atas perbuatannya, mengingat aku juga tidak dapat memukul atau mencakar wajahnya jika sedang kesal. Sebenarnya hukuman ini tetap tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang sudah dia perbuat terhad
Aku senang Eric melaksanakan kata-katanya untuk tidak mencampuri hidupku, sehingga pagi ini rasanya aku seperti mendapatkan pagi yang normal tanpa suara Eric Northman di kepalaku.Baru kali ini sepertinya aku juga mulai memperhatikan detail kamarku yang ternyata sudah banyak berubah. Eric hampir membuang semua pernak-pernik di meja riasku. Sempat terpikirkan seperti apa penampilanku beberapa tahun ini. Bahkan setelah kubongkar-bongkar isi laci ternyata sama sekali tidak ada jenis skin care apapun seperti yang biasanya aku pakai. Hanya ada makeup standar seperti bedak lipstik pensil alis dan ikat rambut. Segera kuperiksa wajahku di cermin sekedar memastikan Eric juga tidak merusaknya. Kutepuk-tepuk pipiku beberapa kali sekedar untuk memastikan lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang memperhatikannya karena terlalu sibuk dengan urusan Eric Northman yang tiba-tiba ada di kepa
"Bangun Susan .... Bangun! kau harus bekerja hari ini!" Aku jengkel tiap kali suara itu kembali mengusik hidupku bahkan sejak pagi buta. "Kenapa kau berisik sekali, Eric!" "Ingat kau harus bekerja hari ini, kecuali kau mau kehilangan pekerjaanmu lagi! Aku sudah susah payah mendapatkan pekerjaan ini untukmu!"Dia coba mengingatkan lagi meski aku masih malas, bukan malas bangun, tapi malas mengikuti kata-katanya, malas mengikuti perintahnya seolah dia 'Tuan' dan aku budaknya saja. Ini adalah hidupku tapi rasanya seperti aku yang tetap harus mengikuti rutinitas hidupnya. Meski dia sudah berjanji untuk memberiku privasi, tapi tetap saja dia oran
Selain Sidney Parker yang tidak mau berhenti memandangi tubuhku, sepertinya aku tidak terlalu menemui kendala berarti dalam pekerjaan baruku. Jadi aku berusaha percaya diri seperti apa yang dikatakan Eric, karena aku yakin orang seperti Sidney pasti juga tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan memaksakan kehendaknya terhadap wanita. Jadi anggap saja aku aman meskipun rasanya tetap seperti diletakkan di dalam kandang singa yang sewaktu-waktu bisa menerkamku. Dan, berulang kali kukatakan Sidney Parker sama sekali bukan pria buruk rupa, bahkan untuk sekedar diliriknya saja seharusnya aku merasa sangat beruntung. Sebelumnya kau juga tidak pernah tahu jika dipandangi pria dengan cara seperti itu juga bisa berpotensi membuat tubuhku ikut demam. Percaya atau tidak karena dari tadi Sidney memang hanya duduk di mejanya tapi aku yakin otaknya sedang menelanjangi tubuhku. Sidney benar-benar terlihat tega meniduriku di sofa atau di
Aku meminta semua data transaksi rekeningku selama dua tahun terakhir ini kepada pihak bank, karena aku lelah dan tidak ingin mendengar omong kosong Eric lagi. Alangkah terkejutnya diriku saat mengetahui hasil print data transaksiku. Aku baru tau jika Eric orang yang sangat boros untuk barang yang tidak masuk akal seperti mobil noraknya itu. Buru-buru aku kembali fokus pada tujuan utamaku dan setelah kucek berdasarkan data pihak bank tersebut ternyata semua uang yang masuk ke dalam rekeningku dikirim atas nama Sidney Parker, atas nama pribadi bukan dari perusahaan tempatku bekerja sekarang.'Sidney Parker, bos mudaku yang tampan itu, bagaimana dia bisa memberiku uang sebanyak ini?' Berbagai pertanyaan langsung terlintas di kepalaku, mulai dari yang tidak masuk akal sampai yang mengerikan.
"Kuingatkan sekali lagi, Eric Northman! "___"Kau tidak boleh ikut campur dalam hidupku! ""Hanya dalam kondisi darurat! " tambahnya coba balik mengingatkan dengan acuh menanggapi keseriusanku.Ingat, kami masih bertengkar sejak kemarin dan sepertinya memang tidak akan ada yang mau mengalah.Sementara aku sudah bertekad, jika Eric tidak memberi jawaban apa-apa maka aku sendiri yang akan mencari jawabannya, karena itu sangat penting memastikan Eric tidak ikut campur.Sengaja kuhabiskan waktu lebih lama untuk urusan make-up dan tatanan rambutku, aku juga tidak peduli jika Eric akan semakin kesal karenanya. Dia benci make up dan segala pernak-pernik wanita, tapi apa peduliku, karena semakin dia kesal rasanya justru semakin baik untu
"Selama aku tidak makan sereal, sepertinya aku tidak melanggar aturan apapun,"____"terserah aku mau makan dengan siapa saja itu buka urusanmu!" tegasku ketika Eric coba melarangku untuk makan siang bersama Sidney. Aku masih membereskan isi tasku, mengecek dompet dan memasukkan ponsel kedalamnya saat Sidney sudah menunggu di depan mejaku. Dia mengulurkan tangannya untuk menyambutku.Oh, Tuhan... bahkan Nolan pun tidak pernah melakukan hal sepele seperti itu padaku.Sidney menggenggam tanganku sampai kami keluar dari pintu, mungkin dia masih ingin menjaga sikap profesionalnya di depan para karyawan. Bagaimanapun kedekatan dengan sekertaris seringkali di anggap sensitif, dia coba menghargaiku. Tentu aku juga tidak ingin dipandang remeh di lingkungan kerjaku. Bagaimanapun aku wanita yang
Setelah makan siang aku ikut menemani Sidney untuk bertemu dangan beberapa pimpinan perusahaan yang akan bekerja sama dengannya. Sebenarnya ini hanya semacam pertemuan non formal yang mereka lakukan di luar kantor untuk sekedar membahas tahap awal rencana kerja sama mereka sebelum pengajuan proposal yang nantinya akan dibahas bersama dewan direksi.Sidney sudah menjelaskan sedikit rincian kerjasama kami saat dalam perjalanan tadi, dan aku lega karena ternyata dia masih sangat profesional untuk tidak mengikut sertakan pembicaraan kami di restoran."Kuharap kau bisa mencatat poin pentingnya, Susan. ""Ya," kataku kemudian, "akan segera kusiapkan untukmu sebelum rapat direksi. "Sidney hanya melirikku sebentar, masih sambil konsentrasi m
Akhirnya Sidney mengalah dan setuju untuk menjemput putra Paris. Selama ini anak itu tinggal bersama pengasuh di bawah perlindungan hukum. Biasanya Paris hanya diijinkan untuk berkunjung tanpa boleh mengajak anak itu keluar bersamanya."Aku tidak mau menangani bocah yang masih mengompol." Sidney tetap bersikeras tidak mau ikut campur jika nanti Susan mendapat masalah."Anak laki-laki tujuh tahun sudah tidak kencing di celana lagi, Sidney!"Kadang Susan juga masih kesal dengan sifat egois suaminya yang bisa sangat tidak masuk akal, Dia mau memiliki banyak anak tapi tidak mau repot mengurusi anak-anak."Kita harus melihatnya dulu siapa tahu nanti kau juga akan menyukaianya!"Susan memencet bel pintu sementara Sidney masih berdiri di undakan tangga paling bawah nampak tak berminat untuk ikut masuk. Sidney benar-benar lebih suka disuruh menunggu di dalam mobil dari pada ikut berbasa-basi seperti yang diajarkan Susan."Ingat kau cukup tersenyum j
Sidney sudah tidur ketika Susan pelan-pelan mengambil buku harian Jessy dari dalam laci. Sidney tidak suka jika Susan membaca buku itu karena biasanya Susan malah jadi menangis setelah membacanya dan Sidney tidak suka melihat Susan bersedih untuk sesuatu yang menurutnya percuma. Tapi tetap saja Susan sering diam-diam membacanya, Jessy memiliki tulisa yang sangat rapi sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Membaca buku harian Jessy membuat Susan serasa ikut mengenal saudarinya meskipun mereka tidak pernah bertemu.***Jessy 12 Maret 2016***Bukannya aku tidak mau tinggal di kampung halama Paris, tapi aku sudah pernah mencobanya dan tidak bisa. Paris adalah orang yang sering bepergian dengan segala kesibukan pekerjaannya yang luar biasa. Paris juga melarangku bekerja lagi sejak kami menikah, sering kali aku merasa bosan ketika harus tinggal sendiri di rumah besarnya. Aku juga tidak punya teman atau keluarga di sana, semua yang kukenal adalah teman-teman Paris dan ling
Susan memperhatikan Sidney yang masih tertidur dan menyentuh bibir penuhnya yang sedikit terbuka. Ternyata pria seperti Sidney juga bisa nampak lucu ketika sedang tertidur dan Susan menyukainya karena jarang-jarang Sidney mau diganggu."Apa yang kau lakukan!" tegur Sidney yang ternyata sudah terbangun."Tidak ada," acuh Susan segera pura-pura mengabaikannya."Kemari kau!""Ao..!" Susan memekik kaget karena Sidney balas memukul bokongnya.Mereka masih sama-sama belum berpakaian sejak selesai bercinta tadi malam dan Tiba-tiba saja Sidney sudah kembali menerjang masuk dan menderanya."Sidney, ingat kau punya janji dengan Notarais pagi ini!"Susan coba mengingatkan tapi Sidney tetap mengabaikanya karena Susan memang bisa sangat cerewet meskipun sedang ia setubuhi. Gilanya Lagi Susan masih sempat meraih ponsel dan membalas pesan."Buang benda itu, Susan!" Sidney langsung membalik tubuh Susan dan merampas ponsel terkutuk itu dari tan
JESSY... Saat pertama kami bertemu dia adalah pemuda yang rupawan, berulang kali dia bertanya bagaimana untuk mendapatkan wanita sepertiku dengan sangat terus terang dan sedikit tidak tahu malu."Masukilah hatinya, maka kau akan mendapatkan segalanya," kataku saat menatap Netra biru gelapnya yang dalam ketika kami duduk di meja bar dan yakin pria tampan itu belum mabuk untuk merayuku. Aku tahu jika Paris Parker adalah pria yang cukup percaya diri untuk mendapatkan apapun keinginannya."Sebutkan apa saja yang bisa kudapatkan, setelah itu? " bisiknya saat mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Love, loyalty, dan keberanian !" Walapun setiap hari aku bekerja di antara para wisatawan asing tapi memang tidak akan pernah kubiarkan diriku terlibat dengan mereka dalam urusan asmara. Namun sepertinya pengecualian utuk seorang Paris Parker, pria yang telah dengan begitu berani berlutut di depanku dan memohon untuk menjadikanku miliknya.
Seorang pengurus rumah menemukan Paris Parker sudah terduduk kaku takbernyawa dengan bekas lobang peluru si pelipis kanannya. Tangan kanana masih memegang pitol dan sebuah ponsel terjatuh di lantai tak jauh dari tempat dududknya. Sebuah buku harian milik Jessy yang juga baru Paris temukan dari dalam laci masih terbuka di atas meja karena sepertinya pria itu juga belum selesai membacanya dan sudah tidak tahan.Pihak kepolisian menghubungi Sidney parker sebagai satu-satunya keluarga Paris. Sidney dan Susan juga langsung terbang ke Bali hari itu juga. Pihak kepolisian meminta Sidney untuk memutuskan bakal di makamkan di mana jenazah saudaranya. Sebenarnya Sidney sendiri juga tidak tahu karena hubungan mereka selama ini memang tidak seperti layaknya keluarga, tapi Susan yang langsung menyela dan minta agar Paris dimakamkan di samping saudarinya. Pihak kepolisian juga memberikan buku harian Jessy kepada Susan dan memberi tahu Sidney jika akan ada notarais dari Paris Parker yang ak
"Oh, Sayang apa yang kau pikirkan?" tanya Sidney pada wanita yang sedang berbaring di bawah naungan tubuhnya tapi entah pikiranya sedang melayang berada di mana."Tidak ada," bohong Susan sambil menggeleng saat Sidney menyentuh bibirnya dengan ibu jari."Aku bisa sangat cemburu jika kau memikirkan pria lain," sarkas Sidney yang sebenarnya juga tahu jika Susan sedang memikirkan Parish yang baru saja menelponya.Sidney merunduk untuk mencium Susan dan tetap bersikeras menahan wanita itu dalam ciumanya meskipun Susan agak enggan untuk menaggapinya."Sungguh aku mencemaskan Parish." Akhirnya Susan terus terang ketika tiba-tiba mendorong Sidney untuk berhenti sejenak."Sudah kubilang jangan memikirkan pria lain, apa lagi brengsek itu!" Sidney terdengar marah."Aku serius, sungguh perasaanku sedang tidak enak." Susan beringsut dari naungan tubuh Sidney dan kembali merapikan gaun tidurnya."Kau mau ke mana?"Sidney melihat Susan berja
Kenapa rasanya ini semakin sulit kujalani. Dulu kupikir cintaku akan cukup meredamnya, dulu aku pikir tubuhku akan kuat menanggungnya. Tapi tiap kali tangan-tangannya kembali merenggutku tanpa kebajikan, dia tetaplah wujud yang hanya peduli dengan kemauannya sendiri. Dia bukan orang yang dulu kukenal juga bukan orang yang akan peduli. Seperti membuka lembar buram yang tidak ingin kubaca atau kutulis. Karena di sini aku sudah tahu, mungkin aku hanya akan hancur sendiri atau hancur bersamanya. Tumpukan dosa yang dia tawarkan sudah seperti racun yang tidak akan bisa berhenti kuhirup, mungkin hingga kelak benar-benar habis nafasku. Jika dia mencintaiku, seharusnya dia tidak memperlakukanku seperti ini. Tubuhku masih sakit, menggigil di atas lantai dingin tempat terakhir aku dihempas oleh tinju dari kepalan tangan yang sama dari lengan yang kali ini juga sedang memelukku. Dengan nafas berge
Susan benar-benar tidak menyangka jika sebuah pesta sudah di siapkan sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan mereka, dan Susan langsung tahu jika semua itu adalah perbuatan Sidney. Yang paling megejutkan bagi Susan ternyata tidak hanya ada ayah dan ibunya tapi ayah dan ibu Jessy juga ada di sana menyambut mereka. Tentu Susan sangat terharu menyaksikan orang tuanya berkumpul seperti itu dan terlihat sudah cukup akrab. Susan yang kemarin sempat merasa seperti orang asing tiba-tiba merasa seperti menjadi anak paling beruntung di muka bumi ini karena bisa berada di tengah-tengah semua keluarga yang mencintainya. Susan masih tidak tahu bagaimana Sidney bisa berbuat seperti ini dan tidak memberitahunya apa-apa. Semua itu memang perbuatan Sidney. Bahkan dia sendiri yang menjemput orang tua kandung susan dari Bali. Itulah kenapa kemarin Sidney sampai harus pulang menjelang pagi dan mendapati susan yang
Karena teleponya tidak pernah di angkat, akhirnya Paris nekat untuk menemui Susan meskipun dengan resiko bakal bertemu juga dengan Sidney, dan mungkin mereka akhirnya akan kembali bertikai. Paris benar-benar menghawatirkan Susan karena dia tahu pasti Susan masih syok setelah semua kejadian kemarin. Paris hanya ingin sekedar memastikan jika Susan baik-baik saja. Saat Paris datang ternyata Sidney sedang tidak ada di rumah, tapi Susan tidak memberi tahu Paris jika sebenarnya mereka berdua sedang bertengkar. Bahkan Susan tetap berpura-pura jika hubungan mereka sedang baik-baik saja. Susan yakin jika Sidney tidak akan suka jika dirinya masih menemui Parish, tapi sepertinya Susan juga mulai tidak perduli. Toh Sidney akan tetap marah. Susan tidak mengerti kenapa sekarang rasanya justru Sidney yang jadi sangat membenci Paris. Walaupun menurut Sidney, Paris jahat dan gila, tapi sepertinya