Seperti hari hujan yang juga masih belum mau berakhir. Tara masih duduk sendiri di samping papan selancarnya yang dia biarkan tergeletak begitu saja karena sudah begitu lelah. Dia memandang jauh ke laut yang berkabut dan membiarkan dirinya yang kehujanan. Bukan tubuhnya yang sedang dingin tapi hatinya. Dingin tanpa nafas dan keinginan. Sempat juga dia berpikir bagaimana akhir hudupnya nanti. Tara hanya berdoa semoga dirinya tidak pergi lebih dulu dari ibunya. Tara kembali berdiri untuk berjalan pulang karena memang masih ada orang-orang yang masih harus dia jaga.
Tara baru sampai di halaman ketika melihat Erica berlari padanya dan memeluknya di tengah hujan.
"Maafkan aku...."
"Sungguh maafkan aku...," rancu wanita itu masih sambil menangis dan memeluknya erat seolah tak perduli jika mereka masih berada di halaman dan di tengah hujan.
Tara juga cuma balas merapatkan pelukannya hingga tubuh wanita itu agak terangkat mengimbangi tinggi badannya.
Tara
Hujan di luar masih sangat deras tapi Erica masih dapat mendengar ketika suara pintu kamarnya kembali dibuka dan Tara menyusul naik ke atas ranjang untuk memeluknya dari belakang. Hanya memeluknya sampai kemudian Erica berpaling untuk menatap pria di belakangnya itu dengan tatapan tenang."Terimakasih sudah datang," ucap Tara, Erica mengangguk kemudian menyembunyikan wajah di dadanya.Tidak bisa Erica bayangkan seberat apa hari yang kemarin telah dilalui Tara seorang diri."Aku menyesal karena tidak bisa bersamamu di masa yang sulit. ""Mina sudah tenang di sana dan pasti sekarang dia juga senang melihatmu datang. Besok akan kuantar ke makamnya. "Erica ikut memeluk pria besar
Larisa sepertinya memang tidak akan pernah sanggup melihat Tara mencintai wanita lain. Tak perduli segigih apa pun dia mencoba untuk mengubur perasaanya dalam-dalam terhadap pemuda itu tapi nyatanya dia tetap tidak bisa, bahkan untuk alasan yang kadang Larisa sendiri tidak bisa mengerti.Larisa teringat kembali hari pertamanya bertemu Tara. Waktu itu dia sedang duduk di samping mesin timbangan hanya dengan celana jeans yang asal ia potongnya selutut dan baju longgar tanpa lengan. Pemuda itu termasuk sangat berani untuk tersenyum padanya. Laris mengakui jika Tara memang tampan bahkan sejak hari pertama dia melihatnya. Tapi rasanya masih saja mustahil bagaimana dirinya bisa mencintai pemuda itu sebesar ini tanpa bisa ia cegah ataupun ia tolak. Bahkan Larisa tidak pernah mengijinkan dirinya untuk di sentuh oleh siapapun termasuk pria yang sudah menikahinya. Karena seumur hidup dirinya hanya
Karena cuma berjalan kaki jadi Erica dan ibu Tara sudah agak siang ketika sampai kembali ke rumah. Erica melihat pintu depan sudah terbuka, dia pikir pasti Tara sudah pulang. Mereka berdua juga tidak memiliki firasat buruk sedikitpun ketika masuk rumah dan sepi.Ibu Tara langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang, sementara Erica langsung berteriak begitu melihat tubuh Tara tergeletak di belakang sofa dengan genangan darah yang masih merembas dari sisi perutnya.Erica masih syok dan sempat tidak percaya dengan apa yang dia lihat karena otaknya belum bisa merespon kejadian semengerikan itu dengan sertamerta. Begitu mengerjap barulah dia sadar dan buru-buru untuk memeriksa kondisi Tara.Erica menyentuh tubuh Tara yang mulai dingin dan pucat, tapi masih lemas dan ada sedik
"Ternyata aku tidak hanya takut, tapi aku juga rindu." Erica meraih tangan Tara yang sudah menghangat tapi masih juga tak bergeming. "Aku rindu melihatmu menggodaku." Erica ingat ketika hari pertama mereka bertemu dan pemuda itu masih takut-takut untuk sekedar menatapnya meskipun sebenarnya dia sangat ingin. Sesuatu yang agak naif dan polos utuk pria tampan sebesar Tara yang biasa berkeliaran di pantai. Tapi justru hal itu terasa manis bagi Erica yang jadi tidak mau berhenti menatapnya dengan terus terang hingga pemuda tampan itu terlihat kikuk dan malu diperhatikan. Saat itu juga Erica tahu kenapa Jemy bisa sangat menyukai pemuda itu. "Aku juga menyukaimu, menyukaimu sejak kali pertama kita bertemu." Erica kembali mendekatkan bibirnya untuk berbisik. "Bangunlah, Tara. Bangunlah karena aku sudah lelah dan tidak mau menunggumu lagi."
Haji Sofyan terkejut ketika tiba-tiba didatangi pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Dia lebih terkejut lagi ketika mengetahui jika senjata apinya sudah hilang dan telah digunakan untuk menembak Tara. Pemuda yang juga sudah sangat dia kenal dan dekat dengan putrinya.Sudah beberapa hari ini Larisa mengurung dirinya sendiri di dalam kamar tidak mau keluar untuk sekedar menanyakan perkembangan kondisi Tara ataupun kasus yang ikut menyeret abahnya. Haji Sofyan sementara memang masih bisa bebas dengan jaminan tapi bukan berarti statusnya tidak akan bisa berubah menjadi tersangka. Karena bagaimanapun senjata api tersebut adalah miliknya. Minimal dirinya tetap harus bertanggung jawab untuk sebuah kelalaian jika senjata api itu benar-benar sengaja di curi dari ruang kerjanya yang sebenarnya mustahil. Tidak ada siapapun yang biasa masuk kedalam ruang kerjanya selain keluarganya send
Dua bulan setelah kondisi Tara kembali pulih dan dapat beraktifitas dengan normal dia segera pergi untuk menyusul Erica.Erica langsung menjemput Tara dari bandara dan tersenyum begitu melihat pemuda itu keluar dari pintu kedatangan sambil melambai padanya. Tara hanya mengenakan Tshirt putih, jeans biru lengkap dengan kaca mata hitam dan topi casual yang mebuatnya terlihat lebih santai tapi tetap tampan. Memang sangat berbeda dengan tampilan Erica yang serba rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tidak ada satu helai pun rambutnya yang lolos dari ikatan. Sebenarnya Erica tadi juga dari rumah sakit dan langsung menjemput Tara ke bandara.Erica memeluknya sebentar sambil berbisik. "Apa aku sudah bisa meninju perutmu?""Kau boleh coba!" balas Tara ketika merangkul bahu Erica mengecup sisi kening wanita itu sambil mereka berjalan menuju mobil.Tara langsung melempar ranselnya ke jok belakang."Sini biar aku saja yang menyetir." Tara meminta k
Orang tua Erica mengundang Tara untuk makan malam sekaligus untuk membahas rencana pernikahan mereka. Tara duduk di samping Erica sementara ayah dan ibu Erica duduk bersebelahan di seberang meja. Sedari tadi Erica berulang kali menggenggam tangan Tara dari bawah meja meremasnya dengan keringat dingin.Di makan malam itu Ayah Erica kembali menanyakan beberapa hal lebih serius kepada Tara mengenai keinginannya untuk menikahi putri mereka. Erica bersyukur Tara masih cukup tenang menjawab semua pertanyaan ayahnya meskipun dia sempat khawatirsang ayah akan berubah pikiran setelah mendengar semua rencana Tara.Erica dan Tara sepakat untuk menikah lebih dulu dan nanti akan segera mengurus semua dokumen pernikahannya secara resmi. Jadi sepertinya memang tidak akan ada acara khusus ataupun pesta seperti yang diinginkan ibunya. Mereka
Emy ikut tersenyum bangga melihat Tara datang bersama wanita sangat cantik yang dia bilang akan ia nikahi akhir pekan ini."Aku harap kalian mau hadir sebagai keluargaku karena aku memang tidak bersama siapa-siapa dari kampung.""Oh, tentu pasti kami akan hadir dengan senang hati." Dengan antusias Emy menoleh Eric yang ikut mengangguk."Kudengar kau seorang Dokter bedah dan hendak mendirikan rumah sakit untuk penyandang cacat? ""Ya, " jawab Erica sambil tersenyum menatap Emy."Sepertinya kau harus bertemu teman kami Daniel, dia spesialis bedah mata kurasa dia mau ikut bergabung sebagai relawan tenaga medis jika kalian membutuhkan.""Oh, tentu terimakasih." Erica menyambut dengan gembira saran Emy yang juga langsung memberikan nomor kontak Daniel kepada Erica."Dia suami sepupuku dan sahabat dari Eric.""Kami punya yayasan yang mungkin juga bisa ikut serta membantu." Kali ini Eric yang ikut b