Karena cuma berjalan kaki jadi Erica dan ibu Tara sudah agak siang ketika sampai kembali ke rumah. Erica melihat pintu depan sudah terbuka, dia pikir pasti Tara sudah pulang. Mereka berdua juga tidak memiliki firasat buruk sedikitpun ketika masuk rumah dan sepi.
Ibu Tara langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang, sementara Erica langsung berteriak begitu melihat tubuh Tara tergeletak di belakang sofa dengan genangan darah yang masih merembas dari sisi perutnya.
Erica masih syok dan sempat tidak percaya dengan apa yang dia lihat karena otaknya belum bisa merespon kejadian semengerikan itu dengan sertamerta. Begitu mengerjap barulah dia sadar dan buru-buru untuk memeriksa kondisi Tara.
Erica menyentuh tubuh Tara yang mulai dingin dan pucat, tapi masih lemas dan ada sedik
"Ternyata aku tidak hanya takut, tapi aku juga rindu." Erica meraih tangan Tara yang sudah menghangat tapi masih juga tak bergeming. "Aku rindu melihatmu menggodaku." Erica ingat ketika hari pertama mereka bertemu dan pemuda itu masih takut-takut untuk sekedar menatapnya meskipun sebenarnya dia sangat ingin. Sesuatu yang agak naif dan polos utuk pria tampan sebesar Tara yang biasa berkeliaran di pantai. Tapi justru hal itu terasa manis bagi Erica yang jadi tidak mau berhenti menatapnya dengan terus terang hingga pemuda tampan itu terlihat kikuk dan malu diperhatikan. Saat itu juga Erica tahu kenapa Jemy bisa sangat menyukai pemuda itu. "Aku juga menyukaimu, menyukaimu sejak kali pertama kita bertemu." Erica kembali mendekatkan bibirnya untuk berbisik. "Bangunlah, Tara. Bangunlah karena aku sudah lelah dan tidak mau menunggumu lagi."
Haji Sofyan terkejut ketika tiba-tiba didatangi pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Dia lebih terkejut lagi ketika mengetahui jika senjata apinya sudah hilang dan telah digunakan untuk menembak Tara. Pemuda yang juga sudah sangat dia kenal dan dekat dengan putrinya.Sudah beberapa hari ini Larisa mengurung dirinya sendiri di dalam kamar tidak mau keluar untuk sekedar menanyakan perkembangan kondisi Tara ataupun kasus yang ikut menyeret abahnya. Haji Sofyan sementara memang masih bisa bebas dengan jaminan tapi bukan berarti statusnya tidak akan bisa berubah menjadi tersangka. Karena bagaimanapun senjata api tersebut adalah miliknya. Minimal dirinya tetap harus bertanggung jawab untuk sebuah kelalaian jika senjata api itu benar-benar sengaja di curi dari ruang kerjanya yang sebenarnya mustahil. Tidak ada siapapun yang biasa masuk kedalam ruang kerjanya selain keluarganya send
Dua bulan setelah kondisi Tara kembali pulih dan dapat beraktifitas dengan normal dia segera pergi untuk menyusul Erica.Erica langsung menjemput Tara dari bandara dan tersenyum begitu melihat pemuda itu keluar dari pintu kedatangan sambil melambai padanya. Tara hanya mengenakan Tshirt putih, jeans biru lengkap dengan kaca mata hitam dan topi casual yang mebuatnya terlihat lebih santai tapi tetap tampan. Memang sangat berbeda dengan tampilan Erica yang serba rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tidak ada satu helai pun rambutnya yang lolos dari ikatan. Sebenarnya Erica tadi juga dari rumah sakit dan langsung menjemput Tara ke bandara.Erica memeluknya sebentar sambil berbisik. "Apa aku sudah bisa meninju perutmu?""Kau boleh coba!" balas Tara ketika merangkul bahu Erica mengecup sisi kening wanita itu sambil mereka berjalan menuju mobil.Tara langsung melempar ranselnya ke jok belakang."Sini biar aku saja yang menyetir." Tara meminta k
Orang tua Erica mengundang Tara untuk makan malam sekaligus untuk membahas rencana pernikahan mereka. Tara duduk di samping Erica sementara ayah dan ibu Erica duduk bersebelahan di seberang meja. Sedari tadi Erica berulang kali menggenggam tangan Tara dari bawah meja meremasnya dengan keringat dingin.Di makan malam itu Ayah Erica kembali menanyakan beberapa hal lebih serius kepada Tara mengenai keinginannya untuk menikahi putri mereka. Erica bersyukur Tara masih cukup tenang menjawab semua pertanyaan ayahnya meskipun dia sempat khawatirsang ayah akan berubah pikiran setelah mendengar semua rencana Tara.Erica dan Tara sepakat untuk menikah lebih dulu dan nanti akan segera mengurus semua dokumen pernikahannya secara resmi. Jadi sepertinya memang tidak akan ada acara khusus ataupun pesta seperti yang diinginkan ibunya. Mereka
Emy ikut tersenyum bangga melihat Tara datang bersama wanita sangat cantik yang dia bilang akan ia nikahi akhir pekan ini."Aku harap kalian mau hadir sebagai keluargaku karena aku memang tidak bersama siapa-siapa dari kampung.""Oh, tentu pasti kami akan hadir dengan senang hati." Dengan antusias Emy menoleh Eric yang ikut mengangguk."Kudengar kau seorang Dokter bedah dan hendak mendirikan rumah sakit untuk penyandang cacat? ""Ya, " jawab Erica sambil tersenyum menatap Emy."Sepertinya kau harus bertemu teman kami Daniel, dia spesialis bedah mata kurasa dia mau ikut bergabung sebagai relawan tenaga medis jika kalian membutuhkan.""Oh, tentu terimakasih." Erica menyambut dengan gembira saran Emy yang juga langsung memberikan nomor kontak Daniel kepada Erica."Dia suami sepupuku dan sahabat dari Eric.""Kami punya yayasan yang mungkin juga bisa ikut serta membantu." Kali ini Eric yang ikut b
Ayah Erica sendiri yang menikahkan mereka berdua. Dengan saksi kedua ajudannya dan tentunya Emy serta Eric yang duduk di sisi Tara.Tara hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam, tanpa dasi atau jas mewah. Tapi pria itulah yang Erica inginkan dia tidak butuh yang lain lagi. Erica cuma ingin Tara segera menjadikan miliknya tanpa syarat apapun.Mereka hanya akan menikah dan Tara juga bersumpah untuk segera sukses demi wanita yang kali ini masih duduk tegang di sebelah ibunya sambil menunggu cemas.Tara berhasil mengucapkan ikrar ijab qabulnya hanya dalam satu tarikan nafas. Erica pun langsung luar bisa lega karena tahu sekarang dirinya adalah milik dari pria itu, pria yang baru mencium punggung tangan ayahnya dan kali ini sedang menatapnya.
Erica mulai frustasi mengais-ngais untuk mencari pegangan ketika Tara terus coba melembutkan intinya yang semakin berdenyut tebal dengan buaian dan dorongan pinggulnya."Tara ... tolong jangan...!""Tunggu sebentar." Nafas Tara juga mulai terasa berat memburu, menyapu punggung telanjang Erica dengan hawa panas yang menyebar hingga ke setiap ujung syaraf di tubuhnya.Otot lengan Tara masih mengeras menahan pinggul Erica agar tak berkelit. Erica merasa dirinya sudah begitu terentang dan rentan dari serangan pria yang sewaktu-waktu bisa menerjangnya. Dia benar-benar takut jika Tara sampai memasukinya dengan cara seperti itu."Aku ingin tahu...Aku ingin melihatmu.... " mohon Erica sekali lagi.
Walaupun hampir tidak tidur semalaman tapi Tara ternyata tetap bangun pagi-pagi dan sudah mandi. Tara memang sudah terbiasa bangun sebelum matahari terbit dan tidak akan pernah bisa bangkong. Erica jadi ikut terbangun ketika mendengar suara gemericik air dari bilik shower. Erica pilih menggosok gigi dulu karena masih sangat dingin untuk langsung mandi dan di luar sedang hujan. Dia masih berdiri di depan kaca wastafel ketika tiba-tiba Tara sudah berada di belakangnya."Oh di mana handukmu?" kaget Erica mendapati pria itu tidak memakai apa-apa dan basah.Erica menyaruk rambut basah Tara yang agak panjang di bagian dahi karena agak telat bercukur dan masih menetes-neteskan sisa air dingin. Erica sadar jika Tara memang tampan, terlalu tampan dan banyak godaan untuk dipilih sebagai suami.