"Ternyata aku tidak hanya takut, tapi aku juga rindu." Erica meraih tangan Tara yang sudah menghangat tapi masih juga tak bergeming. "Aku rindu melihatmu menggodaku."
Erica ingat ketika hari pertama mereka bertemu dan pemuda itu masih takut-takut untuk sekedar menatapnya meskipun sebenarnya dia sangat ingin. Sesuatu yang agak naif dan polos utuk pria tampan sebesar Tara yang biasa berkeliaran di pantai. Tapi justru hal itu terasa manis bagi Erica yang jadi tidak mau berhenti menatapnya dengan terus terang hingga pemuda tampan itu terlihat kikuk dan malu diperhatikan. Saat itu juga Erica tahu kenapa Jemy bisa sangat menyukai pemuda itu.
"Aku juga menyukaimu, menyukaimu sejak kali pertama kita bertemu." Erica kembali mendekatkan bibirnya untuk berbisik. "Bangunlah, Tara. Bangunlah karena aku sudah lelah dan tidak mau menunggumu lagi."
Haji Sofyan terkejut ketika tiba-tiba didatangi pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Dia lebih terkejut lagi ketika mengetahui jika senjata apinya sudah hilang dan telah digunakan untuk menembak Tara. Pemuda yang juga sudah sangat dia kenal dan dekat dengan putrinya.Sudah beberapa hari ini Larisa mengurung dirinya sendiri di dalam kamar tidak mau keluar untuk sekedar menanyakan perkembangan kondisi Tara ataupun kasus yang ikut menyeret abahnya. Haji Sofyan sementara memang masih bisa bebas dengan jaminan tapi bukan berarti statusnya tidak akan bisa berubah menjadi tersangka. Karena bagaimanapun senjata api tersebut adalah miliknya. Minimal dirinya tetap harus bertanggung jawab untuk sebuah kelalaian jika senjata api itu benar-benar sengaja di curi dari ruang kerjanya yang sebenarnya mustahil. Tidak ada siapapun yang biasa masuk kedalam ruang kerjanya selain keluarganya send
Dua bulan setelah kondisi Tara kembali pulih dan dapat beraktifitas dengan normal dia segera pergi untuk menyusul Erica.Erica langsung menjemput Tara dari bandara dan tersenyum begitu melihat pemuda itu keluar dari pintu kedatangan sambil melambai padanya. Tara hanya mengenakan Tshirt putih, jeans biru lengkap dengan kaca mata hitam dan topi casual yang mebuatnya terlihat lebih santai tapi tetap tampan. Memang sangat berbeda dengan tampilan Erica yang serba rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tidak ada satu helai pun rambutnya yang lolos dari ikatan. Sebenarnya Erica tadi juga dari rumah sakit dan langsung menjemput Tara ke bandara.Erica memeluknya sebentar sambil berbisik. "Apa aku sudah bisa meninju perutmu?""Kau boleh coba!" balas Tara ketika merangkul bahu Erica mengecup sisi kening wanita itu sambil mereka berjalan menuju mobil.Tara langsung melempar ranselnya ke jok belakang."Sini biar aku saja yang menyetir." Tara meminta k
Orang tua Erica mengundang Tara untuk makan malam sekaligus untuk membahas rencana pernikahan mereka. Tara duduk di samping Erica sementara ayah dan ibu Erica duduk bersebelahan di seberang meja. Sedari tadi Erica berulang kali menggenggam tangan Tara dari bawah meja meremasnya dengan keringat dingin.Di makan malam itu Ayah Erica kembali menanyakan beberapa hal lebih serius kepada Tara mengenai keinginannya untuk menikahi putri mereka. Erica bersyukur Tara masih cukup tenang menjawab semua pertanyaan ayahnya meskipun dia sempat khawatirsang ayah akan berubah pikiran setelah mendengar semua rencana Tara.Erica dan Tara sepakat untuk menikah lebih dulu dan nanti akan segera mengurus semua dokumen pernikahannya secara resmi. Jadi sepertinya memang tidak akan ada acara khusus ataupun pesta seperti yang diinginkan ibunya. Mereka
Emy ikut tersenyum bangga melihat Tara datang bersama wanita sangat cantik yang dia bilang akan ia nikahi akhir pekan ini."Aku harap kalian mau hadir sebagai keluargaku karena aku memang tidak bersama siapa-siapa dari kampung.""Oh, tentu pasti kami akan hadir dengan senang hati." Dengan antusias Emy menoleh Eric yang ikut mengangguk."Kudengar kau seorang Dokter bedah dan hendak mendirikan rumah sakit untuk penyandang cacat? ""Ya, " jawab Erica sambil tersenyum menatap Emy."Sepertinya kau harus bertemu teman kami Daniel, dia spesialis bedah mata kurasa dia mau ikut bergabung sebagai relawan tenaga medis jika kalian membutuhkan.""Oh, tentu terimakasih." Erica menyambut dengan gembira saran Emy yang juga langsung memberikan nomor kontak Daniel kepada Erica."Dia suami sepupuku dan sahabat dari Eric.""Kami punya yayasan yang mungkin juga bisa ikut serta membantu." Kali ini Eric yang ikut b
Ayah Erica sendiri yang menikahkan mereka berdua. Dengan saksi kedua ajudannya dan tentunya Emy serta Eric yang duduk di sisi Tara.Tara hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam, tanpa dasi atau jas mewah. Tapi pria itulah yang Erica inginkan dia tidak butuh yang lain lagi. Erica cuma ingin Tara segera menjadikan miliknya tanpa syarat apapun.Mereka hanya akan menikah dan Tara juga bersumpah untuk segera sukses demi wanita yang kali ini masih duduk tegang di sebelah ibunya sambil menunggu cemas.Tara berhasil mengucapkan ikrar ijab qabulnya hanya dalam satu tarikan nafas. Erica pun langsung luar bisa lega karena tahu sekarang dirinya adalah milik dari pria itu, pria yang baru mencium punggung tangan ayahnya dan kali ini sedang menatapnya.
Erica mulai frustasi mengais-ngais untuk mencari pegangan ketika Tara terus coba melembutkan intinya yang semakin berdenyut tebal dengan buaian dan dorongan pinggulnya."Tara ... tolong jangan...!""Tunggu sebentar." Nafas Tara juga mulai terasa berat memburu, menyapu punggung telanjang Erica dengan hawa panas yang menyebar hingga ke setiap ujung syaraf di tubuhnya.Otot lengan Tara masih mengeras menahan pinggul Erica agar tak berkelit. Erica merasa dirinya sudah begitu terentang dan rentan dari serangan pria yang sewaktu-waktu bisa menerjangnya. Dia benar-benar takut jika Tara sampai memasukinya dengan cara seperti itu."Aku ingin tahu...Aku ingin melihatmu.... " mohon Erica sekali lagi.
Walaupun hampir tidak tidur semalaman tapi Tara ternyata tetap bangun pagi-pagi dan sudah mandi. Tara memang sudah terbiasa bangun sebelum matahari terbit dan tidak akan pernah bisa bangkong. Erica jadi ikut terbangun ketika mendengar suara gemericik air dari bilik shower. Erica pilih menggosok gigi dulu karena masih sangat dingin untuk langsung mandi dan di luar sedang hujan. Dia masih berdiri di depan kaca wastafel ketika tiba-tiba Tara sudah berada di belakangnya."Oh di mana handukmu?" kaget Erica mendapati pria itu tidak memakai apa-apa dan basah.Erica menyaruk rambut basah Tara yang agak panjang di bagian dahi karena agak telat bercukur dan masih menetes-neteskan sisa air dingin. Erica sadar jika Tara memang tampan, terlalu tampan dan banyak godaan untuk dipilih sebagai suami.
Seindah apapun hari mereka nyatanya Tara tetap harus segera kembali bekerja. Artinya mereka mesti berpisah dulu dan mungkin memang akan sering berpisah lagi kedepannya karena kondisinya memang Erica juga punya pekerjaan dan tidak mungkin selalu bisa mengikuti Tara. Rencananya bulan depan Tara baru akan kembali sekalian menjemput Erica untuk ia ajak pulang bertemu ibunya di kampung dengan status sebagai istri. Sebenarnya Tara ingin langsung mengajaknya sekarang tapi Erica belum bisa mengambil cuti, apalagi proyek pengerjaan rumah sakitnya juga akan segera dimulai.Erica mengantar Tara ke bandara dan baru tahu ternyata rasanya seperti ini ketika sangat tidak ingin berpisah dengan seseorang. Tara kembali memeluk Erica sekali lagi sebelum masuk ke pintu keberangkatan.Rasanya benar-benar tidak rela karena mereka baru seminggu menikah
"Bang Nathan!" Nathan langsung berpaling karena selama ini hanya Tiva yang memangilnya seperti itu, bahkan Jemy dan Erica tidak pernah memangilnya demikian. Erica lebih sering langsung memanggil namanya karena usia mereka tidak terpaut jauh. Sedangkan Jemy hanya akan memanggilnya kakak jika sedang ada maunya. Tiva baru bangun dan sedang berdiri di ambang pintu Nathan mengerutkan dahi menilai keseriusan Tiva sebelum kemudian berjalan mendekatinya. "Coba panggil aku sekali lagi?" Tiva pura-pura menggeleng untuk menggoda pria yang sedang penasaran. Setelah hampir satu tahun mengajak Tiva pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan kembali semua ingatannya, perlahan sedikit demi sediki Tiva mulai mengingat beberapa tempat yang pernah mereka datangi dulu, tapi memang belum pernah Tiva memanggilnya seperti tadi. "Sepertinya aku hamil." Tiva menyentuh perutnya. "Hamil anakmu lagi, Bang." "Oh," hanya itu yang bisa Nathan ucapkan dengan takjub karena itu juga berarti banyak hal,'Tiva m
Nathan baru bangun dan mendapati Tiva sudah tidak ada di sampingnya. Nathan langsung panik dan menghubungi Jane."Jane, Tiva hilang!""Memang apa saja yang kau lakukan!" marah Jane tapi sepertinya Nathan sudah tidak mendengarkan karena sudah ikut kabur dan menutup teleponnya lebih dulu.Jane langsung menyuruh orang untuk mencari di sekitar komplek pangkalan militer, karena penjagaan di pangkalan militer cukup ketat mustahil ada yang bisa keluar masuk tanpa ijin. Lagi pula juga tidak ada yang cukup gila untuk keluar dari benteng sebab mereka jauh dari manapun. Manusia akan mati setelah beberapa mil hanya ada hamparan salju dan beruang kutub. Kecuali untuk manusia seperti Tiva, yang bahkan tidak paham dirinya sedang berada di mana. Pangkalan militer jauh dari manapun dan cuma dikelilingi
"Katakan saja jika kau mau sesuatu.""Aku mau mandi."Sebenarnya Nathan juga agak terkejut tapi sepertinya Tiva memang serius ingin mandi. Cuma masalahnya dia tidak minta ditemani lagi. Lagi pula kenapa Nathan bisa punya pikiran kotor seperti itu padahal dia tahu Tiva baru bangun setelah tidur panjang selama tiga tahun. Wajar jika Tiva butuh waktu untuk 'recovery'.Sepertinya Nathan memang harus segera membawa Tiva untuk diperiksa karena mustahil jika ia harus terus menahan diri seperti ini. Bayangkan saja setelah kerinduannya bertahun-tahun sebagai seorang pria, sekarang dia malah harus duduk seperti orang bodoh sementara ia tahu Tiva sedang menguyur tubuhnya di bilik shower. Rasanya sampai hanya tersisa sedikit sekali kewarasannya untuk tidak menyusul gadis itu segera.
Nathan segera kembali berlari keluar, sepertinya memang sedang terjadi kebakaran di lantai dasar. Walau apinya sudah bisa dipadamkan tapi asapnya masih membuat lorong-lorong penuh asap dan kekacauan belum berakhir. Beberapa tentara yang sedang di rawat harus di keluarkan dari ruang perawatannya yang juga sedang berasap. Di luar salju masih membeku Nathan berlari pada sumber kekacauan yang lain di mana beberapa prajurit sedang meneriaki seseorang dengan alat pengeras suara. Tepatnya di puncak sebuah tower berangka baja setinggi hampir empat puluh kaki Nathan melihatnya sedang memanjat, masih dengan pakaian biru pasien yang ikut berkibar-kibar tertiup angin. Nathan juga syok tapi yakin dirinya tidak sedang berhalusinasi ketika melihat seorang gadis yang memanjat rangka baja seperti orang yang sedang ketakutan dan itu adalah Tiva.
Semakin kesini Nathan semakin sadar jika dirinya benar-benar sedang sendiri. Saat orang-orang yang ia percaya pun tidak bisa berbuat banyak sepertinya jalan terbaik tetap menyelesaikannya sendiri, dengan caranya sendiri!Natha sedang tidak bisa memberikan kepercayaannya pada siapapun. Walaupun drinya punya Jane dan Erik tapi nyatanya mereka juga memiliki batas kemampuan. Nathan hanya tidak mau menyalahkan mereka sementara dirinya masih belum mau menyerah, dia masih mau berjuang untuk Tiva dan memiliki harapan walaupun mungkin yang lain sebenarnya sudah diam-diam berharap agar dirinya segera sadar jika harus segera melanjutkan hidup dan melupakannya.Ketika Jane hanya diam seperti kemarin Nathan tahu jika dia hanya tidak sanggup mengatakannya, bukannya berarti Jane tidak tahu sama sekali bakal seperti apa semua ini berakhir. Kadang Natha
Nathan ingat jika mereka bisa mati bersama jika sampai dirinya berbuat kesalahan sedikit saja. Nathan sudah berhasil membuat sensor pesawat mereka dapat melihat perisai digitalnya. Sebenarnya cuma seperti benteng transparan tapi sekarang mereka bisa melihat percikan aliran energi kebiruan yang melingkupinya seperti kerangka yang kokoh."Apa kau yakin?" Jack bertanya sekali lagi sebelum membawa pesawat mereka untuk menerobosnya.Benda itu bisa meledak seketika jika sampai terbentur perisai digital yang masih aktif menganggapnya benda asing. Tak heran selama ini banyak kapal dan pesawat yang tiba-tiba menghilang di area tersebut tanpa pernah ditemukan lagi. Padahal kemungkinan mereka tidak sengaja menabrak perisai digital dan lenyap karena hancur.Jack sudah pernah ikut dibawa masuk bers
Siang dan malam terus berlalu merentangkan waktu yang semakin panjang untuk terus dijalani tanpa kepastian. Tak perduli harus berapa lama lagi Nathan tetap tidak ingin menyerah dan akan melakukan apapun untuk kembali bisa memeluknya, kembali mendengarkan suaranya saat menggerutu atau menggoda. Kadang ketika malam semakin larut dan sunyi ia seperti bisa mendengarkan suaranya sedang berbisik seperti dulu. Namun ketika Nathan sadar dan meraba tempat tidur di sebelahnya yang masih saja kosong dan dingin seketika pula kesepian itu kembali menusuk dadanya hingga nyerinya mampu meleburkan serpihan peluru yang bersemayam di dadanya berulang kali.Kali ini Nathan sedang berada di tengah kota Hongkong yang padat tak bercelah, bahkan sampai bagian sisi bangunan tidak terkena sinar matahari sama sekali hinga gang sempitnya terlihat suram. Langkah kakinya sendiri terdengar memantul dari celah d
Sampai kapanpun Nathan memang tidak akan bisa melepas tangung jawab terhadap adik-adiknya. Karena melihat Erica seperti ini saja rasanya dia sudah tidak tahan untuk bisa kembali memeluknya dan memberitahunya jika ia baik-baik saja. Erica sudah sangat menderita karena terus jadi bahan pembicaraan sejak pernikahannya yang gagal dan sekarang kembali disepelekan karena pria pilihan hidupnya. Dan saat gadis seperti Erica dianggap remeh rasanya Nathan yang paling tidak terima.Erica adalah wanita yang tangguh dan cerdas pasti dia juga punya alasan ketika memilih siapa yang layak untuknya. Dan Nathan juga bisa menilai seperti apa pria yang tulus mencintai adik perempuannya dengan tanggung jawab, bukan hanya karena sekedar cinta atau harta. Sebagai seorang kakak laki-laki Nathan memang tidak akan pernah bisa mengabaikan tanggung jawabnya apalagi terhadap kedua adik perempuan. Selain itu ay
3 TAHUN KEMUDIAN. Tiga tahun berlalu Nathan masih berdiri sendiri di puncak tebing tertinggi menyaksikan bumi yang nampak terbentang luas di hadapannya tapi dirinya tetap hanya seorang diri. Melewat siang dan malam sendirian bukan sesuatu yang sedang mudah untuk dijalani, kadang dia juga lelah dan bosan. Nathan sudah terlalu rindu dan masih tidak tahu di mana ujung penantiannya akan berujung, karena setelah tiga tahun berlalu nyatanya tetap tidak ada yang berubah sama sekali. Gadisnya belum juga kembali, tidak ada tangan yang bisa dia genggam, dan tidak ada tubuh yang bisa ia peluk. Rindu dan kesepian bisa jadi lebih menyakitkan dari ujung pisau yang menikam jantung. Jika teringat dengan semua janji dan rencana mereka, rasanya Nathan juga tidak akan bakal sanggup untuk sedetik saja membayangkan senyum Tiva tanpa segera diterjang rasa bersalah dan dosa. Nathan mendapati rintik hujan yang jatuh di telapak tangannya ketika gumpalan awan gelap mulai merangkak mem