Tiba-tiba pembicaraan mereka terhenti ketika mendengar teriakan Kang Yahya dari kamar tamu.
"Mas Zian belum pulang Teh?" tanya Rani yang terkejut mendengarnya. "Belum, tadi Teteh suruh istirahat di kamar tamu. Cepat lihat dia!" jawab Teh Ratih sambil berseru. Rani segera menuju ke kamar tamu untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Ia Kang Yahnya sedang berusaha menyadarkan Zian. "Ambil kompres, badan suamimu panas sekali!" seru Kang Yahnya yang segera dikerjakan oleh Rani. Dengan telaten Rani mengompres suaminya yang tampak pucat. Ia tidak kaget Zian tiba-tiba pingsan karena selama mereka menikah, sudah beberapa kali seperti ini kalau sedang kelelahan. "Jangan pergi Rani, maafkan Mas!" Zian mengigau yang membuat Rani tertegun mendengarnya. Tiba-tiba Rani melihat Zian terisak dan terbangun sambil menjambak rambutnya dengan ketakutan. "Tidak Rani, Mas tidak mau pisah sama kamu!" racau Zian dengan mata yang masih terpejam. "Mas tenanglah, aku di sini!" sahut Rani sambil menggenggam tangan suaminya dengan erat. Mendengar itu, Zian langsung membuka matanya. Melihat Rani di sisinya, ia langsung memeluknya dengan erat seraya memohon, "Tolong jangan pergi Ran. Mas sangat menyesal dan minta maaf!" "Mas pasti mimpi, aku tidak pergi ke mana-mana. Badan Mas panas sekali, aku ambil obat dulu ya!" ujar Rani yang tiba-tiba jadi cemas. Ketika hendak beranjak mengambil paracetamol, Zian tidak mau melepaskan tangannya. "Jangan pergi, Mas nggak mau pisah sama kamu!" ujar Zian yang semakin erat memeluk Rani. Melihat keadaan Zian seperti ini membuat hati Rani luluh dan tak berdaya. Cinta itu semakin kuat menyuruhnya untuk tetap bertahan di antara luka yang telah tercipta. Seperti menggenggam mawar yang durinya menusuk tangan. Sakit, tapi tidak bisa melepaskan. Cinta telah membuat Rani mengambil keputusan yang bertolak belakang dengan logikanya. "Aku memaafkan kekhilafan Mas dan siap menerima anak itu untuk kita besarkan bersama. Kita jalani pernikahan ini dengan sebagaimana mestinya!" ujar Rani sambil membalas pelukan Zian dengan terisak. Mendengar itu Zian tampak terharu dan merasa beruntung memiliki istri seperti Rani. Sambil menitikkan air mata ia kemudian berucap, "Terima kasih atas pengertianmu Sayang. Mas janji akan bersikap adil!" Rani tampak mengangguk dan menyahuti, "Iya Mas, tolong jangan bohongi aku lagi dengan alasan apa pun!" Zian tampak mengangguk dan merasa bersukur Rani mau memaafkan dan menerima alasannya. Ia kemudian berjanji akan selalu jujur dalam segala hal. Rani telah memutuskan untuk bertahan. Mempertahankan rumah tangga dan cinta yang dimilikinya, meskipun jauh didasar lubuk hati rasa itu mulai terkikis oleh ketakutan yang mungkin saja terjadi. Setelah minum obat dan makan siang, demam Zian sudah turun. Ia kemudian mulai bicara baik-baik dengan istrinya. "Kita pulang ya!" ajak Zian sambil menatap Rani dengan penuh harap. "Aku akan pulang Mas, tapi tidak hari ini. Aku tidak enak sama Teh Ratih, kalau datang cuma merepotkan saja," tolak Rani secara halus. Padahal ia masih butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. "Ya sudah, kalau gitu Mas temani sampai kita pulang," sahut Zian yang takut kehilangan Rani. Rani menatap Zian dengan saksama. Terlihat ketakutan di mata pria yang dicintainya itu. Ia kemudian berkata, "Mas kan harus kerja dan harus menemani ...." berat rasanya menyebut nama wanita itu. "Sejak kamu tidak pulang ke rumah, Mas langsung cuti. Aku juga mematikan ponsel agar Dahlia tidak mengganggu," ujar Zian menjelaskan. Mendengar itu Rani merasa senang, tetapi tidak dengan sisi kemanusiaannya. "Jangan begitu Mas, ingat Lia sedang hamil muda. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama dia dan Mas tidak bisa dihubungi?" ujarnya yang tidak mau egois. Setelah berpikir sejenak, Zian kemudian mengambil ponselnya. Baru saja dihidupkan terdengar beberapa kali notif pesan. Belum lagi panggilan tidak terjawab yang cukup banyak. "Dahlia ngidam parah dan ...." Tiba-tiba ponsel Zian berdering. Terlihat sebuah nama yang selalu ingin bersamanya, tetapi ia mengabaikan telepon itu sampai tidak terjawab. "Pulanglah Mas, Dahlia lebih membutuhkanmu!" seru Rani seolah tahu apa yang suaminya pikirkan. Zian tampak menggeleng seraya berkata, "Mas tidak akan pulang tanpa kamu!" "Sudah waktunya Mas mulai menjadi suami yang adil!" sahut Rani mengingatkan tanggungjawab Zian. "Janji, kamu tidak akan meninggalkan Mas?" ujar Zian yang dijawab anggukan oleh Rani. "Aku pasti akan pulang dan selama di sini aku janji akan selalu berkomunikasi dengan Mas!" sahut Rani agar suaminya percaya. Setelah hatinya merasa tenang, Zian kemudian pamitan kepada Teh Ratih dan Kang Yahya untuk pulang. "Mas, akan jemput kamu tiga hari lagi!" ujar Zian sebelum masuk ke mobil. "Iya Mas, nanti kita saling berkabar saja!" sahut Rani yang segera menyalami tangan suaminya. Setelah mencium kening istrinya, Zian kemudian masuk ke mobil dan meluncur pergi. Sementara itu Rani tampak mengiringi kepergian suaminya dengan seulas senyum. Ketika mobil Zian kian menjauh, tiba-tiba air matanya berjatuhan. "Ya Allah, tolong kuatkan aku dalam menjalani pernikahan poligami ini!" doa Rani yang merasa belum sanggup untuk meraih surga yang tak pernah diinginkannya itu. BERSAMBUNGSejak memaafkan kesalahan dan menerima alasanku menikah lagi, Rani mulai menjaga jarak denganku. Apalagi sejak aku mulai membagi waktu untuk kedua istriku. Memang dia tetap melayaniku seperti biasanya. Akan tetapi, perasaanku mengatakan Rani sangat terluka dan belum bisa menerima telah dimadu secara diam-diam.Aku juga melihat ketakutan di mata Rani yang biasanya selalu menatapku dengan penuh cinta. Padahal sudah berulang kali aku katakan, kalau cinta ini hanya untuknya seorang. Aku memang sangat mencintai Rani yang tidak akan tergantikan oleh siapa pun.Jujur sebenarnya akulah yang sangat takut kehilangan Rani. Dia wanita mandiri dan bisa saja mengajukan gugatan atas pengkhianatan yang telah kulakukan. Namun, aku merasa bersyukur, Allah masih mempersatukan kami dalam ikatan cinta ini. Sungguh aku tidak pernah punya niat menyakiti Rani sedikitpun dengan menikah lagi ini. Namun, aku juga tidak mengerti kenapa bisa melakukan aib itu. Sehingga dengan mudahnya menyusun rencana kebohongan
Akhirnya Rani membuka cafe dengan mengontrak di salah satu ruko yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ia memperkerjakan dua orang teman dekatnya. Cafe itu diberi mana 'Rain' karena Rani suka melihat hujan.Hujan masih turun membasuh rindu bumi. Membuat sebagian orang enggan untuk ke luar rumah. Seperti Rani yang tampak mematung sambil menatap ke luar jendela. Rintikan air membuat angannya mengingat kebiasaan ia dan Zian di saat seperti ini. Biasanya Rani akan membuat teh aroma melati dan semangkuk mie instan untuk dimakan berdua.Rani hanya bisa tersenyum mengenang masa-masa itu karena kini keadaan telah berbeda. Sudah tiga hari ini Zian tidak pulang ke rumah karena sedang bersama Dahlia, besok baru dengannya. Ia mencoba untu menjalani pernikahan poligami ini dengan ikhlas. Lagi pula hanya sembilan bulan, setelah itu mereka akan selalu bersama-sama lagi tanpa orang ketiga. Namun, bukan itu yang Rani risaukan. Ia takut suatu hari nanti suaminya jatuh cinta kepada Dahlia. Apalagi ada s
Sebelum kenal dengan Zian, Rani pernah menyukai Azka. Namun, pria itu sangat dingin dan tidak merespon sebaliknya. Ketika pria itu sedang perbantuan ke luar pulau, Rani bertemu dengan Zian. Pada saat ia menjadi pengantin baru Azka kembali dan menyatakan perasaannya. "Maaf Azka, aku sudah menikah," ujar Rani sambil menunjukan cincin di jadi manis kanan. "Aku tidak tahu," ujar Azka dengan penuh penyesalan. Setelah pembicaraan mereka yang terakhir, Azka pergi ke luar kota. Sejak saat itu Rani tidak tahu kabarnya lagi. Kini takdir mempertemukan mereka kembali, ketika Rani sedang dilema dipoligami, entah untuk apa. "Ya Allah, jangan sampai kehadiran Azka menjadi ujian lagi untuk rumah tanggaku," lirih Rani dengan ketakutan yang kian melanda. Tidak lama kemudian terdengar suara ponsel berdering, Rani segera menerima vidio call yang ternyata dari suaminya. "Kamu di mana, kenapa belum pulang?" tanya Zian terdengar cemas. "Aku di ruko Mas, rencananya mau menginap di sini. Mas kok sudah
"Mas Zian mana Mbak?" tanya Dahlia sambil mencari sosok yang sangat dirindukan itu."Tidak tahu, tapi tadi Pak Zian menelepon saya menanyakan kabar Ibu dan Bilang akan datang secepatnya ke sini!" jawab asisten itu yang membuat Dahlia semakin kesal. "Pasti Mas Zian mengira aku sengaja masuk rumah sakit, kalau sampai terjadi sesuatu sama anak ini semua itu karena kesalahanmu Mas," batin Dahlia dengan pikiran yang kalut. Dahlia tidak terima Zian pulang ke rumah Rani. Dalam situasi hujan membuatnya jadi panik dan takut sendirian. Sehingga ia mencari cara untuk dapat membuat Zian kembali bersamanya. Tiba-tiba perutnya sakit dan minta diantar asisten berobat. Akhirnya pukul enam pagi, Zian sudah sampai di rumah sakit Dahlia dirawat. Ia melihat istri mudanya itu langsung tersenyum senang, seperti tidak terjadi apa pun."Mas," panggil Dahlia dengan seulas senyum yang mengembang. "Kamu egois Dahlia, selalu saja memanfaatkan kehamilanmu!" sahut Mas Zian sambil menatap Dahlia dengan tajam.
"Baiklah, Mas boleh bawa Dahlia ke rumah!" sahut Rani mengizinkan. "Terima kasih atas pengertianmu," ucap Zian yang merasa beruntung sekali mempunyai istri sangat pengertian seperti Rani. Setelah mendapat izin dari Rani, Zian kembali menemui Dahlia. Ia menatap istri mudanya itu seraya berpesan, "Baiklah kamu boleh tinggal di rumah Mas, tapi ingat jangan pernah gunakan alasan kehamilanmu untuk menyakiti Rani""Iya Mas," sahut Dahlia sambil mengangguk kecil. "Aku harus tahu kenapa Mas Zian sangat mencintai Mbak Rani," ujarnya di dalam hati.Dahlia sangat senang sekali ketika diperbolehkan tinggal satu atap dengan Rani. Dengan begitu ia bisa bertemu suaminya setiap hari. Ketika sampai di tempat tujuan, wanita itu pun tampak terkagum melihat kediaman yang ditempati Rani jauh lebih besar dari rumahnya. Dengan perasaan yang berdebar-debar Dahlia mengikuti langkah Zian untuk memasuki kediaman itu."Assalamualaikum...," ucap Zian ketika pulang bersama Dahlia dan seorang asisten."Waalaikums
"Tentu saja tidak," jawab Dahlia dengan gugup. "Sikap manjaku selama ini karena bawaan bayi yang ingin diperhatikan dan dekat dengan ayahnya. Apakah perasaan itu salah?" elaknya kemudian. Sambil tersenyum Rani kembali menyahuti, "Tidak salah dan wajar sekali, tapi tolong mengertilah posisi Mas Zian yang harus bekerja dan membagi waktu," sambungnya kemudian. Mendengar itu Dahlia serasa ditampar, akan keegoisannya yang telah memanfaatkan anak itu. "Maaf aku mau kembali ke kamar dulu . Takut masuk angin, kalau kelamaan di luar," pamit Dahlia yang enggan melanjutkan pembicaraan itu. Setelah bicara dan menatap Dahlia secara langsung. Rani dapat menyimpulkan, kalau wanita itu sangat mencintai Zian. Sehingga membuatnya semakin takut, kehilangan cinta suaminya suatu hari nanti. "Ya Allah, aku sangat mencintai Mas Zian. Tolong jangan pisahkan kami!" doa Rani di dalam hati sambil melihat senja. Ia tidak mau cinta Zian suatu hari nanti seperti senja yang hilang dipeluk malam. ***Beberapa
Rani kemudian menceritakan awal kisah cintanya dengan Zian. Selain itu masa-masa sulit diawal pernikahannya mereka. Hingga suaminya bisa sukses menjadi seorang kontraktor seperti sekarang ini. Mendengar cerita Rani, membuat Dahlia terenyuh. Ia merasa bersalah telah hadir di antara mereka. Tanpa wanita itu sadari ada rasa sesal yang mulai tumbuh di hatinya. Namun, ia tetap yakin cintanya kepada Zian bukanlah sebuah kesalahan.Tiba-tiba ponsel Rani berdering, sehingga pembicaraan mereka harus terhenti. "Halo Mas," ucap Rani yang mendapat telepon dari Zian."Halo sayang, apa kabar? Maaf baru bisa menghubungimu, Mas sangat sibuk sekali," sahut Zian dari seberang sana. "Alhamdulillah .., aku baik. Semoga pekerjaan Mas lancar dan sukses. Aaminn ...," jawab Rani sambil mendoakan. "Terima kasih Sayang, oh ya apakah Dahlia berulah atau merepotkan mu?" tanya Zian dengan penuh perhatian. Rani menoleh ke arah Dahlia dan menjawab, "Lia tidak menyusahkan sama sekali.""Baguslah sudah dulu ya.
Dahlia segera memasukan bajunya ke dalam tas. Tidak lupa ia juga memberitahu Mbak Rara untuk pulang sekarang juga. Setelah itu mereka menemui Rani untuk berpamitan. "Mbak, saya pulang ya. Terima kasih sudah menerimaku dengan baik di rumah ini," ucap Dahlia tanpa berani menatap Rani. Mendengar itu Rani sangat terkejut dan tidak mengerti kenapa Dahlia tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke Bekasi."Kenapa mendadak dan tidak tunggu sampai Mas Zian pulang dari luar kota?" tanya Rani dengan heran."Saya berubah pikiran Mbak dan ingin pulang saja," jawab Dahlia tanpa menjelaskan alasan yang sebenarnya. Rani jadi tidak enak hati dan mengira Dahlia marah setelah mereka bicara tadi. "Maaf, kalau ada perkataan Mbak yang menyakiti kamu," ucapnya kemudian. "Mbak tidak salah apa-apa, ini tentang perasaan saja. Saya rasa Mbak mengerti akan hal itu," jelas Dahlia sambil menggeleng.Kalau sudah menyangkut soal perasaan, Rani tidak bisa menahan Dahlia lagi. Jujur ia juga tidak nyaman tinggal seruma
"Kalau Mas Zian sudah membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan merasa bersalah karena keputusan ini murni pilihanku sendiri. Setelah tahu Mas Zian menikah lagi aku selalu berusaha menerima takdir ini dengan ikhlas. Tapi aku gagal, tidak bisa fokus beribadah terutama salat karena setiap saat bayangan kebersamaan kalian yang terus menggerogoti pikiranku."Tiba-tiba air mata Zian berjatuhan membayangkan betapa sakit dan hancurnya perasaan Rani. Dibalik kata tidak apa-apa dan sikapnya yang selalu pengertian ternyata Rani sangat menderita. Terpuruk, kesepian dan selalu merasa sendirian. Setelah menyeka air matanya, ia kembali melanjutkan membaca surat itu lagi. "Aku doakan Mas Zian bisa hidup bahagia bersama Dahlia dan Rizqi selamanya. Maafkan kalau selama ini sebagai istri aku banyak membangkang dan tidak menurut. Sungguh aku sudah belajar menerima, tetapi tetap tidak bisa. Apa pun yang Mas ketahui nanti pesanku jangan pernah lakukan kesalahan yang sama lagi. Selamat tingg
Sebenarnya berat bagi Zian untuk menceraikan Rani. Akan tetapi, pengkhianatan wanita itu baginya sudah fatal. Seandainya saja mereka baru melakukannya, mungkin Zian masih bisa memaafkan. Sayang ternyata sudah cukup lama dan tidak bisa ditolelir lagi. Terlebih Rani membandingkannya dengan Azka. Zian tidak menyangka Rani tega melakukan itu. Padahal selama ini selalu pengertian dan mengalah. Ternyata semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perselingkuhan mereka. Zian memang masih mencintai Rani, tetapi perpisahan mungkin yang terbaik bagi keduanya. Zian dan Rani memilih untuk tidak hadir dalam panggilan sidang. Mereka hanya diwakili pengacara dari kedua belah pihak. Selama masa persidangan Rani tetap menempati rumahnya. Hingga tepat sebulan kemudian hakim mengetuk palu. Mengakhiri hubungan cinta dari yang pernah menyatukan mereka. Sebagai mantan istri, tentu saja Zian telah memberikan harta gono-gini yang sesuai untuk Rani. Ia berencana akan menemui wanita itu pada siang ini. Anggap
Seiring berjalannya waktu, Zian lebih memperhatikan Rani. Ia bahkan berusaha membagi waktu dengan seadil mungkin. Zian juga melarang Dahlia dan keluarganya memposting apa pun soal Rizqi. Namun, apa pun yang Zian lakukan belum bisa mengembalikan cinta Rani seperti dulu lagi."Sebaiknya aku anterin makan siang buat Mas Zian," ujar Rani yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Zian agar bisa seperti dulu lagi. Selesai masak Rani langsung bersiap-siap. Setelah rapih, ia segera pergi ke kantor Zian. Dengan mengunakan taksi online. Ketika sampai di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul setengah dua belas siang. Seorang security langsung menghampiri Rani yang memakai kaca mata dan masker. "Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya security itu dengan ramah. "Saya membawakan pesanan makan siang buat Pak Zian. Beliau minta saya untuk mengantarkan langsung ke ruangannya," jawab Rani yang berpura-pura sebagai pegawai catering. Dengan bingung security itu berkata, "Pak Zian baru s
Alunan musik pop mengalun merdu di cafe Rain. Dua insan sedang duduk bercakap-cakap sambil menikmati coffee latte dan cappucino. Rani semakin dekat dengan Azka. Bahkan hampir setiap hari mereka bertemu di cafe untuk ngobrol sambil minum kopi. Tina dan Laras sudah biasa melihat keakraban mereka. Bahkan terkadang ikut nimbrung, kalau cafe sedang sepi."Kamu tidak bilang sama Zian, kalau madumu dan ibunya matre?" tanya Azka setelah mendengar cerita Rani. "Percuma, pasti Mas Zian menganggap aku cemburu. Lagipula mereka akan menggunakan anak itu sebagai ahli waris. Biarkan saja waktu yang memberitahunya kelak!" sahut Rani yang tidak mau menjelek-jelekan Dahlia dan ibunya. "Aku yakin sekali Zian pasti akan menyesal suatu hari nanti," timpal Azka kembali. Sambil mengangkat kedua bahunya Rani menimpali, "Entahlah, kalau aku lihat Mas Zian sekarang sedang bahagia menjadi seorang ayah. Menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, semoga selamanya seperti itu.""Tapi tidak adil untukmu," c
Hari demi hari berlalu Rani mulai merasakan ketidak adilan. Zian lebih sering berada di rumah Dahlia dengan berbagai macam alasan. Mulai dari anaknya sakit, rewel sampai hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi sendiri oleh Dahlia. Dari tiga hari jatahnya, paling hanya sehari Zian bersamanya itu pun hanya malam saja. Entah mengapa Rani merasa seperti wanita simpanan yang hanya dijenguk kalau diperlukan saja. Apakah seperti ini nasib istri yang tidak bisa punya anak. Harus sering mengalah demi kebahagian orang lain. Di perusahaan juga sudah banyak karywanan yang tahu perihal Zian menikah lagi dan mempunyai anak. Bahkan di media sosial Dahlia dan keluarga suaminya sudah terang-terangan memposting kebersamaan Zian dan Rizqi. Mereka sudah tidak lagi menjaga perasaan Rani. Apa yang Rani takutkan dulu kini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Dipaksa menerima keadaan dan kenyataan, sungguh sakit tak berdarah. "Sayang maaf ya, hari ini Mas tidak pulang, Rizqi sakit," ujar Zian member
Mentari baru saja meninggi ketika Zian kedatangan tamu. Ia yang mau berangkat kerja menyempatkan diri untuk menemui orang itu. "Permisi Pak, apa benar di sini rumah Ibu Khairani?" tanya seorang pria yang berpakaian cukup rapi. "Iya benar, ada apa Mas?" jawab Zian sambil balik bertanya. Pria itu kembali menjawab, "Kami dari tim marketing Abadi Jaya mau mengantarkan pesanan motor Ibu Rani!" Zian tampak terkejut mengetahui istrinya membeli motor. Setelah marketing itu menyerahkan motor dan kuncinya, ia segera menemui Rani di kamar. "Buat apa kamu beli motor, Mas bisa belikan mobil yang sama kayak punya kamu dulu?" tanya Zian dengan heran. "Naik mobil macet," jawab Rani secara logis. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar jawaban Rani yang hanya seperlunya saja. "Mas nggak bolehin kamu bawa mobil apalagi motor. Resikonya lebih besar, Sayang!" tegas Zian yang tidak mau terjadi sesuatu sama Rani. "Hidup mati kita sudah ditakdirkan Allah, jadi jangan terlalu mencemaskan aku!"
"Biarkan Dahlia tinggal di sini, dia dan anak itu lebih membutuhkan Mas daripada aku!" ujar Rani yang membuat Zian terkejut. "Tolong jangan bicara seperti itu, kamu juga sangat berarti di dalam hidup Mas. Tapi bukankah kamu bilang dalam satu istana tidak boleh ada dua ratu?" sahut Zian yang tidak mengerti dengan pemikiran Rani. Rani tampak mengangguk kecil dan membenarkan dengan berkata, "Memang benar, tapi Dahlia sudah melahirkan anak Mas. Jadi biarkan aku yang ke--""Cukup!" potong Zian yang sudah tahu arah pembicaraan Rani. Ia kemudian berkata dengan tegas, "Bagiku kamu adalah ratu di rumah ini sampai kapan pun!""Baiklah, kalau begitu Dahlia dan anak itu tidak boleh pergi dari rumah ini. Aku berangkat dulu, assalamualaikum!" pamit Rani yang segera menyalami tangan Zian dan segera berlalu. Zian ingin sekali melarang setidaknya menemani Rani pergi karena tidak bekerja hari ini. Akan tetapi, ia ingat pesan Teh Ratih yang tidak boleh memaksakan kehendak karena Rani masih perlu wakt
Sebuah mobil tampak berhenti di parkiran ruko. Tidak lama kemudian Zian turun dari kendaraan itu dan tergesa-gesa masuk ke cafe Rain. Tentu saja ia sudah diberitahu oleh asisten, kalau Rani telah pulang. Akan tetapi, pergi lagi setelah membawa sebuah tas berukuran cukup besar. Zian bertemu dengan Teh Ratih di lantai dasar. Setelah berbicara sebentar, ia segera naik ke lantai atas untuk menemui Rani. "Sayang, alhamdulilah kamu sudah sadar. Mas kangen sekali sama kamu, ayo kita pulang!" ujar Zian sambil memeluk Rani dengan penuh kerinduan. Namun, Rani tidak membalas pelukan suaminya. Ia begitu dingin, sampai Zian melepas pelukannya. Zian menatap Rani dengan saksama, masih cantik alami seperti sebelum tragedi itu terjadi. Akan tetapi, sangat dingin seolah bukan Rani yang dikenalnya. Tentu saja ia tahu apa yang menyebabkan istrinya berubah. "Maaf, Mas tidak pernah bermaksud menduakan kamu dengan menikahi Dahlia secara sah. Tapi anak itu butuh kepastian hukum secepatnya karena kata do
Rani tidak tahu berada di mana karena sekelilingnya hanya berwarna putih. Tidak ada siapa pun di tempat itu, baik orang hewan atau tumbuhan. Hanya terdengar suara yang sangat jauh. Seolah menuntunnya untuk terus berjalan ke arah sumber suara. Rani terus melangkah hingga suara yang tadi jauh mulai terdengar samar. Lalu sedikit-sedikit ia mulai tahu kata-kata itu dan akhirnya semakin jelas. "Mas Zian," batin Rani sambil membuka matanya dengan perlahan, tetapi cahaya terang membuatnya harus berkali-kali mencoba lagi. Sampai akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik suara merdu itu. "Shodaqallah hul'azim ....""Teh Ratih," panggil Rani dengan suara yang lemah. Teh Ratih menoleh dan tampak terkejut melihat Rani sudah siuman dari komanya. Dengan spontan ia berucap, "Allahu Akbar, Alhamdulillah .., Rani akhirnya kamu sadar juga," ujarnya dengan haru. "Aku kenapa ada di sini Teh?" tanya Rani ketika menyadari berada di kamar inap. Teh Ratih tidak menyahuti dan langsung memanggil tenaga