Mentari baru saja meninggi ketika Zian kedatangan tamu. Ia yang mau berangkat kerja menyempatkan diri untuk menemui orang itu. "Permisi Pak, apa benar di sini rumah Ibu Khairani?" tanya seorang pria yang berpakaian cukup rapi. "Iya benar, ada apa Mas?" jawab Zian sambil balik bertanya. Pria itu kembali menjawab, "Kami dari tim marketing Abadi Jaya mau mengantarkan pesanan motor Ibu Rani!" Zian tampak terkejut mengetahui istrinya membeli motor. Setelah marketing itu menyerahkan motor dan kuncinya, ia segera menemui Rani di kamar. "Buat apa kamu beli motor, Mas bisa belikan mobil yang sama kayak punya kamu dulu?" tanya Zian dengan heran. "Naik mobil macet," jawab Rani secara logis. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar jawaban Rani yang hanya seperlunya saja. "Mas nggak bolehin kamu bawa mobil apalagi motor. Resikonya lebih besar, Sayang!" tegas Zian yang tidak mau terjadi sesuatu sama Rani. "Hidup mati kita sudah ditakdirkan Allah, jadi jangan terlalu mencemaskan aku!"
Hari demi hari berlalu Rani mulai merasakan ketidak adilan. Zian lebih sering berada di rumah Dahlia dengan berbagai macam alasan. Mulai dari anaknya sakit, rewel sampai hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi sendiri oleh Dahlia. Dari tiga hari jatahnya, paling hanya sehari Zian bersamanya itu pun hanya malam saja. Entah mengapa Rani merasa seperti wanita simpanan yang hanya dijenguk kalau diperlukan saja. Apakah seperti ini nasib istri yang tidak bisa punya anak. Harus sering mengalah demi kebahagian orang lain. Di perusahaan juga sudah banyak karywanan yang tahu perihal Zian menikah lagi dan mempunyai anak. Bahkan di media sosial Dahlia dan keluarga suaminya sudah terang-terangan memposting kebersamaan Zian dan Rizqi. Mereka sudah tidak lagi menjaga perasaan Rani. Apa yang Rani takutkan dulu kini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Dipaksa menerima keadaan dan kenyataan, sungguh sakit tak berdarah. "Sayang maaf ya, hari ini Mas tidak pulang, Rizqi sakit," ujar Zian member
Alunan musik pop mengalun merdu di cafe Rain. Dua insan sedang duduk bercakap-cakap sambil menikmati coffee latte dan cappucino. Rani semakin dekat dengan Azka. Bahkan hampir setiap hari mereka bertemu di cafe untuk ngobrol sambil minum kopi. Tina dan Laras sudah biasa melihat keakraban mereka. Bahkan terkadang ikut nimbrung, kalau cafe sedang sepi."Kamu tidak bilang sama Zian, kalau madumu dan ibunya matre?" tanya Azka setelah mendengar cerita Rani. "Percuma, pasti Mas Zian menganggap aku cemburu. Lagipula mereka akan menggunakan anak itu sebagai ahli waris. Biarkan saja waktu yang memberitahunya kelak!" sahut Rani yang tidak mau menjelek-jelekan Dahlia dan ibunya. "Aku yakin sekali Zian pasti akan menyesal suatu hari nanti," timpal Azka kembali. Sambil mengangkat kedua bahunya Rani menimpali, "Entahlah, kalau aku lihat Mas Zian sekarang sedang bahagia menjadi seorang ayah. Menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, semoga selamanya seperti itu.""Tapi tidak adil untukmu," c
Seiring berjalannya waktu, Zian lebih memperhatikan Rani. Ia bahkan berusaha membagi waktu dengan seadil mungkin. Zian juga melarang Dahlia dan keluarganya memposting apa pun soal Rizqi. Namun, apa pun yang Zian lakukan belum bisa mengembalikan cinta Rani seperti dulu lagi."Sebaiknya aku anterin makan siang buat Mas Zian," ujar Rani yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Zian agar bisa seperti dulu lagi. Selesai masak Rani langsung bersiap-siap. Setelah rapih, ia segera pergi ke kantor Zian. Dengan mengunakan taksi online. Ketika sampai di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul setengah dua belas siang. Seorang security langsung menghampiri Rani yang memakai kaca mata dan masker. "Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya security itu dengan ramah. "Saya membawakan pesanan makan siang buat Pak Zian. Beliau minta saya untuk mengantarkan langsung ke ruangannya," jawab Rani yang berpura-pura sebagai pegawai catering. Dengan bingung security itu berkata, "Pak Zian baru s
Sebenarnya berat bagi Zian untuk menceraikan Rani. Akan tetapi, pengkhianatan wanita itu baginya sudah fatal. Seandainya saja mereka baru melakukannya, mungkin Zian masih bisa memaafkan. Sayang ternyata sudah cukup lama dan tidak bisa ditolelir lagi. Terlebih Rani membandingkannya dengan Azka. Zian tidak menyangka Rani tega melakukan itu. Padahal selama ini selalu pengertian dan mengalah. Ternyata semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perselingkuhan mereka. Zian memang masih mencintai Rani, tetapi perpisahan mungkin yang terbaik bagi keduanya. Zian dan Rani memilih untuk tidak hadir dalam panggilan sidang. Mereka hanya diwakili pengacara dari kedua belah pihak. Selama masa persidangan Rani tetap menempati rumahnya. Hingga tepat sebulan kemudian hakim mengetuk palu. Mengakhiri hubungan cinta dari yang pernah menyatukan mereka. Sebagai mantan istri, tentu saja Zian telah memberikan harta gono-gini yang sesuai untuk Rani. Ia berencana akan menemui wanita itu pada siang ini. Anggap
"Kalau Mas Zian sudah membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan merasa bersalah karena keputusan ini murni pilihanku sendiri. Setelah tahu Mas Zian menikah lagi aku selalu berusaha menerima takdir ini dengan ikhlas. Tapi aku gagal, tidak bisa fokus beribadah terutama salat karena setiap saat bayangan kebersamaan kalian yang terus menggerogoti pikiranku."Tiba-tiba air mata Zian berjatuhan membayangkan betapa sakit dan hancurnya perasaan Rani. Dibalik kata tidak apa-apa dan sikapnya yang selalu pengertian ternyata Rani sangat menderita. Terpuruk, kesepian dan selalu merasa sendirian. Setelah menyeka air matanya, ia kembali melanjutkan membaca surat itu lagi. "Aku doakan Mas Zian bisa hidup bahagia bersama Dahlia dan Rizqi selamanya. Maafkan kalau selama ini sebagai istri aku banyak membangkang dan tidak menurut. Sungguh aku sudah belajar menerima, tetapi tetap tidak bisa. Apa pun yang Mas ketahui nanti pesanku jangan pernah lakukan kesalahan yang sama lagi. Selamat tingg
"Assalamualaikum .., sayang," ucap Zian dari seberang sana. "Waalaikumsalam ..., Mas," sahut Rani dengan senangnya. "Sayang, maaf ya Mas tidak jadi pulang hari ini. Insha Allah besok baru bisa kembali ke Jakarta. Mendadak ada urusan penting," ujar Zian memberitahu. Rani menarik senyumnya dan berkata, "Iya tidak apa-apa yang penting pekerjaan Mas lancar." Ia selalu mengerti keadaan suaminya yang sibuk bekerja."Aaminn .., terima kasih atas doanya. Sekali lagi maaf karena kamu pasti sudah ambil libur hari ini. Mas janji akan kasih kamu kejutan!" ucap Zian kembali. "Iya Mas, aku tunggu ya!" sahut Rani kembali dan percakapan mereka pun berakhir.Rani ada seorang staf di salah satu perusahaan retail. Setiap suaminya pulang dari luar kota ia selalu libur. Akan tetapi, sepertinya rencana penyambutan kali ini gagal. Biarlah tidak mengapa masih ada hari esok. Jadi semakin banyak waktu untuk mempersiapkan kejutan buat suami tercinta.Sebenarnya sudah lama Rani ingin menjadi ibu rumah tangga
Setelah berpikir lebih jauh lagi, Rani memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Ia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi pergi mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan diri. Namun, Rani tidak tahu harus ke mana, mengadu sama siapa. Pikirannya terasa buntu dengan hati yang berkecamuk hebat. Hingga matanya tertuju pada sebuah mesjid. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera membelokan kendaraannya. Melihat keadaan mesjid yang sepi, Rani segera menangis sejadinya di dalam mobil. Ia meraung meratapi nasibnya yang dikhianati secara diam-diam."Kamu jahat Mas, jahat!" pekik Rani sambil memukul-mukul stir mobil dengan penuh kemarahan. Sehingga tanpa sadar menekan klakson mobil."Ada apa Bu?" tanya security mesjid sambil mengetuk pintu mobil. Rani segera menyeka air matanya dan segera mencari kaca mata dan masker. Setelah memakai kedua benda itu, ia segera membuka pintu mobil. "Maaf Pak, ketekan!" ucap Rani yang dijawab anggukan oleh security itu. Ia segera menuju ke toilet dan mengambil
"Kalau Mas Zian sudah membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan merasa bersalah karena keputusan ini murni pilihanku sendiri. Setelah tahu Mas Zian menikah lagi aku selalu berusaha menerima takdir ini dengan ikhlas. Tapi aku gagal, tidak bisa fokus beribadah terutama salat karena setiap saat bayangan kebersamaan kalian yang terus menggerogoti pikiranku."Tiba-tiba air mata Zian berjatuhan membayangkan betapa sakit dan hancurnya perasaan Rani. Dibalik kata tidak apa-apa dan sikapnya yang selalu pengertian ternyata Rani sangat menderita. Terpuruk, kesepian dan selalu merasa sendirian. Setelah menyeka air matanya, ia kembali melanjutkan membaca surat itu lagi. "Aku doakan Mas Zian bisa hidup bahagia bersama Dahlia dan Rizqi selamanya. Maafkan kalau selama ini sebagai istri aku banyak membangkang dan tidak menurut. Sungguh aku sudah belajar menerima, tetapi tetap tidak bisa. Apa pun yang Mas ketahui nanti pesanku jangan pernah lakukan kesalahan yang sama lagi. Selamat tingg
Sebenarnya berat bagi Zian untuk menceraikan Rani. Akan tetapi, pengkhianatan wanita itu baginya sudah fatal. Seandainya saja mereka baru melakukannya, mungkin Zian masih bisa memaafkan. Sayang ternyata sudah cukup lama dan tidak bisa ditolelir lagi. Terlebih Rani membandingkannya dengan Azka. Zian tidak menyangka Rani tega melakukan itu. Padahal selama ini selalu pengertian dan mengalah. Ternyata semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perselingkuhan mereka. Zian memang masih mencintai Rani, tetapi perpisahan mungkin yang terbaik bagi keduanya. Zian dan Rani memilih untuk tidak hadir dalam panggilan sidang. Mereka hanya diwakili pengacara dari kedua belah pihak. Selama masa persidangan Rani tetap menempati rumahnya. Hingga tepat sebulan kemudian hakim mengetuk palu. Mengakhiri hubungan cinta dari yang pernah menyatukan mereka. Sebagai mantan istri, tentu saja Zian telah memberikan harta gono-gini yang sesuai untuk Rani. Ia berencana akan menemui wanita itu pada siang ini. Anggap
Seiring berjalannya waktu, Zian lebih memperhatikan Rani. Ia bahkan berusaha membagi waktu dengan seadil mungkin. Zian juga melarang Dahlia dan keluarganya memposting apa pun soal Rizqi. Namun, apa pun yang Zian lakukan belum bisa mengembalikan cinta Rani seperti dulu lagi."Sebaiknya aku anterin makan siang buat Mas Zian," ujar Rani yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Zian agar bisa seperti dulu lagi. Selesai masak Rani langsung bersiap-siap. Setelah rapih, ia segera pergi ke kantor Zian. Dengan mengunakan taksi online. Ketika sampai di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul setengah dua belas siang. Seorang security langsung menghampiri Rani yang memakai kaca mata dan masker. "Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya security itu dengan ramah. "Saya membawakan pesanan makan siang buat Pak Zian. Beliau minta saya untuk mengantarkan langsung ke ruangannya," jawab Rani yang berpura-pura sebagai pegawai catering. Dengan bingung security itu berkata, "Pak Zian baru s
Alunan musik pop mengalun merdu di cafe Rain. Dua insan sedang duduk bercakap-cakap sambil menikmati coffee latte dan cappucino. Rani semakin dekat dengan Azka. Bahkan hampir setiap hari mereka bertemu di cafe untuk ngobrol sambil minum kopi. Tina dan Laras sudah biasa melihat keakraban mereka. Bahkan terkadang ikut nimbrung, kalau cafe sedang sepi."Kamu tidak bilang sama Zian, kalau madumu dan ibunya matre?" tanya Azka setelah mendengar cerita Rani. "Percuma, pasti Mas Zian menganggap aku cemburu. Lagipula mereka akan menggunakan anak itu sebagai ahli waris. Biarkan saja waktu yang memberitahunya kelak!" sahut Rani yang tidak mau menjelek-jelekan Dahlia dan ibunya. "Aku yakin sekali Zian pasti akan menyesal suatu hari nanti," timpal Azka kembali. Sambil mengangkat kedua bahunya Rani menimpali, "Entahlah, kalau aku lihat Mas Zian sekarang sedang bahagia menjadi seorang ayah. Menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, semoga selamanya seperti itu.""Tapi tidak adil untukmu," c
Hari demi hari berlalu Rani mulai merasakan ketidak adilan. Zian lebih sering berada di rumah Dahlia dengan berbagai macam alasan. Mulai dari anaknya sakit, rewel sampai hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi sendiri oleh Dahlia. Dari tiga hari jatahnya, paling hanya sehari Zian bersamanya itu pun hanya malam saja. Entah mengapa Rani merasa seperti wanita simpanan yang hanya dijenguk kalau diperlukan saja. Apakah seperti ini nasib istri yang tidak bisa punya anak. Harus sering mengalah demi kebahagian orang lain. Di perusahaan juga sudah banyak karywanan yang tahu perihal Zian menikah lagi dan mempunyai anak. Bahkan di media sosial Dahlia dan keluarga suaminya sudah terang-terangan memposting kebersamaan Zian dan Rizqi. Mereka sudah tidak lagi menjaga perasaan Rani. Apa yang Rani takutkan dulu kini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Dipaksa menerima keadaan dan kenyataan, sungguh sakit tak berdarah. "Sayang maaf ya, hari ini Mas tidak pulang, Rizqi sakit," ujar Zian member
Mentari baru saja meninggi ketika Zian kedatangan tamu. Ia yang mau berangkat kerja menyempatkan diri untuk menemui orang itu. "Permisi Pak, apa benar di sini rumah Ibu Khairani?" tanya seorang pria yang berpakaian cukup rapi. "Iya benar, ada apa Mas?" jawab Zian sambil balik bertanya. Pria itu kembali menjawab, "Kami dari tim marketing Abadi Jaya mau mengantarkan pesanan motor Ibu Rani!" Zian tampak terkejut mengetahui istrinya membeli motor. Setelah marketing itu menyerahkan motor dan kuncinya, ia segera menemui Rani di kamar. "Buat apa kamu beli motor, Mas bisa belikan mobil yang sama kayak punya kamu dulu?" tanya Zian dengan heran. "Naik mobil macet," jawab Rani secara logis. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar jawaban Rani yang hanya seperlunya saja. "Mas nggak bolehin kamu bawa mobil apalagi motor. Resikonya lebih besar, Sayang!" tegas Zian yang tidak mau terjadi sesuatu sama Rani. "Hidup mati kita sudah ditakdirkan Allah, jadi jangan terlalu mencemaskan aku!"
"Biarkan Dahlia tinggal di sini, dia dan anak itu lebih membutuhkan Mas daripada aku!" ujar Rani yang membuat Zian terkejut. "Tolong jangan bicara seperti itu, kamu juga sangat berarti di dalam hidup Mas. Tapi bukankah kamu bilang dalam satu istana tidak boleh ada dua ratu?" sahut Zian yang tidak mengerti dengan pemikiran Rani. Rani tampak mengangguk kecil dan membenarkan dengan berkata, "Memang benar, tapi Dahlia sudah melahirkan anak Mas. Jadi biarkan aku yang ke--""Cukup!" potong Zian yang sudah tahu arah pembicaraan Rani. Ia kemudian berkata dengan tegas, "Bagiku kamu adalah ratu di rumah ini sampai kapan pun!""Baiklah, kalau begitu Dahlia dan anak itu tidak boleh pergi dari rumah ini. Aku berangkat dulu, assalamualaikum!" pamit Rani yang segera menyalami tangan Zian dan segera berlalu. Zian ingin sekali melarang setidaknya menemani Rani pergi karena tidak bekerja hari ini. Akan tetapi, ia ingat pesan Teh Ratih yang tidak boleh memaksakan kehendak karena Rani masih perlu wakt
Sebuah mobil tampak berhenti di parkiran ruko. Tidak lama kemudian Zian turun dari kendaraan itu dan tergesa-gesa masuk ke cafe Rain. Tentu saja ia sudah diberitahu oleh asisten, kalau Rani telah pulang. Akan tetapi, pergi lagi setelah membawa sebuah tas berukuran cukup besar. Zian bertemu dengan Teh Ratih di lantai dasar. Setelah berbicara sebentar, ia segera naik ke lantai atas untuk menemui Rani. "Sayang, alhamdulilah kamu sudah sadar. Mas kangen sekali sama kamu, ayo kita pulang!" ujar Zian sambil memeluk Rani dengan penuh kerinduan. Namun, Rani tidak membalas pelukan suaminya. Ia begitu dingin, sampai Zian melepas pelukannya. Zian menatap Rani dengan saksama, masih cantik alami seperti sebelum tragedi itu terjadi. Akan tetapi, sangat dingin seolah bukan Rani yang dikenalnya. Tentu saja ia tahu apa yang menyebabkan istrinya berubah. "Maaf, Mas tidak pernah bermaksud menduakan kamu dengan menikahi Dahlia secara sah. Tapi anak itu butuh kepastian hukum secepatnya karena kata do
Rani tidak tahu berada di mana karena sekelilingnya hanya berwarna putih. Tidak ada siapa pun di tempat itu, baik orang hewan atau tumbuhan. Hanya terdengar suara yang sangat jauh. Seolah menuntunnya untuk terus berjalan ke arah sumber suara. Rani terus melangkah hingga suara yang tadi jauh mulai terdengar samar. Lalu sedikit-sedikit ia mulai tahu kata-kata itu dan akhirnya semakin jelas. "Mas Zian," batin Rani sambil membuka matanya dengan perlahan, tetapi cahaya terang membuatnya harus berkali-kali mencoba lagi. Sampai akhirnya ia dapat mengetahui siapa pemilik suara merdu itu. "Shodaqallah hul'azim ....""Teh Ratih," panggil Rani dengan suara yang lemah. Teh Ratih menoleh dan tampak terkejut melihat Rani sudah siuman dari komanya. Dengan spontan ia berucap, "Allahu Akbar, Alhamdulillah .., Rani akhirnya kamu sadar juga," ujarnya dengan haru. "Aku kenapa ada di sini Teh?" tanya Rani ketika menyadari berada di kamar inap. Teh Ratih tidak menyahuti dan langsung memanggil tenaga