Sayangnya Sinta tidak berhasil menyusul Tony, rasa penasaran Sinta semakin mengusik fikirannya dan ingin memergoki langsung sebagai bukti kepada Adelia dan ayah Adelia bahwa Tony bukan lelaki yang baik, Sinta bergegas turun kembali ke lobi menemui resepsionis untuk menanyakan tamu atas nama Tony Harsen chek in di room berapa, setelah mengantongi informasi keberadaan kamar Tony, Sinta menelpon Adelia beberapa kali namun tidak juga terhubung, sebenarnya ini kesempatan baik bagi Adelia memergoki langsung Tony, sehingga bisa menolak perjodohannya.
Sinta sudah berada didepan kamar Tony, dengan segera menghidupkan perekam suara di ponselnya sebagai bukti yang akan ia berikan kepada Adelia untuk diserahkan kepada orangtua Adelia, dimasukan ponselnya kedalam saku celananya, agar Tony tidak mengetahui aksinya.
Sinta mengetuk kamar Tony berulang kali namun tidak ada yang membukakan pintu, sekali lagi Sinta mengetuk dengan keras, kali ini pintu di buka oleh Tony yang hanya mengen
Ke esokan paginya, di kos an Bagas, Adelia sudah bangun lebih awal, dengan lembut membelai rambut Bagas seraya membangunkan dengan suara yang pelan, Bagas membuka matanya, tersenyum menatap Adelia."Begitu bahagia hati ku, saat mata ini terbuka, disuguhkan pemandangan yang sangat indah," ucap Bagas."Pagi - pagi sudah menggombal, belajar dari mana kata - kata seperti itu, jangan - jangan kamu sering merayu wanita." Dengan wajah yang mulai cemberut."Aku! Merayu wanita, mana pernah, perkataanku itu murni keluar dengan sendiri nya, karena setiap kata merangkai begitu saja , berkat dirimu.""Iya - iya, percaya, ya sudah mandi sana, kamu berangkat kerja, kan?"Bagas bangkit dari tidurnya beegegas menuju kamar mandi, tak berapa lama Bagas sudah berpakaian rapih, Bagas melihat jam di dinding kamarnya, baru menunjukan pukul enam tiga puluh menit, setidaknya Bagas bisa membeli sarapan terlebih dahulu, Bagas meminta Adelia untuk menunggu saja di kamar, biar
Mereka saling mengobrol satu sama lain hanya Bagas dan Sinta yang terdiam tanpa suara, Sinta memang lebih banyak diam semenjak kejadian malam itu, rasa takut terhadap Tony masih membayangi benaknya, sedang Bagas merasa seperti orang asing, orang tua Adelia seakan tidak resfek kepadanya mungkin karena tahu Bagas cuma sopir pengganti seperti yang di ucapkan Tony, Bagas sesekali melirik Adelia tapi Adelia seperti tidak menganggap Bagas ada di antara mereka semua, Bagas hanya menghela napas. Dalam batin Bagas, "Secepat itu Adelia berubah kepadanya, harusnya Adelia bisa lebih berfikir bijak tidak mencerna mentah - mentah ucapan Tony, yang menganggap dirinya ada di sini semata - mata hanya karena uang."Bagas tidak ingin berlama - lama di rumah Adelia, sehingga Bagas berpamitan kepada semuanya, dengan langkah cepat keluar dari kamar dan melangkah keluar rumah Adelia ditemani oleh Sinta yang memang di minta orang tua Adelia untuk mengantarkan Bagas sampai depan rumah."Bagas,
"Maaf Tuan, kalau orang - orang suruhan saya, mengganggu kenyamanan Tuan." Seraya mendunduk. "Tidak perlu meminta maaf, saya hanya ingin tahu saja, kalau memang itu suruhan dari om, berarti mereka tidak ada kaitan dengan insiden penculikan Adelia." "Iya Tuan, mereka memang anak buah saya di lapangan, yang sengaja saya suruh untuk menjaga Tuan, Maaf karena tidak memberitahu lebih awal, saya sudah lancang, saya siap menerima hukuman!" ucap Adam dengan rasa bersalah. "Santai saja Om, jangan terlalu tegang dan merasa bersalah, terima kasih karena tetap menjaga saya walau melalui anak buah Om, tolong cari siapa dalang penculikan Adelia, Om lebih tahu orang - orang bayaran ketibang saya, setidaknya itu akan menjadi benang merah yang selama ini menjadi pertanyaan saya." "Baik Tuan, saya akan sesegera mungkin meminta anak buah saya untuk mencari tahu, tapi andai boleh tahu, adakah ciri khusus dari orang - orang tersebut." Bagas mulai berfikir, menging
Bentakan Adam membuat Raymond dan Ali diam membisu, menundukan kepalanya.Adam menoleh ke arah Bagas dan meminta Bagas untuk kembali bekerja, untuk Raymond dan Ali di ajaknya ke ruang Shoroom, setibanya di ruangan, Adam duduk lebih dulu sementara Raymond dan Ali masih berdiri mematung."Kalian silakan duduk." Adam mempersilakan Raymond dan Ali.Keduanya dengan kompak menjawab. "Terima kasih, Pak Bos."Dengan tegas Adam berbicara. "Pak Raymond, Pak Ali, saya minta masalah ini tidak perlu di besar - besarkan, Setiap pegawai pasti akan melakukan kesalahan tapi kita sebagai atasan tidak seharusnya bersikap seenaknya, tugas kita membimbing dan mengayomi bawahan kita, kesalahan dia, saya rasa tidak fatal hanya ceroboh itu pun di luar ranah pekerjaan dia, beri arahan dan teguran saja, jangan maen pecat pegawai, terapkan SOP ( Standar Operasional Prosedur). Tidak ada anak buah yang salah yang ada pemimpin yang bodoh, ingat itu!"Raymond dan Ali bersa
Moza tetap terdiam matanya terpancar kesedihan mendalam, laki - laki yang begitu ia cintai sekaligus ia benci, kini berada di depannya, ada tanya yang masih tersimpan di benaknya dan luka yang masih sangat terasa di hatinya, ingin sekali saat ini menanyakan semuanya kepada Bagas tentang malam di mana mereka akan bertemu di sebuah cafe, tapi sampai larut malam Bagas tidak terlihat batang hidungnya sama sekali, membiarkan Moza menunggu dalam malam yang dingin, saat itu Moza ingin sekali menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Rasa kecewa yang teramat dalam menusuk hingga ke jiwa Moza, Bagas seperti hilang tertiup angin tanpa jejak sama sekali, nomor ponsel pun tidak dapat dihubungi.Bagas menatap Moza sekilas, seakan kenangan lama yang sudah tertutup rapat kembali dalam ingatan Bagas, wanita yang pernah mencuri titik lemah hatinya di masa lalu, namun patah mengoyak hati yang tak berdarah, Bagas menutup hatinya selama tiga tahun hanya karena sebuah luka yang Moza sematkan begi
Belum sempat Bagas membalas pukulan Theo, serangan ke dua kembali melayang mengenai perut Bagas, Moza berteriak melerai keduanya, dengan posisi kini berada di tengah - tengah mereka."Cukup Theo!" Bentak Moza."Mengapa kamu membela dia! Apa kamu masih suka?" Dengan napas terengah - engah menahan amarah."Dengan kamu ngomong begitu sama saja kamu nggak benar - benar mencintai aku," ucap Moza yang mulai kesal dengan sikap Theo yang kekanak - kanakan."Saya tidak suka orang lain mengusik hidup saya, apalagi dia mantan kamu!""Kamu yang mulai Theo! cobalah untuk tidak membahas masa lalu, kalau kamu terus seperti ini..." Moza menggantungkan kalimatnya seraya menghela napas dan kembali menatap Theo meneruskan kalimatnya dengan topik lain dan berusaha menenangkan Theo. "Theo, sudah ya, kamu itu cowok baik dan terhormat, kalau kamu sayang aku, tolong jaga emosi kamu, kita kesini untuk liburan, kamu janji sama aku untuk selalu membahagiakanku.""Tapi
Orang tersebut tiada lain adalah Moza Dengan berlari mengejar Bagas, dan menarik tangan Bagas. Bagas menghentikan langkahnya dan menepis tangan Moza, Bagas membalikan Badannya dengan tatapan kurang suka."Ada perlu apa? lebih baik kamu pergi, saya tidak mau cowok kamu salah paham," ucap Bagas dengan tegas."Saya datang ke sini sendiri, Theo tidak ikut, jadi tidak ada yang akan salah paham," jawab Moza dengan masih mengatur napasnya setelah berlari."Terus, ada keperluan apa dengan saya, saya fikir kita tidak ada hal yang perlu di bahas lagi, saya mau pulang, maaf." Bagas membalikan Badannya dan mulai melangkah."Tunggu Bagas! apa seperti ini cara kamu memperlakukan teman lama kamu, saya sangat kenal Bagas Ivander orang yang selalu ramah dan sopan, mengapa kamu sekarang berbeda." Moza terlihat kesal dengan sikap Bagas.Bagas tetap berjalan meninggalkan Moza, tanpa menghiraukan ucapan Moza, hatinya sudah cukup lelah dengan semua yang terjadi belakang
Adam berdiri di depan Bagas dan Syamsul, Bagas memberi isyarat untuk Adam jangan sampai bertindak gegabah sehingga identitas Bagas bisa terbongkar, Adam yang merasa khawatir dengan kondisi Bagas, sampai tidak memperhitungkan terlebih dahulu situasinya, di tambah ponsel Bagas tidak bisa Adam hubungi, ternyata ada Syamsul di ruangan Bagas.Adam menghela napas pendek dan memejamkan mata sesaat berfikir alasan apa yang akan ia katakan, untung saja Syamsul sedang menunduk memberi hormat, tidak berani menengadahkan kepalanya, sehingga tidak melihat betapa kacaunya wajah Adam saat ini, yang merasa bersalah kepada Bagas dan takut Bagas marah, karena masuk tanpa ijin dan tanpa perintah Bagas."Kamu boleh angkat kepala kamu," ucap Adam kepada Syamsul. Dan mulai meneruskan kata - katanya yang di tujukan kepada Bagas. "Saya kesini karena permintaan ibu angkat kamu Bagas, dia datang ke rumah saya sambil menangis mengabarkan kamu masuk rumah sakit, sementara ibu angkat kamu sekarang
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab