"kenapa kamu ngomong begitu, apa karena Bagas!""Itu lagi...itu lagi, apa nggak ada pembahasan lain selain Bagas.""Karena kamu berubah setelah bertemu dengan Bagas, segala bilang cape dengan hubungan kita, kita itu tidak ada masalah selama ini.""Aku mau tidur.""Jangan mengalihkan pembicaraan kita, kenapa tiba - tiba ingin tidur, kamu aneh Adelia."Adelia tidak menggubris ucapan Angga, ia menyandarkan kepalanya ke kursi dan memejamkan matanya. Angga yang merasa kesal atas sikap dan ucapan Adelia tidak kuasa menahan amarahnya, seketika mobil ia hentikan di pinggir jalan, kedua tangannya memukul kemudi mobil dengan kencang."Sialan, brengsek!!"Adelia membuka matanya menoleh ke arah Angga dengan tatapan sinis, mencoba mengatur sisi hatinya yang kesal karena sikap Angga yang terlalu kekanak - kanakan, menghela napas panjang beberapa kali, mengatur setiap kata yang terlontar dari mulutnya, agar tidak memicu pertengkaran."Angga, kenapa menghentikan mobilnya, sudah ya, jangan marah - mar
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, ketiganya segera bersiap - siap menuju warung si emak. Sinta sudah siap di depan kemudi mobil, segera melajukan mobilnya dengan santai, sembari berbincang - bincang mengenai hal apa saja yang bisa dijadikan pokok pembahasan. Tidak terlalu memakan waktu lama dalam perjalanan, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh, mereka telah tiba. Sinta memarkirkan mobilnya disamping kiri warung si emak, ketiganya segera turun dengan wajah ceria, seakan udara dingin dengan pemandangan yang asri membuat mereka bersemangat, maklum saja di Jakarta memang udaranya sangat panas. Ketiganya sudah duduk saling berhadapan, Cindy memesan minuman kesukaan mereka bertiga dan tidak lupa memesan goreng pisang serta cireng salju dengan bumbu rujak. Setelah menunggu sepuluh menit si emak warung membawakan pesanannya dan menyajikan di meja depan mereka bertiga."Sudah lama tidak kesini si neng - neng geulis (cantik), kirain lupa sama warung Emak," ucap si Emak sembari tersenyum r
Setelah hampir dua jam menghabiskan waktu berkumpul dengan Winda dan Heni, akhirnya Adelia, Sinta dan Cindy pamit untuk pulang. Di dalam perjalanan menuju ACSMart, Cindy dan Sinta diam seribu bahasa tidak seperti biasanya, membuat Adelia menghela napas perlahan, Adelia mengerti kalau kedua sahabatnya merasa kesal dengan sikap dirinya yang seketika berubah diam dan tidak fokus saat kumpul, dan semua terjadi setelah panggilan telepon dari Angga yang berkali - kali namun dia acuhkan. adelia mencoba mengatur sisi dirinya yang membuat suasana kini terasa sunyi. "Beb...jangan pada diem gitu dong." tanya Adelia. "Del, kita teman, kan?" tanya Cindy menatap seksama Adelia. "Pertanyaan kamu aneh Cindy, ya teman, emang musuh." jawab Adelia sambil cengengesan . "Aku serius Adelia! malah cengengesan, dih." Cindy memasang wajah makin serius. "Udah dong sayang, jangan pada serius gitu mukanya, serem tau..." "Sikap kamu tuh yang anggap kita seperti orang asing, nyebelin tau...kenapa saat di ruma
Bagas hanya meringis menahan sakit di bagian pipinya dan berusaha mengatur emosinya, karena Bagas tidak ingin membuat Adelia menjadi bagian amarah Angga, lebih baik Bagas memilih untuk tidak membalas Angga, bagaimanapun memang salah Bagas yang sudah meminta waktu Adelia.Sementara Angga dengan tatapan mata yang melotot kepada Bagas, jemari tangannya masih mengepal menahan gejolak emosi, seakan belum puas mengeluarkan semua amarahnya.Adam yang kini sudah berdiri di sebelah Bagas, melihat memar di bagian pipi Bagas, membuat Adam sangat marah, tatapannya tertuju tajam kepada Angga dengan wajah telihat menakutkan.“Anda!! seenaknya saja memukul Tuan muda, saya akan bawa masalah ini ke ranah hukum.” ucap Adam dengan nada tegas dengan jari telunjuk menunjuk Angga.“Silakan saja, saya tidak takut, sebaiknya Anda tidak usah ikut campur, ini urusan saya dengan dia.” ucap Angga dengan kesal.Tiba - tiba satu tamparan melayang ke pipi Angga, membuat Angga terkejut, dan menatap Adelia marah, yan
Malam semakin beranjak, hanya kesunyian yang menyertai, ketiganya segera masuk ke dalam kamar, karena dingin mulai terasa menusuk kulit, meneruskan perbincangan di tempat tidur, diselingi candaan ringan, sebelum memasuki dunia mimpi.Keesokan harinya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka segera menuju meja makan, karena ibunya Adelia sudah menunggu untuk sarapan Bersama. Keempatnya menikmati sarapan diselingi obrolan ringan.“Adel, kalau makannya sudah selesai, Ibu tunggu di ruang keluarga, ada hal yang ingin Ibu sampaikan.”“Iya Bu.”Adelia segera menyudahi sarapannya, karena pikirannya sudah tidak karuan, melihat sikap ibunya yang jelas ketara, seperti kesal kepadanya namun berusaha menghargai posisinya di depan kedua temannya.“Kalian teruskan saja sarapannya, kalau sudah selesai tunggu aku di kamar, sepertinya Angga mengadu macam - macam sama, Ibu terlihat aneh hari ini.” ucap Adelia sembari membenahi bekas makannya.“Iya Del, aku juga merasa begitu, biasanya Tan
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, dan beristirahat beberapa kali di rest area, mereka telah tiba di kota Garut.“Sin, tujuan kita kemana ini?” tanya Cindy sambil santai mengemudikan mobil.“Kemana maksudnya? Kan kita mau ke Garut, Cindy, gimana sih, ah.” jawab Sinta sambil menguap dan meluruskan badannya yang terasa pegal, duduk di kursi belakang.“Buka matanya, lihat, di mana kita sekarang.” ucap Cindy.Sinta menatap keluar kaca jendela mobil, mengamati sekitarnya, sambil garuk – garuk kepala, lalu berbicara dengan Cindy.“Ini di mana, Cin?” tanya Sinta.“Kamu lihat plang petunjuk jalan nggak?”“Enggak, dari tadi aku amati jalan, nggak ada tuh plang petunjuk jalannya, apa kelewat, ya.”“Ampun deh Sinta, kamu yang menyarankan kita ke Garut, tapi kamu nggak tahu ini di mana sekarang, kita sudah tiba di Garut, maksud aku kita akan menginap di mana?”“Bilang dari tadi kek, menginap di mana, kamu tanyanya tujuan kita kemana, ya aku jawab Garut, emang salah, ya?”“Udah – udah
Sekitar pukul sepuluh pagi, Bagas sudah bersiap – siap dengan setelan jas rapi untuk datang ke acara pernikahan Theo, begitu juga Anita dan Putri sudah berdandan rapi dan cantik. Ketiganya segera keluar rumah dan masuk ke dalam mobil yang sudah terpakir tepat di depan rumah, kedua pengawal segera membukakan pintu mobil, salah seorang masuk ke dalam mobil di kursi pengemudi, seorang lagi membukakan pintu pagar rumah, setelah mobil keluar, segera menutup kembli dan duduk di sebelah pengemudi.Mobil melaju dengan kecepatan rata – rata, jarak dari rumah Anita ke acara pernikahan Theo lumayan jauh, Theo mengadakan acara pernikahannya di Shangri-La Hotel.Putri terlihat Lelah, ia tertidur dengan posisi menyandar di bahu Anita.Ponsel Bagas berdering, Bagas segera menerima panggilan telepon yang tiada lain dari Adam.“Hallo Tuan Muda, maaf mengganggu waktunya.” sapa Adam dengan sopan.“Iya Om, ada apa?” Bagas menjawab santai.“Informasi latar belakang Angga sudah ada, Tuan muda.”“Saya dalam
Setelah mobil melaju pergi, Bagas segera kembali ke dalam Hotel, dan langsung duduk di tempat yang sudah di siapkan Theo, sudah ada Pras dan Rudi yang telah selesai menikmati hidangan, ada Yuni, Susi dan Joko yang sepertinya baru datang. Bagas langsung membaur dalam obrolan di selingi canda dan tawa. Menyusul lima orang yang baru datang setelah memberi ucapan kepada Theo, langsung menghampiri Bagas dan yang lainnya.“Bagas, saya nggak menyangka, kalau anaknya Moza itu anak kamu, dan saya turut berduka cita akan Moza, maaf saya nggak bisa datang waktu itu, karena sedang berada di Bekasi.” ucap Susi dengan wajah penuh penyesalan.“Iya nggak apa – apa, Sus.”“Saya yang ke rumah Moza juga tidak tahu, hampir saja tadi keceplosan, untung ada Theo, maaf ya, Bro.” ucap Pras.“Santai aja Bro, wajar kalau kalian salah menduga, karena memang semua salah saya, Putri masih kecil dan dia memang tidak tahu apa – apa, sebaiknya memang tidak tahu saja, saya terlalu malu menjadi Ayah yang pengecut.”“K
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab