Setelah mobil melaju pergi, Bagas segera kembali ke dalam Hotel, dan langsung duduk di tempat yang sudah di siapkan Theo, sudah ada Pras dan Rudi yang telah selesai menikmati hidangan, ada Yuni, Susi dan Joko yang sepertinya baru datang. Bagas langsung membaur dalam obrolan di selingi canda dan tawa. Menyusul lima orang yang baru datang setelah memberi ucapan kepada Theo, langsung menghampiri Bagas dan yang lainnya.“Bagas, saya nggak menyangka, kalau anaknya Moza itu anak kamu, dan saya turut berduka cita akan Moza, maaf saya nggak bisa datang waktu itu, karena sedang berada di Bekasi.” ucap Susi dengan wajah penuh penyesalan.“Iya nggak apa – apa, Sus.”“Saya yang ke rumah Moza juga tidak tahu, hampir saja tadi keceplosan, untung ada Theo, maaf ya, Bro.” ucap Pras.“Santai aja Bro, wajar kalau kalian salah menduga, karena memang semua salah saya, Putri masih kecil dan dia memang tidak tahu apa – apa, sebaiknya memang tidak tahu saja, saya terlalu malu menjadi Ayah yang pengecut.”“K
Setelah hampir satu jam berbincang – bincang, mereka saling berpamitan untuk pulang ke kota masing – masing, kecuali Yuni dan Susi yang masih mengobrol dengan Bagas, karena Yuni dan Susi tinggal di Surabaya, jadi mereka tidak terburu – buru untuk pulang.“Bagas, sebenarnya aku masih nggak percaya dengan ajakan kamu tadi, soalnya, gimana ya jelasinnya.” Yuni garuk – garuk kepalanya sendiri yang tidak gatal.“Sudah, jangan terlalu di pikirkan, yang jelas niat saya baik, saya hanya ingin bertemu dengan teman – teman lama dan mempererat silahturahmi, kebetulan tanggal reuni kita tepat dengan acara perayaan ulang tahun hotel.” ucap Bagas menjawab dengan santai.“Tidak di pikirkan cuma kepikiran saja, aku sampai menghitung – hitung berapa biaya yang akan keluar, pastinya tidak sedikit, terus kamu bilang perayaan hotel, memang hotel siapa? kamu beneran kaya raya?”Bagas menghela napas sesaat, merogoh dompet di saku celana belakangnya, mengeluarkan kartu nama, menyerahkan kepada Yuni dan Susi
Setelah berbincang – bincang dengan Theo, Bagas pamit untuk pulang, karena Theo masih harus melanjutkan sesi lainnya, acaranya memang selesai sampai sore.Theo sebenarnya ingin menahan Bagas untuk jangan dulu pulang, ingin mengajak Bagas makan malam Bersama keluarga barunya dan meneruskan obrolan tentang rencana Bagas untuk menghadapi Angga, namun karena Bagas bilang sudah ada janji untuk makan malam dengan Putri, Theo tidak bisa menahananya.“Bro besok malam lu ajak Putri ke rumah gue, nanti isteri gue masak.”“Okay Bro, Saya pulang dulu, mobilnya sudah datang.”“Okay, hati – hati.”Bagas sudah berada di dalam mobil, ia menelepon Adam untuk memberitahukan semua hal yang ia ketahui hari ini dari Susi, tentang siapa Angga, sekaligus Bagas meminta Adam untuk mengadakan pertemuan dengan seluruh Staf hotel saat Bagas sudah kembali ke Subang, untuk membahas acara reuni yang akan diadakan bersamaan dengan perayaan ulang tahun hotel Arimbi.Setelah menutup telepon, Bagas bersandar di kursi m
Keesokan harinya, setelah berziarah ke makam Moza, Bagas pamit kepada Anita dan Putri, karena akan menemui temannya. Bagas langsung menemui Yuni, tanpa menunggu lama setelah melihat beberapa mobil di Dealer Yuni, Bagas langsung membelinya, setelah selesai transaksi, Bagas meminta salah satu pengawalnya untuk mengendarai mobil yang ia beli, mengikuti dirinya ke rumah Theo.Setibanya di rumah Theo, Bagas langsung di sambut oleh Theo dan isterinya, mengajaknya berbincang – bincang di ruang tamu sembari menikmati secangkir kopi hangat dan kudapan. Bagas mengeluarkan kunci mobil dari sakunya, menyerahkan kepada Theo.“Apa ini Bro?” tanya Theo yang merasa bingung melihat Bagas menyerahkan kunci mobil kepadanya.“Hadiah pernikahan, jangan menolak, karena ini hadiah, jangan berkomentar apapun, terima saja dari sahabat kamu.” Bagas tersenyum ramah.“Okay, gue baru mau komentar, sudah di sekak langsung, kalau ucapan terima kasih kayaknya nggak masalah, kan, pokoknya terima kasih kawan, jangan d
Keesokan harinya, tepat pukul tiga sore, Bagas di temani Theo menjemput Adelia, Cindy, dan Sinta di Bandara, mereka langsung menuju kafe Laula, untuk bertemu dengan Reni dan Susi.Dalam perjalanan menuju kafe Laula, di dalam mobil tidak ada satu orang pun yang berbicara, seakan sedang sibuk dengan pikirannya masing – masing, Theo yang mengemudikan mobil, terlihat fokus memandang jalan, Bagas yang duduk di sebelah Theo, hanya menatap jalan, sementara Adelia, Sinta, dan Cindy yang duduk di kursi belakang sibuk dengan ponselnya masing – masing, suasana yang sangat kaku, seakan diantara mereka tidak saling mengenal. Adelia membuka pembicaraan lebih dulu.“Theo, selamat atas pernikahannya.” ucap Adelia.“Oh iya, terima kasih Adelia, maaf kalau gue nggak mengundang kalian bertiga, tolong jangan salah paham, sebenarnya ingin mengundang kalian, tapi…” Theo menghentikan kalimatnya, sesaat menoleh Bagas lalu kembali menatap jalan.“Iya nggak apa – apa, kita mengerti kok, Bagas sudah memberitahu
Reni hanya terdiam, mendengar penuturan Adelia, sebenarnya ia juga tidak mau bersikap demikian, hanya saja rasa kesal dan amarahnya, membuatnya tidak bisa menahan emosinya.“Baiklah, saya akan berbicara berdua saja dengan Adelia, maafkan saya yang telah bersikap kurang sopan kepada kalian semua.”Bagas beserta yang lainnya pindah ke meja depan, memberi kesempatan kepada Adelia dan Reni untuk menyelesaikan semuanya.“Yang lain sudah pergi, jadi silakan kamu jelaskan sedetail mungkin dan jangan ada yang terlewat, yakinkan hati saya, kalau memang Angga bersalah, bahwa dia yang menipu kita semua, seperti ucapan kamu, saya akan mendengarkan dengan seksama.” ucap Reni yang kini mulai melunak sikapnya.“Terima kasih Ren, kamu mau memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Awal aku mengenal Angga, di acara pernikahan Kaila, yang mana Angga adalah rekan satu kantor dengan suaminya Kaila, berawal dari situ, Angga terus mendekatiku dan berusaha meraih hatiku, yang saat itu, hatiku se
“Ren, kamu tunggu di sini saja, aku akan memanggil Susi dan yang lainnya, sekalian menelepon Angga di luar, bersyukurnya aku, kamu belum memberi tahu Angga akan masalah ini, kamu memang cukup sabar menyimpan masalah ini, karena kamu wanita baik dan hebat, kamu cukup bijak ingin mendengar penjelasan dari kedua belah pihak, Bagas benar tentang kamu.” Adelia tersenyum dengan ramah, seraya beranjak dari duduknya.Reni membalas senyuman Adelia dengan ramah, wajah yang tadi terlihat datar dan sikap yang dingin, kini mulai bersahabat.Adelia menghampiri Susi dan yang lainnya, memberitahukan bahwa masalahnya sudah terselesaikan dengan baik, dan Reni sedang menunggu, sementara dirinya akan menelepon Angga untuk membuktikan perkataannya kepada Reni.Adelia melangkah keluar kafe, segera menelepon Angga. Sementara di dalam kafe, Reni sedang berbincang – bincang dengan yang lainnya, membahas rencana Adelia di acara reuni dan ulang tahun hotel Arimbi.“Ren, kamu memang nggak masalah kalau sampai se
Mereka keluar dari kafe Laula. Theo pulang di jemput supir pribadinya. Bagas dan yang lainnya segera menuju Supermarket terdekat untuk membeli keperluan nanti malam. Setelah hampir satu jam berkeliling mencari bahan – bahan yang di perlukan, mereka segera pulang ke rumah Anita untuk menjemput Putri.Mobil memasuki pekarangan rumah Anita. Putri dan Anita yang sedang duduk di teras rumah, sudah menunggu kedatangan Bagas. Bagas sebelumnya sudah memberitahukan Anita tentang acara nanti malam di rumah Theo.Putri beranjak dari duduknya, berlari menghampiri Bagas, Adelia, Cindy dan Sinta yang baru saja turun dari mobil, seketika Putri langsung memeluk Adelia.“Tante cantik, Putri seperti bermimpi bisa bertemu Tante cantik lagi.” Bibir mungilnya mengulas senyum lebar.“Putri apa kabar?” sapa Adelia yang kini dalam posisi jongkok. Memeluk Putri seraya membelai rambut Putri yang terurai.“Kabar Putri baik Tante cantik. Tante cantik ikut, kan? bermalam di rumah Om Theo?”“Ikut Sayang, makanya s
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab