Bimo terpaksa menghentikan laju mobilnya. Dan menepi di bahu jalan. Bimo lalu mencoba menghentikan aksi Luna yang terlihat semakin membabi buta ingin menyakiti dirinya sendiri itu.
"Mbak, coba tenang! Mbak, nggak boleh menyakiti diri sendiri, seburuk apapun masalah yang Mbak hadapi. Mbak, percayalah ada Tuhan yang selalu menjaga kita. Termasuk menjaga hati kita." Bimo membiarkan tubuhnya terkena pukulan dari Luna, saat ia berusaha menghentikan Luna yang kian mengamuk.
"Bimo, di mana sebenarnya Tuhan kita? Kenapa dia tidak membantuku saat ini? Apa Dia tidak tahu kalau sebentar lagi aku akan menikah?" Luna semakin berteriak-teriak kalap.
"Tuhan kita tak terlihat, Mbak. Justru, saat ini Dia sedang membantu Mbak, menunjukkan siapa sebenarnya Marcel,
calon suami Mbak yang sebenarnya." Bimo terpaksa mengunci tubuh Luna dengan mendekapnya erat-erat di dadanya yang bidang. Sesaat Luna merasakan ketenangan, meski tangisannya belum juga berhenti.
Tangan kekar Bimo membelai rambut panjang milik Luna. Sambil berbisik di telinga Luna, "hanya sabar yang akan membuat Mbak menjadi lebih baik."
Tangisan Luna yang tadi terdengar masih kencang, kini perlahan menghilang. Bimo telah mampu membuatnya tenang. Dekapan Bimo ia rasa begitu tulus, bahkan Luna tak pernah merasakan dekapan senyaman ini sebelumnya.
"Mbak, jadi kita ke Bali?" Bimo mulai melepas dekapannya dan memandang wajah cantik Luna yang terlihat masih diselimuti kesedihan.
"Jadi, Bimo. Aku ingin menepi sejenak dari kehidupanku yang sebenarnya."
"Tapi apa Mbak tidak takut, kalau Tuan dan Nyonya Bramasta akan mencari Mbak?" Bimo mengkhawatirkan kedua orang tua Luna akan mencari gadis ini, apalagi Luna sedang berencana ingin menikah dengan Marcel.
"Biarkan saja, Bimo. Aku akan beritahu soal ini, dan soal pembatalan pernikahan kami nanti lewat ponsel. Hari ini aku benar-benar ingin sendirian saja, Bimo!" Mata indah milik gadis berusia 24 tahun ini mulai membesar, menatap wajah Bimo yang berada dekat sekali dengan wajahnya.
"Jadi, apa nanti sewaktu kita sampai di Bali saya juga harus menjauh dengan, Mbak?" Suara Bimo terdengar serius. Rahang-rahangnya yang kokoh menciptakan kesan dingin pada wajah Bimo saat itu.
"Tidak, Bimo. Hanya kamu yang boleh berada di dekatku. Selama ini kamu yang paling mengerti aku." Luna meraih tangan Bimo yang tadi sempat menggenggam jemarinya. Ia ingin menyakinkan bahwa ia benar-benar membutuhkan Bimo, lelaki yang usianya lebih muda tiga tahun dari usianya itu.
Bimo hanya mengangguk, dan sempat mendekap kembali tubuh Luna. Sebelum akhirnya ia melajukan kembali mobil mewah yang mereka tumpangi itu, menuju Pulau Dewata, berharap bisa menjadi tempat untuk mengubur kedukaan tuan cantiknya itu.
Hati Luna sedikit tenang. Luna berkali-kali mencuri pandang pada Bimo yang terlihat fokus memandangi jalanan.
Sebuah panggilan dari ponselnya, membuatnya harus mengalihkan pandangannya dari Bimo.
"Huh, mau apa lagi kau?" Dengan kasar ia campakkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya.
***
Luna masih tampak bermalas-malasan di spring bed kamar hotel itu. Sebenarnya ia sudah bangun dari tadi, tapi ia masih enggan untuk melakukan sesuatu.
Kakinya yang jenjang ia tekuk, seperti orang yang sedang menahan dingin.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kaki jenjangnya dengan malas lantas ia turunkan, kemudian ia pun bergegas untuk membuka pintu kamar hotel itu.
"Selamat pagi, Mbak!" Sosok Bimo muncul dari balik pintu. Dengan suara renyahnya ia sapa Luna.
Bimo seperti biasa tampak rapi. Meski hanya seorang sopir pribadi, tapi pemuda itu terlihat sangat modis tampilannya. Bimo masih tampak memakai kemeja kotak-kotak Biru Dongker dan jeans biru mudanya. Pakaian yang semalam ia kenakan.
"Selamat pagi juga, Bimo! Udah rapi aja kamu."
"Ya, Mbak. Tapi tadi malam Mbak pesan, agar saya membangunkan Mbak, dan menemani Mbak untuk membeli baju." Bimo masih saja berdiri di depan pintu kamar hotel itu.
"Oh, ya, aku lupa. Ayolah, masuk dulu!" Tubuh tinggi semampai Luna berbalik dan meninggalkan Bimo.
Bimo mengikutinya dari belakang.
Tak sampai seperempat jam, Luna terlihat keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya terlihat lebih segar dari kemarin.
Bimo terlihat menunduk, tak berani menatap ke arah Luna yang saat itu hanya mengenakan handuk. Bahunya yang mulus terlihat sangat jelas sekali. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang menyisakan tetesan air, membuat sosok Luna terlihat semakin mempesona.
Bimo sempat mencuri pandang sesaat, dan tatapan mata keduanya sempat beradu.
Tiba-tiba ada hasrat mereka yang membisikkan untuk melakukan sesuatu.
Bimo buru-buru mengalihkan pandangannya. Bimo baru bisa bernapas lega, saat Luna mendekati, dan kali ini tubuhnya sudah tertutup pakaian lengkap. Bimo menghempaskan napasnya dengan kasar yang dari tadi sempat ia tahan. *** "Bagaimana Bimo, bisakah kamu menolongku?" "Saya?" Wajah tampan Bimo semakin membeku. Alis tebalnya terlihat kian menyatu satu sama lain, saat ia kerutkan keningnya. Hidung mancungnya berkali-kali ia seka dengan ujung jarinya. "Ya, kamu, Bimo!" Tatapan Luna kian sendu. Tak berani menatap Bimo, sopir pribadinya yang baru sebulan ini bekerja dengannya. "Saya bisa apa, Mbak? Saya tak mungkin menikahi Mbak. Saya hanya seorang sopir pribadi, dan berasal dari keluarga miskin. Bagaimana ka …" "Sudahlah Bimo, kamu bersedia membantu aku, atau tidak? Kalau kau bersedia, akan aku jamin k
Tapi itu tak mungkin, Bimo. Karena mereka terlalu sibuk dengan hidup mereka." Luna berusaha menyakinkan Bimo. Mata Bimo yang tajam seperti mata elang itu, menatap dalam-dalam kedua mata indah Luna. Membuat Luna salah tingkah, ada desiran lembut seperti menghinggapi peredaran darahnya. "Kalau begitu, saya akan lakukan ini semua demi Mbak dan bayi Mbak!" ujarnya mantap. "Jangan lagi panggil aku, Mbak!" Mata indahnya membesar. Membuat wajahnya terlihat lucu namun menggemaskan. Bimo tak tahan menatapnya, ingin ia sentuh hidung bangir itu. "Bimo, kau hanya lelaki yang disewa untuk menutupi aib gadis ini. Jadi berhentilah berpikir macam-macam!" Ada seruan dalam hatinya. "Bimo, aku janji, aku tidak akan merusak hidupmu dengan pernikahan ini. Aku tetaplah Luna yang bukan istrimu, dan kamu adalah Bimo yang bukan suamiku. Setelah
Semua para tamu yang hadir kembali bertepuk tangan. Semua seperti ikut terhanyut dalam kebahagiaan kedua mempelai. Malamnya, villa itu kembali hening. Hanya tinggal Luna dan Bimo, serta beberapa orang asisten villa saja yang ada di sana. Di kamar pengantin, Luna menghapus riasan di wajahnya, dan mencopot sanggulnya. Bimo duduk diam di sisi ranjang. Kasur empuk ranjang yang ia duduki seharusnya membuatnya nyaman, tapi ternyata saat ini tidak. Bimo hanya mampu menatap langit-langit kamar itu, seolah sedang mencari sesuatu. Dari balik cermin hias yang ada di hadapannya, Luna dengan jelas melihat kegelisahan itu. Dan jantung Luna pun tiba-tiba berdegup lebih kencang, saat ia menyadari ini adalah malam pengantinnya, malam pertama yang seharusnya indah. Malam pertama yang mampu menghangatkan dinginnya udara malam ini. Namun Luna berusaha mencampakka
Luna hanya diam. Seolah ia mengiyakan pertanyaan Bimo. Bimo kian berani menyentuh tiap inci tubuh putih mulus Luna yang seperti mutiara. Selanjutnya, kedua nya menikmati malam pertama mereka dengan gelora yang baru saja dimulai. Sampai akhirnya mereka tersadar itu tidak boleh terjadi. *** "Minumlah teh hangat ini, Bimo! Tehnya nikmat sekali. Teh asli dari kebun di sini." Luna meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja yang berada tepat di hadapan Bimo. "Terima kasih, My Lovely," ucapnya tanpa kaku, dan kali ini terdengar mesra di telinga Luna. "Bimo, maafkan aku menolakmu tadi malam." Luna menunduk memainkan sendok di dalam gelas tehnya. "Saya yang seharusnya minta maaf. Karena lancang menginginkan itu. Saya lupa kalau saya hanya seorang suami sewaan." Bimo tertunduk malu.
Namun dengan cepat Luna meraih tangan kekar Bimo. "Sebaik Bimo Pratama, Ayahnya." Luna akhirnya menegaskan bahwa Bimo-lah ayah bayinya. Meski jelas-jelas benih Marcel yang ada dalam kandungan Luna, dan Bimo tak pernah terlalu jauh menjamah tubuh Luna. Tapi setidaknya Luna ingin memberi suatu penghargaan pada Bimo yang telah bersusah payah merawat dirinya dan kehamilannya. Bimo memang pantas mendapatkan gelar itu, gelar ayah bagi bayinya. Bimo masih saja diam. Meski wajah dan satu tangannya kini menempel di perut buncit Luna. "Bimo ada usulan nama untuk bayiku?" "Bayi kita!" sela Bimo tajam. "Ya, bayi kita!" Luna memantapkan ucapan Bimo. "Ada, aku ingin bayi kita, kita beri nama Deandra Putri Bimo Pratama, itu kalau kamu tidak keberatan. Deandra artinya bunga, Luna." "Aku suka nama itu, Bimo." Luna menyen
Entah untuk yang keberapa kali Bimo mendaratkan bibirnya ke wajah sang bayi. Sampai seorang perawat mengambil alih sang bayi dari tangan Bimo. *** Selama tiga hari Luna berada di rumah sakit mewah itu, tapi tak ada satu orang keluarga pun yang ia beri tahu. Ia memang sengaja menyembunyikan kelahiran putri pertamanya itu pada siapapun. Karena ia tak ingin Marcel tahu kalau ia sudah melahirkan. Hanya Bimo yang tahu tentang kehamilan di luar nikahnya, karena Luna menutup rapat-rapat tentang kehamilannya, apalagi kelahiran bayinya saat ini. Kesibukan kedua orang tuanya di luar negeri, membuat keduanya tidak terlalu peduli oleh kehidupan pernikahan Luna. Apalagi ibu Luna bukanlah ibu kandungnya, melainkan hanya ibu sambung saja, karena ibu kandungnya sudah meninggal sejak Luna berusia 10 tahun. Saat kembali lagi ke villanya bersama Bimo dan Deandra, membuat Luna seperti memulai kehi
"Hm, ya, tadi Bibi melihat Pak Bimo, sekitar sejam yang lalu. Tapi sekarang ia sudah pergi, dan menitipkan ini pada saya, untuk Ibu." Dengan sopan wanita itu menyerahkan selembar kertas putih pada Luna. Dengan tangan sedikit bergetar Luna lekas menyambar kertas itu. Luna pun langsung membuka lipatan kertas itu, dan dengan cepat membacanya. "Dear My Lovely, Luna istriku yang cantik. Maaf aku harus pergi. Bukannya aku lancang tak berpamitan padamu, tapi ini kulakukan karena aku tak ingin menangis di depanmu. Tapi aku sudah berpamitan tadi dengan Deandra, bunga kecilku. My Lovely, aku ingat janji kita, tentang pernikahan kita yang hanya sementara saja. Tapi aku mohon, biarkan suatu saat aku kembali menemui kalian berdua. Saat dimana aku sudah meraih apa yang aku impikan selama ini, dan pastinya akan kupersembahkan seutuhnya untukmu dan Deandra. Aku tak ingin membuatmu
"Ayah! Ayah …!" Bimo lantas masuk sambil berteriak-teriak keras memanggil ayahnya. Semenit kemudian, seorang gadis berparas manis keluar dari kamar ayahnya. "Kak Bimo?!" Gadis itu menghampiri Bimo, dan sempat menyebutkan namanya. Bimo tahu kalau gadis manis dengan rambut hitam panjang terurai ini, adalah seorang perawat yang waktu itu di minta Luna untuk merawat ayahnya, sebelum ia dan Luna menikah dulu. "Hm, siapa nama kamu Dik?" Bimo mengerutkan keningnya, mencoba mengingat siapa nama gadis yang usianya mungkin terpaut beberapa tahun lebih muda dari usianya. "Anggita, Kak Bimo," jawabnya sopan sekali. Suaranya terdengar lembut, dan cara berpakaiannya terlihat jelas, kalau Anggita adalah gadis yang menjaga sekali kehormatannya. Saat itu, tubuh tinggi semampainya di balut kemeja putih dan jeans denim berwarna Biru Dongker yang tidak memamerkan lekuk
Bimo bersama Anggita mengitari Harvard University, ada perasaan campur aduk di hati mereka. Dengan mobil sport keluaran terbarunya, Bimo dan Anggita mengitari universitas yang menjadi salah satu universitas terbaik di dunia itu. "Aku tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sini, Kak!" Anggita dengan mata berbinarnya memuji keindahan universitas itu. "Sama seperti aku, Gita. Tapi memang seperti itulah hidup. Hidup seperti sebuah misteri. Baru kemarin kita berada di gubuk reyot, sekarang kita sudah berada di sini." Bimo tak kalah takjubnya memandang gedung yang berdiri gagah di hadapan mereka. Dalam kekaguman mereka, sebenarnya ada sebersit luka di hati keduanya. "Coba seandainya ada Luna dan Deandra-ku sayang, pastinya aku akan merasa lebih bahagia." Bimo menunduk menyapu rerumputan yang ia injak. "Hei, Kak
"Bu Luna?! Bu Luna kenapa?" Bi Asih yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, mengguncang tubuh Luna yang berteriak-teriak histeris memanggil-manggil nama kekasih hatinya itu. "Sabar Bu. Percayalah suatu hari nanti Pak Bimo pasti akan kembali," ujar Bi Asih berusaha menghibur hati sang majikan. Tapi Luna terus saja berteriak-teriak, hingga Bi Asih harus mendekapnya kencang sekali, sambil berbisik, "percayalah ada Tuhan yang akan menjaga kita, Bu!" Mendengar itu, Luna seketika terdiam. Ia ingat, Bimo pernah mengatakan itu padanya, saat ingin menenangkan dirinya dari rasa kecewa terhadap Marcel. Bi Asih senang melihat sang majikan sudah tenang. Ia pun kemudian melepas dekapannya. "Bu Luna sekarang harus makan!" "Saya tidak berselera makan, Bi!" Luna memalingkan wajahnya. "Tapi harus dipaksakan, Bu, biar nggak saki
Dengan tangannya yang mulai gemetar, Jerry menggesek layar ponselnya untuk menjawab panggilan itu. "Halo, Jer! Apa kamu sudah dapat informasi tentang suamiku?" lirih terdengar suara Luna, sepertinya ia habis menangis. Tentu saja itu membuat Jerry tak tega mendengarnya. Ia seperti berada dalam suatu dilema. "Eeemm, belum Bu!" jawab Jerry ragu. Ia usap-usap wajahnya dengan kasar menggunakan sapu tangannya, karena tiba-tiba keringat mengucur deras dari dahinya. "Kamu di mana sekarang?" Luna seperti kecewa mendengar jawaban dari orang kepercayaannya yang satu ini. "Sa-ya lagi di jalan, Bu. Seharian saya mencari keberadaan Pak Bimo." ucap Jerry dengan kebohongannya. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya saat ini. Namun susah payah Jerry untuk mencampakkannya. "Ya sudah, kalau begitu," suara Luna terdengar menggantung. Lalu samb
Meski Bimo sudah menunduk, namun tetap saja ia dapat melihat bayangan seseorang dari balik kaca mobilnya yang gelap. "Luna," bisiknya lirih. Selanjutnya, Bimo menginjakkan pedal gas mobilnya dalam-dalam. Mobil pun melesat cepat seperti kilat yang ingin meninggalkan bayang-bayang seseorang yang begitu anggun di mata Bimo, seanggun bidadari. Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya sampai juga mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ternyata ini pengalaman pertama ketiganya menginjakkan kaki di tempat itu. Sebelum keluar dari mobil, Bimo sempat menelepon seseorang. "Jerry, kamu sudah di mana? Aku sudah sampai di bandara. Apa kamu sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk dokumen penting, agar aku dan dua anggota keluargaku yang lain bisa terbang ke tempat yang menjadi tujuanku saat ini?" suara Bimo jelas sekali terdengar oleh dua ora
Mendengar suara ketukan pintu dari luar, Anggita bergegas keluar kamar dan segera menuju pintu. Sebuah wajah yang tak asing, tiba-tiba muncul, saat ia baru saja membukakan pintu. "Nak Gita, memangnya siapa yang datang? Kok tumben-tumbenan ada mobil mewah di halaman rumah Pak Sunaryo? Bimo, ya, yang pulang, dan mobil itu adalah mobil majikannya?" Anggita malas untuk menjawab. Tetangga yang satu ini memang suka sok tahu. Anggita hanya mengangguk, dan memohon maaf pada tetangganya yang biasa ia panggil dengan sebutan Mpok Lilis itu, ia katakan jika ia sedang banyak pekerjaan. Mpok Lilis langsung manyun. Padahal ia sudah bersemangat untuk ngobrol bersama Anggita. Tapi rencananya itu harus buyar, saat Anggita menolaknya secara halus. "Ya, sudah kalau begitu. Nanti aja Mpok ke sini lagi!" ujarnya kesal, sambil membenarkan sarung yang ia kenakan, ia pun pergi me
"Ayah! Ayah …!" Bimo lantas masuk sambil berteriak-teriak keras memanggil ayahnya. Semenit kemudian, seorang gadis berparas manis keluar dari kamar ayahnya. "Kak Bimo?!" Gadis itu menghampiri Bimo, dan sempat menyebutkan namanya. Bimo tahu kalau gadis manis dengan rambut hitam panjang terurai ini, adalah seorang perawat yang waktu itu di minta Luna untuk merawat ayahnya, sebelum ia dan Luna menikah dulu. "Hm, siapa nama kamu Dik?" Bimo mengerutkan keningnya, mencoba mengingat siapa nama gadis yang usianya mungkin terpaut beberapa tahun lebih muda dari usianya. "Anggita, Kak Bimo," jawabnya sopan sekali. Suaranya terdengar lembut, dan cara berpakaiannya terlihat jelas, kalau Anggita adalah gadis yang menjaga sekali kehormatannya. Saat itu, tubuh tinggi semampainya di balut kemeja putih dan jeans denim berwarna Biru Dongker yang tidak memamerkan lekuk
"Hm, ya, tadi Bibi melihat Pak Bimo, sekitar sejam yang lalu. Tapi sekarang ia sudah pergi, dan menitipkan ini pada saya, untuk Ibu." Dengan sopan wanita itu menyerahkan selembar kertas putih pada Luna. Dengan tangan sedikit bergetar Luna lekas menyambar kertas itu. Luna pun langsung membuka lipatan kertas itu, dan dengan cepat membacanya. "Dear My Lovely, Luna istriku yang cantik. Maaf aku harus pergi. Bukannya aku lancang tak berpamitan padamu, tapi ini kulakukan karena aku tak ingin menangis di depanmu. Tapi aku sudah berpamitan tadi dengan Deandra, bunga kecilku. My Lovely, aku ingat janji kita, tentang pernikahan kita yang hanya sementara saja. Tapi aku mohon, biarkan suatu saat aku kembali menemui kalian berdua. Saat dimana aku sudah meraih apa yang aku impikan selama ini, dan pastinya akan kupersembahkan seutuhnya untukmu dan Deandra. Aku tak ingin membuatmu
Entah untuk yang keberapa kali Bimo mendaratkan bibirnya ke wajah sang bayi. Sampai seorang perawat mengambil alih sang bayi dari tangan Bimo. *** Selama tiga hari Luna berada di rumah sakit mewah itu, tapi tak ada satu orang keluarga pun yang ia beri tahu. Ia memang sengaja menyembunyikan kelahiran putri pertamanya itu pada siapapun. Karena ia tak ingin Marcel tahu kalau ia sudah melahirkan. Hanya Bimo yang tahu tentang kehamilan di luar nikahnya, karena Luna menutup rapat-rapat tentang kehamilannya, apalagi kelahiran bayinya saat ini. Kesibukan kedua orang tuanya di luar negeri, membuat keduanya tidak terlalu peduli oleh kehidupan pernikahan Luna. Apalagi ibu Luna bukanlah ibu kandungnya, melainkan hanya ibu sambung saja, karena ibu kandungnya sudah meninggal sejak Luna berusia 10 tahun. Saat kembali lagi ke villanya bersama Bimo dan Deandra, membuat Luna seperti memulai kehi
Namun dengan cepat Luna meraih tangan kekar Bimo. "Sebaik Bimo Pratama, Ayahnya." Luna akhirnya menegaskan bahwa Bimo-lah ayah bayinya. Meski jelas-jelas benih Marcel yang ada dalam kandungan Luna, dan Bimo tak pernah terlalu jauh menjamah tubuh Luna. Tapi setidaknya Luna ingin memberi suatu penghargaan pada Bimo yang telah bersusah payah merawat dirinya dan kehamilannya. Bimo memang pantas mendapatkan gelar itu, gelar ayah bagi bayinya. Bimo masih saja diam. Meski wajah dan satu tangannya kini menempel di perut buncit Luna. "Bimo ada usulan nama untuk bayiku?" "Bayi kita!" sela Bimo tajam. "Ya, bayi kita!" Luna memantapkan ucapan Bimo. "Ada, aku ingin bayi kita, kita beri nama Deandra Putri Bimo Pratama, itu kalau kamu tidak keberatan. Deandra artinya bunga, Luna." "Aku suka nama itu, Bimo." Luna menyen