"Ayah! Ayah …!" Bimo lantas masuk sambil berteriak-teriak keras memanggil ayahnya.
Semenit kemudian, seorang gadis berparas manis keluar dari kamar ayahnya.
"Kak Bimo?!" Gadis itu menghampiri Bimo, dan sempat menyebutkan namanya.
Bimo tahu kalau gadis manis dengan rambut hitam panjang terurai ini, adalah seorang perawat yang waktu itu di minta Luna untuk merawat ayahnya, sebelum ia dan Luna menikah dulu.
"Hm, siapa nama kamu Dik?" Bimo mengerutkan keningnya, mencoba mengingat siapa nama gadis yang usianya mungkin terpaut beberapa tahun lebih muda dari usianya.
"Anggita, Kak Bimo," jawabnya sopan sekali. Suaranya terdengar lembut, dan cara berpakaiannya terlihat jelas, kalau Anggita adalah gadis yang menjaga sekali kehormatannya. Saat itu, tubuh tinggi semampainya di balut kemeja putih dan jeans denim berwarna Biru Dongker yang tidak memamerkan lekuk
Mendengar suara ketukan pintu dari luar, Anggita bergegas keluar kamar dan segera menuju pintu. Sebuah wajah yang tak asing, tiba-tiba muncul, saat ia baru saja membukakan pintu. "Nak Gita, memangnya siapa yang datang? Kok tumben-tumbenan ada mobil mewah di halaman rumah Pak Sunaryo? Bimo, ya, yang pulang, dan mobil itu adalah mobil majikannya?" Anggita malas untuk menjawab. Tetangga yang satu ini memang suka sok tahu. Anggita hanya mengangguk, dan memohon maaf pada tetangganya yang biasa ia panggil dengan sebutan Mpok Lilis itu, ia katakan jika ia sedang banyak pekerjaan. Mpok Lilis langsung manyun. Padahal ia sudah bersemangat untuk ngobrol bersama Anggita. Tapi rencananya itu harus buyar, saat Anggita menolaknya secara halus. "Ya, sudah kalau begitu. Nanti aja Mpok ke sini lagi!" ujarnya kesal, sambil membenarkan sarung yang ia kenakan, ia pun pergi me
Meski Bimo sudah menunduk, namun tetap saja ia dapat melihat bayangan seseorang dari balik kaca mobilnya yang gelap. "Luna," bisiknya lirih. Selanjutnya, Bimo menginjakkan pedal gas mobilnya dalam-dalam. Mobil pun melesat cepat seperti kilat yang ingin meninggalkan bayang-bayang seseorang yang begitu anggun di mata Bimo, seanggun bidadari. Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya sampai juga mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ternyata ini pengalaman pertama ketiganya menginjakkan kaki di tempat itu. Sebelum keluar dari mobil, Bimo sempat menelepon seseorang. "Jerry, kamu sudah di mana? Aku sudah sampai di bandara. Apa kamu sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk dokumen penting, agar aku dan dua anggota keluargaku yang lain bisa terbang ke tempat yang menjadi tujuanku saat ini?" suara Bimo jelas sekali terdengar oleh dua ora
Dengan tangannya yang mulai gemetar, Jerry menggesek layar ponselnya untuk menjawab panggilan itu. "Halo, Jer! Apa kamu sudah dapat informasi tentang suamiku?" lirih terdengar suara Luna, sepertinya ia habis menangis. Tentu saja itu membuat Jerry tak tega mendengarnya. Ia seperti berada dalam suatu dilema. "Eeemm, belum Bu!" jawab Jerry ragu. Ia usap-usap wajahnya dengan kasar menggunakan sapu tangannya, karena tiba-tiba keringat mengucur deras dari dahinya. "Kamu di mana sekarang?" Luna seperti kecewa mendengar jawaban dari orang kepercayaannya yang satu ini. "Sa-ya lagi di jalan, Bu. Seharian saya mencari keberadaan Pak Bimo." ucap Jerry dengan kebohongannya. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya saat ini. Namun susah payah Jerry untuk mencampakkannya. "Ya sudah, kalau begitu," suara Luna terdengar menggantung. Lalu samb
"Bu Luna?! Bu Luna kenapa?" Bi Asih yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, mengguncang tubuh Luna yang berteriak-teriak histeris memanggil-manggil nama kekasih hatinya itu. "Sabar Bu. Percayalah suatu hari nanti Pak Bimo pasti akan kembali," ujar Bi Asih berusaha menghibur hati sang majikan. Tapi Luna terus saja berteriak-teriak, hingga Bi Asih harus mendekapnya kencang sekali, sambil berbisik, "percayalah ada Tuhan yang akan menjaga kita, Bu!" Mendengar itu, Luna seketika terdiam. Ia ingat, Bimo pernah mengatakan itu padanya, saat ingin menenangkan dirinya dari rasa kecewa terhadap Marcel. Bi Asih senang melihat sang majikan sudah tenang. Ia pun kemudian melepas dekapannya. "Bu Luna sekarang harus makan!" "Saya tidak berselera makan, Bi!" Luna memalingkan wajahnya. "Tapi harus dipaksakan, Bu, biar nggak saki
Bimo bersama Anggita mengitari Harvard University, ada perasaan campur aduk di hati mereka. Dengan mobil sport keluaran terbarunya, Bimo dan Anggita mengitari universitas yang menjadi salah satu universitas terbaik di dunia itu. "Aku tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sini, Kak!" Anggita dengan mata berbinarnya memuji keindahan universitas itu. "Sama seperti aku, Gita. Tapi memang seperti itulah hidup. Hidup seperti sebuah misteri. Baru kemarin kita berada di gubuk reyot, sekarang kita sudah berada di sini." Bimo tak kalah takjubnya memandang gedung yang berdiri gagah di hadapan mereka. Dalam kekaguman mereka, sebenarnya ada sebersit luka di hati keduanya. "Coba seandainya ada Luna dan Deandra-ku sayang, pastinya aku akan merasa lebih bahagia." Bimo menunduk menyapu rerumputan yang ia injak. "Hei, Kak
Bruuuukk … Luna langsung menghempaskan pintu kamar itu. Matanya mulai berkunang-kunang menyaksikan kenyataan yang ada di depan matanya barusan. "Kau tak ubahnya seperti binatang, Marcel!" Tangan kanannya ia kepalkan dan langsung mendarat ke dinding kamar Marcel. Lelaki yang semula dianggapnya sebagai kekasih terakhirnya itu, kini berubah menjadi monster yang seolah ingin membunuhnya. Lalu gadis itu berlalu dari apartemen milik sang kekasih. Kakinya terus melangkah, Luna ingin segera cepat-cepat keluar dari tempat yang memuakkan itu. Pupus sudah rencananya yang ingin memilih tanggal cantik bersama Marcel untuk hari bahagia mereka. Sosok wanita dalam selimut bersama Marcel yang dilihatnya tadi, membuat Luna tak harus menunggu lama untuk berpikir. Luna seketika itu juga membatalkan pernikahannya dengan Marcel. "Lebih cepat, lebih baik!" Diseka air mata
Bimo terpaksa menghentikan laju mobilnya. Dan menepi di bahu jalan. Bimo lalu mencoba menghentikan aksi Luna yang terlihat semakin membabi buta ingin menyakiti dirinya sendiri itu. "Mbak, coba tenang! Mbak, nggak boleh menyakiti diri sendiri, seburuk apapun masalah yang Mbak hadapi. Mbak, percayalah ada Tuhan yang selalu menjaga kita. Termasuk menjaga hati kita." Bimo membiarkan tubuhnya terkena pukulan dari Luna, saat ia berusaha menghentikan Luna yang kian mengamuk. "Bimo, di mana sebenarnya Tuhan kita? Kenapa dia tidak membantuku saat ini? Apa Dia tidak tahu kalau sebentar lagi aku akan menikah?" Luna semakin berteriak-teriak kalap. "Tuhan kita tak terlihat, Mbak. Justru, saat ini Dia sedang membantu Mbak, menunjukkan siapa sebenarnya Marcel, calon suami Mbak yang sebenarnya." Bimo terpaksa mengunci tubuh Luna dengan mendekapnya erat-erat di dadanya yang
Bimo buru-buru mengalihkan pandangannya. Bimo baru bisa bernapas lega, saat Luna mendekati, dan kali ini tubuhnya sudah tertutup pakaian lengkap. Bimo menghempaskan napasnya dengan kasar yang dari tadi sempat ia tahan. *** "Bagaimana Bimo, bisakah kamu menolongku?" "Saya?" Wajah tampan Bimo semakin membeku. Alis tebalnya terlihat kian menyatu satu sama lain, saat ia kerutkan keningnya. Hidung mancungnya berkali-kali ia seka dengan ujung jarinya. "Ya, kamu, Bimo!" Tatapan Luna kian sendu. Tak berani menatap Bimo, sopir pribadinya yang baru sebulan ini bekerja dengannya. "Saya bisa apa, Mbak? Saya tak mungkin menikahi Mbak. Saya hanya seorang sopir pribadi, dan berasal dari keluarga miskin. Bagaimana ka …" "Sudahlah Bimo, kamu bersedia membantu aku, atau tidak? Kalau kau bersedia, akan aku jamin k
Bimo bersama Anggita mengitari Harvard University, ada perasaan campur aduk di hati mereka. Dengan mobil sport keluaran terbarunya, Bimo dan Anggita mengitari universitas yang menjadi salah satu universitas terbaik di dunia itu. "Aku tak menyangka bisa menginjakkan kaki di sini, Kak!" Anggita dengan mata berbinarnya memuji keindahan universitas itu. "Sama seperti aku, Gita. Tapi memang seperti itulah hidup. Hidup seperti sebuah misteri. Baru kemarin kita berada di gubuk reyot, sekarang kita sudah berada di sini." Bimo tak kalah takjubnya memandang gedung yang berdiri gagah di hadapan mereka. Dalam kekaguman mereka, sebenarnya ada sebersit luka di hati keduanya. "Coba seandainya ada Luna dan Deandra-ku sayang, pastinya aku akan merasa lebih bahagia." Bimo menunduk menyapu rerumputan yang ia injak. "Hei, Kak
"Bu Luna?! Bu Luna kenapa?" Bi Asih yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, mengguncang tubuh Luna yang berteriak-teriak histeris memanggil-manggil nama kekasih hatinya itu. "Sabar Bu. Percayalah suatu hari nanti Pak Bimo pasti akan kembali," ujar Bi Asih berusaha menghibur hati sang majikan. Tapi Luna terus saja berteriak-teriak, hingga Bi Asih harus mendekapnya kencang sekali, sambil berbisik, "percayalah ada Tuhan yang akan menjaga kita, Bu!" Mendengar itu, Luna seketika terdiam. Ia ingat, Bimo pernah mengatakan itu padanya, saat ingin menenangkan dirinya dari rasa kecewa terhadap Marcel. Bi Asih senang melihat sang majikan sudah tenang. Ia pun kemudian melepas dekapannya. "Bu Luna sekarang harus makan!" "Saya tidak berselera makan, Bi!" Luna memalingkan wajahnya. "Tapi harus dipaksakan, Bu, biar nggak saki
Dengan tangannya yang mulai gemetar, Jerry menggesek layar ponselnya untuk menjawab panggilan itu. "Halo, Jer! Apa kamu sudah dapat informasi tentang suamiku?" lirih terdengar suara Luna, sepertinya ia habis menangis. Tentu saja itu membuat Jerry tak tega mendengarnya. Ia seperti berada dalam suatu dilema. "Eeemm, belum Bu!" jawab Jerry ragu. Ia usap-usap wajahnya dengan kasar menggunakan sapu tangannya, karena tiba-tiba keringat mengucur deras dari dahinya. "Kamu di mana sekarang?" Luna seperti kecewa mendengar jawaban dari orang kepercayaannya yang satu ini. "Sa-ya lagi di jalan, Bu. Seharian saya mencari keberadaan Pak Bimo." ucap Jerry dengan kebohongannya. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya saat ini. Namun susah payah Jerry untuk mencampakkannya. "Ya sudah, kalau begitu," suara Luna terdengar menggantung. Lalu samb
Meski Bimo sudah menunduk, namun tetap saja ia dapat melihat bayangan seseorang dari balik kaca mobilnya yang gelap. "Luna," bisiknya lirih. Selanjutnya, Bimo menginjakkan pedal gas mobilnya dalam-dalam. Mobil pun melesat cepat seperti kilat yang ingin meninggalkan bayang-bayang seseorang yang begitu anggun di mata Bimo, seanggun bidadari. Empat puluh lima menit kemudian, akhirnya sampai juga mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ternyata ini pengalaman pertama ketiganya menginjakkan kaki di tempat itu. Sebelum keluar dari mobil, Bimo sempat menelepon seseorang. "Jerry, kamu sudah di mana? Aku sudah sampai di bandara. Apa kamu sudah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk dokumen penting, agar aku dan dua anggota keluargaku yang lain bisa terbang ke tempat yang menjadi tujuanku saat ini?" suara Bimo jelas sekali terdengar oleh dua ora
Mendengar suara ketukan pintu dari luar, Anggita bergegas keluar kamar dan segera menuju pintu. Sebuah wajah yang tak asing, tiba-tiba muncul, saat ia baru saja membukakan pintu. "Nak Gita, memangnya siapa yang datang? Kok tumben-tumbenan ada mobil mewah di halaman rumah Pak Sunaryo? Bimo, ya, yang pulang, dan mobil itu adalah mobil majikannya?" Anggita malas untuk menjawab. Tetangga yang satu ini memang suka sok tahu. Anggita hanya mengangguk, dan memohon maaf pada tetangganya yang biasa ia panggil dengan sebutan Mpok Lilis itu, ia katakan jika ia sedang banyak pekerjaan. Mpok Lilis langsung manyun. Padahal ia sudah bersemangat untuk ngobrol bersama Anggita. Tapi rencananya itu harus buyar, saat Anggita menolaknya secara halus. "Ya, sudah kalau begitu. Nanti aja Mpok ke sini lagi!" ujarnya kesal, sambil membenarkan sarung yang ia kenakan, ia pun pergi me
"Ayah! Ayah …!" Bimo lantas masuk sambil berteriak-teriak keras memanggil ayahnya. Semenit kemudian, seorang gadis berparas manis keluar dari kamar ayahnya. "Kak Bimo?!" Gadis itu menghampiri Bimo, dan sempat menyebutkan namanya. Bimo tahu kalau gadis manis dengan rambut hitam panjang terurai ini, adalah seorang perawat yang waktu itu di minta Luna untuk merawat ayahnya, sebelum ia dan Luna menikah dulu. "Hm, siapa nama kamu Dik?" Bimo mengerutkan keningnya, mencoba mengingat siapa nama gadis yang usianya mungkin terpaut beberapa tahun lebih muda dari usianya. "Anggita, Kak Bimo," jawabnya sopan sekali. Suaranya terdengar lembut, dan cara berpakaiannya terlihat jelas, kalau Anggita adalah gadis yang menjaga sekali kehormatannya. Saat itu, tubuh tinggi semampainya di balut kemeja putih dan jeans denim berwarna Biru Dongker yang tidak memamerkan lekuk
"Hm, ya, tadi Bibi melihat Pak Bimo, sekitar sejam yang lalu. Tapi sekarang ia sudah pergi, dan menitipkan ini pada saya, untuk Ibu." Dengan sopan wanita itu menyerahkan selembar kertas putih pada Luna. Dengan tangan sedikit bergetar Luna lekas menyambar kertas itu. Luna pun langsung membuka lipatan kertas itu, dan dengan cepat membacanya. "Dear My Lovely, Luna istriku yang cantik. Maaf aku harus pergi. Bukannya aku lancang tak berpamitan padamu, tapi ini kulakukan karena aku tak ingin menangis di depanmu. Tapi aku sudah berpamitan tadi dengan Deandra, bunga kecilku. My Lovely, aku ingat janji kita, tentang pernikahan kita yang hanya sementara saja. Tapi aku mohon, biarkan suatu saat aku kembali menemui kalian berdua. Saat dimana aku sudah meraih apa yang aku impikan selama ini, dan pastinya akan kupersembahkan seutuhnya untukmu dan Deandra. Aku tak ingin membuatmu
Entah untuk yang keberapa kali Bimo mendaratkan bibirnya ke wajah sang bayi. Sampai seorang perawat mengambil alih sang bayi dari tangan Bimo. *** Selama tiga hari Luna berada di rumah sakit mewah itu, tapi tak ada satu orang keluarga pun yang ia beri tahu. Ia memang sengaja menyembunyikan kelahiran putri pertamanya itu pada siapapun. Karena ia tak ingin Marcel tahu kalau ia sudah melahirkan. Hanya Bimo yang tahu tentang kehamilan di luar nikahnya, karena Luna menutup rapat-rapat tentang kehamilannya, apalagi kelahiran bayinya saat ini. Kesibukan kedua orang tuanya di luar negeri, membuat keduanya tidak terlalu peduli oleh kehidupan pernikahan Luna. Apalagi ibu Luna bukanlah ibu kandungnya, melainkan hanya ibu sambung saja, karena ibu kandungnya sudah meninggal sejak Luna berusia 10 tahun. Saat kembali lagi ke villanya bersama Bimo dan Deandra, membuat Luna seperti memulai kehi
Namun dengan cepat Luna meraih tangan kekar Bimo. "Sebaik Bimo Pratama, Ayahnya." Luna akhirnya menegaskan bahwa Bimo-lah ayah bayinya. Meski jelas-jelas benih Marcel yang ada dalam kandungan Luna, dan Bimo tak pernah terlalu jauh menjamah tubuh Luna. Tapi setidaknya Luna ingin memberi suatu penghargaan pada Bimo yang telah bersusah payah merawat dirinya dan kehamilannya. Bimo memang pantas mendapatkan gelar itu, gelar ayah bagi bayinya. Bimo masih saja diam. Meski wajah dan satu tangannya kini menempel di perut buncit Luna. "Bimo ada usulan nama untuk bayiku?" "Bayi kita!" sela Bimo tajam. "Ya, bayi kita!" Luna memantapkan ucapan Bimo. "Ada, aku ingin bayi kita, kita beri nama Deandra Putri Bimo Pratama, itu kalau kamu tidak keberatan. Deandra artinya bunga, Luna." "Aku suka nama itu, Bimo." Luna menyen