“Udah izin sama istri ke sini, belom, Mas? Nita nggak mau loh, ada salah paham di antara kita.” Wanita penggoda itu duduk dengan menaikkan sebelah pahanya. Tersingkap sudah kulit putih halus yang ditutupi rok di atas lutut.
“Nggak perlu izin, dia itu istri, bukan atasan, Mas.” Aziz merasa berkuasa.“Oh, gitu, ya, ya, tapi dia istri kamu, loh, Mas, apa nggak ada rasa berdosa?”“Justru Mas merasa berdosa karena nggak jadi menikahi kamu. Sekarang Mas tanya, kamu udah nikah belum?”“Belum.”“Kita nikah, yuk, Nita, masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan mimpi kita yang tertunda.”“Aku jadi yang kedua? Nikah sirri, diem-dieman, rahasiaan kalau ketemu. Terus belum kena gampar mama kamu, diviralin istri pertama kamu. Itu yang kamu mau? Terus habis itu pasti kamu janji akan berusaha adil antara aku dan siapa nama istri kamu itu?” Nita mendongakkan dagunya dengan angkuh.“Haira,” jawab Aziz tertunduk malu. “Iya, tapi Mas yakin itu hanya sementara aja, Nita, Haira itu perempuan baik dan hatinya lembut. Dia pasti akan menerima kehadiran kamu walau lambat.”“Dia yang terima, Mas. Aku yang nggak. Jadi, pertemuan kita cukup sampai di sini aja, ya. Nita kirain ada agenda penting misalnya bisnis gitu yang mau kamu buat sama Nita, Mas, ternyata janji-janji manis berangin surga. Ya, maaf, Nita, pulang duluan, Mas.” Wanita bertubuh singset dengan pakaian pas body itu beranjak meninggalkan Aziz yang melongo sendirian.Cinta itu masih ada, sangat besar dalam hati Aziz, tapi sayangnya Nita tak menyambut dengan mudah.“Ini baru pemanasan, Mas. Nanti akan aku buat kamu mengemis cinta sama aku, dan buanglah istri kamu itu jauh-jauh.” Pemiliki merk skin care itu melajukan mobilnya.Bahkan yang ia kendarai kini jauh lebih mewah dari yang sang mantan miliki. Harta kekayaan sudah dimiliki oleh Nita. Hanya saja hatinya masih kosong dari cinta.***Aziz pulang ke rumah dengan keadaan patah hati. Tadi ia membayangkan cintanya disambut dengan mudah oleh Nita.Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan lelaki satu anak itu. Bayangan lekuk tubuh Nita berganti dengan wujud Haira yang lebih nyata. Perempuan sederhana dan penyayang yang dipilihkan oleh sang ibu untuknya.“Mas, tadi Haira tu k—”“Bisa diem dulu nggak, Mas capek, di luar banyak kerjaan. Jadi urus aja semua sendiri. Kamu, kan, udah dikasih uang bulanan yang lebih dari cukup. Jadi nggak ada alasan untuk merengek lagi!” potong Aziz tanpa perasaan.“Iya, tapi Haira bukan ngomongin soal uang, Mas. Ibu kamu sakit, dia minta kamu datang ke rumah.” Biasanya Haira tak suka menyahut. Tapi karena ini soal kesehatan mertuanya ia pun terpaksa berbicara.“Kenapa nggak ngabarin dari tadi siang, Haira!”“Kamu, kan, sibuk kalau di luar.”“Ya, udah besok pagi Mas ke sana.”“Sama, ya, Mas, Haira juga mau ngurus ibu.”“Atau kalau repot suruh aja Ibu pindah ke sini. Ibu, kan lebih deket sama kamu. Sampai-sampai Mas harus dijodohon juga sama kamu.”“Maksudnya, Mas? Kok, tumben yang beginian diungkit lagi?” Kening Haira berkerut mendengar hal itu diulang lagi.“Maksud, Mas, suruh ibu pindah ke sini, itu aja, ngerti nggak kamu?”“Ngerti, Mas. Tapi ibunya nggak mau. Dia minta kamu datang ke sana. Ibu mau di rumah itu sampai beliau menutup mata, gitu katanya.”“Kamu nggak bermaksud doain ibu mati, kan, Haira?”“Enggak, loh, Mas, Ya Allah, Haira cuman nyampaikan aja. Mas kenapa, sih? Kok, hari ini ketus?”“Capek, udah diem ya, jangan ribut lagi.” Aziz merebahkan diri di ranjang. Yoga yang berusia tiga tahun lebih datang, berlari dan langsung melompat ke pelukan ayahnya. “Sana dulu, Papa capek, sama mama aja.” Lelaki itu menepis anaknya sendiri. Pesona Nita telah melampaui akal pikirannya.“Sini, Nak, ayo balik tidur ke kamar kamu.” Haira membawa Yoga yang merengek, tapi apa mau dikata lagi. Aziz bahkan sudah menutup dirinya dengan selimut. Namun, ketika anak dan istrinya keluar, ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nita. Sayangnya tak diangkat.[Pokoknya besok kita harus ketemu lagi. Akan Mas cari tahu di mana kamu kerja!]Aziz tak peduli walau tak ada balasan sekali pun. Nita harus menjadi miliknya, walau ia nanti akan menentang kata ibunya.“Aku suka yang kayak gini. Coba aja kamu agresif dari dulu, Mas. Jadi aku nggak harus menghancurkan rumah tangga orang. Sorry, Haira, tapi Mas Aziz punya aku dari awal.” Nita menatap foto-foto lama mereka berdua ketika masih pacaran. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar untuk mengaburkan rasa di dalam hati.***Aziz pergi ke rumah ibunya bersama Haira dan Yoga. Sepanjang jalan lelaki itu hanya diam saja. Ia sudah meminta temannya untuk mencari tahu di mana Nita bekerja, tapi belum ada hasil.“Haira, di rumah ibu ada kebutuhan pokok, nggak?” Tiba-tiba Aziz menghentikan mobilnya.“Ada, Mas.”“Kamu beli aja lagi, ya, semuanya, jangan sampai ibu kekurangan, itu di depan ada mini market. Beli semua yang dibutuhin.” Lelaki dengan kumis tipis itu menyerahkan beberapa lembar uang pada Haira.“Masih ada, kok, Mas, buat apa lagi dibeli.” Wanita dengan jilbab lebar tersebut menatap uang yang diberikan suaminya.“Bisa nggak kalau disuruh beli tu, beli aja, nggak usah banyak tanya, ngerti nggak?”“Iya, ngerti, iya, maaf, Mas.” Haira mengalah daripada ribut. Nanti pulang ke rumah mertua dia bisa pakai ojeg pengkolan.“Sekalian belikan popok buat ibu, Nita. Buat jaga-jaga.”“Beli popok, Nita? Maksud kamu, Mas? Ibu cuman pusing, bukan … astagfhirullah, kamu tu Mas kayak doain ibu kamu sakit parah!” geram Haira dibuatnya.Tak mau ribut di pinggir jalan, Aziz menjalankan mobilnya terlebih dahulu. Tiba-tiba saja masuk pesan dari Nita. Dengan senyum lebar lelaki itu membuka dan pesan klise yang tertulis, udah makan belum?[Belum, Nit, tadi Haira nggak sempat masak,] jawab Aziz jujur. Karena memang dia sendiri yang meminta Haira cepat bersiap.[Oh, maaf, Mas, salah kirim, pesan bukan buat kamu. Have fun, ya, sama anak istri, sorry ganggu.]Balasan pesan barusan membuat hati Aziz kian memanas. Ia berpikir Nita sudah punya pacar baru. Sedangkan rasa cinta di hatinya masih sama menggebu-gebu seperti dulu.“Nggak bisa, nggak! Aku bisa biarin kamu sama laki-laki lain.” Papa Yoga membelokkan mobilnya ke sebuah rumah.Ia masuk ke rumah ibunya yang sepi. Kemudian suara batuk terdengar, lelaki itu segera ke kamar.“Ibuk,” ucap Aziz dengan tatapan mata tak suka. Ia ingat kata Nita kalau wanita itu diminta mundur dulu.“Aziz, Nak, kamu datang juga. Apa kab—”“Saya mau tanya. Apa bener dulu Ibu yang minta Nita mundur dari hubungan kami?” Alih-alih bertanya bagaimana keadaan ibunya, Aziz malah mengurus yang bukan urusannya.“Kalau iya, kenapa, Nak?”“Alasannya? Ibuk tahu, kan, kalau saya sama Nita pacaran udah lima tahun lebih.”“Kenapa harus sekarang dibahas, kamu udah nikah malah udah punya anak. Anita cuma masa lalu kamu.”“Saya cuman ingin tahu.”“Karena Nita kalau kamu jadikan istri, dia nggak akan bisa patuh sama kamu, dia tipikal perempuan yang mementingkan karir di atas segala-galanya. Dia nggak akan bisa hormat sama kamu, Nak. Kamu sibuk, dia sibuk, yang ngurus anak nanti siapa? Ibu udah sering jumpa perempuan seperti Anita. Nikah sebentar sering ribut ujungnya cerai! Kamu mau seperti itu? Udahlah, udah ada Haira, kan? Dia nggak banyak tingkah dan banyak permintaan. Dia nggak akan buat pusing kamu dengan sikap keras kepalanya.”Aziz menarik napas sejenak. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Ia yakin masih ada yang disembunyikan oleh ibunya.“Tapi saya masih cinta sama Anita, Buk. Saya ingin menjadikan dia istri, terserah baik ibuk atau Haira nggak setuju. Saya sudah turuti permintaan ibuk untuk menikahi Haira. Sekarang saya harus memikirkan kebahagiaan saya sendiri.”Bak petir di siang hari wanita paruh baya itu mendengar perkataan anak kesayangannya. Tak cukupkah Haira saja di rumah? Lalu sakit kepalanya kambuh kian menjadi. Ibunya Aziz terjatuh di lantai.Bersambung …“Ibu, Buk, pakai acara jatuh segala. Haduuh, Haira mana lagi, lelet banget jadi perempuan.” Dengan sekuat tenaga Aziz memapah ibunya yang jatuh ke atas kasur. Ia tak melakukan apa-apa, hanya diam saja, bak orang tak punya pikiran. Kemudian pintu rumah mereka terbuka. Wanita yang ia tunggu datang dengan kepayahan membawa belanjaan di tangan kiri belum lagi Yoga di tangan kanan. Ditambah perut yang berbunyi keroncongan. “Kamu ke mana aja? Ibu pingsan tahu, nggak?” tanya Aziz dengan nada tidak suka. “Hah, kenapa, kok, bisa pingsan, Mas?” Haira menjatuhkan belanjaannya asal saja. Lalu wanita berjilbab lebar itu masuk ke kamar dan melihat keadaan mertua yang ia sayangi. “Mas, telpon ambulance biar dibawa ke rumah sakit. Haira takut Ibu kenapa-kenapa.” Ibu satu anak itu memainkan jemari tangannya. Haira gugup. “Kamu, kan, punya hape, kenapa nggak telpon aja sendiri. Jangan bilang nggak ada pulsa, uang bulanan kamu lebih dari cukup, Mas, kasih.” Aziz berbicara tanpa rasa belas kasihan p
Perlahan-lahan mata Ibu Mia terbuka. Wanita berusia kepala enam itu memindai sekeliling. Ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan, dan menantunya terbaring di atas kursi serta kepalanya disandarkan asal saja. “Haira, Nak,” panggil Ibu Mia perlahan, beberapa kali hingga sang menantu membuka matanya. “Ibu, sudah sadar, bentar ya, Haira panggil dokter dulu.” Wanita baik hati itu beranjak dari duduknya. Ibu Mia berusaha mengingat apa yang menyebabkan ia dibawa ke rumah sakit. Jalan pikirannya mundur sejenak ke belakang. Wanita di umur senja itu mengingat nama Anita disebutkan oleh Aziz hingga membuat jantungnya serasa tertekan. “Astaghfirullah. Ya Allah, lindungi dan jagalah rumah tangga anakku dari godaan pihak ketiga di luar sana. Haira sangat baik, dia tak boleh disia-siakan oleh anakku.” Ibu Mia menahan nyeri di jantungnya.Wanita itu sudah tua, mungkin umurnya sudah tidak lama lagi di dunia ini. Yang diinginkan Ibu Mia hanya satu, yaitu kehidupan anaknya berjalan lurus tanpa h
“Oke, Mas, udah setengah jam lebih aku dengerin cerita kamu. Tahu, nggak, berapa kerugian yang aku alami demi kamu, loh?” Anita beranjak dari ranjang. Ya, semula mereka di sofa, dan perlahan-lahan menuju kasur, meski tanpa melakukan hal apa pun. “Nita, baru juga setengah jam kamu udah nggak betah.” Aziz belum mau kehilangan kesempatan bersama Anita. Bagaimanapun tekadnya sudah bulat hari ini untuk mendapatkan hati mantannya lagi. “Ada kerjaan, kamu juga harus pulang, kan, Mas. Ini udah jam dua siang loh, bukannya jam lima udah di rumah.”“Sudah Mas, bilang, hari ini semua hanya untuk kamu.” “Manis banget, tapi aku nggak percaya.” Anita merapikan rambutnya yang berantakan. Tak lupa bibirnya ia kulum agar basah secara alami. Hal yang membuat Aziz menelan ludah. “Kenapa nggak percaya sama, Mas?” Tatapan mata lelaki itu begitu sangar menelisik lekuk tubuh Anita. “Jelas kamu tahu jawabannya, Mas.” “Haira.” “Nah itu dia. Pagar kita ketinggian, loh.” “Kamu mau Mas apakah dia?” “Ngga
“Kamu ngapain lihat-lihat punya orang.” Aziz datang dan merampas ponsel di tangan Haira begitu saja. Wanita berjilbab lebar itu menelan ludah. Meski baru sebentar, pesan mesra itu sempat ia baca. Dengan jelas Aziz mengetik, bahwa ia tak pernah mencintai Haira. Ibu satu anak itu hanya memandang punggung suaminya yang baru saja masuk ke kamar mandi. Haira tarik napas dan menenangkan diri sejenak. Saat ini yang harus dipikirkan ialah kesembuhan ibu mertua yang masih tidur lelap. “Besok aku harus jual perhiasan dulu. Setelah ibu sembuh kita harus bahas chat mesra kamu, Mas.” Haira mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan harus mendahulukan yang namanya skala prioritas. “Haira, Mas pulang dulu, ya, mau tidur, capek, ngantuk,” ucap Aziz tanpa ada rasa peduli dengan ibunya sendiri. “Mas, jemput Yoga sekalian gimana? Dia di kosan sama Haima. Kasihan, loh, dari tadi nanyain kamu,” ucap Haira meski hatinya masih berdesir dipenuhi kemarahan tak terucap. “Udah, sama adik
Sampai di rumah Aziz memeriksa ponselnya lagi. Dikirimnya pesan untuk Anita tapi tidak ada balasan sama sekali. Kemudian lelaki itu menghela napas pendek. “Mau cari ke mana uang sebanyak itu, ya? Haira, sih, coba dari dulu daftarin asuransi buat kami, pasti nggak bakalan bingung jadinya!” gerutu Aziz sambil melepas baju. Ia ambil baju kaus dan celana pendek. Rak di meja rias menjadi incaran lelaki itu. Benda yang ia cari sudah ditemukan. “Ini perhiasan waktu aku jadikan mas kawin dulu. Mau nggak ya dijual.” Agak ragu Aziz, sebab kata ibunya mahar menjadi milik perempuan sepenuhnya. Belum pernah dijual oleh Haira. Tapi emasnya juga tidak bertambah sebab uang belanja dari Aziz pas sekali untuk satu bulan. Sisa lebihnya dipegang oleh dirinya sendiri. “Ah, istri harus nurut sama suami. Kalau nggak mau aku ceraikan sekalian.” Perhiasan itu diletakkan kembali di dalam laci. Lelah karena selesai berpetualang cinta dengan Anita sore tadi, ia pun terlelap tanpa memikirkan ibu, istri, juga
Anita meninggalkan Aziz di tempat mereka janjian tadi pagi. Lalu ia memikirkan tentang pinjaman uang yang dibutuhkan kekasihnya itu. “Lima puluh juta, itu nggak sedikit, Mas, tapi kapan lagi coba aku bisa ngatur kamu,” gumam Anita sembari membuka saldo m bankingnya. Ada beberapa ratus juta hampir M dari hasil menjual skin carenya yang booming di pasaran. Namun, itu belum dikurangi dengan nilai untuk menggaji karyawannya beberapa hari lagi dan menanam modal untuk membuat varian produk baru. Anita harus berhati-hati, takutnya lima puluh juta lepas dan Aziz tetap bersama Haira hanya agar ibunya baik-baik saja. “Aku nggak bisa rugi walau dikit, Mas. Selain uang, aku juga harus bisa dapatkan kamu dan Haira juga harus pergi jauh-jauh, udah gitu aja, simple, kan.” Anita menutup ponselnya. Dua orang karyawan yang duduk di kursi bagian depan hanya saling melirik saja. Yang mereka tahu bos mereka itu memang belum menikah. Namun, tak sampai pula memikirkan kalau Anita akan menjadi perebut k
“Imah, sini kamu.” Darmadi memanggil pembantu yang sedang membersihkan meja makan. Lelaki itu membisikkan sesuatu, antara mereka berdua saja. Bukan urusan cinta terlarang, Darmadi tak suka pembantu. Tapi hal yang diminta cukup membuat Imah membelalakkan mata. “Saya takut, Pak.” Imah ragu-ragu menerima ponsel bosnya. “Buat saja apa yang saya suruh, nanti ada bonus buat kamu. Atau kamu saya pecat!” ancamnya. Imah tak punya pilihan walau ia sebenarnya sudah risih kerja di sana. Ponsel cadangan milik bosnya ia ambil dan diam-diam Imah membuka pintu kamar Anita. Tidak ada orang di sana, suara gemericik air terdengar. Imah membuka pintu perlahan dan mulai merekam Anita yang sedang tak menggunakan sehelai benang pun mulai dari guyuran shower hingga berendam di dalam bath tubh. Cukup, pembantu itu pun keluar dan menyerahkan rekaman pada bosnya. Tak luput beberapa lembaran merah ia terima dan lagi-lagi Imah harus tutup mulut soal permainan kotor Darmadi. Pengusaha itu memasuki kamar Ani
Aziz sampai di rumah sakit dan berniat mengungjungi ibunya sebentar saja. Tak lupa dia bawa perhiasan emas yang milik Haira yang harus dijual untuk menutupi biaya awal operasi. Secara kebetulan pula Aziz berpapasan dengan iparnya, Haima. “Mas, ini Yoga, aku mau ujian.” Tak perlu basa-basi Haima langsung memberikan anak itu pada papanya. “Eh, Ima, Mas nggak bisa, mau kerja.” Aziz tidak mengambil libur kantor hari itu. “Ya, aku ujian, emang Mas aja yang sibuk!” ketus gadis berseragam putih itu. Tak Ima lihat lagi ke belakang. Tadi malam ia sudah berusaha menjaga Yoga dengan baik bahkan sampai pelajarannya terganggu. “Susah ini. Kasih Haira aja udah.” Aziz menggandeng tangan putranya. Namun, saat ingin memasuki ruang di mana Ibu Mia dirawat, Aziz dihadang oleh security perempuan yang berjaga. Anak kecil di bawah usia dua belas tahun tidak boleh masuk. “Tapi saya harus ketemu sama istri saya,” ucap Aziz. Lalu security itu memanggil seseorang yang sudah disebutkan detailnya oleh Aziz
Aziz memang mengambil uang hasil menjual perhiasan Haira. Untuk apa? Untuk membahagiakan Anita. Walau pacarnya itu orang kaya raya tapi tetap saja ia lelaki yang ingin tampil sebagai penyedia segalanya. Pada pagi hari, lelaki dengan postur tubuh tinggi tapi tak tegap itu menyempatkan diri untuk menghubungi Anita. Mereka memang tak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Namun, sepasang kekasih itu meluangkan waktu di sore hari untuk berkencan. “Mas mau kasih sesuatu sama kamu, ya memang murah, tapi ini tulus dari hati Mas,” ucap Aziz sambil tersenyum manis. Senyum yang tak pernah ia lemparkan pada Haira walau sudah lima tahun menikah. Panggilan ditutup, keduanya fokus pada urusan masing-masing. Sesekali Aziz melihat ponsel siapa tahu Anita mengirim pesan padanya. Namun, yang ada hanya pesan dari istri yang menyebalkan. Ia berbohong soal uang yang akan digunakan untuk memperbaiki mobil. Padahal sudah ia benarkan dengan merogoh kantong sendiri. Siang hari ketika jam istirahat,
Haira membuka pintu kamar Aziz yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke kerja. Sebelum wanita yang baru saja memuntahkan isi perutnya itu bicara, suaminya sudah lebih dulu mengatakan akan pulang terlambat. “Ada urusan kerjaan di luar kota mungkin pulang tengah malam. Nggak usah nungguin, kunci aja pintu dari luar,” ucap Aziz yang tak perasa dengan mata Haira yang memerah. “Kok, akhir-akhir ini sering keluar kota, Mas? Bukannya Mas kerjanya di bagian kantor, ya? Apa udah pindah bagian?” “Iya, udah sejak sebulan yang lalu. Naik pangkat.” “Berarti gaji naik juga donk.” “Urusan gaji ngapain kamu mau tahu, yang penting kebutuhan, kan, nggak pernah kekurangan.” Lelaki plin plan itu tak suka istrinya ikut campur terlalu dalam. “Ya udah, iya, maaf, oh, iya, Haira mau kasih tahu sesuatu sama Mas. Penting!” Wanita bermata sendu itu melihat dua tangan di dada. “Nanti aja, Mas mau pergi cepat. Sarapan di luar, mau tukar suasana baru.” Aziz menyisir rambutnya sampai rapi. Ia gunakan pa
Haira memuntahkan isi perutnya yang masih hanya air putih saja. Kepala wanita itu terasa pusing dan berputar-putar. Ia berjalan perlahan sembari memegang dinding lalu memilih duduk di kursi dan meminum teh hangat yang ada di meja. “Yoga, sini makannya sama eyang saja, ya.” Ibu Mia berinisiatif untuk mengajak cucunya. Selain itu Haira masih tidak enak badan. “Aku kenapa, ya, tadi baik-baik aja.” Tubuh wanita bermata sendu itu serasa lemas dari ujung rambut sampai kaki. Ia bahkan mulai memijat sendiri kepalanya yang masih berdenyut. Padahal setiap pagi walau belum sarapan ia selalu kuat mengurus semuanya. Kini ia berjalan ke kamar untuk beristirahat, tapi apa daya aroma parfum Aziz tertinggal dan membuat kepalanya semakin pusing. Haira pun menuju ke kamar Yoga. Di sana ia berbaring beberapa saat. Tak lama kemudian Yoga datang mencari mamanya. Anak itu tak bisa lama-lama jauh darinya. Ibu Mia pun menyusul sekalian ada yang ingin diberitahu. “Restu kirim buat tambahan Ibu, siapa tahu
Malam hari tiba, Aziz sudah pulang dari tadi dengan senyum terkembang. Tapi keberadaan kepala keluarga itu semakin terasa tidak nyata. Apalah lagi dengan ibunya sendiri, hanya sekadar melihat dan menyapa saja selesai. Tidak ada wujud bakti sebagai anak. Ia merasa sudah cukup dengan memfasilitasi BPJS untuk operasi tiga minggu lagi. Haira baru saja selesai menidurkan Yoga di kamarnya. Wanita bermata sendu itu menyisir rambut yang sepanjang pinggang. Haira berkaca dan merasa wajahnya tidaklah jelek-jelek amat. Tidak pula ada flek hitam, jerawat apalagi bopeng, tapi kenapa Aziz seperti enggan padanya. “Kenapa, ya? Bau badan juga aku nggak, udah pakai deodorant sama parfum.” Haira memang tak secantik Anita, tapi ia telaten menjaga diri agar terlihat menyenangkan di mata suaminya. Ibu satu anak itu menoleh ke belakang, sudah terdengar suara dengkur halus dari Aziz. Ia mendekat dan memeriksa di mana ponsel suaminya. Haira raba bawah bantal, tapi Aziz menggeliat dan ia pun menjauh seben
Dua hari yang lalu Haira dan Ibu Mia kedatangan tamu perempuan cantik dan wangi ketika Aziz sedang bekerja. Katanya mengaku sebagai istri bosnya Aziz. Wanita yang sama pernah menjenguk Ibu Mia di rumah sakit dan memperkenalkan diri dengan nama Anita. Haira sempat curiga, kalau memang istri bos kenapa tidak datang dengan suaminya. Serta ada urgensi apa sampai harus ikut campur menjenguk mertua Haira. Lama-lama semua puzzle itu terasa cocok di kepalanya. Mulai dari pesan mesra di ponsel Aziz sampai sikap suaminya yang agak kasar. Haira menghela napas panjang, dadanya mulai terasa berat. “Haira, kamu melamunkan apa?” tanya Ibu Mia yang ikut duduk di ruang tamu. Menantunya baru saja menidurkan Yoga. “Nggak mikir apa-apa, Buk. Oh iya, besok kita harus kontrol sekali lagi ya, biar jawdal operasi Ibu nggak mundur-mundur lagi.” Haira menyayangi Ibu Mia dengan tulus. Sebab mama kandungnya yang sudah tiada. “Ibu ngerepotin kalian aja sepertinya. Ibu ingin pulang ke rumah.” Wanita paruh bay
“Woman!” Darmadi tersenyum ketika Anita diam saja melihat sejumlah nominal yang tertera di cek miliknya. “Duduk dulu kita bahas urusan ini dengan santai tapi serius,” lanjutnya. “Oke, karena ada untungnya, Nita dengerin sampai habis.” Nita menahan senyum di bibirnya. Ia tak suka terlihat matre di depan laki-laki. “Make sure kamu sudah makan, Nit.” “Udah, energi udah cukup untuk bahas bisnis kita, Om.” “Good. Om tidak akan basa-basi lagi. Dana sebesar ini akan Om titipkan sama kamu.” Darmadi menyodorkan cek senilai puluhan milyar. Pengusaha itu juga dititipkan oleh salah satu pejabat teras, dan demi menghindari wajib pajak yang begitu besar serta kecurigaan beberapa pihak termasuk istrinya, maka salah satu caranya yaitu melakukan pencucian uang. Anggap saja Nita merupakan salah satu cabang usaha yang produknya terus berputar. “Titip?” Anita heran. “Yes. Om titip dan dua persennya bonus untuk kamu. Silakan kamu pakai buat beli mobil, tas mewah, villa mungil atau berlian. Selama
Darmadi mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Lelaki yang menggunakan kemeja dan jas rapi itu tak bisa melupakan kenangan bersama Anita walau baru satu kali saja. Serigala putih—begitu julukannya, memang gemar berpetualang dari satu wanita ke wanita lain. Bisa jadi istrinya tahu bisa jadi juga tidak. Siapa yang bisa menebak lingkar kehidupan keluarga terpandang tapi tertutup rapat soal pribadi. Baru saja Darmadi ingin memanggil Anita dari ponselnya, ia mendapatkan panggilan langsung dari salah seorang rekan bisnis yang amat penting. Gegas lelaki dengan gaya perlente itu pergi ditemani sekretaris dan supirnya. Di dalam mobil Darmadi meminta sekretarisnya yang lelaki agar mengatur pertemuan bersama Anita. Di tempat biasa di dalam rumah yang menjadi saksi bisu perselingkuhan keduanya. “Bisa, Pak, tapi kita selesaikan dulu pertemuan dengan rekan Bapak. Saya rasa ini sangat penting sampai ada panggilan mendadak. Bahkan melibatkan salah satu pejabat teras negara,” ujar sekretaris ber
Anita heran selama beberapa hari Aziz tidak menghubungi dirinya. Ingin ia memulai duluan tapi rasa gengsi menjadi penghalang. Nanti bisa ia urus itu, karena seingat wanita yang baru saja memotong rambutnya sampai pendek sebahu, kekasihnya sedang butuh uang dalam jumlah besar untuk operasi ibunya. “Semoga kamu nggak lupa sama perjanjian nggak tertulis kita ya, Mas, kalau kamu lupa aku ingetin di depan muka istri kamu langsung sama ibu kamu biar mati sakit jantung sama-sama.” Nita menyunggingkan senyum liciknya. Setelah itu ia berangkat menuju studio di mana pada hari yang sama Anita diundang menjadi bintang tamu dalam sebuah podcast salah satu youtuber. Anita dinilai menjadi sosok perempuan matang dan layak menjadi panutan karena berhasil menjelma menjadi wanita mandiri dan layak diperhitungkan kiprahnya dalam dunia skin care serta kosmetik. Mobil sampai di depan studio. Hanya butuh waktu 15 menit kemudian acara pun berlansung setelah diperbaiki dandanan Anita yang tidak ada kerusa
Sesuai dengan isi doa dari Haira, bahwa jika Aziz benar-benar pergi menemui teman-temannya maka suaminya akan baik-baik saja, maka hal sebaliknya justru terjadi. Sebuah kecelakaan ringan terjadi dan membuat Aziz harus dilarikan ke klinik terdekat. Tidak sampai menginap dan mobil juga masih bisa dibawa pulang meski harus minta tolong sama orang. Namun, memberikan luka yang cukup untuk menjadi pelajaran di kepala Aziz. Tengah malam ia pulang. Jangankan pintu yang dibuka, pagar pun tak ada yang mau menggeser. Semua orang sudah terlelap. “Sialan, Haira bener-bener tidur kayak orang mati aja!” gerutu Aziz sambil menahan kesal. Terpaksa lagi ia minta tolong pada orang, sepaket dengan membawa masuk mobil ke dalam garasi. Pertolong tersebut tidak gratis ternyata. Melainkan yang menolong dan mengantar minta uang beberapa lembar saja karena waktunya juga terbuang sia-sia. Total malam itu setengah juta uang Aziz keluar karena apes yang ia derita. “Bener-bener sial, padahal cuman mau ketemu A