"Kasihan ya, Neng Runa, masih muda sudah meninggal dunia."
"Iya, kudengar dia sakit-sakitan. Sudah berobat kemana-mana, tapi tak tahu sakitnya apa.""Apa jangan-jangan kena santet?""Hush, jangan ngomong sembarangan. Kasihan Den Denis, suaminya. Selama ini dia setia banget menjaga istrinya."Aku hanya diam saja mendengar bisikan para tetangga yang sedang berkumpul untuk melawat di rumah kami, di antara lantunan ayat suci Alquran. Aku masih fokus menatap ke arah peti yang berisi jenazah Aruna, istriku. Jenazah baru saja datang dari rumah sakit, sudah dimandikan oleh petugas di sana. Pak Ustadz dan beberapa warga juga sudah menyolatkan, jadi tinggal membawanya menuju pemakaman.Suara isak tangis dari Mama mertua masih terdengar, bersamaan dengan suara Mamaku yang mencoba menghiburnya. Semua tentu merasa kehilangan, karena Aruna adalah sosok yang amat berarti, termasuk bagiku."Turut berduka cita, Mas." Seseorang menepuk pelan pundakku.Aku mengangkat wajah, dan melihat seorang gadis cantik berkerudung hitam menatap ke arahku dengan pandangan prihatin. Dia adalah Saskia, sahabat Aruna."Terima kasih, Saskia," jawabku, sambil tersenyum getir.Saskia mengangguk, lalu berjalan ke arah Mama mertua. Terlihat mereka berdua saling berpelukan sambil menangis penuh kesedihan."Pak Denis, sudah saatnya kita memakamkan jenazah, jangan ditahan terlalu lama," bisik Pak Ustadz di telingaku.Aku mengangguk dengan hati berat. Kami semua akhirnya membawa jenazah Aruna menuju pemakaman, dibantu oleh warga sekitar. Sepanjang perjalanan sampai ke area pemakaman, air mataku tidak berhenti mengalir. Beberapa hari sebelum meninggal, kami berdua bertengkar dengan hebat."Aku mau kita cerai, Mas!" ucap Aruna waktu itu."Runa, yang kamu lihat tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Saskia tidak punya hubungan apa-apa!" ucapku menjelaskan."Sudah cukup! Aku sudah melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri! Tidak ada yang perlu kamu jelaskan lagi!"Sekeras apapun aku berusaha menjelaskan, Aruna tidak mau mendengarkannya. Dia tetap ingin meminta cerai dariku. Padahal aku sudah bersujud di bawah kakinya, dia tidak peduli.Akhirnya di hari yang sama saat dia menggugatku, Aruna batuk darah. Kami melarikannya ke rumah sakit. Sampai menjelang ajal pun, Aruna masih begitu membenciku. Aku masih mengingat dengan jelas, tatapan mata Aruna menjelang ajalnua, yang penuh dengan kebencian dan dendam padaku. Sampai sumpah serapah itu keluar dari mulutnya, menggema di seluruh ruangan rumah sakit."Aku bersumpah, Mas! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang! Aku akan terus mengejarmu, meskipun sudah menjadi bangkai!"Aku seketika memegang tengkuk yang mendadak terasa dingin. Ah, kenapa sumpah Aruna masih saja terngiang-ngiang di kepalaku? Aku tidak melakukan kesalahan, jadi seharusnya aku tidak perlu merasa ketakutan."Denis, ingat kata Mbah Jupri. Jangan sampai ada yang membuka peti mati istrimu," bisik Mama, membuyarkanku dari lamunan."Iya, Ma," jawabku, kembali menatap ke arah peti yang bersiap diturunkan ke liang lahat, sambil mengusap air mata yang membasahi pipi."Maaf, Pak Denis. Kenapa jenazah Neng Runa tidak boleh dikeluarkan dari peti? Padahal menurut agama yang kita anut, seharusnya jenazah langsung dibaringkan di atas tanah," ucap Pak Ustadz yang mendampingi kami."Jangan, Pak. Penyakit istri saya itu menular, jadi harus dikuburkan bersama dengan petinya," jawabku."Baiklah jika alasannya seperti itu." Pak Ustadz mengangguk, terlihat mengerti.Akhirnya jenazah Aruna dikuburkan bersama dengan peti matinya, dan semua berjalan dengan lancar. Satu-persatu pelayat sudah mulai meninggalkan pemakaman. Tinggal aku dan beberapa orang saja yang duduk di samping nisan istriku."Ikhlaskan kepergian istrimu, Denis," ucap Mama mertua sambil memegang pundakku."Mama beruntung punya menantu sepertimu, yang menemani Aruna sampai akhir hayatnya." Wanita berjilbab panjang itu masih terisak, tapi berusaha menghiburku."Ayo kita pulang, Jeng. Biarkan Denis di sini dulu, mungkin masih ingin bersama Runa," ucap Mamaku, pada Mama mertua.Mama mertua mengangguk mengerti. Mereka berdua akhirnya meninggalkanku sendirian di sana. Aku kembali menatap ke arah nisan Aruna, yang tertulis dengan jelas namanya."Tidurlah yang nyenyak, Runa. Jangan khawatirkan apapun, termasuk semua harta kekayaanmu. Aku berjanji akan menjaga semuanya," ucapku kemudian dengan senyum kemenangan.Aruna ....Seandainya saja waktu itu kamu memaafkanku saat aku bersujud di kakimu, dan tetap menjadi istri yang baik, mungkin kamu masih berada di sisiku hingga detik ini ....Aku terus memikirkan wajah Aruna di sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman. Senyum Aruna yang selama ini selalu menemani hari-hariku, kembali terbayang. Aruna wanita yang baik dan penurut, dan seharusnya terus seperti itu. Aku tahu Aruna begitu mencintaiku, karena selama ini dia mau melakukan apa saja untukku.Sungguh tak mengira, wanita itu sanggup menuntut cerai dariku. Aku sungguh murka, Aruna ...."Bagaimana, Denis? Sudah beres?" Terlihat Mama menyambutku di depan pintu begitu aku sampai di rumah."Sudah, Ma," jawabku kemudian sambil mendaratkan bokong di atas sofa."Kamu jangan lupa besok ke rumah Mbah Jupri," ucap Mama lagi sambil berjalan mendekatiku, lalu duduk di sampingku."Iya, iya, Ma." Aku mengusap muka lalu menatap sekeliling, mencari sosok Bu Sonia, Mama mertuaku. Bisa gawat kalau wanita alim
"Aku melihat Aruna, Tante!" Saskia langsung berhambur dan memeluk Bu Sonia.Kami semua terkejut mendengar ucapan Saskia. Badannya yang terlihat menggigil ketakutan, menunjukkan kalau dia tidak berbohong, tapi tidak mungkin Aruna ada di sini. "Kamu ngomong apa sih, Saskia? Aruna sudah tenang di sana." Bu Sonia mengelus pundak Saskia, mencoba menenangkannya."Aku benar-benar melihat Aruna di sana, Tante!" Saskia masih menggigil sambil menunjuk ke arah jendela."Jangan-jangan, Aruna dendam padaku! Dia mau mengejarku!" Saskia semakin panik."Apa maksudmu, Saskia?" Wajah Bu Sonia seketika berubah kaget, sehingga Saskia juga tersentak, mungkin lekas menyadari jika dia salah bicara. Wajahnya memucat seketika."Ah, Saskia pasti masih belum bisa menerima jika Aruna sudah tiada, Ma." Aku cepat-cepat menyahut, mencoba mengalihkan pembicaraan.Cepat-cepat aku berjalan ke arah jendela dan membukanya."Lihat, tidak ada siapa-siapa. Pasti Saskia masih terbayang-bayang wajah Aruna, karena mereka san
Tidak, ini tidak mungkin! Apa benar itu Aruna?Aku mengucek mataku sekali lagi, dan melihat kembali ke arah luar jendela. Netraku seketika membola, karena wanita itu sudah tidak ada di sana. Aku menyapukan pandangan ke sana, kemari, namun yang ada hanya kegelapan.Tanpa pikir panjang aku bergegas berlari keluar kamar, lalu berjalan menuju luar rumah. Aku langsung mencari-cari ke sekeliling taman, tak juga kujumpai sosok mirip Aruna barusan. Aku memegang kepala yang pening setelah lelah mencari. Ah, jangan-jangan aku juga ikut berhalusinasi seperti Saskia?Aku mulai mengacak rambut karena bingung, sampai mendadak tersentak kaget karena seseorang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh, dan melihat Mbok Asri ada di sana, menatapku dengan pandangan bingung."Astaga, Mbok! Mbok Asri mau saya jantungan, ya?" tanyaku kesal pada wanita tua bertubuh tambun itu."Den Denis ngapain di luar malam-malam?" Dia balik bertanya.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, agak bingung harus menjawab apa."
Mobil milikku meluncur dengan mulus menuju rumah sakit tempat dulu aku membawa Aruna yang tengah meregang nyawa. Bayangan wajah Aruna yang menatap tajam padaku sebelum masuk ke ruang gawat darurat, kembali masuk ke dalam kepalaku.Ada sedikit penyesalan yang menyusup jauh di lubuk hatiku yang dalam. Aruna wanita yang sempurna, cantik luar dalam, dan dia punya segalanya. Dia juga yang sudah mengangkat kehidupanku yang hanya anak seorang janda, menjadi presiden direktur di sebuah perusahaan yang begitu besar.Namun ... aku masih saja terpesona dengan sosok Saskia. Ya, Aruna yang begitu penurut, lambat laun membuatku bosan. Ditambah lagi kondisi fisiknya lemah dan sering sakit. Aku mulai melirik ke arah sahabat baiknya, Saskia, yang begitu ceria dan agresif. Aku tak mampu menolak pesonanya, ditambah lagi dia yang terus menerus menggodaku."B*jingan kamu, Mas!"Aruna yang begitu lemah lembut, untuk pertama kalinya menatap ke arahku dengan murka, saat melihatku sedang bermesraan dengan sah
Setelah refleks melepaskan tangan Saskia dari pinggangku, aku berbalik dengan cepat. Jantungku berdegup kencang ketika melihat Bu Sonia menatap ke arahku dengan wajah heran."A-ada apa, Ma?" tanyaku dengan perasaan was-was, dan tak bisa menyembunyikan sikap salah tingkahku.Aku benar-benar berharap Mama mertuaku itu tak sempat melihat apa yang aku dan Saskia lakukan tadi, saat masuk ke pintu ruang dapur bersih."Kalian sedang apa berduaan saja di sini?" tanya Bu Sonia sambil menatap ke arahku dan Saskia bergantian."Ah, tidak, Ma. Aku tadi ingin mengambil minum, dan tak sengaja bertemu Saskia di sini," ucapku kemudian, sambil menyeka keringat yang mulai membasahi pelipis."Benar, Tante," sahut Saskia, yang juga kelihatan salah tingkah.Bu Sonia masih menatap ke arah kami dengan pandangan yang susah diartikan."Ada apa ini?" Tiba-tiba Mama muncul, membuatku seperti kedatangan malaikat penyelamat. Mama langsung mendelik ke arahku dan Saskia."Kenapa kalian bisa berdua-duaan di sini?" ta
"Tante Yanti kenapa, Mas?" Saskia ikut berdiri, menatapku dengan pandangan bingung."Mama pingsan, Saskia. Mbok Asri bilang Mama berteriak memanggil Aruna," jawabku sambil menutup telpon."Aruna?" Wajah Saskia berubah memucat. "Apa jangan-jangan kita benar-benar tidak salah lihat, Mas?"Aku tak menjawab pertanyaan Saskia. Aku memang sudah bercerita padanya jika aku juga melihat sosok wanita mirip Aruna, tapi aku berkata padanya jika itu cuma bayangan saja. Buktinya, sudah cukup lama kami hidup damai tanpa melihatnya lagi. Kenapa kali ini Mama yang ...."Aku harus pulang, Kia," ucapku pada Saskia kemudian."Aku ikut, Mas. Aku kan juga ingin tahu keadaan Tante Yanti." Saskia mengambil tasnya, lalu kami berdua pun bergegas meninggalkan restoran itu.Kami segera menuju mobil, dan langsung meluncur pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Mbok Asri membukakan pintu, dan menyambut kami dengan wajah yang masih panik."Mama bagaimana, Mbok?" tanyaku kemudian."Masih belum siuman, Den. Mbok gak
"Mas! Buang, Mas! Buang!" jerit Saskia sambil menggoncang lenganku."Tenang, Kia. Itu bukan darah sungguhan," ucapku kemudian mencoba menenangkannya."Tapi aku takut, Mas!" Saskia masih menggigil sambil naik ke atas tempat tidur.Kurang ajar sekali orang yang berani melakukan terror pada kami. Bagaimapun, orang dalam pasti terlibat dalam masalah ini. Tidak mungkin ada orang yang bisa masuk dan meletakkan benda itu di depan pintu jika tidak dibantu orang dalam."Mbok Asri!!!" Aku seketika berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama wanita tua itu.Tak butuh waktu lama, terdengar sahutan Mbok Asri dan suara langkahnya menuju kamar kami."Iya, Den ...." Mbok Asri tak meneruskan ucapannya, malah terlihat kaget bukan main sambil menatap ke arahku dan Saskia."Astaghfirullah, Den Denis dan Neng Saskia ....""Itu bukan urusan kamu, Mbok!" bentakku. Apa boleh buat, kami sudah terlanjur basah. Aku juga tidak boleh takut di depan seseorang yang cuma pembantu."Sekarang coba jawab! Siapa yang
"Tunggu dulu, Pak Polisi. Anak saya tidak melakukan apapun pada istrinya. Bagaimana mungkin ada yang sembarangan melaporkan?" ucap Mama membelaku."B-benar, Pak," sahutku. "Istri saya meninggal karena sakit.""Lagipula siapa yang lancang melaporkan anak saya, Pak?" tanya Mama lagi."Kami akan menjelaskan semuanya di kantor. Jadi saya harap Bapak bersedia ikut dengan kami," ucap salah satu petugas berseragam itu lagi."Tidak bisa begitu dong, Pak! Kami bahkan tidak diberi tahukan lebih dulu jika ada penangkapan. Jadi ini tidak sesuai prosedur. Jika putra saya tidak bersalah, bagaimana kami bisa memulihkan nama baik kami nanti?" protes Mama lagi, belum bisa terima."Kami mendapatkan laporan bersamaan dengan bukti kuat, Nyonya. Jadi saya minta sekali lagi, ikut kami ke kantor. Jelaskan semuanya di kantor nanti."Aku dan Mama saling berpandangan sesaat karena terkejut."Bukti? Bukti apa, Pak?" tanyaku dengan perasaan was-was."Silakan ikut kami ke kantor. Kami akan menjelaskan semuanya di
POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup
POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be
POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura
POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba
POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s
"Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa
POV Denis"Saskia! Apa yang kau lakukan?" Aku menarik tangan Saskia agar menjauh dari Melany."Siapa wanita ini, Mas? Jangan-jangan kamu diam-diam merayu wanita lain?" Saskia malah melotot ke arahku."Jangan sembarangan bicara, Kia! Dia ini bosku!" Aku mulai kehilangan kesabaran pada Saskia."Sudah, sudah, Pak Denis. Maafkan saya." Melany menengahi pertengkaran kami. "Saya kemari untuk melihat keadaan istri Bapak, tapi malah jadi salah paham. Saya jadi tidak enak.""Seharusnya saya yang minta maaf, Bu," jawabku, malu bukan main atas sikap Saskia."Kalau begitu lebih baik saya permisi saja, Pak Denis," ucap Melany lagi sambil beranjak pergi."Tunggu, tunggu dulu, Neng." Mama tiba-tiba mencegah Melany pergi. "Aduh, tolong maafkan menantu saya. Dia itu memang begitu sifatnya, mudah curiga terus.""Mama!" Saskia mendelik mendengar ucapan Mama."Lebih baik kamu masuk sana, Kia!" Mama menatap ke arah Saskia dengan pandangan tajam. "Kenapa kamu malah meninggalkan bayimu sendirian?"Saskia se
POV Denis"Aduh, sakit, Mas!" Saskia terus mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya."Waduh, Pak Denis, sepertinya Neng Saskia akan melahirkan," ucap Pak RT, ikut panik. "Cepat segera dibawa ke rumah sakit.""T-tapi, Pak ... saya tidak punya mobil," jawabku kemudian, bingung tak tahu harus berbuat apa."Tenang saja, Pak Denis. Di balai desa ada ambulan milik kampung ini, biar saya mencari supir," ucap Pak RT lagi, lalu bergegas keluar dari rumah kami."Saskia, bertahanlah, Saskia." Mama memegangi tubuh Saskia, mencoba menenangkan Saskia yang terus saja merintih kesakitan.Aku sendiri hanya bisa mondar-mandir karena bingung. Kami sama sekali belum punya persiapan apapun, dan aku pikir Saskia akan melahirkan sekitar sebulan lagi. Aku tak menyangka dia mengalami kontraksi jauh lebih cepat. Apa yang aku lakukan sekarang?Lamunanku buyar ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah."Pak Denis, bantu Neng Saskia masuk ke dalam mobil," ucap Pak RT begitu dia muncul dari luar.A
POV Denis"Mas! Tolong!"Aku yang sejak tadi sibuk melihat-lihat lowongan pekerjaan yang ada di koran, seketika melonjak kaget saat mendengar jeritan Saskia. Aku bergegas menuju arah sumber suara, yang berasal dari kamar kami."Ada apa ini, Kia?" tanyaku panik, melihat Saskia terlihat sangat ketakutan di sudut kamar."Itu, Mas, itu ...." Saskia menunjuk-nunjuk. "Ada kecoa!"Aku yang tadinya panik karena mengira terjadi sesuatu, seketika langsung berubah kesal bukan main."Saskia! Kamu tahu gak kalau aku sedang sibuk?" bentakku padanya."Tapi aku takut, Mas!" Saskia masih terlihat gemetaran."Dengar, Saskia! Posisi kita sekarang tidak sama dengan yang dulu! Jadi tolong berhenti bersikap kekanak-kanakan!" ucapku lagi, sambil meninggalkannya dengan perasaan kesal.Aku tak peduli lagi dengan Saskia yang masih berteriak-teriak. Aku kembali mengambil koran di atas meja, lalu sibuk melingkari lowongan pekerjaan yang ada di sana. Sesekali aku mencocokkannya dengan informasi dari ponselku.Sej