Abrina hanya mencebik tanpa mau menyahut. Melihat itu Gavin balik badan untuk bersiap berkendara. Namun, dalam hati rasa bahagia merasuk jiwa melihat ekspresi Abrina.Sungguh baginya ini adalah harinya yang paling indah. Gavin tidak pernah membayangkan jika Abrina yang selalu cuek akan menjadi pelayan pribadinya.Lima belas menit berkendara tibalah Abrina di sebuah hunian asri yang tidak begitu besar. Seorang perempuan tua menyambut kedatangannya. Gavin pun mengenalkan perempuan itu pada Abrina."Ini buat Mbok Yul," ujar Abrina seraya mengulurkan tas kertas berisi blouse yang Gavin berikan. Serta plastik berisi bakmi dan jus alpukat. "Wahhh terima kasih banyak, Non," ucap Mbok Yul bahagia."Oh iya Mbok, Abrina ini yang akan menggantikan tugas selama Mbok pergi cuti," kata Gavin sambil merangkul Mbok Yul."Cuti?" Dahi Mbok Yul berkerut, "sapa yang--""Mbok udah lama gak nengok cucunya kan," tukas Gavin seraya menepuk-nepuk lengan atas Mbok Yul."Oh iya," sahut Mbok Yul begitu paham ar
"Kak Gibran?" Abrina langsung mendepak tubuh Gavin. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bangkit dari kasur empuk tersebut. Lalu segera menjauhi ranjangnya Gavin. Sementara harus menelan ludahnya melihat penolakan Abrina. Pemuda itu memang sengaja iseng tadi. "Ngapain Bang pagi-pagi datang ke sini?" tegur Gavin ikutan bangkit. Hanya saja dia tidak beranjak dari peraduannya."Kenapa memangnya?" Gibran balik tanya sembari melangkah mendekat. Pemuda itu berdiri persis di samping Abrina. "Ya kan Abang punya rumah sendiri," sahut Gavin bete. "Ini rumahnya nenek yang diwariskan ke papah. Dan anaknya papah bukan cuma kamu saja," tutur Gibran tenang. Kali ini Gavin memilih untuk diam dan memalingkan muka. "Lagian ini tuh bukan pagi lagi, Vin. Udah mau jam sepuluh siang.""Ck!" Gavin langsung berdecak, "ya terus masalahnya apa?""Bangun siang kamu tanya kenapa?" Kali ini Gibran menatap adiknya dengan lekat, "kamu gak bisa terus-terusan seperti ini, Vin.""Gue harus ngapain, Bang?" sahut Ga
Gibran meraih gelas dan teko yang tersedia. Dia mengisi gelas tersebut dengan air dalam teko. Di seberangnya Gavin memandang dengan gemas. "Nanti malam Papah ngundang kita makan di Sensi," jawab Gibran sembari bangkit. "Males." Hanya itu reaksi dari Gavin. "Ini tentang ulang tahunnya Ganika," jelas Gibran seraya menyebut nama adiknya dari istri baru sang ayah. Sedangkan dari ibunya Gavin dan Gibran mendapatkan adik laki-laki. "Jam tujuh jangan lupa."Usai berpesan demikian Gibran melemparkan senyum simpul untuk Abrina. Kode salam pamit. Setelah mendapat balasan anggukan dari Abrina, pemuda itu pun beranjak ke luar rumah. Selang beberapa menit, terdengar bunyi mesin mobil pergi. "Gimana, Vin? Mau aku buatin indomie?" tawar Abrina pengertian. Gadis itu yakin pastinya Gavin sudah kelaparan. "Semalam juga habis makan mie, bosen gue," tolak Gavin tanpa semangat. "Ya terus mau dimasakin apa?""Makan di luar aja yuk?" Paras bete Gavin sudah berubah semringah. "Tapi kan aku udah makan.
Abrina terus memandang Leon. Pemuda itu masih mengobrol dengan si kumis. Keduanya terus melangkah hingga akhirnya mereka ber-high five dan berpisah. Leon tampak menuju sebuah sebuah toko, sedangkan si kumis ke arah lobi mall. "Ngeliatin siapa sih lu?" Teguran dari Gavin membuat Abrina terkaget. Terlebih pemuda itu menepuk pundaknya cukup kencang. "Bisa pelan gak sih kalo mau nepuk orang," omel Abrina tidak senang. "Ya habisnya lu ngeliatin orang kayak segitu seriusnya," timpal Gavin merasa tidak bersalah. "Itu Vin, aku habis ngelihat Si Leon lagi ngobrol sama Mas-Mas kumis yang kurang ajar kemarin itu," jelas Abrina kemudian. "Mas kumis siapa?" tanya Gavin dengan kening yang berkerut. "Itu lho yang kemarin kamu tonjok di Butter Karaoke.""Mana?" Wajah Gavin berubah serius. Matanya lekas menyapu sekeliling, mencari keberadaan pria yang Abrina maksud. "Udah pergi.""Kenapa gak ngomong dari tadi?" protes Gavin malah menyalahkan, "tahu gitu kan bisa gue hajar tadi.""Lha kamu sibu
Abrina menjerit kaget saat menyaksikan penampakan hantu di layar. Ketakutan membuatnya terpaksa menyembunyikan wajah di belakang punggungnya Gavin. Begitu terus sampai film selesai. Di sini tentu Gavin yang diuntungkan. Pemuda itu mendapatkan pelukan gratis dari Abrina. Namun, akhirnya dia merasa tidak enak hati karena Abrina keluar dari bioskop dengan berderai air mata. "Sudah aku bilang aku gak suka nonton film horor, tapi kamu ngenyel," rengek Abrina sembari melangkah, "aku tuh penakut. Pasti gak bisa tidur entar malem karna kebayang-bayang terus sama hantunya," isaknya sembari mengelap kedua matanya yang basah. "Ya udah nanti malam gue temani elu tidur," tawar Gavin serius. "Gavin!" Mata Abrina membulat. Gavin tersentak. "Oh iya lupa, maaf," ucapnya jujur. "Ya udah gue anterin elu pulang yuk! Hari ini kerja lu udah selesai," putusnya merasa kasihan. Abrina mengangguk lemah. Namun, dalam hati dia bersorak. Gadis itu merasa menang telah memperdaya Gavin. "Aku memang gak suka
Gavin terus menderapkan langkah. Meski dia mendengar teriakan Gibran, dirinya sama sekali tidak mau menoleh.Hingga tanpa sadar dia sudah keluar dari halaman mall.Kaki Gavin terus terayun. Namun, otak pemuda masih belum terancana kemana sebenarnya arah tujuannya. Pokoknya dia hanya mengikuti arah kaki. Hingga akhirnya pemuda itu menjumpai beberapa tukang ojek yang sedang mangkal."Bang, ke jalan Pondok Labu, ya," kata Gavin pada seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hitam."Jalan apa?" Tukang ojek tersebut langsung menyerahkan helm pada Gavin."Jalan Anggrek nomor lima." Gavin dengan lancarnya menyebut alamat Abrina. Padahal dia baru sekali bertandang ke rumah gadis itu siang tadi."Seratus ribu."Pak ojek menyebutkan ongkosnya usai menilik pakaian Gavin. Malam itu Gavin terlihat cukup tampan dengan balutan blazer dan celana slim fit berwarna putih. Sedangkan dalamnya ia mengenakan kaos hitam ketat. Vibesnya terlihat seperti tuan muda."Iya," sahut Gavin tak masalah. Meski dia ta
"Udah malam banget dan masih hujan, Gavin menginap saja di sini," tawar Miranti sembari membersihkan sisa-sisa bahan di dapur."Mama!" Abrina cukup terkaget mendengarnya, "kamar kita cuma ada dua lho," tuturnya mengingatkan."Kamu kan bisa tidur bareng mamah, biar kamar kamu dipakai Gavin dulu," saran Miranti seraya mencuci tangannya di kran cucian piring.Hati Gavin berbunga mendengarnya. Pemuda itu mendekati Abrina. "Mamahmu lebih berperi kemanusiaan daripada kamu."Abrina sontak mendelik saat Gavin membisikkan kalimat tersebut. Namun, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kenyataannya air langit masih awet menyirami bumi. Akhirnya Abrina hanya bisa mengantarkan Gavin ke kamar pribadinya."Awas lho kalo sampai barang-barang pribadi aku," pesan Abrina dengan tatapan cuek."Untuk sekarang ini adalah kamar gue," balas Gavin cuek.Abrina melayangkan tatapan sengit. Gadis itu lantas membuka lemari untuk mengambil seragam sekolahnya.Gavin sendiri dengan santainya mendorong Abrina hi
Leon pun berpamitan pada kawan-kawannya. Dirinya meninggalkan kafe tempat nongkrongnya sambil menenteng kado Gavin untuk Abrina. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya mempermalukan Abrina di pesta nanti. "Kalo kek gini-gini Mbak Lusi yang jago nyari ide," gumam Leon sambil menuruni undakan di depan kafe. Pemuda itu menuju motor CBR-nya yang sudah ke luar dari bengkel. Meski beberapa berulang kali meminta dibelikan mobil, tapi Lusi belum juga mewujudkannya. Karena saat ini Haris cukup teliti dan perhitungan dalam hal keuangan. Leon memasang helm. Tanpa berpikir panjang dirinya langsung tancap gas. Meski pernah celaka, tapi dia tidak kapok untuk mengebut. Waktu pulang kerja membuat kendaraan padat di jalanan dan macet. Beruntung hal tersebut tidak berlaku pada pengendara motor. Karena Leon dengan mudahnya menyalipkan motornya di antara ratusan kendaraan roda empat. Dari macetnya jalan Leon hanya telat sepuluh menit dari waktu tempuh biasa. Pemuda itu buru-buru memarkirkan motorn
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar