"Kalila demam?" tanya Ratih dengan suara serak khas orang bangun tidur. Aku mengangguk merespon pertanyaan sepupuku itu. Dengan tergesa-gesa Ratih melangkahkan kakinya menuju ke kamar kami. "Pa ..." Kalila masih saja memanggil-manggil papanya. Aku dan Ratih saling pandang, beberapa detik kemudian Ratih mengangkat Kalila dan menggendongnya. "Kita bawa ke rumah sakit, sekarang!" titahnya. Tanpa berfikir dua kali aku langsung meraih jilbab instan dan memakainya. "Demamnya tinggi banget, Ris! Cepat dikit. Aku takut anakmu step!" Benar sekali apa yang diucapkan Ratih. Pernah aku baca disebuah artikel, jika anak belum genap lima tahun akan rawan kejang-kejang jika panas tinggi. Gegas aku menuju ke garasi dan mengeluarkan mobil. Jam di dinding menunjujkan diangka tiga dini hari. Sengan keberanian yang aku punya, akhirnya kami keluar membawa Kalila ke rumah sakit. Sampai dirumah sakit, Ratih segera membawa Kalila ke ruang Unit Gawat Darurat. Aku ikut menyusul dari belakang. "Suster, to
Saat ini Kalila sudah bisa dibawa pulang. Anakku tidak demam lagi dan sudaha mulai ceria lagi. Kata dokter demamnya bukan karena ada penyakit tertentu. Namun, ada keinginan dia yang belum terpenuhi. Aku jadi berfikir sendiri, keinginan apa yang belum aku penuhi? Lagi pula Kalila tidak pernah meminta apa-apa padaku. "Kamu kerja hari ini, Ris?" tanya ibu tatkala melihat aku bersiap-siap mau ke kantor. "Iya, Bu. Risma sudah lama libur kerja. Kerjaan pasti sudah semakin menumpuk!" ujarku seraya membenahi bentuk jilbab segi empat yang aku pakai. "Tidak bisa kah kamu libur sehari lagi, Nak?" tanya ibu dengan nada memohon. "Kenapa, Bu. Kalila kan sudah sembuh? Lagipula ada mbok Sri yamg menemaninya!" tanyaku pada wanita lima puluh tahun itu. "Bukan itu masalahnya, Nak. Ibu masih kangen sama kamu. Kita belum selesai berbicara masalah yang ibu bilang tadi malam kan?" jawab dan tanya ibu seraya memasangkan bros dijilbabku. Sejak kecil ibu yang selalu memperhatikan penampilanku. Jika tid
Setelah perjumpaan dengan mas Raka tadi pagi, aku berharap tidak akan berjumpa lagi dengan manusia tak berhati itu.Padahal anaknya baru saja keluar dati rumah sakit dan sangat merindukan sosok ayahnya. Tetapi ayahnya jangan menjenguk anaknya, bertanya kabar saja tidak pernah.Heran, bukannya nanya bagaimana perkembangan Kalila malah bertanya apa aku sudah menikah atau belum. Memang kalau aku belum menikah, apa akan merugikan dia? Enggak 'kan?Meeting hari ini dibatalkan karena ada sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. Aku juga tidak menanyakan apa sebabnya sama pak Aslan. Untuk berjumpa dengannya saja aku sudah sangat malu. Bagaimana tidak. Dia mengatakan punya mas Raka sebesar kelingking bayi makanya tidak enak saat berhubungan denganku. Tuhan ... kalau mengingat itu, aku sangat malu. Apalagi aku janda dan pak Aslan duda.Selama seminggu tidak masuk kerja, pekerjaanku dikantor jadi menumpuk. Aku mengerjakan tanpa mengenal lelah. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukan diangka ti
"Hama?" tanyaku penasaran. Pak Aslan menyebutkan mantan suamiku dan keluarganya sebagai hama. Betul juga sih. Mereka selalu saja suka mengganggu kemana saja aku pergi."Iyalah. Kalau bukan hama apalagi yang pantas dijuluki untuk keluarga mantan kamu?" Aku tersenyum mendengar pak Aslan berbicara. Lelaki berlesung pipi itu sekali-kali menatap kearahku.Sesampai dihalaman rumah aku dikejutkan dengan pemandangan yang menurutku aneh.Dirumahku ada acara apa ya? Kok ramai sekali? Apa ini berkaitan dengan Ratih pulang cepat tadi siang ya?"Ada acara apa rame-rame dirumahmu, Ris!" tanya pak Aslan dengan wajah penasaran tatkala melihat banyak mobil pribadi berjejer dihalaman rumahku. Ada sekitar empat mobil terparkir disana."Gak tau, Pak!" jawabku seraya melepaskan seatbelt."Masak kamu gak tau?" tanyanya heran. Aku juga heran, mengapa sebagai anggota keluarga tidak diberitahu jika dirumah ada acara."Coba Saya lihat dulu! Bapak mau masuk atau langsung pulang?" tanyaku pada lelaki berhidung m
"Darimana ibu bisa kenal sama keluarga Kusno itu sih? Risma gak suka pria macam itu. Gak menghargai wanita sedikitpun." tanyaku pada ibu saat kami sedang makan malam bersama. Saat ini Kalila sudah tidur jadi aku bisa leluasa berbicara dengan ibu. "Dikenali sama ibu-ibu arisan. Ibu pikir apa salahnya dicoba!" jawab wanita yang telah melahirkanku kedunia ini dengan polosnya. "Astagfirullah. Masalah jodoh kok mau coba-coba! Kayak gak laku aja Risma, Bu!" ujarku. Jelas aku tersinggung diperlakukan begitu, apa disangka aku tidak laku. Padahal bukan tidak ada yang mau menikahi dengan diri ini tetapi aku berfikir seribu kali jika ingin mencari pengganti mas Raka. Aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak menginginkan anakku, seperti orang tua ustaz Kusno. Kemana Kalila akan pergi jika tidak ikut ibunya? Apa mereka tega melihat anakku terlunta-lunta dijalan tanpa orang tua? Tidak ... tidak bisa begitu. Sampai kapanpun aku tidak ingin berpisah dengan Kalila apalagi dia masih sangat kecil
"Siapa yang menghubungi pak Aslan. Kamu ya, Rat?" tanyaku pada wanita berhidung mancung itu. Dia cengengesan kayak kuda nil. Sudah bisa kupastikan bahwa Ratihlah tersangkanya."Mama, Papa pulang!" Ya Tuhan ... anakku bikin malu saja. Masak katanya papanya pulang. Sejak kapan pak Aslan menjadi papanya."Sini!" Pak Aslan menggendong bocah dua tahun itu seraya menciumnya. Kuakui hati Kalila dan juga hati ini sudah dicuri oleh duda beranak satu itu. Tapi aku bisa apa?"Ma, sini!" Kalila menarik tanganku untuk duduk disebelah pak Aslan."Keluarga yang harmonis!" Diam-diam Ratih memfoto kami bertiga. Kalila dipangkuan pak Aslan dan aku duduk disebelah kirinya."Udahlah, Pak. Kalian jadian aja. Kasian nanti. Aku menikah dengan mas Arkan, Risma masih saja menjomblo!" tukas wanita dua puluh enam tahun itu."Aku sih oke-oke aja. Risma aja yang gak mau!" Pak Aslan ikut menimpali. Mereka mengerjai aku."Jual mahal dia Pak. Sebenarnya Risma cinta mati sama Bapak!" ejek Ratih membuat aku malu. Mung
Aku sangat bahagia saat mendengar perkataan yang terucap dari bibir mungil wanita nyang selalu hadir dalam mimpiku. Hatiku berbunga-bunga tatkala mendengar wanita dua puluh enam tahun itu bersedia menjadi istriku. Sekian lama aku menunggu jawabannya akhirnya berita ini sampai juga ketelingaku."Pak, Saya bersedia menjadi istri Bapak!" Aku ingin berjingkrak-jingkrak kesenangan tetapi demi menjaga wibawa semua itu aku pendam sendiri dalama hati."Ya udah, malam besok orang tua saya datang kemari untuk melamarmu dan menetapkan tanggal pernikahan kita!" Sekian lama menduda akhirnya aku bisa juga jatuh cinta lagi pada janda beranak satu itu. Aku tidak menyadari sejak kapan aku sudah mulai menyukai wanita berkulit putih susu itu. Wanita cantik bermata sipit dan juga berhati lembut. Bodoh sekali Raka meninggalkan ibu ati Kalila itu. Bagaikan membuang berlian demi mendapatkan batu nisan.Apa yang bisa dibanggakan dari wanita seperti Rita istri dia saat ini? Kalau Raka mengetahui bagaimana se
"Maksud kedatangan kami kemari hendak melamar anak ibu dan bapak!" ujar seorang pria yang memiliki wajah sangat mirip dengan pak Aslan. Aku sangat yakin bahwa beliau itu ayahnya pak Aslan."Saya sih terserah anaknya, Pak. Kalau memang mereka sudah saling mencintai, kita bisa apa?" jawab ayahku seakan pasrah."Gimana Aslan. Kamu betul mau menikah dengan nak Risma?" Kembali sang wanita berkerudung merah menanyakan kepastiannya sama pak Aslan. Eh mas Aslan. Beliau ibunya lelaki kembar itu."Bagaimana pula tidak betul, Ma. Aneh-aneh aja. Kalau bisa sekarang aja pun Aslan sudah siap." jawab pak Aslan disambut tawa anggota keluarga yang datang melamar malam ini."Enak saja kamu mau menikahi anak orang secara gratis." seru calon ibu mertua. Nampaknya beliau wanita yang lembut dan suka humor. Nampak sekali keakraban diantara mereka."Siapa bilang gratis. Mama jangan main fitnah deh. Aslan sudah menyiapkan mahar jauh-jauh hari. Kalau gak percaya, nih!" Pak Aslan mengeluarkan kotak berisi perhi
Matahari Bali menyambut hangat saat aku dan Mas Aslan tiba di bandara. Angin tropis yang lembut menyapu wajahku, membuatku langsung merasa rileks. Mas Aslan menggenggam tanganku erat, senyum lebar terukir di wajahnya. Dia tampak sangat bahagia, dan itu membuatku merasa tenang."Selamat datang di Bali, sayang," ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk, senyumku tak pernah lepas. "Aku sudah tak sabar menjelajah tempat ini denganmu."Kami naik mobil menuju vila pribadi di Ubud, tempat yang dikelilingi hutan dan sawah hijau. Vila itu tampak begitu tenang, dengan kolam renang pribadi dan pemandangan alam yang menakjubkan. Sesampainya di sana, kami disambut oleh staf vila yang ramah. Vila ini terasa seperti surga tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk kota.Mas Aslan segera menarikku ke teras, di mana pemandangan hamparan sawah membentang di depan kami. Langit cerah dengan awan putih yang menggantung di kejauhan. "Ini indah sekali," gumamku sambil menyandarkan kepala di pundaknya."Iya, tap
Sinar matahari pagi masuk dari celah tirai kamar, membangunkan aku dari tidur. Di sebelahku, Mas Aslan masih tertidur lelap. Aku tersenyum memandang wajahnya yang tampak damai. Tapi, pikiranku sudah melayang pada sesuatu yang harus segera aku lakukan, meminta izin kepada Kalila, putri kecil aku sama mas Raka, untuk pergi berlibur hanya bersama Mas Aslan selama tiga hari.Dengan hati-hati, aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar Kalila. Dia pasti sudah bangun. Setiap pagi, Kalila selalu bangun lebih awal untuk bermain dengan mainannya di ruang tamu atau menonton kartun kesukaannya. Benar saja, begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat Kalila duduk di sofa dengan boneka beruang di tangannya, matanya terpaku pada layar TV yang menampilkan kartun favoritnya.“Pagi, Sayang,” sapaku sambil berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.Kalila menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Mama!”Aku memeluknya erat, lalu mencium pipinya. "Lagi nonton apa nih?"“Nonton kartun!
Sinar matahari menerobos tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Di sampingku, mas Aslan masih terlelap, wajahnya terlihat tenang. Aku tersenyum tipis, teringat kejadian kemarin saat kami resmi menikah. Rasanya seperti mimpi, bisa bersama pria yang dulu hanya aku lihat sebagai atasan. Tapi, hidup memang penuh kejutan, bukan?Setelah mandi dan bersiap, aku melirik ke arah jam dinding. "Waktunya bangunin suami gantrngku," gumamku. Dengan hati-hati, aku mendekati mas Aslan, lalu menyenggol bahunya pelan."Sayang, bangun, Say. Kita harus berangkat ke kantor," bisikku ditelinganya.Ia bergumam pelan, matanya masih terpejam. "Lima menit lagi, ya? Mas masih mengabtuk sekali ni! ..."Aku menggeleng, lalu sedikit menggelitik perutnya. "Nggak ada lima menit lagi. Ayo bangun!"Ia tertawa kecil, akhirnya membuka mata dan menatapku. "Baiklah, baiklah. Kamu memang nggak bisa ditolak."Pagi itu kami berdua berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kami sekarang sudah resmi menikah, rutinitas
“Aku ingin Kalila tinggal bersamaku, Risma.”Kalimat itu langsung menghantam hatiku seperti petir di siang bolong. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.“Mas, Kalila adalah hidupku. Dia nyawaku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” jawabku tegas namun tetap menjaga nada suaraku agar tidak terdengar terlalu emosional.Mas Raka menghela napas berat. “Aku tahu kamu sayang sama dia, Risma. Aku juga sayang sama Kalila. Tapi aku pikir, sudah waktunya dia tinggal denganku. Aku ingin lebih terlibat dalam hidupnya. Selama ini, aku merasa jauh dari dia, dan aku tahu itu salahku. Tapi aku mau memperbaikinya.”Aku bisa melihat kejujuran di matanya, tapi itu tidak membuat permintaannya lebih mudah kuterima. Aku menggenggam tanganku erat-erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.“Mas, selama ini aku yang membesarkan Kalila sendirian. Aku tahu kamu ayahnya, dan aku tidak pernah melarang Kalila bertemu denganmu. Tapi Kaluka butuh stabilitas, dia butuh merasa aman. Selama
Di tengah kabut duka itu, berita lain yang tak kalah menyakitkan datang. Mantan ibu mertuaku, ditemukan meninggal setelah melompat dari jembatan. Ia diketahui mengalami depresi berat sejak putri satu-satunya meninggal secara tragis."Mas, mantan ibu mertua Risma meninggal!" Aku memberitahukan berita duka ini pada mas Aslan."Innalillahiwainnailaihi rojiun! Sakit apa?" Mas Aslan juga kaget mendengar berita duka bertubi-tubi seperti ini. Baru saja tadi pagi berita kematian Rani, sekarang ibunya menyusul"Bvnvh diri nampaknya. Beliau lompat dari jembatan, Mas!""Apa?""Beliau malu Rani hamil diluar nikah! Jadinya stres dan depresi. Akhirnya gak sanggup, ya lompat dari jembatan!" jawabku lagi."Kasihan, ya!""Hmmm! Boleh Risma melayat, Mas?" tanyaku. Aku sih tidak memaksa jika mas Aslan melarangnya, cuma sekedar mengucapkan belasungkawa saja pada mantan suamiku."Boleh-boleh aja, sih! Apa perlu Mas antar?" "Gak usah, Mas. Sebentar lagi Mas mau meeting, kan? Kalau Risma pergi sendiri, apa
"Aku hamil," tiba-tiba Rani berkata dengan suara bergetar, tapi jelas. Matanya mulai basah dengan air mata."Mas ... kamu harus bertanggung jawab."Kalimat itu membuat suasana di meja mereka mendadak hening. Wajah istri Bayu tampak kaget, sementara Bayu hanya bisa menunduk. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Rani, jangan begitu..." kata Bayu akhirnya, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. "Aku nggak bisa bertanggung jawab. Ini... ini semua terlalu rumit.""Terus apa maksud kamu, Bayu?" Rani tidak bisa menahan emosinya lagi. "Aku ini mengandung anak kamu! Apa kamu mau lepas tangan begitu saja?"Bayu tampak semakin terpojok. Dia berusaha menghindari tatapan Rani, sementara istrinya berdiri di sana dengan mata terbuka lebar, seolah-olah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mulai memerah, dan aku tahu, badai yang lebih besar akan segera datang."Bayu!" teriak istrinya. "Apa maksudnya ini? Dia hamil anak kamu? Kamu pikir aku bisa terima in
Rani dan pria itu tampak sangat mesra. Tangan mereka saling berpegangan di atas meja, sementara senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Pria itu sesekali membisikkan sesuatu di telinga Rani, yang membuatnya tertawa kecil.Selama beberapa saat, aku hanya bisa memandangi mereka. Kenangan tentang masa lalu dengan keluarga mantan suamiku menari-nari dalam ingatanku. Aku teringat betapa sombong dan angkuhnya Rani terhadapku, dulu. Mereka memperlakukan aku seperti babu walapun dirumahku sendiri.Setelah perceraian itu aku tidak pernah berjumpa mereka lagi. Aku tidak pernah menyangka akan melihat Rani dalam situasi seperti ini, apalagi dengan pria yang usianya jauh di atasnya."Itu, bukannya mantan adik iparmu, Sayang?" tanya mas Aslan dengan penuh kehati-hatian. "Hmmm!" Aku tersenyum miris melihat kelakuan mantan adik iparku. Dulu dia menginginkan mas Aslan untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekarang, karena mas Aslan menolaknya dia malah mencari pria tua yang penting kaya."Mas kenal
"Kalau kita menikah karena digrebek, bukan kita saja yang malu, Mas. Anak-anak kita kelak juga akan menaggung malu!" jelasku sama pak Aslan. Aku tidak pernah menginginkan hal memalukan itu terjadi dalam kehidupan aku. Pak.Aslan tersentum tatkala aku jelaskan. Sepertinya dia sudah tahu tapi pura-pura saja biar diajari terus masalah agama sama calon istrinya. "Habisnya menunggu tiga minggu itu sangat lama, Risma. Aku tidak sabar menanti hari itu tiba!" ujar pak Aslan dengan wajah penuh harap. Lucu sekali melihat pak Aslan, bagaikan anak kecil yang sedang meminta mainan sama mamanya. "Gak lama tuh tiga minggu! Sebentar saja, Mas!" Aku memberi pengertian pada pria berhidung mancung itu. "Ya deh nyonya Aslan. Mas pamit pulang dulunya?" ujarnya seraya membuka pintu mobil. "Tolong jaga asupan gizi buat anakku. Beri yang terbaik untuknya sebelum Mas yang ambil alih menjaga dan memenuhi kebutuhan permata hatiku itu!" Demi apapun aku sangat terharu mendengar perkataan yang keluar dari bib
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu hendak merebut istri aku?" tanyaku kesal.Enak saja Andre memuji calon istri aku. Dia sedikitpun tidak menghargai aku sebagai calon suami Risma. Pria yang jelas paman baginya walaupun paman jauh. "Bukan begitu, Pak. Tolong carikan Saya istri secantik istri Bapak. Buat apa Saya merebut istri orang? Aku bukan tipe pria seperti itu, Pak." Andre menjelaskan duduk persoalannya. Ternyata dia takut juga melihat aku marah-marah. "Emang kamu mau menikah dengan janda? Calon istri saya ini janda loh?" ujarku. Bukan maksud menghina Risma sih sebenarnya. Tapi aku bangga karena biarpun sudah menjadi janda Risma masih juga menarik. Dimataku dia sangat cantik, kalah gadis perawan pokoknya. "Janda?" tanya Andre dan aku menganggu sebagai tanda merespon. "Walaupun janda tapi tidak nampak ya, Pak? Masih cantik juga. Seperti gadis belia." puji Andre. Bagiku semua itu bukan oujian sih. Tapi kenyataannya. "Bapak ya. Tau aja janda cantik." "Ya taulah. Namanya j