Kenapa aku bilang keselamatan? Setelah aku kasih makan pisang untuk anakku, adakah yang bisa menjamin perut anakku akan baik-baik saja?
"Mas, bukan maksud Adek sampai hati membiarkan Kalila tidak makan. Mas harus tau, makanan bayi seumuran Kalila hanya ASI yang terbaik. Bukan yang lain." Aku berusaha menjelaskan panjang lebar pada pria pendamping hidupku tersebut. "Halah, kebanyakan teori. Begitulah, akibat wanita sok pintar, akhirnya anak yang tersiksa kelaparan!"Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak menangis walau hati sangat sakit atas hinaan yang dilontarkan lelaki yang berstatus suamiku.
Tidak ada dukungan sedikitpun dari suami. Aku berusaha tidak stres. Mengalihkan dengan membuka ponsel dan mencari hiburan disana. Pernah aku baca disebuah artikel, penyebab ASI tidak lancar salah satunya adalah karena stress. "Dek, kamu jangan melawan. Ini demi kebaikan anak kita juga!" Kebaikan? Kebaikan apa yang dimaksud suamiku? "Mas, kita ini sudah hidup dizaman modern. Bukan lagi zaman batu!" Sengaja aku sindir lelakiku, dia sendiri lulusan sarjana tetapi kepintarannya sudah sama dengan anak lulusan SD. "Jadi maksud kamu, Ibu ini kuno? Hidup zaman batu? Menantu tidak ada akhlak kamu ya?" Tiba-tiba Ibu mertua keluar dari kamar dan mendorong tubuh ini membuat diri ini jatuh, untungnya jatuh ke sofa. Tidak ada pembelaan sedikitpun dari lelaki yang berstatus suami itu. Masih bersyukur, Kalila tidak sempat jatuh dari gendongan. Bayiku menangis histeris, seakan tahu ibunya sedang dalam keadaan terancam. "Udah ... udah!" Mas Raka berusaha memeluk ibunya. "Ayo, Bu. Jangan diladeni. Risma otaknya sedang konslet. Dia gak waras. Kalau Ibu layani, berarti Ibu tidak ada bedanya dengan dia," Jleb Hinaan demi hinaan yang keluar dari bibir mas Raka begitu lancar bagaikan jalan tol. Tidak ada hambatan sedikitpun. Anak sama mamaknya sama saja. Sama-sama suka menghina orang lain, seakan dirinya manusia paling benar dan sempurna dimuka bumi ini. "Besok Ibu pulang saja, Nak. Untuk apa Ibu disini jika tidak dianggap." Bu Retno merajuk bagaikan anak kecil yang tidak diberikan mainan. Seolah-olah dia itu sedang sangat tersiksa karena ulahku. "Jangan pulang, Bu. Ibu disini saja ajarin Risma. Dia harus belajar sama Ibu bagaimana mengurus rumah tangga yang benar! Tolong Ibu ajari juga dia memasak yang enak!" Lagi-lagi mas Raka menyindir aku seakan-akan aku istri yang tidak becus dalam mengurus rumah tangga. "Biarkan ibu pulang, Raka. Ibu tidak dihargai disini. Ibumu ini hidup jaman batu tidak sama dengan kalian yang hidup dijaman modern," ujar ibu tergugu. Entah sandiwara apa lagi yang sedang dimainkan oleh wanita yang telah melahirkan suamiku ke dunia ini. "Bu, jangan pergi." "Ris ... Risma ... minta maaf sama ibu!" Bentak mas Raka seraya berlari ke arahku dan menarik kasar tangan ini. "Minta maaf sama ibu!" Perintah mas Raka dengan mata mendelik. "Salah Adek apa?" tanyaku, pura-pura tidak tahu apa kesalahan yang telah aku lakukan. Hanya karena tidak menuruti kemauannya aku harus meminta maaf. Aneh benar ini orang. "Minta maaf. Jangan banyak tanya!" bentak mas Raka. Tatapannya seakan hendak menelanku hidup-hidup. "Tapi Adek gak punya salah apa-apa, Mas?" tanyaku. Mata mas Raka mendelik melihatku. Wajahnya garang bagai singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. "Kamu nanya lagi salahmu apa? Kamu kenapa sih, Dek. Gak berubah-berubah!" Emang dikiranya aku power rangers mudah berubah. "Apa maksud, Mas?" Aku semakin kesal dan kutingalkan saja dia yang masih merepet tidak menentu. "Dek, sini Kau!" Mas Raka menyeret diri ini untuk menemui ibunya. Kulihat mertua menatapku dengan tersenyum sinis. Dia merasa sudah menang karena berhasil mempengaruhi anaknya untuk membenci aku. Tidak masalah. Selama mempunyai jabatan dan harta kalian bisa berlaku sombong. Ingat dunia itu akan terus berputar. Semoga kalian tidak sampai jatuh ke jurang yang paling dalam dan menjadi hina dina. "Sakit, Mas." "Mas bilang kamu harus minta maaf sama ibu, kan? Kenapa dablek sekali," bentak mas Rama seraya menoyor kepalaku. Hati ini bagai teriris saat mas Raka mencengkeram tangan ini, aku hanya bisa meringis menahan sakit karena tenaganya yang sangat kuat.Raga yang disakiti tidak seberapa dibandingkan hatiku yang hancur berkeping akibat perlakuan lelaki yang pernah aku sayangi tetapi sekarang rasaku sudah luntur terhadapnya. "Ibu, Risma minta maaf," Aku terpaksa menuruti kemauan suamiku untuk meminta maaf pada ibunya. Walaupun aku tidak bersalah tetapi tetap mengharap belas kasihan dari kedua ibu anak itu. "Makanya nasehat orang tua itu didengerin. Ibu itu sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sudah banyak pengalaman dibandingkan kamu anak baru kemaren," cerocosnya panjang lebar. "Iya, Bu," jawabku "Ya udahlah. Mas mau berangkat kerja. Adek jangan tiduran aja di rumah. Ibu dibantu ya?" Hah? Apa aku tidak salah dengar? Sebenarnya bukan aku yang harus membantu ibu mertua tapi sebaliknya. Beliau rajin jika di depan anaknya saja. Namun, apabila mas Raka tidak berada di rumah, semua pekerjaan aku sendiri yang mengerjainya. Sementara mertua sibuk menonton sinetron di televisi. Atau sibuk bergunjing dengan tetangga."Jam segini kamu belum masak, Risma? Apa saja kerja kamu seharian? Bagaimana mau betah suamimu dirumah?" tanya mertua saat membuka tutup saji dan melihat isinya kosong disana. Enak saja beliau kalau berbicara, tidak melihat bagaimana kondisi menantunya yang kerepotan mengurus bayi. Sementara dia itu, bukannya membantu malah bertandang ke rumah-rumah tetangga. Bergosip ria. "Belum, Bu. Kalila tidak mau ditinggal sendirian." Anakku masih bayi, entah kenapa kalau ditinggal selalu saja rewel. Minta digendong bahkan kalau dia tidur harus ada orang yang menemaninya. "Makanya anak kamu jangan terlalu dimanjai. Sedikit-sedikit gendong. Jadinya bau tangan kan?" Protes mertua. Wajarlah aku menggendong Kalila jika menangis, masak aku lihatin aja. Aneh. Tiba-tiba saja mertua membanting pintu kamar, spontan saja bayi empat bulan itu tersentak kaget sehingga dia menangis histeris. "Ibu, pelan-pelan dong tutup pintunya. Kalila kaget! Jadi menangis!" teriakku kesal. Jangankan membantu. Kehadiran
"Ya sudah. Kalau Mas mau mencari istri lain. Silahkan. Adek tidak bisa melarangnya!" ujarku seraya melangkah masuk kamar, meninggalkan mereka bertiga yang masih melongo diruang makan. Jadi perempuan itu dituntut menjadi makhluk yang sempurna. Wanita dituntut harus bisa memasak, mencuci, mengurus anak dan suami. Harus pandai merawat diri. Harus mengurus mertua dan juga harus pandai mengatur keuangan dalam rumah tangganya. Jika tidak suami akan mencari istri kedua, ketiga dan seterusnya. Haruskah begitu? Istri saja yang dituntut sempurna sementara lelaki tidak perlu! Tidak adil bukan? "Nanti kamu menyesal! Kamu pikir, enak menjadi janda? Ibu yakin seribu persen tidak ada pria yang mau menikahimu! Jangankan menikahi, mendekat aja, ogah!" hina ibu mertua dengan tatapan sinis. "Risma malah bahagia bisa lepas dari mas Rama, Bu. Apa yang bisa dibanggakan lelaki pelit seperti dia? Bukan kebahagiaan yang saya dapat selama menikah dengannya tetapi penderitaan yang tidak kunjung usai." hinak
"Gimana, Tih penampilanku?" tanyaku pada Ratih. Jujur aku sangat deg-degan karena hari ini merupakan hari pertama aku bekerja diperusahaan keluarga Hadiningrat."Kamu sangat cantik memakai baju itu, Ris. Aku gak bohong!" jawab Ratih jujur. "Duh ... nervous. Sudah lama tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak." Ternyata aku katrok juga ya. Dari tadi mondar mandir saja didepan cermin demi memastikan penampilan."Tenang. Jalani saja! Semua akan baik-baik saja!" Ratih terus memberikan semangat untukku."Aku mundur saja, Tih." ujarku minder."Kok mundur sih? Emang mau balikan sama suamimu?" tanya Ratih dan aku menjawab dengan menggeleng."Buktikan pada dia kamu bisa hidup tanpa dia. Emang kamu mau diremehkan terus?" Ucapan Ratih membuat aku bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Aku tidak mau diremehkan lagi.Setelah berpamitan pada bik Arum dan Kalila, aku langsung mengikuti langkah kaki Ratih menuju ke perusahaan tempat dimana aku akan bekerja.Barisan mobil mewah para karyawan
"Keluar dari ruangan Saya sekarang!" Aku berdiri dan menunjuk dengan telunjuk kiri kearah pintu dengan amarah yang meledak-ledak. Enak saja dia mengatakan aku wanita kesepian yang sedang butuh belaiannya. Dasar lelaki tidak tahu malu."Risma, ayolah. Mas juga rindu sama kamu. Lupakan pertengkaran kita kemarin. Lupakan juga pengusiran itu. Mari kita perbaiki kembali rumah tangga kita yang sudah hampir hancur ini." Mas Raka bangkit dan berusaha memeluk tubuh ini, segera aku dorong kuat sehingga membuat dia hampir saja terjerembat jatuh."Rindu kau bilang, hah. Lalu pelacur yang kau gandeng tadi pagi itu siapa? Apa dia gak bisa melayani kamu lagi? Sedang datang bulan atau jangan-jangan dia sudah kena penyakit kelamin?" ejekku sinis."Rita itu hanya sekretaris Mas. Jadi wajarlah kemana-kemana kami selalu bersama!" bela mas Raka, dia berusaha meraih tangan ini tetapi aku menepisnya."Wow, wajar kamu bilang? Bergandengan tangan dengan lawan jenis itu wajar? Apakah seorang sekretaris wajar m
"Jadi Ibu cemburu Aku berdekatan dengan Mas Raka?" tanya wanita bernama Rita saat bertemu di area parkir perusahaan. Saat ini aku sedang menunggu Ratih. Sudah sepuluh menit lebih anak itu belum turun juga. Tiba-tiba saja dihampiri sama mak Lampir yang konon katanya aku cemburu karena dia lebih cantik dariku. Kalau dia merasa cantik tidak akan mau mengambil suami orang. Seharusnya dia mendapat pria mapan dan masih lajang tentunya. Bukan mas Raka yamg pelitnya melebihi pak Raden di serial si Unyil."Cemburu? Apa yang aku cemburui dari kamu? Cantik pun enggak, pinter apalagi," sinisku membuat wajahnya memerah menahan emosi."Halah jangan bohong, Bu. Aku bisa melihat dari cara Ibu menatap mas Raka. Ibu masih begitu mencintainya 'kan?" tebakan Rita sangat jauh berbeda dengan isi hatiku yang sebenarnya terhadap mas Raka. Biarkan saja dia berandai-andai. Nanti kan capek sendiri."Kamu mau sama bekas aku? Ambil saja! Aku gak suka barang rongsokan seperti Raka!" ujarku seraya mengedarkan pand
"Rat, aku mau kerumah ibu sebentar. Boleh aku minta tolong antar aku kesana?" pintaku pada Ratih. Hari ini merupakan hari sabtu dan aku berencana akan menginap di rumah ibu nanti malam. Sekedar melepaskan rindu karena kami sudah lama tidak bertemu."Bisa lah. Apa yang gak bisa untuk sepupuku yang cantik ini." jawab Ratih sambil menepuk pelan pundak ini."Gak merepotkan kamu kan?" tanyaku memastikan. Aku takut Ratih ada acara yangbakan terganggu karena mengantar aku kerumah ibu."Tidak ada acara apa-apa. Paling nanti sore aku ada acara dengan pak Arkan membahas proyek," ucapnya dengan tatapan berbinar-binar."Proyek apa, Rat? Buat bayi?" candaku. Ratih jadi salah tingkah mendengar candaanku. Baru bercanda aja sudah kegeeran. Bagaimana kalau dia betulan menikah dengan pak Arkan ya? Bisa berputar bumi ini kurasa."Mau diantar gak? Tak tinggalin nanti!" ancam Rasti seraya tersenyum. Halah ... dicandain aja sudah bahagia setengah mati. Ratih ... Ratih."Aku siap-siap dulu ya?" pamitku sera
"Jadi pulang hari ini, Ris?" tanya Ratih saat sudah sampai ke rumahku. Saat ini ibu sedang pergi dengan Kalila kerumah sepupu ibu yang berada sekitar sepuluh kilometer dari rumah kami. "Jadi, Rat." jawabku. Saat ini, aku bukan tidak mau tinggal di rumah ibu, tapi mengingat jarak kantor tempatku bekerja dengan rumah ibu sangat jauh.Jadi terpaksa aku harus tinggal bersama bibik Arum. Beruntung aku memiliki saudara yang sangat baik hati itu. Coba kalau seandainya di kisah sinetron ikan terbang, tidak dapat aku bayangkan deh."Kalila mana?" tanya Ratih lagi. "Dibawa ibu jalan-jalan." jawabku."Hmmm ..." sepertinya Ratih ingin mengatakan sesuatu tetapi dia segan sama ibu atau ayahku."Ris, kamu tau gak!" Ratih mengedarkan pandangannya seluruh ruangan. Setelah dia lihat tidak ada satu orangpun, dia mendekatiku dan berbisik."Kayaknya Raka bakal dipecat sama pak Aslan!" Aku terkejut mendengarkan berita yang dibawa oleh Ratih."Tapi nampaknya Pak Aslan masih menelusuri kemana uang perusah
"Mas, singgah di toko perhiasan itu yuk? Katanya ada model terbaru dan dikota ini belum ada yang memilikinya. Adek mau!?" rayu wanita berpenampilan menor itu dengan tangan bergelayut manja dilengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Ternyata kesini rupanya uang hasil korupsi mas Raka berlabuh! Hmmm ... wanita yang hebat? Baru saja berpacaran sudah minta perhiasan mewah, dan lebih hebat lagi pria itu mau saja menuruti kemauannya."Ris, kita masuk kesitu juga. Aku mau beli perhiasan!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba saja Ratih mau membeli perhiasan. Padahal setahu aku, dia tidak suka memakai perhiasan terlalu wah seperti itu."Tumben!" Aku berbisik ditelinga wanita berkulit putih susu itu."Lihat saja apa yang aku lakukan!" ujar sepupuku emosi."Ayo!" Ratih menarik tanganku. Setelah sampai dia toko perhiasan, Ratih berdiri bersebelahan dengan wanita menor itu. Entah sengaja atau memang kebetulan saja.Saat Rita menatap Ratih dan hendak menegurnya, Ratih langsung mem
Matahari Bali menyambut hangat saat aku dan Mas Aslan tiba di bandara. Angin tropis yang lembut menyapu wajahku, membuatku langsung merasa rileks. Mas Aslan menggenggam tanganku erat, senyum lebar terukir di wajahnya. Dia tampak sangat bahagia, dan itu membuatku merasa tenang."Selamat datang di Bali, sayang," ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk, senyumku tak pernah lepas. "Aku sudah tak sabar menjelajah tempat ini denganmu."Kami naik mobil menuju vila pribadi di Ubud, tempat yang dikelilingi hutan dan sawah hijau. Vila itu tampak begitu tenang, dengan kolam renang pribadi dan pemandangan alam yang menakjubkan. Sesampainya di sana, kami disambut oleh staf vila yang ramah. Vila ini terasa seperti surga tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk kota.Mas Aslan segera menarikku ke teras, di mana pemandangan hamparan sawah membentang di depan kami. Langit cerah dengan awan putih yang menggantung di kejauhan. "Ini indah sekali," gumamku sambil menyandarkan kepala di pundaknya."Iya, tap
Sinar matahari pagi masuk dari celah tirai kamar, membangunkan aku dari tidur. Di sebelahku, Mas Aslan masih tertidur lelap. Aku tersenyum memandang wajahnya yang tampak damai. Tapi, pikiranku sudah melayang pada sesuatu yang harus segera aku lakukan, meminta izin kepada Kalila, putri kecil aku sama mas Raka, untuk pergi berlibur hanya bersama Mas Aslan selama tiga hari.Dengan hati-hati, aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar Kalila. Dia pasti sudah bangun. Setiap pagi, Kalila selalu bangun lebih awal untuk bermain dengan mainannya di ruang tamu atau menonton kartun kesukaannya. Benar saja, begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat Kalila duduk di sofa dengan boneka beruang di tangannya, matanya terpaku pada layar TV yang menampilkan kartun favoritnya.“Pagi, Sayang,” sapaku sambil berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.Kalila menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Mama!”Aku memeluknya erat, lalu mencium pipinya. "Lagi nonton apa nih?"“Nonton kartun!
Sinar matahari menerobos tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Di sampingku, mas Aslan masih terlelap, wajahnya terlihat tenang. Aku tersenyum tipis, teringat kejadian kemarin saat kami resmi menikah. Rasanya seperti mimpi, bisa bersama pria yang dulu hanya aku lihat sebagai atasan. Tapi, hidup memang penuh kejutan, bukan?Setelah mandi dan bersiap, aku melirik ke arah jam dinding. "Waktunya bangunin suami gantrngku," gumamku. Dengan hati-hati, aku mendekati mas Aslan, lalu menyenggol bahunya pelan."Sayang, bangun, Say. Kita harus berangkat ke kantor," bisikku ditelinganya.Ia bergumam pelan, matanya masih terpejam. "Lima menit lagi, ya? Mas masih mengabtuk sekali ni! ..."Aku menggeleng, lalu sedikit menggelitik perutnya. "Nggak ada lima menit lagi. Ayo bangun!"Ia tertawa kecil, akhirnya membuka mata dan menatapku. "Baiklah, baiklah. Kamu memang nggak bisa ditolak."Pagi itu kami berdua berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kami sekarang sudah resmi menikah, rutinitas
“Aku ingin Kalila tinggal bersamaku, Risma.”Kalimat itu langsung menghantam hatiku seperti petir di siang bolong. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.“Mas, Kalila adalah hidupku. Dia nyawaku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” jawabku tegas namun tetap menjaga nada suaraku agar tidak terdengar terlalu emosional.Mas Raka menghela napas berat. “Aku tahu kamu sayang sama dia, Risma. Aku juga sayang sama Kalila. Tapi aku pikir, sudah waktunya dia tinggal denganku. Aku ingin lebih terlibat dalam hidupnya. Selama ini, aku merasa jauh dari dia, dan aku tahu itu salahku. Tapi aku mau memperbaikinya.”Aku bisa melihat kejujuran di matanya, tapi itu tidak membuat permintaannya lebih mudah kuterima. Aku menggenggam tanganku erat-erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.“Mas, selama ini aku yang membesarkan Kalila sendirian. Aku tahu kamu ayahnya, dan aku tidak pernah melarang Kalila bertemu denganmu. Tapi Kaluka butuh stabilitas, dia butuh merasa aman. Selama
Di tengah kabut duka itu, berita lain yang tak kalah menyakitkan datang. Mantan ibu mertuaku, ditemukan meninggal setelah melompat dari jembatan. Ia diketahui mengalami depresi berat sejak putri satu-satunya meninggal secara tragis."Mas, mantan ibu mertua Risma meninggal!" Aku memberitahukan berita duka ini pada mas Aslan."Innalillahiwainnailaihi rojiun! Sakit apa?" Mas Aslan juga kaget mendengar berita duka bertubi-tubi seperti ini. Baru saja tadi pagi berita kematian Rani, sekarang ibunya menyusul"Bvnvh diri nampaknya. Beliau lompat dari jembatan, Mas!""Apa?""Beliau malu Rani hamil diluar nikah! Jadinya stres dan depresi. Akhirnya gak sanggup, ya lompat dari jembatan!" jawabku lagi."Kasihan, ya!""Hmmm! Boleh Risma melayat, Mas?" tanyaku. Aku sih tidak memaksa jika mas Aslan melarangnya, cuma sekedar mengucapkan belasungkawa saja pada mantan suamiku."Boleh-boleh aja, sih! Apa perlu Mas antar?" "Gak usah, Mas. Sebentar lagi Mas mau meeting, kan? Kalau Risma pergi sendiri, apa
"Aku hamil," tiba-tiba Rani berkata dengan suara bergetar, tapi jelas. Matanya mulai basah dengan air mata."Mas ... kamu harus bertanggung jawab."Kalimat itu membuat suasana di meja mereka mendadak hening. Wajah istri Bayu tampak kaget, sementara Bayu hanya bisa menunduk. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Rani, jangan begitu..." kata Bayu akhirnya, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. "Aku nggak bisa bertanggung jawab. Ini... ini semua terlalu rumit.""Terus apa maksud kamu, Bayu?" Rani tidak bisa menahan emosinya lagi. "Aku ini mengandung anak kamu! Apa kamu mau lepas tangan begitu saja?"Bayu tampak semakin terpojok. Dia berusaha menghindari tatapan Rani, sementara istrinya berdiri di sana dengan mata terbuka lebar, seolah-olah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mulai memerah, dan aku tahu, badai yang lebih besar akan segera datang."Bayu!" teriak istrinya. "Apa maksudnya ini? Dia hamil anak kamu? Kamu pikir aku bisa terima in
Rani dan pria itu tampak sangat mesra. Tangan mereka saling berpegangan di atas meja, sementara senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Pria itu sesekali membisikkan sesuatu di telinga Rani, yang membuatnya tertawa kecil.Selama beberapa saat, aku hanya bisa memandangi mereka. Kenangan tentang masa lalu dengan keluarga mantan suamiku menari-nari dalam ingatanku. Aku teringat betapa sombong dan angkuhnya Rani terhadapku, dulu. Mereka memperlakukan aku seperti babu walapun dirumahku sendiri.Setelah perceraian itu aku tidak pernah berjumpa mereka lagi. Aku tidak pernah menyangka akan melihat Rani dalam situasi seperti ini, apalagi dengan pria yang usianya jauh di atasnya."Itu, bukannya mantan adik iparmu, Sayang?" tanya mas Aslan dengan penuh kehati-hatian. "Hmmm!" Aku tersenyum miris melihat kelakuan mantan adik iparku. Dulu dia menginginkan mas Aslan untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekarang, karena mas Aslan menolaknya dia malah mencari pria tua yang penting kaya."Mas kenal
"Kalau kita menikah karena digrebek, bukan kita saja yang malu, Mas. Anak-anak kita kelak juga akan menaggung malu!" jelasku sama pak Aslan. Aku tidak pernah menginginkan hal memalukan itu terjadi dalam kehidupan aku. Pak.Aslan tersentum tatkala aku jelaskan. Sepertinya dia sudah tahu tapi pura-pura saja biar diajari terus masalah agama sama calon istrinya. "Habisnya menunggu tiga minggu itu sangat lama, Risma. Aku tidak sabar menanti hari itu tiba!" ujar pak Aslan dengan wajah penuh harap. Lucu sekali melihat pak Aslan, bagaikan anak kecil yang sedang meminta mainan sama mamanya. "Gak lama tuh tiga minggu! Sebentar saja, Mas!" Aku memberi pengertian pada pria berhidung mancung itu. "Ya deh nyonya Aslan. Mas pamit pulang dulunya?" ujarnya seraya membuka pintu mobil. "Tolong jaga asupan gizi buat anakku. Beri yang terbaik untuknya sebelum Mas yang ambil alih menjaga dan memenuhi kebutuhan permata hatiku itu!" Demi apapun aku sangat terharu mendengar perkataan yang keluar dari bib
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu hendak merebut istri aku?" tanyaku kesal.Enak saja Andre memuji calon istri aku. Dia sedikitpun tidak menghargai aku sebagai calon suami Risma. Pria yang jelas paman baginya walaupun paman jauh. "Bukan begitu, Pak. Tolong carikan Saya istri secantik istri Bapak. Buat apa Saya merebut istri orang? Aku bukan tipe pria seperti itu, Pak." Andre menjelaskan duduk persoalannya. Ternyata dia takut juga melihat aku marah-marah. "Emang kamu mau menikah dengan janda? Calon istri saya ini janda loh?" ujarku. Bukan maksud menghina Risma sih sebenarnya. Tapi aku bangga karena biarpun sudah menjadi janda Risma masih juga menarik. Dimataku dia sangat cantik, kalah gadis perawan pokoknya. "Janda?" tanya Andre dan aku menganggu sebagai tanda merespon. "Walaupun janda tapi tidak nampak ya, Pak? Masih cantik juga. Seperti gadis belia." puji Andre. Bagiku semua itu bukan oujian sih. Tapi kenyataannya. "Bapak ya. Tau aja janda cantik." "Ya taulah. Namanya j