Tuhan ... berat sekali cobaan hidupku. Berilah aku kekuatan.
Ciit. Aku tersentak saat mendengar suara decitan mobil hampir saja menabrak tubuh ini. Segera aku memutar tubuh ini dan melihat mobil berwarna silver berhenti tepat dibelakangku."Risma ... kamu ngapain disitu!" Terdengar suara cempreng yang sangat familiar digendang telingaku. Ya dia adalah Ratih. Sepupuku, sekarang sedang mengenyam pendidikan di luar negeri. Tapi kenapa dia bisa berada disini ya? Bukankan dia masih kuliah? Atau jangan-jangan dia kena Drup Out? "Ratih? Apa kabarmu?" Aku memeluk kuat wanita berambut golden brown sebahu itu seakan sedang melepas segala kegundahan hati ini."Baik. Hei ... ini bayi kamu? Cantik sekali! Siapa namanya? Aku kangen berat sama kamu." Cerocos Ratih panjang lebar. Anak itu masih saja cerewet sampai sekarang. Kalau berbicara, kayak gerbong kerete api musim lebaran. Panjang dan entah kapan akan selesainya. Sampai lawan bicaranya hanya terdiam seribu bahasa."Kalila!" jawabku lemah."Kapan pulang, Tih? Kenapa gak kasih kabar?""Sudah sebulan. Kan kuliahku sudah selesai, Ris, dan sekarang melanjutkan bisnis kakek!" Ratih mencium lembut anakku. Walaupun bar-bar tetapi wanita itu berhati lembut. Dia snagat menyukai anak kecil makanya jangan heran kalau rumah dia banyak didatangi anak-anak tetangga."Ngomong-ngomong, kamu sama siapa? Mau kemana?" Ratih melirik tas besar yang tergeletak dipinggir jalan. Aku semakin tergugu mendengar pertanyaan sepupuku itu."Ris, kamu kenapa?" Ratih menangkupkan kedua tangannya diwajahku. Air mataku semakin deras bergulir membasahi pipi."Ris ... ada apa? Sini sini. Ayo masuk!" Ratih menyeret tubuh ini untuk masuk kedalam mobilnya. Tas lusuhku ditaruhnya dijok belakang."Kamu harus jelaskan sama aku, Ris. Kamu kenapa? Apa diusir suamimu?" tanya Ratih. Aku mengangguk pelan saat Ratih menoleh sekilas kearahku dengan tangan masih setia diatas kemudi. Kemudian, aku menceritakan bagaimana perlakuan mertua dan suami terhadap diri ini, tanpa aku tutupi sedikitpun."Kurang ajar, Raka. Berani dia main-main dengan keluargaku? Aku tidak terima, Ris. Harus kita balas semua perbuatan dia!" tutur Ratih dengan emosi menggebu-gebu. Tangannya menggepal kuat roda kemudi seakan ingin diremukkannya."Balas?" gumamku pelan. Air masih membanjiri kedua pelupuk mata ini. Sekali-kali aku cium dan peluk bocah kecilku itu. Hanya dia yang membuat aku bertahan saat ini. Mungkin kalau Kalila tidak ada aku sudah menceburkan diri kesungai.Aku tidak menyangka usia pernikahan kami akan segera berakhir, aku tidak menyangka jodoh kami hanya bertahan sampai disini.Dulu, aku merasa aku ini wanita paling bahagia dimuka bumi ini. Disayang dan dimanja oleh mas Raka. Tapi itu hanya sebentar saja. Semua itu ulah mertua dan adik ipark yang selalu menghasut sehingga mas Raka lama-lama terpengaruh juga.
"Kamu jangan lemah. Nangislah sepuas-puasnya hari ini. Tapi, jangan sampai besok aku lihat lagi air matamu menangisi lelaki berhati sampah itu!" bentak Ratih membuatku tersentak dalam lamunan."Apa yang harus aku lakukan? Kasian anakku masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ayahnya!" ujarku tersedu saat menatap bayi yang masih terlelap dalam gendonganku."Ayo pulang kerumahku dulu. Ibu juga kangen sama kamu, Ris. Selama menikah dengan bajingan itu kamu semakin jauh dengan keluarga. Jadi babu keluarga Raka!" sindir Ratih kesal.Selama dalam perjalanan, banyak hal yang kami bicarakan. Sepupu aku sangat marah terhadap keluarga Raka dan bersumpah akan membalas perbuatan dia."Makanya kamu kerja aja di perusahaan kakek. Jangan sok jual mahal. Percuma sarjana akutansi dengan lulusan caumlaude kalau tidak dipergunakan ilmunya!""Tapi aku sudah lama tidak bekerja. Ilmuku sudah hilang entah kemana!""Jangan merendah, Ris. Ayo semangat! Besok aku tunggu kamu dikantor. Kebetulan kepala divisi keuangan sudah memasuki usia pensiun! Aku harap kamu bisa menggantikannya!" Semangat adik sepupuku sangat tinggi dan rasa percaya dirinya juga diatas rata-rata."Kalo aku bekerja, anakku sama siapa? Aku gak percaya sama orang lain!""Kamu tenang ajalah. Kan ada ibu. Ibu aku sangat senang melihat anak-anak. Ayo, Ris. Tunjukkan sama Raka kalau kamu bisa hidup tanpa dia. Jangan mau diremehkan!" Ratih terus memberi semangat untukku. "Aku tidak mau menyusahkan siapa-siapa! Kasian bibik sudah tua malah mengurus anakku!" "Heleh. Dan kamu pikir aku akan senang melihat kamu seperti ini? Ayolah Ris. Kamu gak usah khawatir. Dirumah ibu ada pembantu nanti yang bantu-bantu menjaga anakmu. Udah, tenang aja!" Ratih nampak kesal melihat aku yang begitu lemah. Memang aku akan lemah jika menyangkut Kalila. Sesampai dirumah bik Arum aku disambut bahagia. Bik Arum merupakan istri om Hidayat, adik kandung ayah. "Ris, besok kamu masuk kerja. Om tidak mau dengar apapun alasan kamu!" perintah om Hidayat tidak ada yang berani membantah. Ternyata Ratih sudah mengadu semuanya kejadian yang menimpaku pada om Hidayat."Tapi, Om.""Gak ada tapi-tapi. Jadi wanita kok lemah sekali!""Gimana, Tih penampilanku?" tanyaku pada Ratih. Jujur aku sangat deg-degan karena hari ini merupakan hari pertama aku bekerja diperusahaan keluarga Hadiningrat."Kamu sangat cantik memakai baju itu, Ris. Aku gak bohong!" jawab Ratih jujur. "Duh ... nervous. Sudah lama tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak." Ternyata aku katrok juga ya. Dari tadi mondar mandir saja didepan cermin demi memastikan penampilan."Tenang. Jalani saja! Semua akan baik-baik saja!" Ratih terus memberikan semangat untukku."Aku mundur saja, Tih." ujarku minder."Kok mundur sih? Emang mau balikan sama suamimu?" tanya Ratih dan aku menjawab dengan menggeleng."Buktikan pada dia kamu bisa hidup tanpa dia. Emang kamu mau diremehkan terus?" Ucapan Ratih membuat aku bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Aku tidak mau diremehkan lagi.Setelah berpamitan pada bik Arum dan Kalila, aku langsung mengikuti langkah kaki Ratih menuju ke perusahaan tempat dimana aku akan bekerja.Barisan mobil mewah para karyawan
"Keluar dari ruangan Saya sekarang!" Aku berdiri dan menunjuk dengan telunjuk kiri kearah pintu dengan amarah yang meledak-ledak. Enak saja dia mengatakan aku wanita kesepian yang sedang butuh belaiannya. Dasar lelaki tidak tahu malu."Risma, ayolah. Mas juga rindu sama kamu. Lupakan pertengkaran kita kemarin. Lupakan juga pengusiran itu. Mari kita perbaiki kembali rumah tangga kita yang sudah hampir hancur ini." Mas Raka bangkit dan berusaha memeluk tubuh ini, segera aku dorong kuat sehingga membuat dia hampir saja terjerembat jatuh."Rindu kau bilang, hah. Lalu pelacur yang kau gandeng tadi pagi itu siapa? Apa dia gak bisa melayani kamu lagi? Sedang datang bulan atau jangan-jangan dia sudah kena penyakit kelamin?" ejekku sinis."Rita itu hanya sekretaris Mas. Jadi wajarlah kemana-kemana kami selalu bersama!" bela mas Raka, dia berusaha meraih tangan ini tetapi aku menepisnya."Wow, wajar kamu bilang? Bergandengan tangan dengan lawan jenis itu wajar? Apakah seorang sekretaris wajar m
"Jadi Ibu cemburu Aku berdekatan dengan Mas Raka?" tanya wanita bernama Rita saat bertemu di area parkir perusahaan. Saat ini aku sedang menunggu Ratih. Sudah sepuluh menit lebih anak itu belum turun juga. Tiba-tiba saja dihampiri sama mak Lampir yang konon katanya aku cemburu karena dia lebih cantik dariku. Kalau dia merasa cantik tidak akan mau mengambil suami orang. Seharusnya dia mendapat pria mapan dan masih lajang tentunya. Bukan mas Raka yamg pelitnya melebihi pak Raden di serial si Unyil."Cemburu? Apa yang aku cemburui dari kamu? Cantik pun enggak, pinter apalagi," sinisku membuat wajahnya memerah menahan emosi."Halah jangan bohong, Bu. Aku bisa melihat dari cara Ibu menatap mas Raka. Ibu masih begitu mencintainya 'kan?" tebakan Rita sangat jauh berbeda dengan isi hatiku yang sebenarnya terhadap mas Raka. Biarkan saja dia berandai-andai. Nanti kan capek sendiri."Kamu mau sama bekas aku? Ambil saja! Aku gak suka barang rongsokan seperti Raka!" ujarku seraya mengedarkan pand
"Rat, aku mau kerumah ibu sebentar. Boleh aku minta tolong antar aku kesana?" pintaku pada Ratih. Hari ini merupakan hari sabtu dan aku berencana akan menginap di rumah ibu nanti malam. Sekedar melepaskan rindu karena kami sudah lama tidak bertemu."Bisa lah. Apa yang gak bisa untuk sepupuku yang cantik ini." jawab Ratih sambil menepuk pelan pundak ini."Gak merepotkan kamu kan?" tanyaku memastikan. Aku takut Ratih ada acara yangbakan terganggu karena mengantar aku kerumah ibu."Tidak ada acara apa-apa. Paling nanti sore aku ada acara dengan pak Arkan membahas proyek," ucapnya dengan tatapan berbinar-binar."Proyek apa, Rat? Buat bayi?" candaku. Ratih jadi salah tingkah mendengar candaanku. Baru bercanda aja sudah kegeeran. Bagaimana kalau dia betulan menikah dengan pak Arkan ya? Bisa berputar bumi ini kurasa."Mau diantar gak? Tak tinggalin nanti!" ancam Rasti seraya tersenyum. Halah ... dicandain aja sudah bahagia setengah mati. Ratih ... Ratih."Aku siap-siap dulu ya?" pamitku sera
"Jadi pulang hari ini, Ris?" tanya Ratih saat sudah sampai ke rumahku. Saat ini ibu sedang pergi dengan Kalila kerumah sepupu ibu yang berada sekitar sepuluh kilometer dari rumah kami. "Jadi, Rat." jawabku. Saat ini, aku bukan tidak mau tinggal di rumah ibu, tapi mengingat jarak kantor tempatku bekerja dengan rumah ibu sangat jauh.Jadi terpaksa aku harus tinggal bersama bibik Arum. Beruntung aku memiliki saudara yang sangat baik hati itu. Coba kalau seandainya di kisah sinetron ikan terbang, tidak dapat aku bayangkan deh."Kalila mana?" tanya Ratih lagi. "Dibawa ibu jalan-jalan." jawabku."Hmmm ..." sepertinya Ratih ingin mengatakan sesuatu tetapi dia segan sama ibu atau ayahku."Ris, kamu tau gak!" Ratih mengedarkan pandangannya seluruh ruangan. Setelah dia lihat tidak ada satu orangpun, dia mendekatiku dan berbisik."Kayaknya Raka bakal dipecat sama pak Aslan!" Aku terkejut mendengarkan berita yang dibawa oleh Ratih."Tapi nampaknya Pak Aslan masih menelusuri kemana uang perusah
"Mas, singgah di toko perhiasan itu yuk? Katanya ada model terbaru dan dikota ini belum ada yang memilikinya. Adek mau!?" rayu wanita berpenampilan menor itu dengan tangan bergelayut manja dilengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Ternyata kesini rupanya uang hasil korupsi mas Raka berlabuh! Hmmm ... wanita yang hebat? Baru saja berpacaran sudah minta perhiasan mewah, dan lebih hebat lagi pria itu mau saja menuruti kemauannya."Ris, kita masuk kesitu juga. Aku mau beli perhiasan!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba saja Ratih mau membeli perhiasan. Padahal setahu aku, dia tidak suka memakai perhiasan terlalu wah seperti itu."Tumben!" Aku berbisik ditelinga wanita berkulit putih susu itu."Lihat saja apa yang aku lakukan!" ujar sepupuku emosi."Ayo!" Ratih menarik tanganku. Setelah sampai dia toko perhiasan, Ratih berdiri bersebelahan dengan wanita menor itu. Entah sengaja atau memang kebetulan saja.Saat Rita menatap Ratih dan hendak menegurnya, Ratih langsung mem
"Pak Aslan?" Aku kaget melihat lelaki berwajah tampan itu, tiba-tiba saja berada didepan mata. "Ngapain kalian disini? Makan enak gak ngajak-ngajak!" tanya lelaki bermata hazel itu. Dia menarik kursi bersebelahan denganku, membuat diri ini salah tingkah. Ternyata lelaki itu bisa juga bercanda. Dikantor nampak begitu pendiam dan juga berwibawa, berbeda dengan diluar. "Pak ... Pak. Makanan begini dibilang enak! Padahal Makanan yang Bapak makan lebih mewah dan lezat dibandingkan makanan kami!" seloroh Ratih. Dia tidak canggung sedikitpun berbicara dengan pak Aslan. Nampaknya mereka sudah sangat dekat. "Beda dong kalau makan ditemani dua wanita cantik seperti kalian, hmmm pasti makan Saya jadi makin bertambah berselera," ucap pak Aslan terkekeh. Ternyata pak Aslan bukan kaleng-kaleng dalam menggombali wanita. Kupikir cupu ternyata suhu. "Iyalah, Pak. Makan aja sepuasnya. Mau Bapak makan piring-piringnya juga, boleh! Gak ada yang larang!" seloroh Ratih disambut tawa renyah lelaki dua p
"Saya tidak segan-segan melaporkan Ibu ke kantor polisi atas pencemaran nama baik. Jangan main-main dengan saya!" ancam pak Aslan berang. "Loh kenyataannya kan?" Wanita bertubuh gempal itu tidak merasa bersalah dan dia tidak menyadari sedang berhadapan dengan siapa."Kenyataan apa yang ibu maksud? Jangan buat emosi saya makin menjadi. Pergi dari sini. Atau apa perlu saya seret?" pak Aslan mengusir ibu mertuaku dengan penuh emosi. Wajarlah beliau emosi. Ibu mertua menuduh dia melakukan zina sementara dia tidak melakukannya. Menuduh tanpa bukti, Itu fitnah namanya. "Anda melindungi seorang istri yang sudah durhaka sama suaminya? Lelaki macam Anda?" Aku sangat emosi mendengar ibu mertua yang menuduhku sebagai istri durhaka. Sementara dia tidak pernah menasehati anaknya yang tidak bertanggung jawab itu. Sibuk dengan wanita lain sementara anak dan istrinya ini tidak pernah dinafkahi.Apa salah jika aku mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami? Bukannya aku berbuat maksiat dilu
Matahari Bali menyambut hangat saat aku dan Mas Aslan tiba di bandara. Angin tropis yang lembut menyapu wajahku, membuatku langsung merasa rileks. Mas Aslan menggenggam tanganku erat, senyum lebar terukir di wajahnya. Dia tampak sangat bahagia, dan itu membuatku merasa tenang."Selamat datang di Bali, sayang," ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk, senyumku tak pernah lepas. "Aku sudah tak sabar menjelajah tempat ini denganmu."Kami naik mobil menuju vila pribadi di Ubud, tempat yang dikelilingi hutan dan sawah hijau. Vila itu tampak begitu tenang, dengan kolam renang pribadi dan pemandangan alam yang menakjubkan. Sesampainya di sana, kami disambut oleh staf vila yang ramah. Vila ini terasa seperti surga tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk kota.Mas Aslan segera menarikku ke teras, di mana pemandangan hamparan sawah membentang di depan kami. Langit cerah dengan awan putih yang menggantung di kejauhan. "Ini indah sekali," gumamku sambil menyandarkan kepala di pundaknya."Iya, tap
Sinar matahari pagi masuk dari celah tirai kamar, membangunkan aku dari tidur. Di sebelahku, Mas Aslan masih tertidur lelap. Aku tersenyum memandang wajahnya yang tampak damai. Tapi, pikiranku sudah melayang pada sesuatu yang harus segera aku lakukan, meminta izin kepada Kalila, putri kecil aku sama mas Raka, untuk pergi berlibur hanya bersama Mas Aslan selama tiga hari.Dengan hati-hati, aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar Kalila. Dia pasti sudah bangun. Setiap pagi, Kalila selalu bangun lebih awal untuk bermain dengan mainannya di ruang tamu atau menonton kartun kesukaannya. Benar saja, begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat Kalila duduk di sofa dengan boneka beruang di tangannya, matanya terpaku pada layar TV yang menampilkan kartun favoritnya.“Pagi, Sayang,” sapaku sambil berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.Kalila menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Mama!”Aku memeluknya erat, lalu mencium pipinya. "Lagi nonton apa nih?"“Nonton kartun!
Sinar matahari menerobos tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Di sampingku, mas Aslan masih terlelap, wajahnya terlihat tenang. Aku tersenyum tipis, teringat kejadian kemarin saat kami resmi menikah. Rasanya seperti mimpi, bisa bersama pria yang dulu hanya aku lihat sebagai atasan. Tapi, hidup memang penuh kejutan, bukan?Setelah mandi dan bersiap, aku melirik ke arah jam dinding. "Waktunya bangunin suami gantrngku," gumamku. Dengan hati-hati, aku mendekati mas Aslan, lalu menyenggol bahunya pelan."Sayang, bangun, Say. Kita harus berangkat ke kantor," bisikku ditelinganya.Ia bergumam pelan, matanya masih terpejam. "Lima menit lagi, ya? Mas masih mengabtuk sekali ni! ..."Aku menggeleng, lalu sedikit menggelitik perutnya. "Nggak ada lima menit lagi. Ayo bangun!"Ia tertawa kecil, akhirnya membuka mata dan menatapku. "Baiklah, baiklah. Kamu memang nggak bisa ditolak."Pagi itu kami berdua berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kami sekarang sudah resmi menikah, rutinitas
“Aku ingin Kalila tinggal bersamaku, Risma.”Kalimat itu langsung menghantam hatiku seperti petir di siang bolong. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.“Mas, Kalila adalah hidupku. Dia nyawaku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” jawabku tegas namun tetap menjaga nada suaraku agar tidak terdengar terlalu emosional.Mas Raka menghela napas berat. “Aku tahu kamu sayang sama dia, Risma. Aku juga sayang sama Kalila. Tapi aku pikir, sudah waktunya dia tinggal denganku. Aku ingin lebih terlibat dalam hidupnya. Selama ini, aku merasa jauh dari dia, dan aku tahu itu salahku. Tapi aku mau memperbaikinya.”Aku bisa melihat kejujuran di matanya, tapi itu tidak membuat permintaannya lebih mudah kuterima. Aku menggenggam tanganku erat-erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.“Mas, selama ini aku yang membesarkan Kalila sendirian. Aku tahu kamu ayahnya, dan aku tidak pernah melarang Kalila bertemu denganmu. Tapi Kaluka butuh stabilitas, dia butuh merasa aman. Selama
Di tengah kabut duka itu, berita lain yang tak kalah menyakitkan datang. Mantan ibu mertuaku, ditemukan meninggal setelah melompat dari jembatan. Ia diketahui mengalami depresi berat sejak putri satu-satunya meninggal secara tragis."Mas, mantan ibu mertua Risma meninggal!" Aku memberitahukan berita duka ini pada mas Aslan."Innalillahiwainnailaihi rojiun! Sakit apa?" Mas Aslan juga kaget mendengar berita duka bertubi-tubi seperti ini. Baru saja tadi pagi berita kematian Rani, sekarang ibunya menyusul"Bvnvh diri nampaknya. Beliau lompat dari jembatan, Mas!""Apa?""Beliau malu Rani hamil diluar nikah! Jadinya stres dan depresi. Akhirnya gak sanggup, ya lompat dari jembatan!" jawabku lagi."Kasihan, ya!""Hmmm! Boleh Risma melayat, Mas?" tanyaku. Aku sih tidak memaksa jika mas Aslan melarangnya, cuma sekedar mengucapkan belasungkawa saja pada mantan suamiku."Boleh-boleh aja, sih! Apa perlu Mas antar?" "Gak usah, Mas. Sebentar lagi Mas mau meeting, kan? Kalau Risma pergi sendiri, apa
"Aku hamil," tiba-tiba Rani berkata dengan suara bergetar, tapi jelas. Matanya mulai basah dengan air mata."Mas ... kamu harus bertanggung jawab."Kalimat itu membuat suasana di meja mereka mendadak hening. Wajah istri Bayu tampak kaget, sementara Bayu hanya bisa menunduk. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Rani, jangan begitu..." kata Bayu akhirnya, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. "Aku nggak bisa bertanggung jawab. Ini... ini semua terlalu rumit.""Terus apa maksud kamu, Bayu?" Rani tidak bisa menahan emosinya lagi. "Aku ini mengandung anak kamu! Apa kamu mau lepas tangan begitu saja?"Bayu tampak semakin terpojok. Dia berusaha menghindari tatapan Rani, sementara istrinya berdiri di sana dengan mata terbuka lebar, seolah-olah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mulai memerah, dan aku tahu, badai yang lebih besar akan segera datang."Bayu!" teriak istrinya. "Apa maksudnya ini? Dia hamil anak kamu? Kamu pikir aku bisa terima in
Rani dan pria itu tampak sangat mesra. Tangan mereka saling berpegangan di atas meja, sementara senyum tak pernah lepas dari wajah mereka. Pria itu sesekali membisikkan sesuatu di telinga Rani, yang membuatnya tertawa kecil.Selama beberapa saat, aku hanya bisa memandangi mereka. Kenangan tentang masa lalu dengan keluarga mantan suamiku menari-nari dalam ingatanku. Aku teringat betapa sombong dan angkuhnya Rani terhadapku, dulu. Mereka memperlakukan aku seperti babu walapun dirumahku sendiri.Setelah perceraian itu aku tidak pernah berjumpa mereka lagi. Aku tidak pernah menyangka akan melihat Rani dalam situasi seperti ini, apalagi dengan pria yang usianya jauh di atasnya."Itu, bukannya mantan adik iparmu, Sayang?" tanya mas Aslan dengan penuh kehati-hatian. "Hmmm!" Aku tersenyum miris melihat kelakuan mantan adik iparku. Dulu dia menginginkan mas Aslan untuk menjadi pendamping hidupnya. Sekarang, karena mas Aslan menolaknya dia malah mencari pria tua yang penting kaya."Mas kenal
"Kalau kita menikah karena digrebek, bukan kita saja yang malu, Mas. Anak-anak kita kelak juga akan menaggung malu!" jelasku sama pak Aslan. Aku tidak pernah menginginkan hal memalukan itu terjadi dalam kehidupan aku. Pak.Aslan tersentum tatkala aku jelaskan. Sepertinya dia sudah tahu tapi pura-pura saja biar diajari terus masalah agama sama calon istrinya. "Habisnya menunggu tiga minggu itu sangat lama, Risma. Aku tidak sabar menanti hari itu tiba!" ujar pak Aslan dengan wajah penuh harap. Lucu sekali melihat pak Aslan, bagaikan anak kecil yang sedang meminta mainan sama mamanya. "Gak lama tuh tiga minggu! Sebentar saja, Mas!" Aku memberi pengertian pada pria berhidung mancung itu. "Ya deh nyonya Aslan. Mas pamit pulang dulunya?" ujarnya seraya membuka pintu mobil. "Tolong jaga asupan gizi buat anakku. Beri yang terbaik untuknya sebelum Mas yang ambil alih menjaga dan memenuhi kebutuhan permata hatiku itu!" Demi apapun aku sangat terharu mendengar perkataan yang keluar dari bib
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? Kamu hendak merebut istri aku?" tanyaku kesal.Enak saja Andre memuji calon istri aku. Dia sedikitpun tidak menghargai aku sebagai calon suami Risma. Pria yang jelas paman baginya walaupun paman jauh. "Bukan begitu, Pak. Tolong carikan Saya istri secantik istri Bapak. Buat apa Saya merebut istri orang? Aku bukan tipe pria seperti itu, Pak." Andre menjelaskan duduk persoalannya. Ternyata dia takut juga melihat aku marah-marah. "Emang kamu mau menikah dengan janda? Calon istri saya ini janda loh?" ujarku. Bukan maksud menghina Risma sih sebenarnya. Tapi aku bangga karena biarpun sudah menjadi janda Risma masih juga menarik. Dimataku dia sangat cantik, kalah gadis perawan pokoknya. "Janda?" tanya Andre dan aku menganggu sebagai tanda merespon. "Walaupun janda tapi tidak nampak ya, Pak? Masih cantik juga. Seperti gadis belia." puji Andre. Bagiku semua itu bukan oujian sih. Tapi kenyataannya. "Bapak ya. Tau aja janda cantik." "Ya taulah. Namanya j