"Ngomong apa kamu sama Dewi, Yun?" Aku menghampiri Yuni di dapur, ia masih mencuci piring.
"Memangnya kenapa, Bu? Tadi dia ke sini, saya cuma bilang kalau hari ini warung rugi lima puluh ribu, gara-gara dia salah ngasih kembalian," jawabnya dengan muka manis.
"Terus ngomong apa lagi?" tanyaku, agak membentak. Yuni jadi ketakutan. Memang, baru kali ini aku 'keras' terhadapnya.
"Sa—saya bilang, adik saya lebih pintar—" Yuni menunduk.
"Astaghfirulloh, Yuni! Dia masih kecil, umurnya aja jauh di bawah kamu. Kok kamu julid sama anak kecil, sih? Pantes aja dia nangis, kamu ngomongnya keterlaluan! Lagipula, apa maksudmu membandingkan Dewi dengan adikmu? Apa kamu mau membuat Dewi gak betah kerja di sini, agar adikmu bisa menggantikannya?" cecarku.
Berkali-kali Yuni membuat 'kabur' pegawaiku, berkali-kali pula aku mencari pegawai baru dan tak meloloskan niat Yuni yang ingin memasukkan adiknya di warung nasiku.
"Ma—maaf, Bu. Saya cuma merasa sayang dengan warung ini jika terus-terusan merugi," ucapnya.
Alasannya klise, padahal aku tahu tujuannya adalah untuk menyingkirkan Dewi.
"Ini warung saya, Yun. Saya sudah memaafkan Dewi. Terserah saya mau rugi atau untung. Tugasmu hanya kerja dengan baik dan jangan ganggu pegawaiku yang lain!" tegasku.
Yuni mengangguk patuh. Aku pun kembali ke depan untuk beres-beres, hari sudah sore, sudah waktunya tutup. Sempat menoleh ke belakang untuk memastikan, aku melihat Yuni lanjut mencuci piring dengan mulut komat-kamit. Pasti dia lagi ngedumel. Begitulah kelakuannya.
Sampai meja kasir, aku mendapati Sumi tengah menghitung pendapatan hari ini.
"Dapat berapa, Sum?" tanyaku.
"Satu juta, modal kembali. Tapi untungnya cuma dapat empat ratus ribu, harusnya empat ratus lima puluh," jawabnya.
"Iya, itu tadi Dewi salah ngasih kembalian. Gak apa-apa. Kau ambil modalnya untuk belanja nanti sebelum subuh, giliranmu ya. Besok subuh saya mau jemput Dewi ke rumahnya, untuk membujuk agar dia mau kerja lagi di sini."
Sumi mengangguk, ia memperlihatkan uang itu padaku. Menyerahkan laba penjualan, dan menyimpan modal ke dalam dompetnya untuk dibelanjakan kembali.
"Bu, sudah tiga hari warung hilang uang lima puluh ribu. Benar kata Yuni, ini antara Dewi salah ngasih kembalian atau memang dia nyuri uangnya, Bu! Masa tiap hari uang yang hilang jumlahnya sama, lima puluh ribu? Lagipula, sebodoh apa sih Dewi, sampai gak bisa menghitung kembalian dengan benar, Bu," ucap Sumi.
Astaghfirulloh. Aku tak henti beristighfar dalam hati. Jadi Yuni juga menghasut Sumi agar mau ikut-ikutan suudzon sama Dewi?
"Yuni ngomong gitu, Sum? Jangan dengerin dia, ya. Dewi biar saya yang urus. Kalian kerja saja seperti biasa dan jangan saling menggunjing," titahku. "Sekarang kamu tutup warung, nanti kuncinya antar ke rumah. Saya mau pulang duluan."
Anggukan Sumi mengakhiri perbincangan kami.
***
Menjelang Maghrib, aku mengantar putri semata wayangku ke mesjid untuk mengaji sore. Namanya Zulfa, berusia lima tahun. Di sana ia akan diajari oleh ayahnya yang juga mantan suamiku—Kang Agung.
Kang Agung adalah seorang guru SD, dan setiap sore hingga selepas Isya, ia meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak mengaji di mesjid, termasuk Zulfa. Selepas bercerai dan hak asuh anak jatuh padaku, hanya setiap sore lah Kang Agung bisa bertemu Zulfa untuk mengajarinya mengaji.
"Bu, nanti pulangnya boleh ikut sama Bapak?" tanya Zulfa di tengah perjalanan, sambil menarik bajuku. Biasanya, kalau sudah begini, dia akan memaksa agar keinginannya dikabulkan.
"Zulfa, Ibu kan sudah bilang, sekarang kamu tinggalnya sama Ibu, bukan sama Bapak," jawabku.
Zulfa pun cemberut. Sebenarnya kasihan sekali anakku, setiap malam selalu minta menginap di rumah bapaknya. Bukannya aku tak membolehkan, tapi sekarang mantan suamiku sudah beristri lagi, Rosi namanya, ia amat tak suka dengan Zulfa. Aku khawatir anakku akan diperlakukan tidak baik olehnya, karena pernah kejadian Rosi mencubit paha Zulfa sampai membiru. Dan Kang Agung hanya diam saja melihat kelakuan istri barunya.
"Kenapa, Bu?" tanya Zulfa.
"Di rumah bapakmu ada Bi Rosi," bisikku.
Zulfa langsung menunduk, ia selalu takut setiap mendengar nama Rosi. Bagaimana tidak, wanita itu memang 'istimewa'. Galak dan suka menghasut, mirip Yuni. Bedanya, Yuni tak galak, dia lemah lembut, tapi sifat hasad nya sangat mematikan. Sementara Rosi, selain galak dan hasad, ia juga tak segan menyingkirkan orang lain yang menghalangi keinginannya.
Rosi telah merebut Kang Agung dari sisiku, setelah sebelumnya ia merebut posisiku sebagai orang kepercayaan Pak Asep waktu aku masih bekerja di toko kelontong. Rosi juga memfitnahku mencuri uang milik toko, dan Pak Asep langsung memecatku dengan cara menendang tubuhku ke luar toko, disaksikan banyak orang. Rasa malu dan sakit sekujur badan mendera diriku. Belum lagi, rasa sakit itu masih membekas di hati hingga saat ini.
"Pencuri! Enyah kau dari sini! Jangan sekali-kali kau atau keluargamu lewat di depan ruko ini lagi! Haram mataku melihat kalian!" hardik Pak Asep ketika aku berlutut di kakinya untuk bersumpah, bahwa aku tak mencuri uangnya sebanyak sebelas juta."Demi Alloh—"Belum selesai aku bersumpah dan menjelaskan duduk perkaranya, Pak Asep menendang tubuhku hingga terpental ke luar toko. Kakinya kuat menghantam perutku yang tengah mengandung tujuh bulan, hingga esok harinya aku keguguran. Kang Agus yang saat itu masih jadi suamiku, murka karena aku gagal melahirkan anak kedua.Semua orang menyaksikan, para pejalan kaki dan pengemudi kendaraan seketika berhenti melihat kejadian waktu itu. Ya, toko kelontong Pak Asep terletak di pinggir jalan raya, sehingga semua orang dapat melihatnya.Sejak saat itulah aku berhenti kerja di tokonya, karena Rosi telah memfitnahku mencuri uang Pak Asep sebesar sebelas juta. Padahal, uang itu dipinjam Rosi dariku. Hingga Pak Asep menanyakan uang itu, Rosi belum ju
Ibuku memang selalu emosi terhadap Kang Agung. Setiap kali mendengar namanya, atau ingatannya tentang mantan suamiku itu muncul, ibu selalu emosi."Bukan masalah masih 'ngarep', melainkan Asih lebih senang merintis usaha warung nasi. Lagipula Asih masih trauma, Bu," jawabku."Tapi kamu masih muda. Usiamu masih tiga puluh tahun, ibu pengen kamu ada yang mendampingi, biar ibu tenang," ucapnya seraya duduk di meja makan. Aku menuangkan nasi dan lauk nya ke piring ibu.Entahlah, bagaimana lagi aku harus menjawab. Keinginan ibu memang masuk akal, ia sudah sepuh dan khawatir tak ada yang menjagaku andai ia sudah tiada. *Subuh-subuh aku menuntun Dewi menuju ke warung, setelah susah payah membujuknya agar mau kembali bekerja. Kasihan dia, jika tak bekerja ... bagaimana ia dan neneknya bisa makan?"Bu, Dewi takut. Kak Yuni selalu bersikap manis tapi kata-katanya selalu menyakiti hati Dewi," curhatnya di sepanjang jalan."Memangnya, dia suka ngomong apa aja?" tanyaku."Katanya Dewi masih anak
Memang, kemarin itu aku lihat Dewi sangat tertekan menahan sakit. Andai ia masih ada orangtua, aku yakin mereka akan melabrak Yuni atas perlakuannya terhadap Dewi."Ah, mungkin cuma kebetulan, Wi. Gak usah dipikirkan," responku menenangkan Dewi, karena ia terlihat khawatir dan merasa bersalah.Namun dalam hati, aku merasa yang dikatakan Dewi bisa jadi benar. Doa seorang yang tersakiti dan terdzolimi bisa saja dikabulkan Alloh. Apalagi Dewi yatim piatu, satu-satunya tempat ia mengadu hanya Alloh."Bu, Dewi mau bantu-bantu Kak Sumi masak, ya. Maaf kalau Ibu terganggu dengan cerita Dewi barusan," ucapnya seraya berlalu ke dapur.Keajaiban memang bisa saja terjadi dalam hidup ini, semua tak lepas dari kuasa Alloh. Siapa sangka, hidupku yang dulu susah bahkan untuk makan pun harus menjatah sehari sebesar dua puluh ribu rupiah, kini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Aku mengelap piring saji dan menatanya. Satu per satu menu yang dimasak sudah matang, diantarkan Sumi kepada
Matanya terlihat sembab seperti habis menangis, Yuni memelas meminta belas kasihan."Bu, tolong saya ...," ucapnya lirih.Aku membawanya ke belakang karena malu dilihat pelanggan. Biar warung dijaga Sumi dan Dewi selagi aku bicara dengan Yuni."Kenapa kamu?" tanyaku setelah kami duduk di bangku tempat mengiris sayuran."Ardi tiba-tiba gagu, gak bisa bicara, tadi malam suhu badannya panas. Saya sudah bawa ke dokter tapi kata dokter Ardi baik-baik saja, tidak terdeteksi sakit secara medis, Bu," katanya."Kok aneh, bisa tidak terdeteksi begitu? Coba ingat-ingat, Yun ... barangkali kamu punya dosa sama orang, sehingga orang itu sakit hati. Bisa jadi penyakit anakmu karena lidahmu telah melukai perasaan orang lain, dan orang itu tidak terima," kataku, mencoba memberinya nasihat.Yuni mengelap air matanya yang menetes, dengan menggunakan sapu tangan. Ia terlihat tidak terima ketika aku bicara seperti barusan. Kadang, ia memang selalu memperlihatkan sifat bengalnya."Bu, apa Ibu bicara begit
"Nia, tolong ... bantu kakak berjalan ke kamar. Rasanya sakit sekali perut ini," kataku pada adik ipar yang kebetulan keluar rumah."Aduh, Kak ... maaf ya. Nia buru-buru mau jalan sama temen nih," jawabnya seraya melengos. Dia sudah lulus SMA. Hobinya dandan, terus main bersama geng-nya. Astaghfirullloh ... hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali menerima perlakuan abai dari keluarga Kang Agung. Mereka tak pernah mempedulikanku. Andai saja aku tidak bekerja, mungkin aku dan anakku akan kelaparan, karena gaji Kang Agung—yang saat itu masih berstatus guru honorer—belum cukup untuk menafkahiku.Akhirnya, aku pun berjalan tertatih-tatih ke kamar, sambil berpegangan ke dinding rumah. Betapa sakit dan pegal-pegal badanku waktu itu, hingga kasur butut pun bagaikan harta karun bagiku, aku berbaring dengan nyaman di atasnya.Malam setelah Kang Agung pulang mengajar ngaji, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah ibu."Kenapa, Sih?" tanya Kang Agung."Aku ingin pulang dan dekat ibu
Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur."Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku."Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama
Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung."Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri."Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku."Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditola
Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u
"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
"Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga
"Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!
Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru
Kami langsung menghampiri Dewi ke dapur dan mendapati ia tengah terduduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya."Ada ular di lemari itu, Bu!" kata Dewi ketakutan, jari telunjuknya mengacung ke arah lemari di dalam warung.Aku duduk di sampingnya, dan merangkul tubuh Dewi. "Iya, Wi. Sekarang semuanya sudah selesai. Makhluk itu sudah pergi," kataku menenangkannya.Yuni dan Sumi juga ikut menenangkan, mereka memberikan air minum dan takjil untuk Dewi yang lemas setelah bangun dari pingsan."Tadi, pas saya sudah bisa melihat bahwa ada ular dalam lemari itu, mata saya tiba-tiba buram dan langsung gak sadarkan diri pas mau ngasih tahu Ibu."Dewi menceritakan penglihatannya. Ternyata, jin itu dikirim di hari yang sama dengan dibuangnya sampah-sampah dari TPS belakang terminal oleh Kang Agung. Namun, karena waktu itu aku masih sering mengaji sebelum mulai memasak di warung, jin itu kesulitan beraksi. Baru hari inilah rupanya ia bisa menjalankan perintah 'tuannya' untuk mengganggu warung
Aku terpaku beberapa detik saat melihat Dewi jatuh pingsan. Kemudian berubah panik dan ikut membantu Yuni dan Sumi memangku tubuh Dewi ke dapur. Tidak ada tempat lagi, karena tak mungkin membaringkannya di dalam warung."Jangan-jangan Dewi lemas berpuasa," ucap Yuni."Gak kok, dia gak puasa, lagi M katanya," balas Sumi.Aku mendengar seseorang memanggil dari depan warung, lekas kuhampiri dan menyuruh mereka berdua untuk menjaga Dewi.Sudah hampir Maghrib, rupanya Bu RT sekeluarga yang datang. Sepertinya mereka baru pulang ngabuburit. "Mau pesan apa?" tanyaku setelah mereka duduk di meja paling pojok, dekat lemari."Takjil dan semua menu yang ada, saya mau mencobanya, Neng," jawab Pak RT. "Ini pertama kalinya kami jajan di warungmu, iya kan, Bu?" lanjutnya."Betul. Jadi pengen nyobain masakan Neng Asih yang viral seantero Kampung Asem. Kebetulan saya gak masak, karena kesorean pulang ngabuburit," jawab Bu RT, kemudian mengusap rambut anaknya. "Ayo, sapa Bu Asih dulu," titahnya pada an
"Apa itu, Asih?" tanya Kang Agung."Didiklah keluargamu dengan benar, sehingga mereka tak mengganggu hidupku lagi! Kalau kau berhasil membuat mereka berhenti mengusikku, aku akan memaafkanmu!" tegasku."Apakah ... itu berarti kita bisa bersama lagi? Aku bisa menceraikan Rosi untukmu." ucapnya penuh harap.Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berpikir untuk mengorbankan pernikahannya saat ini!"Tidak, Kang! Memaafkan bukan berarti menerimamu lagi! Permisi," jawabku penuh rasa kesal, seraya meninggalkannya sendirian.Tak ada tempat untuk seorang penghianat. Walau pada saat itu Kang Agung berada dalam pengaruh pelet, tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah berpaling dariku. Rasa cinta pada Rosi yang masih tertanam di hatinya, memberi celah pelet itu masuk mengganggu akal sehatnya.*"Hari ini warung buka sampai malam, Bu?" tanya Dewi saat membuka tirai warung."Iya, kita buka seperti biasa," jawabku.Lima puluh cup takjil untuk dikirim ke masjid sudah siap dalam keresek