Share

MASA LALU ASIH

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-08 15:51:33

Matanya terlihat sembab seperti habis menangis, Yuni memelas meminta belas kasihan.

"Bu, tolong saya ...," ucapnya lirih.

Aku membawanya ke belakang karena malu dilihat pelanggan. Biar warung dijaga Sumi dan Dewi selagi aku bicara dengan Yuni.

"Kenapa kamu?" tanyaku setelah kami duduk di bangku tempat mengiris sayuran.

"Ardi tiba-tiba gagu, gak bisa bicara, tadi malam suhu badannya panas. Saya sudah bawa ke dokter tapi kata dokter Ardi baik-baik saja, tidak terdeteksi sakit secara medis, Bu," katanya.

"Kok aneh, bisa tidak terdeteksi begitu? Coba ingat-ingat, Yun ... barangkali kamu punya dosa sama orang, sehingga orang itu sakit hati. Bisa jadi penyakit anakmu karena lidahmu telah melukai perasaan orang lain, dan orang itu tidak terima," kataku, mencoba memberinya nasihat.

Yuni mengelap air matanya yang menetes, dengan menggunakan sapu tangan. Ia terlihat tidak terima ketika aku bicara seperti barusan. Kadang, ia memang selalu memperlihatkan sifat bengalnya.

"Bu, apa Ibu bicara begitu karena masalah Dewi kemarin? Saya kan bicara apa adanya, kalau dia tidak bisa berhitung," katanya membela diri.

"Ya sudah kalau kamu merasa begitu. Hanya kamu sendiri yang tahu niatmu seperti apa sampai-sampai harus selalu menyindir Dewi."

Sudah berkali-kali ia berusaha menyingkirkan pegawai baruku, agar bisa memasukkan adiknya kerja di sini. Sekarang Yuni terdiam, mungkin menyadari maksud perkataanku. 

"Lalu, ada apa datang kemari? Kamu mau minta tolong sama saya, wong dokter aja gak bisa nolongin ... apalagi saya, Yun," cetusku.

"Anu, Bu ... saya mau pinjam uang untuk bayar dokter. Ini saya ninggalin anak saya di klinik karena gak bawa uang, tadi ...," katanya.

Ampun ... selain mulutnya yang berbisa dan bengal, ia muka tembok juga. Sudah berani mengababaikan nasihatku, sekarang hendak meminjam uangku.

"Berapa?" tanyaku.

"Tiga ratus ribu." Dia pun berlalu setelah menerima uang.

Saat kembali ke dalam warung, meja tampak kosong, para pelanggan sudah selesai makan. Dewi sedang mencuci piring di dapur, sementara Sumi mengelap meja.

"Ada apa Yuni ke sini, Bu?" tanya Sumi.

"Pinjam uang," jawabku.

"Lho? Kemarin kan dia pinjam uang juga ke saya, Bu," cerita Sumi.

"Berapa memangnya?

"Seratus ribu."

"Oh, ya sudah. Ikhlas aja, mungkin dia memang beneran butuh," jawabku.

Sumi tampak merengut sambil terus mengelap meja. Kadang, Yuni dan Sumi suka tak akur juga. Mereka suka saingan dalam hal-hal kecil. Tapi kalau sudah ngomongin orang alias menggunjing, mereka klop banget. 

Aku menghampiri Dewi di dapur karena teringat dengan anaknya Yuni, siapa tahu anak kecil itu jadi gagu gara-gara ulah ibunya yang telah menyakiti Dewi. 

"Dewi, sekarang bagaimana perasaanmu terhadap Yuni? tanyaku. 

Dewi tak menjawab, tapi wajahnya sangat masam, menyiratkan perasaan dendam yang tersembunyi di balik dadanya.

"Kamu mirip saya dulu, waktu kerja di toko Pak Asep. Kamu tahu kan, toko kelontong yang di perempatan jalan raya itu?" tanyaku memamcing.

Dewi mengangguk, tangannya penuh busa sabun cuci piring, ia belum berhenti dari aktivitasnya itu.

"Dulu saya juga sering dipanas-panasi waktu kerja di sana, dibully, diperlakukan tidak adil, bahkan difitnah." Aku bercerita untuk memancing Dewi agar mau mengutarakan perasaannya. Siapa tahu, jika dia merasa punya teman senasib, ia akan mau bercerita. "Hingga akhirnya saya dipecat dengan tuduhan palsu. Saya menjadi dendam pada orang-orang itu."

Dewi membilas piring-piring yang telah digosok, kemudian menyimpannya ke rak piring dengan rapi. Ia tampak buru-buru melakukannya karena ingin segera duduk di sampingku dan mendengarkan ceritaku.

"Saya melakukan banyak cara agar dendam saya terbalaskan, Wi. Apalagi teman saya yang bernama Rosi itu telah merebut suami saya. Pernah saya pergi ke dukun untuk menyantet Rosi dan Pak Asep, saking dendamnya saya terhadap mereka," ceritaku. Dewi tampak antusias mendengarkan.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya Dewi.

Aku menghela napas dan membenarkan posisi jilbab Dewi yang miring. "Yang pasti, dendam itu tidak membawa kebaikan. Jika kamu masih menyimpan dendam terhadap seseorang, lebih baik lepaskan ... jangan dipelihara," kataku padanya.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Tiga tahun yang lalu setelah insiden 'penendangan' sekaligus pemecatanku dari toko kelontong Pak Asep, aku pulang dengan menaiki becak.

Waktu itu aku masih tinggal serumah dengan mertua. Ketika tiba di halaman rumah, ibu mertuaku segera menghampiri, dia berpikir aku membawa uang karena hari itu bertepatan tanggal gajian.

"Bu, Asih dipecat, boro-boro gajian ...," jawabku lirih karena menahan sakit.

Wajah ibu mertua berubah kecut. Bukannya menolong, ia malah mengomel. "Haduuuh! Beras, minyak, gas, listrik ... sudah habis semua. Mana suamimu juga belum terima honor, lagi!" katanya sambil terus berlalu meninggalkanku. Ia sama sekali tidak mempedulikan keadaanku yang merintih kesakitan akibat tendangan Pak Asep di perutku.

Bab terkait

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   MASA LALU ASIH (2)

    "Nia, tolong ... bantu kakak berjalan ke kamar. Rasanya sakit sekali perut ini," kataku pada adik ipar yang kebetulan keluar rumah."Aduh, Kak ... maaf ya. Nia buru-buru mau jalan sama temen nih," jawabnya seraya melengos. Dia sudah lulus SMA. Hobinya dandan, terus main bersama geng-nya. Astaghfirullloh ... hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali menerima perlakuan abai dari keluarga Kang Agung. Mereka tak pernah mempedulikanku. Andai saja aku tidak bekerja, mungkin aku dan anakku akan kelaparan, karena gaji Kang Agung—yang saat itu masih berstatus guru honorer—belum cukup untuk menafkahiku.Akhirnya, aku pun berjalan tertatih-tatih ke kamar, sambil berpegangan ke dinding rumah. Betapa sakit dan pegal-pegal badanku waktu itu, hingga kasur butut pun bagaikan harta karun bagiku, aku berbaring dengan nyaman di atasnya.Malam setelah Kang Agung pulang mengajar ngaji, aku mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah ibu."Kenapa, Sih?" tanya Kang Agung."Aku ingin pulang dan dekat ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   MASA LALU ASIH (3)

    Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur."Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku."Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   MASA LALU ASIH (4)

    Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung."Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri."Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku."Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditola

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   MASA LALU ASIH (5)

    Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   SANTET

    *Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-31
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   SEGUMPAL DAGING

    "Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   KEMBALIANNYA YUNI KE WARUNG

    "Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-06
  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   YUNI BERAKSI

    Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-08

Bab terbaru

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Akhir

    "Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 32

    Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 31

    "Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Netizen

    "Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   29

    "Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Kebodohan Asih

    Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Penyebab Asih Sakit

    Kami langsung menghampiri Dewi ke dapur dan mendapati ia tengah terduduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya."Ada ular di lemari itu, Bu!" kata Dewi ketakutan, jari telunjuknya mengacung ke arah lemari di dalam warung.Aku duduk di sampingnya, dan merangkul tubuh Dewi. "Iya, Wi. Sekarang semuanya sudah selesai. Makhluk itu sudah pergi," kataku menenangkannya.Yuni dan Sumi juga ikut menenangkan, mereka memberikan air minum dan takjil untuk Dewi yang lemas setelah bangun dari pingsan."Tadi, pas saya sudah bisa melihat bahwa ada ular dalam lemari itu, mata saya tiba-tiba buram dan langsung gak sadarkan diri pas mau ngasih tahu Ibu."Dewi menceritakan penglihatannya. Ternyata, jin itu dikirim di hari yang sama dengan dibuangnya sampah-sampah dari TPS belakang terminal oleh Kang Agung. Namun, karena waktu itu aku masih sering mengaji sebelum mulai memasak di warung, jin itu kesulitan beraksi. Baru hari inilah rupanya ia bisa menjalankan perintah 'tuannya' untuk mengganggu warung

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Ular

    Aku terpaku beberapa detik saat melihat Dewi jatuh pingsan. Kemudian berubah panik dan ikut membantu Yuni dan Sumi memangku tubuh Dewi ke dapur. Tidak ada tempat lagi, karena tak mungkin membaringkannya di dalam warung."Jangan-jangan Dewi lemas berpuasa," ucap Yuni."Gak kok, dia gak puasa, lagi M katanya," balas Sumi.Aku mendengar seseorang memanggil dari depan warung, lekas kuhampiri dan menyuruh mereka berdua untuk menjaga Dewi.Sudah hampir Maghrib, rupanya Bu RT sekeluarga yang datang. Sepertinya mereka baru pulang ngabuburit. "Mau pesan apa?" tanyaku setelah mereka duduk di meja paling pojok, dekat lemari."Takjil dan semua menu yang ada, saya mau mencobanya, Neng," jawab Pak RT. "Ini pertama kalinya kami jajan di warungmu, iya kan, Bu?" lanjutnya."Betul. Jadi pengen nyobain masakan Neng Asih yang viral seantero Kampung Asem. Kebetulan saya gak masak, karena kesorean pulang ngabuburit," jawab Bu RT, kemudian mengusap rambut anaknya. "Ayo, sapa Bu Asih dulu," titahnya pada an

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Firasat Dewi

    "Apa itu, Asih?" tanya Kang Agung."Didiklah keluargamu dengan benar, sehingga mereka tak mengganggu hidupku lagi! Kalau kau berhasil membuat mereka berhenti mengusikku, aku akan memaafkanmu!" tegasku."Apakah ... itu berarti kita bisa bersama lagi? Aku bisa menceraikan Rosi untukmu." ucapnya penuh harap.Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berpikir untuk mengorbankan pernikahannya saat ini!"Tidak, Kang! Memaafkan bukan berarti menerimamu lagi! Permisi," jawabku penuh rasa kesal, seraya meninggalkannya sendirian.Tak ada tempat untuk seorang penghianat. Walau pada saat itu Kang Agung berada dalam pengaruh pelet, tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah berpaling dariku. Rasa cinta pada Rosi yang masih tertanam di hatinya, memberi celah pelet itu masuk mengganggu akal sehatnya.*"Hari ini warung buka sampai malam, Bu?" tanya Dewi saat membuka tirai warung."Iya, kita buka seperti biasa," jawabku.Lima puluh cup takjil untuk dikirim ke masjid sudah siap dalam keresek

DMCA.com Protection Status