"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
"Kenapa dimaafkan, Bu? Pecat saja! Kita jadi rugi gara-gara dia!" ucap Yuni sambil bersungut."Jangan, Yun. Hanya kesalahan kecil, tak perlu sampai dipecat," jawabku.Yuni adalah pegawaiku yang paling cerewet. Dia pandai bersilat lidah. Kadang lidahnya digunakan untuk berkata baik, tapi lebih seringnya ia gunakan untuk menghasud."Masa dibiarkan saja, Bu? Kemarin salah ngasih uang kembalian, hari ini terulang lagi. Kan hilang lima puluh ribu, padahal untung kita gak seberapa," tambahnya.Aku hanya tersenyum tipis. Jadi ingat jaman dulu, waktu masih kerja di toko kelontong milik Pak Asep. Ada yang mirip-mirip Yuni."Dewi masih kecil, dia cuma lulusan SMP, itu juga gak tamat. Saya gak akan pecat dia," ucapku, agar Yuni berhenti membahas kesalahan Dewi."Nah, justru itu, Bu. Kenapa kita gak cari orang baru untuk menggantikan Dewi? Kebetulan, adik saya juga nganggur di rumah. Kalau dibandingkan Dewi, adik saya pasti lebih pintar. Adik saya banyak bisanya. Gak cuma cekatan disuruh kesana-k
"Ngomong apa kamu sama Dewi, Yun?" Aku menghampiri Yuni di dapur, ia masih mencuci piring. "Memangnya kenapa, Bu? Tadi dia ke sini, saya cuma bilang kalau hari ini warung rugi lima puluh ribu, gara-gara dia salah ngasih kembalian," jawabnya dengan muka manis. "Terus ngomong apa lagi?" tanyaku, agak membentak. Yuni jadi ketakutan. Memang, baru kali ini aku 'keras' terhadapnya. "Sa—saya bilang, adik saya lebih pintar—" Yuni menunduk. "Astaghfirulloh, Yuni! Dia masih kecil, umurnya aja jauh di bawah kamu. Kok kamu julid sama anak kecil, sih? Pantes aja dia nangis, kamu ngomongnya keterlaluan! Lagipula, apa maksudmu membandingkan Dewi dengan adikmu? Apa kamu mau membuat Dewi gak betah kerja di sini, agar adikmu bisa menggantikannya?" cecarku. Berkali-kali Yuni membuat 'kabur' pegawaiku, berkali-kali pula aku mencari pegawai baru dan tak meloloskan niat Yuni yang ingin memasukkan adiknya di warung nasiku. "Ma—maaf, Bu. Saya cuma merasa sayang dengan warung
"Pencuri! Enyah kau dari sini! Jangan sekali-kali kau atau keluargamu lewat di depan ruko ini lagi! Haram mataku melihat kalian!" hardik Pak Asep ketika aku berlutut di kakinya untuk bersumpah, bahwa aku tak mencuri uangnya sebanyak sebelas juta."Demi Alloh—"Belum selesai aku bersumpah dan menjelaskan duduk perkaranya, Pak Asep menendang tubuhku hingga terpental ke luar toko. Kakinya kuat menghantam perutku yang tengah mengandung tujuh bulan, hingga esok harinya aku keguguran. Kang Agus yang saat itu masih jadi suamiku, murka karena aku gagal melahirkan anak kedua.Semua orang menyaksikan, para pejalan kaki dan pengemudi kendaraan seketika berhenti melihat kejadian waktu itu. Ya, toko kelontong Pak Asep terletak di pinggir jalan raya, sehingga semua orang dapat melihatnya.Sejak saat itulah aku berhenti kerja di tokonya, karena Rosi telah memfitnahku mencuri uang Pak Asep sebesar sebelas juta. Padahal, uang itu dipinjam Rosi dariku. Hingga Pak Asep menanyakan uang itu, Rosi belum ju
Ibuku memang selalu emosi terhadap Kang Agung. Setiap kali mendengar namanya, atau ingatannya tentang mantan suamiku itu muncul, ibu selalu emosi."Bukan masalah masih 'ngarep', melainkan Asih lebih senang merintis usaha warung nasi. Lagipula Asih masih trauma, Bu," jawabku."Tapi kamu masih muda. Usiamu masih tiga puluh tahun, ibu pengen kamu ada yang mendampingi, biar ibu tenang," ucapnya seraya duduk di meja makan. Aku menuangkan nasi dan lauk nya ke piring ibu.Entahlah, bagaimana lagi aku harus menjawab. Keinginan ibu memang masuk akal, ia sudah sepuh dan khawatir tak ada yang menjagaku andai ia sudah tiada. *Subuh-subuh aku menuntun Dewi menuju ke warung, setelah susah payah membujuknya agar mau kembali bekerja. Kasihan dia, jika tak bekerja ... bagaimana ia dan neneknya bisa makan?"Bu, Dewi takut. Kak Yuni selalu bersikap manis tapi kata-katanya selalu menyakiti hati Dewi," curhatnya di sepanjang jalan."Memangnya, dia suka ngomong apa aja?" tanyaku."Katanya Dewi masih anak
Memang, kemarin itu aku lihat Dewi sangat tertekan menahan sakit. Andai ia masih ada orangtua, aku yakin mereka akan melabrak Yuni atas perlakuannya terhadap Dewi."Ah, mungkin cuma kebetulan, Wi. Gak usah dipikirkan," responku menenangkan Dewi, karena ia terlihat khawatir dan merasa bersalah.Namun dalam hati, aku merasa yang dikatakan Dewi bisa jadi benar. Doa seorang yang tersakiti dan terdzolimi bisa saja dikabulkan Alloh. Apalagi Dewi yatim piatu, satu-satunya tempat ia mengadu hanya Alloh."Bu, Dewi mau bantu-bantu Kak Sumi masak, ya. Maaf kalau Ibu terganggu dengan cerita Dewi barusan," ucapnya seraya berlalu ke dapur.Keajaiban memang bisa saja terjadi dalam hidup ini, semua tak lepas dari kuasa Alloh. Siapa sangka, hidupku yang dulu susah bahkan untuk makan pun harus menjatah sehari sebesar dua puluh ribu rupiah, kini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Aku mengelap piring saji dan menatanya. Satu per satu menu yang dimasak sudah matang, diantarkan Sumi kepada
"Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami
Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,
"Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny
"Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga
"Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!
Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru
Kami langsung menghampiri Dewi ke dapur dan mendapati ia tengah terduduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya."Ada ular di lemari itu, Bu!" kata Dewi ketakutan, jari telunjuknya mengacung ke arah lemari di dalam warung.Aku duduk di sampingnya, dan merangkul tubuh Dewi. "Iya, Wi. Sekarang semuanya sudah selesai. Makhluk itu sudah pergi," kataku menenangkannya.Yuni dan Sumi juga ikut menenangkan, mereka memberikan air minum dan takjil untuk Dewi yang lemas setelah bangun dari pingsan."Tadi, pas saya sudah bisa melihat bahwa ada ular dalam lemari itu, mata saya tiba-tiba buram dan langsung gak sadarkan diri pas mau ngasih tahu Ibu."Dewi menceritakan penglihatannya. Ternyata, jin itu dikirim di hari yang sama dengan dibuangnya sampah-sampah dari TPS belakang terminal oleh Kang Agung. Namun, karena waktu itu aku masih sering mengaji sebelum mulai memasak di warung, jin itu kesulitan beraksi. Baru hari inilah rupanya ia bisa menjalankan perintah 'tuannya' untuk mengganggu warung
Aku terpaku beberapa detik saat melihat Dewi jatuh pingsan. Kemudian berubah panik dan ikut membantu Yuni dan Sumi memangku tubuh Dewi ke dapur. Tidak ada tempat lagi, karena tak mungkin membaringkannya di dalam warung."Jangan-jangan Dewi lemas berpuasa," ucap Yuni."Gak kok, dia gak puasa, lagi M katanya," balas Sumi.Aku mendengar seseorang memanggil dari depan warung, lekas kuhampiri dan menyuruh mereka berdua untuk menjaga Dewi.Sudah hampir Maghrib, rupanya Bu RT sekeluarga yang datang. Sepertinya mereka baru pulang ngabuburit. "Mau pesan apa?" tanyaku setelah mereka duduk di meja paling pojok, dekat lemari."Takjil dan semua menu yang ada, saya mau mencobanya, Neng," jawab Pak RT. "Ini pertama kalinya kami jajan di warungmu, iya kan, Bu?" lanjutnya."Betul. Jadi pengen nyobain masakan Neng Asih yang viral seantero Kampung Asem. Kebetulan saya gak masak, karena kesorean pulang ngabuburit," jawab Bu RT, kemudian mengusap rambut anaknya. "Ayo, sapa Bu Asih dulu," titahnya pada an
"Apa itu, Asih?" tanya Kang Agung."Didiklah keluargamu dengan benar, sehingga mereka tak mengganggu hidupku lagi! Kalau kau berhasil membuat mereka berhenti mengusikku, aku akan memaafkanmu!" tegasku."Apakah ... itu berarti kita bisa bersama lagi? Aku bisa menceraikan Rosi untukmu." ucapnya penuh harap.Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berpikir untuk mengorbankan pernikahannya saat ini!"Tidak, Kang! Memaafkan bukan berarti menerimamu lagi! Permisi," jawabku penuh rasa kesal, seraya meninggalkannya sendirian.Tak ada tempat untuk seorang penghianat. Walau pada saat itu Kang Agung berada dalam pengaruh pelet, tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah berpaling dariku. Rasa cinta pada Rosi yang masih tertanam di hatinya, memberi celah pelet itu masuk mengganggu akal sehatnya.*"Hari ini warung buka sampai malam, Bu?" tanya Dewi saat membuka tirai warung."Iya, kita buka seperti biasa," jawabku.Lima puluh cup takjil untuk dikirim ke masjid sudah siap dalam keresek