“Loh, Mbak?” Luna terheran saat ada mobil pick up beserta beberapa orang membawa lemari dan tempat tidur ke dalam butik.Aku tak sempat menanggapi. Kuarahkan mereka yang membawa barang-barangku untuk ke lantai dua, dimana ada ruang istirahat yang ukurannya lumayan lebih besar dibandingkan kamarku di rumah. Kuabaikan Luna dan Mayang yang masih terlihat bingung.Setelah kejadian tadi malam, aku memutuskan untuk pergi dari rumahku sendiri dengan membawa semua yang kubutuhkan.“Kamu beneran gila, Bang?” Aku menatap pada Bang Arlan setelah tawaku reda. “Kenapa aku harus keluar dari rumahku sendiri? Kalian yang numpang disini! Seharusnya kalian tau diri, dong.”“Gita!” Bang Arlan berdiri dengan sorot mata tajamnya. “Setidaknya hormati Mamaku. Dia orang tua juga. Kalau kamu gak mau menurutinya untuk membiayai hidup kami, biarkan Mama tinggal disini dengan nyaman tanpa ada kamu,” ujarnya tanpa memikirkan perasaanku.“Uwaahh… Aku benar-benar bisa gila hidup di antara kalian semua.” Tak ingin b
“Aku bingung sama Angga, Mbak. Apakah Mbak Ranti tau sesuatu?”Malam ini aku tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Angga dan kata-katanya yang tegas membuatku selalu terbayang kejadian tadi pagi. Akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan hal ini pada Mbak Ranti, orang terdekat Angga yang mungkin banyak tau hal tentang lelaki berwajah tanpa ekspresi itu. Aku menceritakan semua kejadiannya pada Mbak Ranti sebelum akhirnya bertanya tentang rasa penasaranku.Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. “Mbak gak ada hak untuk menceritakan semuanya sama kamu, Git. Nanti, suatu hari, kamu juga akan mengetahuinya, kok.”“Tapi, Mbak…”“Terima saja perlakuan Angga sama kamu saat ini. Dia sudah lama mencarimu. Dan saat tau kamu sudah menikah, dia membantu dengan cara menjadikan suamimu pegawai di perusahaannya dan juga…” Mbak Ranti menjelaskan dengan seksama, namun tiba-tiba terhenti.“Lalu, Mbak?”“Maaf, Git. Mbak gak bisa lanjutkan. Ini juga Mbak udah keceplosan. Gak seharusnya Mbak ceri
“Gak apa-apa, lain kali aku ceritain. Kamu sebaiknya urus masalah untuk nanti malam aja dulu,” ujar Angga dengan bijak, setelah aku berkata padanya bahwa nanti malam akan menghadiri undangan dari Tante Rusni untuk makan malam bersama Yunita dan Bang Arlan.“Kalau butuh bantuan apa-apa, telpon aja aku!” kata Angga sebelum pergi meninggalkan butik.Aku hanya mengangguk dan kembali menenggelamkan kepala di antara lipatan tangan di atas meja kerja.Bang Arlan terus memaksaku untuk membatalkan pertemuan itu, namun aku tetap bersikeras mengajaknya untuk datang.“Apakah kamu takut, Bang? Berani berabuat harus berani bertanggung jawab, dong.” Aku menggertaknya saat di telepon tadi.“Terserah!” Hanya satu kata itu yang dia lontarkan sebelum mengakhiri telepon.Dia tidak bisa menolak karena beberapa hal yang harus dia pertimbangkan.****Aku menunggu Bang Arlan menjemput di butik, karena aku malas bertemu dengan Mama dan Arin di rumah. Awalnya, Bang Arlan enggan menggunakan mobilnya, namun sete
“Gita!” bentak Bang Arlan. Wajahnya teramat murka dengan dada naik turun. Sorot matanya tajam hingga terlihat merah mengerikan.Namun, aku dengan berani membalas tatapan itu.“Tante Rusni…” Aku mengalihkan tatapan pada wanita paruh baya yang kini sudah terduduk lemas sambil memegang dadanya. “Yang saya katakan barusan adalah benar. Silahkan Tante tanyakan pada Yunita, anak tante satu-satunya itu.” Mataku menunjuk Yunita yang sudah berlinang air mata.Napas Tante Rusni mulai terlihat sesak. Yunita menatapku nyalang, sedang air mata terus mengalir ke pipinya.Aku tersenyum miring. Kenapa harus dia yang menangis?“Apa kau harus sejauh ini, Gita?” Bang Arlan mencengkram bahuku. Langsung aku tepis dengan kasar sebelum dia menekannya dengan kasar.“Yunita! Katakan kalau itu semua bohong, Nak!” lirih Tante Rusni. Suaranya mulai terisak.“Mama…” Yunita mendekat pada Ibunya dan memeluk lengannya.“Katakan kalau yang diucapkan Gita barusan itu tidak benar!” bentak Tante Rusni dengan suara keras
“Aku harap, ini yang terakhir kamu ikut campur dalam urusanku, Angga.” Aku membuka pintu mobil, namun masih menahan diri untuk turun demi menyampaikan isi hatiku.“Orang akan mengira kita ada hubungan spesial,” sambungku. “Kamu dengar tadi? Bang Arlan menuduh kamu sebagai ayah kandung dari Chika.” Aku menatap manik mata bulat milik Angga dibalik cahaya temaram dalam mobil. “Dan kamu gak marah dituduh seperti itu?”Pria itu hanya tersenyum tipis.“Saya cuma mau melindungi kamu, Gita.” Dia menjawab dengan tenang.Aku kembali menutup pintu mobil dengan kasar.“Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk kamu menjelaskan semuanya. Aku tidak ingat siapa kamu, dan apa yang telah aku lakukan apdamu sehingga kamu bersikeras ingin membalas budi padaku.” Aku menekan kalimat dengan nada tegas.Angga menarik napas dalam, lalu membuka laci dashboard, mengambil sesuatu dari dalam sana. Lalu dia mengulurkan telapak tangannya yang berisi sebuah Kartu Tanda Siswa yang warnanya sudah memudar.Aku
“Bunda… aku kangen.. kapan Ayah sama Bunda kesini?” Chika merengek saat kami melakukan panggilan video pagi ini.Hatiku terenyuh mendengar dia merindukan ayahnya. Ada yang berdesir di dada ini. Ayah yang dia rindukan saat ini adalah orang yang telah menyakiti ibunya. Namun, tidak mungkin aku membuatnya membenci Bang Arlan. Bagaimanapun, aku tidak bisa melupakan kebaikan Bang Arlan yang membantu merawat Chika seperti anaknya sendiri.Mataku memburam. Ada cairan yang menghalangi pandanganku yang akan segera menetes.“Nak… gimana kerjaan kamu? Lancar?” Ibu menyela saat menyadari aku hanya termenung mendengar rengekan Chika.Aku mengusap cairan yang tiba-tiba menetes dari sudut mataku. “Alhamdulillah lancar, Bu. Semua berkat doa dari ibu,” sahutku dengan senyuman.“Bunda… ayah mana?” Chika masih merengek dengan wajah cemberutnya yang menggemaskan, sebab pipinya menggembung saat bibirnya mencebik manja.“Ayah lagi… emm.. lagi kerja, Nak.” Aku menjawab dengan gugup sambil memikirkan kata yan
“Yunita!” pekik Bang Arlan yang tiba-tiba masuk ke dalam butik dengan wajah panik.Dia berlari menghampiri kekasihnya dan memeluk Yunita yang sedang meraung seperti orang kerasukan.Ternyata sejak tadi Bang Arlan menunggu di mobil.Aku menyunggingkan senyum getir melihat adegan di depanku.“Kamu apakan dia?” Mata Bang Arlan seakan ingin melompat dari tempatnya. Menatapku dengan melotot selebar-lebarnya.Bukannya membuatku takut, dia justru membuatku tertawa dan bertepuk tangan.“So sweet…” ucapku dengan wajah manja.Yunita mulai tenang. Dia terduduk di kursi tamu masih dengan tangan digenggam oleh suamiku.“Gita!” sentak Bang Arlan, masih menuntut jawaban.“Dia gak sedang berakting, kan?” ujarku sambil berjalan mendekati Yunita, sedikit membungkuk untuk memperhatikan wajahnya yang menunduk.Hari sudah semakin beranjak menuju senja. Matahari perlahan bergerak ke arah barat. Namun, suasana hangat yang seharusnya kunikmati bersama pekerjaan yang belum selesai, malah terusik dengan kehadi
“Jelasin, Yunita!” desakku.Tak ada jawaban dari wanita dengan bulu mata lentik berkat bantuan make up itu. Mulutnya seolah terkunci rapat. Yunita bungkam dengan wajah yang terlihat serba salah. Dia gugup dan salah tingkah seperti orang yang baru ketahuan mencuri. Apa dia keceplosan?“Gak perlu dipaksa!” desis Bang Arlan, membelanya. “Aku yakin dia hanya tertekan karena ulah kamu. Kamu itu wanita menyeramkan, Gita!” Bang Arlan menarik tangan Yunita hingga wanita itu berdiri.“Oya?” kataku sambil menyibak rambut.“Ayo kita pulang, Sayang!” ajaknya dengan suara lembut. Tangannya merangkul bahu Yunita dengan penuh kasih sayang.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Kuhirup semua oksigen yang ada untuk memenuhi paru-paruku yang sejak tadi sesak akibat berdebat dengan dua makhluk menyebalkan dan tidak tahu malu.“Apa? Mereka menyuruhku menyerahkan butik ini? Lantas, kalau aku tidak mau, mereka mau meminta hak asuh Chika? Apa sih, maksudnya? Benar-benar aneh.” Aku berbicara dengan pena yang bera
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu