“Jelasin, Yunita!” desakku.Tak ada jawaban dari wanita dengan bulu mata lentik berkat bantuan make up itu. Mulutnya seolah terkunci rapat. Yunita bungkam dengan wajah yang terlihat serba salah. Dia gugup dan salah tingkah seperti orang yang baru ketahuan mencuri. Apa dia keceplosan?“Gak perlu dipaksa!” desis Bang Arlan, membelanya. “Aku yakin dia hanya tertekan karena ulah kamu. Kamu itu wanita menyeramkan, Gita!” Bang Arlan menarik tangan Yunita hingga wanita itu berdiri.“Oya?” kataku sambil menyibak rambut.“Ayo kita pulang, Sayang!” ajaknya dengan suara lembut. Tangannya merangkul bahu Yunita dengan penuh kasih sayang.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Kuhirup semua oksigen yang ada untuk memenuhi paru-paruku yang sejak tadi sesak akibat berdebat dengan dua makhluk menyebalkan dan tidak tahu malu.“Apa? Mereka menyuruhku menyerahkan butik ini? Lantas, kalau aku tidak mau, mereka mau meminta hak asuh Chika? Apa sih, maksudnya? Benar-benar aneh.” Aku berbicara dengan pena yang bera
“Maafin Mbak, ya Luna. Mbak tiba-tiba gak enak badan, jadi pulang duluan,” lirihku melalui telepon.Setelah beberapa jam bertemu dengan Mamanya Bang Arlan siang tadi, aku tidak bisa melanjutkan kegiatan di pameran karena kepalaku tiba-tiba sangat sakit. Beruntung acara puncak sudah selesai. Luna dan Mayang hanya perlu merekap semua pesanan dan beberapa perusahaan yang ingin bekerja sama.“Gak apa-apa, Mbak. Semua memang tinggal tugas kami berdua,” jawab Luna.“Gimana tadi kalian beres-beresnya? Kerepotan gak?” Aku cemas dan tidak enak hati, karena merasa kurang bertanggung jawab.“Aman, Mbak.” Luna menyahut dengan tawa kecil. “Tapi…”“Tapi apa, Lun? Ada masalah waktu saya pulang?” Perasaanku selalu tidak enak karena tidak tuntas menjalankan kegiatan besar pertamaku.“Gak ada masalah, Mbak. Semua aman dan lancar. Hanya saja, tadi Pak Angga sangat khawatir sama Mbak Gita.”Aku memang tidak sempat izin padanya untuk meninggalkan acara lebih dulu.“Apa dia marah? Terus dia ngomong apa?”
“Maaf, lupakan saja perkataanku. Mungkin aku juga kurang istirahat.” Angga salah tingkah. “Aku panggilkan dokter dulu.”Pria itu berlalu pergi dengan gelagatnya yang terlihat aneh. Setelah menutup pintu yang tengahnya terbuat dari kaca, aku masih bisa melihatnya mengacak rambut dengan kesal.“Benar-benar aneh.” Aku kembali memijat kening yang masih terasa berdenyut, mengabaikan sikap Angga.Tak berapa lama, dokter datang dan memeriksaku. Namun, tak kudapati Angga ikut kembali ke ruangan ini.‘Kemana lelaki itu?’ Aku membatin dan menjadi cemas.Teringat dengan ucapannya yang terdengar ambigu. Aku mencoba mencernanya. Mungkin dia ingin menjadi teman dekat yang bisa membantuku, mengawasi dan memantau kesehatanku? Ah, mustahil dan sangat aneh. Buat apa seorang Angga melakukan itu selain hanya karena hutang budi yang dia anggap mahal itu.“Makasi, Dokter.” Aku merasa agak enakan setelah menerima suntikan darinya. Pria yang kutaksir berusia empat puluhan dengan jas putih kebanggaannya itu m
“Mbak…” Luna dan Mayang menghambur memelukku ketika pintu butik baru saja dibuka.Dua gadis yang setia membantuku ini mengusap matanya yang mulai basah.“Maaf ya, Mbak ninggalin kalian.” Aku memegang tangan Luna dan Mayang. Mereka mengangguk paham.Setelah tiga hari dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat tidak boleh memforsir pekerjaan dan harus memperhatikan pola makan.Selama aku dirawat, Luna dan Mayang tidak menjenguk karena Angga melarang siapa saja memasuki ruangan khusus itu. Sangat berlebihan dan kekanakan. Apa salahnya kalau ada orang yang ingin menjenguk?“Gimana keadaan kamu, Git?” Mbak Ranti menghampiriku dengan senyuman hangatnya. Wanita dengan bibir tipis itu sudah siap dengan setelan rapi untuk kembali ke konveksi karena sudah ditinggalkan beberapa hari untuk membantu mengurus butik milikku.“Alhamdulillah, Mbak. Gita udah sehat.”“Ingat, kamu jangan…”“Iya, Mbak. Gita paham.” Segera kupotong kalimatnya karena aku tahu dia akan mengomeliku. Peringata
“Apa yang kamu katakan tadi?” Aku mendesis geram saat Bang Arlan berhasil diusir oleh Angga dengan ucapannya yang tidak masuk akal.“Calon suamiku? Yang benar saja, Angga!” kataku dengan tegas. Bagaimana mungkin dia mempermainkan kata-kata itu. “Apa kamu bercanda?” tekanku sekali lagi saat Angga masih membisu.Pria bertubuh tinggi itu terdiam dan menatapku lekat tanpa beralih kemana pun.Angga menggelengkan kepalanya pelan. “Aku sama sekali gak bercanda, Gita.”Sekali lagi, dia membuat mataku melotot tak percaya. Permainan apa ini? aku tidak mungkin bersama Angga. Aku bahkan tidak pernah memikirkan untuk menjalin hubungan lagi setelah disakiti Bang Arlan.Aku tertawa melihat ekspresi Angga yang sangat tegang dan serius.“Aku serius. Bukannya aku pernah bilang, aku ingin menjadi bagian penting dalam hidupmu, Gita. Apa kamu tidak paham?” Angga menarik napas berat. “Sekarang aku lega bisa mengungkapkannya, tapi tidak seperti yang aku rencanakan,” ujarnya sambil meremas rambutnya sendiri.
“Sebenarnya apa yang kamu temukan untuk menelusuri siapa ayah kandung Chika?” Aku langsung bertanya dengan setengah kesal sebab tidak mendapat gambaran sama sekali tentang apa yang dipikirkan Angga.Angga merubah posisi duduknya. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa dengan kaki disilangkan.“Aku harus tau cerita ketika malam reuni itu, sebelum menyimpulkan akhirnya,” sahut Angga.“Apa ini ada kaitannya dengan kehadiran Chika di …?” Aku bertanya dengan suara sedikit bergetar, sebab mengingat kejadian yang tidak kusadari akan kehadiran Chika di rahimku.“Apa kamu ingat sesuatu?” tanya Angga terlihat antusias.Aku memiringkan kepala sambil menatap ke atas. “Aku juga gak yakin. Itu sudah lama dan aku gak ingat semuanya,” jawabku.“Apa yang kamu makan dan minum disana, Gita?” Pertanyaan Angga membuatku mengerutkan kening dan kembali berpikir keras.“Hanya steak daging dan soda. Tapi…” Tiba-tiba aku tidak bisa mengingat kejadian setelahnya.Ekspresi Angga berubah tegang. “Tapi apa?”“Aku ra
“Apa semua ini berawal dari acara reuni itu?” Aku berpikir sambil menatap langit-langit kamar.Malam ini, pertama kalinya aku kembali ke rumah peninggalan Ayah setelah keluarga Bang Arlan pergi, rasanya lega dan lengang. Tinggal seorang diri ternyata tidak serta merta merasa kesunyian. Adakalanya aku merasa tenang dan damai.Namun, tidak jarang dalam benakku terlintas, dimana Bang Arlan dan keluarganya tinggal saat ini? Apa yang sedang mereka rencanakan? Entah kenapa aku selalu berprasangka, bahwa mereka semua ingin menjatuhkanku dan terus berusaha membuatku menderita, tanpa mau berhenti sebelum tujuannya tercapai. Semoga hanya prasangkaku saja.“Apa salahku sama kalian? Selama ini aku selalu baik dan gak pernah menuntut banyak. Aku selalu terima apapun perlakuan kalian dari awal kami menikah sampai akhirnya Chika lahir pun sikap kalian sama sekali gak berbuah.”Aku bermonolog sendiri sambil membayangkan sedang berada diantara Bang Arlan, Mama dan Arin.“Kenapa kamu bertahan dan diam,
“Terima kasih atas kerjasamanya.”Aku menunduk memberi hormat pada semua orang yang bertugas dalam acara tanya jawab seputar masalah membangun bisnis dan cara mempromosikan sampai dikenal banyak orang, tentunya di bidang fashion terkhusus mengupas tentang pakaian batik.Setelah semua kru pergi, tinggallah aku, Mbak Ranti dan Angga di dalam ruangan meeting di lantai dua. Lantai satu saat ini sedang dipenuhi pelanggan yang sedang dilayani oleh karyawan-karyawan baruku.“Kamu memang luar biasa, Git. Mbak sangat bersyukur bisa kenal sama kamu dan menjalin kerjasama untuk bangkit menjadi perempuan yang kuat ketika harus menghadapi permasalahan dalam rumah tangga. Semua itu gak menggoyahkan semangat untuk menjadi sukses, ya, Git.” Mbak Ranti menggenggam tanganku yang sejak tadi bertengger di atas meja.Aku membalas genggamannya. Tanganku yang satunya menggenggam tangan Mbak Ranti. Sambil tersenyum penuh haru, aku berujar, “aku gak akan bisa seperti ini kalau gak ada Mbak Ranti. Kita memang
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu