Sama banggg, aku juga kangen :))
“Kau sudah menemukannya? Dimana?” Daisy sampai terdengar terengah saat bertanya, ia menunggu kabar dari Ash sejak tadi.“Sudah. Aku membawanya ke Andover tapi. Terlalu jauh ke Reading. Ia butuh istirahat.” Ash melirik Mae yang tertidur di kursi sebelah. Ash menyelimutinya dengan seragam yang dipakainya. Gemetar tubuhnya sudah berhenti dan Mae tertidur hampir seketika.Mobil itu norak, tapi penghangatnya bekerja dengan baik. Mae bisa nyenyak terlelap meski baju dan tubuhnya lembab oleh salju.“Apa yang terjadi? Apa mereka menyakitinya?” tanya Daisy.Satu tangan Ash yang masih memegang kemudi meremas dengan kencang. “Aku tidak tahu.” Ash punya bayangan, tapi tidak mau memikirkannya sekarang, karena ingin fokus pada Mae.“Keluargamu brengsek!” Daisy memaki dengan jelas.“Aku tahu.” Ash memutus panggilan setelah itu. Tidak perlu mendengar makian itu karena hanya akan memperburuk amarahnya. Ash tidak butuh godaan untuk lebih marah saat ini.Ash mengusap kening Mae, hangat tapi tidak amat m
“Mary…”Mae menggeleng. “Kau bisa bersama yang tidak rusak. Yang lebih baik… yang tidak selalu menangis… yang tidak selalu membutuhkanmu setiap saat, tidak memerlukan bantuan hanya untuk berdiri…” “Mary, untuk apa aku bersama seseorang yang tidak membutuhkanku?” Ash menutup bibir Mae dengan jari.“Aku ingin berada di tempat yang benar—tempat dimana aku diinginkan. Aku ingin berada bersama orang yang membutuhkanku karena dengan begitu aku dihargai—aku dicintai. Ini tidak salah bukan?”Mae ingin menyingkirkan tangan Ash yang ada di pipinya, tapi Ash malah semakin kencang mencengkram.“Maaf, tapi tidak mau. Aku tidak mau bersama yang lain,” tandas Ash.Mae menggeleng, lalu mundur untuk melepaskan diri. Pergulatan yang percuma tentunya, karena Ash dengan mudah mendorong, dan mengunci tubuhnya. Hanya butuh kurang dari sepuluh detik, Mae tidak lagi bisa bergerak, dengan kedua tangan ada dalam genggaman Ash di samping kepalanya,“Untuk apa?” tanya Mae. “Aku tidak bisa memberimu apapun! Aku t
“Ash? Kau ada di Inggris?”Dean muncul dengan kesadaran yang mungkin tidak lebih dari separuh, tampak tersaruk-saruk dan mengusap wajahnya untuk melihat dengan lebih jelas, dan memastikan kalau yang datang benar-benar Ash.“Kau bisa tidur nyenyak setelah menyiksanya?!” Ash tidak memberi kesempatan bernapas untuk Dean, langsung membentak. Tentu saja benci melihat kenyaman tidur yang diperlihatkan ayahnya, sementara Mae harus gelisah, menangis dalam kedinginan sebelum akhirnya bisa terlelap.“Aku tidur belum sampai setengah jam, dan—”“AKU TIDAK PEDULI!” Ash memotong dengan keras.“Pelankan suaramu! Kau ingin Amy mendengar?”Dengan lelah, Dean memberi isyarat agar Ash mengikutinya ke ruangan lain yang lebih jauh dari kamar Amy, agar pertengkaran mereka tidak terdengar olehnya.Meski sambil mengepalkan tangan, Ash terpaksa mengikutinya. Akan menambah kerepotan lain kalau sampai Amy tahu memang.“Apa yang kau lakukan padanya?!” Ash menyerang lagi begitu sampai di ruang tengah.“Aku—tidak m
“Did you…”Dean melangkah mundur karena shock oleh gerakan tangan itu. Tentu sulit menerima kalau Ash baru saja berusaha mencekiknya.Ash kini sudah ditarik mundur oleh anggota RaSP, dan tidak melawan juga meski bisa. Sedikit tersadarkan kalau tangannya tadi bergerak lebih cepat dari pikiran. Tapi Ash tidak menyesal.“Kau—““Kalian keluar.” Rowena mengangkat tangan, meminta Ash diam dulu, sementara mengusir bodyguardnya yang masih menunggu dengan sikap canggung. Merasa keadaan belum aman, tapi bukan tugas mereka juga untuk ikut campur urusan domestik. Rowena mengusir karena lebih baik mereka tidak mendengar lanjutan semua pertengkaran itu memang.“Aku tidak akan membunuhnya!” Ash mendesis, ikut mengusir mereka. Alasannya tentu Mae. Mereka tidak perlu mendengar tentang latar belakang Mae yang mungkin tersebut dalam pertengkaran itu.Akhirnya mereka mengangguk dan menjauh—lebih jauh dar sebelumnya, karena Rowena mengusir lagi dengan kibasan tangan.“Kau baru saja ingin mencekikku?” Dean
[SEPULUH TAHUN LALU]Ash mengernyit. Ingatannya tajam, tapi perubahan bangunan dan jalan itu cukup drastis. Ia tidak lagi mengenali titik-titik yang menjadi penanda keberadaan rumah singgah itu. “Ck, apa aku menyerah saja?”Ash bergumam sambil membelokkan mobil ke arah gerai kopi kecil. Ia akan membeli kopi sebelum kembali ke kampus. Ia masih punya waktu, meski sebenarnya harus belajar karena besok adalah hari pertama ujian akhir semester.Ash tidak berencana datang secara khusus ke Leicester tadi, hanya lewat mengantar Jennifer pulang ke rumahnya. Ia teman kuliah yang saat ini dekat dengannya, dan sedikit pemaksa. Ash kemarin hanya berjanji mengantarnya pulang dan sudah, tapi Jen malah bermaksud membawanya masuk untuk diperkenalkan pada orang tuanya.Tentu saja Ash memakai seribu alasan untuk menolak, mereka baru dekat kurang lebih sebulan, dan Ash bahkan tidak ingat nama belakang Jennifer siapa. Ia tidak akan tahu harus memanggil orang tuanya dengan nama apa. Ash tidak merasa perlu
“Bantuan macam apa?” Ash akan membantu kalau memang bisa.“Apa kau masih ingat keadaan rumah yang tempatmu tinggal itu?” tanya Carol.Ash mengangguk. “Rumah dua lantai yang cukup besar.” “Ya, dan rumah itu adalah warisan dari suamiku. Aku memakainya sebagai rumah singgah setelah suamiku meninggal, kurang lebih sudah hampir dua puluh tahun sekarang, dan keadaannya belum berubah.” Carol mengeluh sambil mengusap wajahnya yang tampak sedih.“Terus terang saja, selama dua puluh tahun ini, aku tidak melakukan perbaikan apapun di sana, dan keadaannya hampir runtuh.”Ash sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan itu, tapi cukup maklum. Dulu saja saat masih tinggal di sana, keadaan rumah itu juga sudah tidak terlalu baik. Tidak amat reyot tapi beberapa tempat sudah harus diganti atapnya karena rapuh.“Karena itu aku ingin meminta bantuan padamu. Bisakah kau membicarakan ini dengan ayahmu? Bukan untuk meminta uang darinya, tapi mungkin bisa membantuku untuk mencari dana bantuan dari lembaga y
“Jangan akhir minggu ini, Jen. Aku sibuk.”Ash menolak, untuk kedua kalinya. Jennifer kembali memintanya untuk mengantar pulang, tapi Ash tidak mungkin mau terjebak lagi. Apalagi karena memang ada alasan kuat. Ia memang akan pergi ke Leicester akhir minggu ini, tapi untuk menemui Mary.“Kau selalu saja beralasan! Kau sibuk apa? Menyebalkan sekali. Tidak bisakah kau sedikit saja meluangkan waktu untukku?!”Masih panjang. Omelan dan amukan itu masih cukup panjang, tapi Ash tidak lagi mendengar. Dengan mudah mengabaikan, karena matanya sudah fokus pada deretan lolipop warna-warni yang ada di depannya.Ash ingin membeli seadanya tadi, tapi rupanya banyak sekali rasa dan jenis. Ash tidak bisa memutuskan.“Apa rasa lollipop yang paling enak?” tanya Ash, memutus omelan Jennifer yang belum berhenti.“Hm? Aku suka jeruk dan anggur. Apa kau ingin membelikannya untukku?” Jennifer terkejut tapi kemudian terdengar girang.“Tidak, aku hanya bertanya. Terima kasih rekomendasinya.” Ash mencabut lima l
“Kau bersyukur rumah itu terbakar. Kau tidak ingin aku mendekati Mary, tidak ingin aku berhubungan lagi dengan mereka.” Ash mengulang setiap kata yang didengarnya hari itu.“Kau sengaja membakar tempat itu bukan? Kau bersyukur tidak ada lagi yang bisa mencari tahu tentang diriku, maupun ibuku! Kau akan mengelak pernah mengatakan ini?” Ash tadi sudah goyah, saat mendengar bantahan ayahnya yang amat meyakinkan itu. Tapi setelah memorinya mengulang lagi luka yang dideritanya hari itu, Ash tidak bisa menghapus tuduhannya begitu saja. Faktanya, Dean memang lega dan gembira rumah itu terbakar.Dean menghempaskan tubuhnya kembali ke atas sofa lalu menutup wajahnya. “Kau mendengar rupanya.” Dean tentulah tidak bermaksud mengatakan itu selain untuk Brad.“Ya! Aku mendengar semuanya! Aku mendengar kebusukanmu hari itu!” Ash sampai merasa mual lagi, ingatannya terlalu jelas.“Aku tidak akan mengelak, memang aku gembira saat mendengar berita itu. Tapi hanya sampai di sana.” Dean tampak meremas