Empat nihhh udahan :))
[SEPULUH TAHUN LALU]Ash mengernyit. Ingatannya tajam, tapi perubahan bangunan dan jalan itu cukup drastis. Ia tidak lagi mengenali titik-titik yang menjadi penanda keberadaan rumah singgah itu. “Ck, apa aku menyerah saja?”Ash bergumam sambil membelokkan mobil ke arah gerai kopi kecil. Ia akan membeli kopi sebelum kembali ke kampus. Ia masih punya waktu, meski sebenarnya harus belajar karena besok adalah hari pertama ujian akhir semester.Ash tidak berencana datang secara khusus ke Leicester tadi, hanya lewat mengantar Jennifer pulang ke rumahnya. Ia teman kuliah yang saat ini dekat dengannya, dan sedikit pemaksa. Ash kemarin hanya berjanji mengantarnya pulang dan sudah, tapi Jen malah bermaksud membawanya masuk untuk diperkenalkan pada orang tuanya.Tentu saja Ash memakai seribu alasan untuk menolak, mereka baru dekat kurang lebih sebulan, dan Ash bahkan tidak ingat nama belakang Jennifer siapa. Ia tidak akan tahu harus memanggil orang tuanya dengan nama apa. Ash tidak merasa perlu
“Bantuan macam apa?” Ash akan membantu kalau memang bisa.“Apa kau masih ingat keadaan rumah yang tempatmu tinggal itu?” tanya Carol.Ash mengangguk. “Rumah dua lantai yang cukup besar.” “Ya, dan rumah itu adalah warisan dari suamiku. Aku memakainya sebagai rumah singgah setelah suamiku meninggal, kurang lebih sudah hampir dua puluh tahun sekarang, dan keadaannya belum berubah.” Carol mengeluh sambil mengusap wajahnya yang tampak sedih.“Terus terang saja, selama dua puluh tahun ini, aku tidak melakukan perbaikan apapun di sana, dan keadaannya hampir runtuh.”Ash sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan itu, tapi cukup maklum. Dulu saja saat masih tinggal di sana, keadaan rumah itu juga sudah tidak terlalu baik. Tidak amat reyot tapi beberapa tempat sudah harus diganti atapnya karena rapuh.“Karena itu aku ingin meminta bantuan padamu. Bisakah kau membicarakan ini dengan ayahmu? Bukan untuk meminta uang darinya, tapi mungkin bisa membantuku untuk mencari dana bantuan dari lembaga y
“Jangan akhir minggu ini, Jen. Aku sibuk.”Ash menolak, untuk kedua kalinya. Jennifer kembali memintanya untuk mengantar pulang, tapi Ash tidak mungkin mau terjebak lagi. Apalagi karena memang ada alasan kuat. Ia memang akan pergi ke Leicester akhir minggu ini, tapi untuk menemui Mary.“Kau selalu saja beralasan! Kau sibuk apa? Menyebalkan sekali. Tidak bisakah kau sedikit saja meluangkan waktu untukku?!”Masih panjang. Omelan dan amukan itu masih cukup panjang, tapi Ash tidak lagi mendengar. Dengan mudah mengabaikan, karena matanya sudah fokus pada deretan lolipop warna-warni yang ada di depannya.Ash ingin membeli seadanya tadi, tapi rupanya banyak sekali rasa dan jenis. Ash tidak bisa memutuskan.“Apa rasa lollipop yang paling enak?” tanya Ash, memutus omelan Jennifer yang belum berhenti.“Hm? Aku suka jeruk dan anggur. Apa kau ingin membelikannya untukku?” Jennifer terkejut tapi kemudian terdengar girang.“Tidak, aku hanya bertanya. Terima kasih rekomendasinya.” Ash mencabut lima l
“Kau bersyukur rumah itu terbakar. Kau tidak ingin aku mendekati Mary, tidak ingin aku berhubungan lagi dengan mereka.” Ash mengulang setiap kata yang didengarnya hari itu.“Kau sengaja membakar tempat itu bukan? Kau bersyukur tidak ada lagi yang bisa mencari tahu tentang diriku, maupun ibuku! Kau akan mengelak pernah mengatakan ini?” Ash tadi sudah goyah, saat mendengar bantahan ayahnya yang amat meyakinkan itu. Tapi setelah memorinya mengulang lagi luka yang dideritanya hari itu, Ash tidak bisa menghapus tuduhannya begitu saja. Faktanya, Dean memang lega dan gembira rumah itu terbakar.Dean menghempaskan tubuhnya kembali ke atas sofa lalu menutup wajahnya. “Kau mendengar rupanya.” Dean tentulah tidak bermaksud mengatakan itu selain untuk Brad.“Ya! Aku mendengar semuanya! Aku mendengar kebusukanmu hari itu!” Ash sampai merasa mual lagi, ingatannya terlalu jelas.“Aku tidak akan mengelak, memang aku gembira saat mendengar berita itu. Tapi hanya sampai di sana.” Dean tampak meremas
Mae membuka mata, dan seketika ingin marah. Ia belum ingin bangun—kepalanya masih sakit, tapi suara getaran dari ponselnya sangat mengganggu.Mae meraba sekitar tubuhnya, karena tidak tahu ponselnya dimana, tapi yang tersentuh adalah rambut.Mae memekik dan langsung duduk. Ia lupa kalau ada kemungkinan makhluk hidup di sampingnya.“Mary? Ada apa?” Ash ikut terbangun dan menggosok matanya yang amat merah. Ia baru sampai ke apartemennya itu saat fajar hampir terbit tadi.“Ada—Ha… apa ini?”Ash terkekeh, karena Mae tiba-tiba saja menghambur dan memeluknya dengan brutal, sampai membuatnya kembali terbaring.“Kau ada… masih ada…” Mae bergumam, sambil terus mengeratkan pelukannya. Kembali meresapi semua hangat yang dirindukannya itu.“Jangan katakan kau lupa semua apa yang terjadi malam kemarin.” Ash sudah meraup tubuh Mae, dan menyelipkan jari di antara rambutnya.“Tidak. Tapi rasanya seperti mimpi. Aku mengira sedang bermimpi. Tapi kau ada, berarti bukan mimpi.” Mae bergumam, sambil menar
“Iya! Astaga!” Ash mengumpat setelah itu.“Aku sedang menyelamatkan nyawamu di sini! Aku sudah menipu beberapa orang dan meminta agar mengantar logistik yang tidak perlu hanya untukmu. Jangan mengumpat padaku! ” Ian mengumpat juga dengan tegang, sebelum memutuskan panggilan.Ia sedang memastikan Ash kembali tepat waktu, dan memang harus ada penerbangan ekstra agar Ash bisa kembali ke Andorra tanpa dicurigai. Ian yang mengatur, memakai nama Ash tentu. Aman seharusnya, tapi tetap Ash harus hati-hati agar tidak bertemu dengan orang yang dikenalnya selama di Andover.“Temanmu itu ramah sekali.” Mae yang ada di samping Ash tertawa pelan mendengar semua umpatan itu. Mereka duduk di ruang depan, tidak jauh dari pintu.“Memang, aku harus ‘ramah’ juga agar bisa mengendalikannya.” Ash menepuk sepatu yang baru saja dipakainya, memastikan sudah terikat kencang, sebelum berdiri.Mae ikut berdiri juga. “Ini saatnya.”“Benar.” Ash mengusap pipi Mae dengan senyum pahit.“Aku tidak ingin terdengar kura
“Nenek sihir itu kalah juga akhirnya.” Daisy dengan puas tertawa, sampai suaranya menggema di ruang toko yang memang masih kosong itu.“Jangan menyeramkan begitu!” sergah Mae, tapi sambil tertawa juga. Hanya lebih sopan. Suara tawa Daisy tadi terlalu mirip tawa jahat ala antagonis yang berhasil membunuh lawannya.“Kau tidak marah aku mengatakannya pada Ash?” tanya Daisy sambil berpaling memandang sekitar.Mae dengan tanggap mencari kursi dan mendekatkannya pada Daisy. Ia belum bisa berdiri terlalu lama.“Sebenarnya ingin, tapi hasilnya instan sekali, jadi aku tidak akan membuat keributan.” Mae menunduk dan menekan hidung Daisy yang tersenyum bandel.Mae tentu bisa menebak dari mana Ash mengetahui masalahnya dengan Rowena. “Aku juga tidak akan mengatakannya kalau Rowena tidak keterlaluan.” Daisy mencibir.“Dia…” Mae tidak ingin menyebutnya amat jahat karena paham apa alasannya. “Yang penting toko ini sudah kembali padaku.” Mae akan bisa tersenyum padanya Rowena saat mereka bertemu lag
Carol tidak ingin pengacara itu salah paham dan melapor pada Monroe. Urusannya bisa menjadi panjang—dan menakutkan. Keadaannya tidak boleh menjadi lebih buruk lagi. Carol sudah mengiba, menyembah dan merendahkan diri, sampai rela bersopan-santun pada Monroe dan Stewart, karena hanya mereka tempatnya meminta tolong saat ini.Ketenangan dan kesombongan Carol yang dulu masih bisa dipertahankan saat menghadapi Mae, sudah lama tidak terlihat, karena semakin nyata nasibnya akan terbenam dalam lumpur setelah ini.“Siapa yang dimaksudkan olehnya?” tanya Stewart. Ingin tahu siapa yang dibahas Faraday.“Eh? Itu… tidak ada.” Carol menggeleng. Mulai panik, dan memeras otak agar Stewart tidak bertanya lebih lanjut.“Kau jangan…”“Tidak ada. Sungguh.” Carol menghindar.Stewart memandangnya, menimbang, akhirnya mengangguk, menyimpan pesan itu tanpa bertanya lagi.“Mr. Stewart, mmm…Apa Anda sudah menyampaikan pesan saya pada Sir Monroe?” tanya Carol. Ia menagih sedikit janji.“Sudah, dan katanya aku