“Aku tidak tahu kau sudah sadar.” Ash terkejut saat melihat Daisy dalam keadaan membuka mata. Ia baru saja meninggalkan sisi Mae.Mata Daisy bergulir menatap Ash. Awalnya biasa saja, tapi dengan cepat menjadi merah dan air mata turun di pelipisnya.“Maaf, apakah maskernya bisa dilepaskan?” Ash bertanya pada perawat yang kebetulan lewat di dekat ranjang Daisy.“Oh? Tentu, asalkan pasien tidak merasa sesak napas lagi. Apa Anda bisa bernapas lega?” Perawat itu bertanya dengan ramah, tentu berpura-pura tidak melihat air mata Daisy, karena itu privasi.Daisy mengangguk dan perawat itu membantunya melepaskan masker, lalu memasang selang oksigen menempel di bawah hidungnya. Masih membantu Daisy bernapas dengan lebih lega meski tanpa masker. “Panggil saya lagi kalau memang terasa sesak.” Begitu perawat itu berpamitan dan pergi, maka Daisy tidak lagi menahan isakannya. Ash meraih tisu dan membantunya menghapus air mata, karena tangan Daisy terlalu lemas untuk menggenggam apapun. Tangannya den
Ash menggeleng. “Perbedaan itu bukan tidak mungkin. Bisa jadi orang tua kalian—”“Ayahku O dan ibuku A. Aku melihat catatannya di dokumen dulu. Aku tidak amat paham saat pertama melihatnya, tapi saat mempelajarinya di sekolah, aku akhirnya paham. Aku dan Mae tidak mungkin berasal dari orang tua yang sama.”Ash memejamkan mata, ingin memproses tapi otaknya terasa terlalu aktif. Ia berpikir terlalu jauh, padahal jawabannya mudah. Hanya perlu hal sederhana untuk membuktikannya.“Mae tidak menganggapnya aneh, karena tidak pernah melihat dokumen kematian orang tua kami—orang tuanya. Aku dulu meminta pada Mama Carol untuk memperlihatkannya karena penasaran kenapa mereka meninggal, Mae tidak pernah mempertanyakannya.”Daisy menghapus butir air matanya yang turun, lalu melanjutkan dengan nada datar.“Tapi aku malah bersyukur saat menyadari kalau Mae tidak akan pernah tahu. Dokumen itu sudah ikut terbakar bersama rumah Mama Carol. Aku lega saat menyadarinya.”“Apa kau waras? Kenapa kau diam? Ke
“Jangan memaksa kalau masih lemas. Tidak ada yang memburumu, Mary.” Ash berdiri dan menahan bahu Mae yang tampak ingin bangkit begitu membuka mata.“Aku—dimana…” Mae menatap sekitar.“Rumah sakit. Kau pingsan.” Ash menekan remote, sedikit menegakkan ranjang agar Mae bisa lebih tegak tanpa harus duduk.“Oh—ya.” Mae menerjemahkan kenyataan saat pandangannya menemukan polisi berseragam, tampak berjaga tidak jauh dari pintu.“Stone meninggalkannya agar bisa melaporkan perkembangan keadaanmu dan Daisy secara langsung.” Ash menjelaskan alasan keberadaan polisi itu. Stone sudah meninggalkan rumah sakit beberapa saat lalu.“Daisy!” Mae berpaling dengan sangat cepat, tapi ranjang Daisy kosong. “MANA…”“Jangan panik. Daisy hanya sedang menjalani serangkaian tes. CT-scan dan lain-lain. Aku kurang tahu apa saja, tapi banyak. Dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan keadaannya.”Ash memandang lantai saat mengatakan itu, karena dirinya kurang lebih berkontribusi atas kegawatan keadaa
“Jangan bodoh! Kau sakit, tidak seharusnya berpikir sejauh itu! Aku—” Mulut Mae terbungkam, oleh tangan kurus Daisy. “Aku tidak mau mendengarnya lagi.” Daisy mencegah Mae menyebut tentang tanggung jawab lagi.Mae tadi mencela setelah Daisy mengaku kalau semua hinaan itu ada untuk menjauhkan Mae. “Tapi benar—meski… itu… Dibuat—”“Aku tahu. Bob—maksudku Inspektur Stone, sudah menceritakannya padaku.” Daisy mengambil alih. Mae ragu karena tidak tahu seberapa banyak Daisy tahu tentang keadaan yang sebenarnya.“Kau baik-baik saja?” Mae meraih tangan Daisy. Sejak tadi ia mengkhawatirkan bagaimana reaksi Daisy.“Mereka… mereka…”“Aku baik, Mae. Aku malah merasa lebih baik. Aku rasa, dokter Faraday memang penipu. Aku langsung merasa lebih baik begitu berhenti meminum obat darinya.” Daisy menghela napasnya yang nyaring itu, dan hanya itu.Mae sampai menatapnya dengan heran. Ia mengira Daisy akan menangis setidaknya, atau marah—apapun, bukan hanya sekadar menghela napas.“Kau yakin baik-baik
“Aku tidak tahu! Aku bukan ahli obat!” Carol menggeleng dan membentak.Bahkan lebih keras dari detektif yang Sejak tadi menginterogasinya. Tentu saja Carol tidak mengakui satupun kejahatan yang dituduhkan padanya“Kau tahu semua penolakan ini akan menjadi catatan jaksa dan akan memperberat tuntutan hukumanmu bukan?” Detektif yang sebenarnya memiliki kesabaran cukup tebal itu sudah tampak lelah. Bukan hanya hari ini saja, kemarin sikap Carol kurang lebih sama. Tidak mengatakan apapun—tidak menyebutkan hal yang penting.Carol kurang lebih hanya mengeluh tentang sakit punggungnya yang fiktif—tidak ada lagi yang percaya. Atau berpura-pura tidak mendengar, mengantuk dan lain sebagainya. Carol memakai segala cara untuk menghindari pertanyaan.“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Carol menggeleng dan bersandar di kursinya.Kata-kata yang mungkin sudah diulangnya ratusan kali semenjak sampai di kantor polisi adalah itu.“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” Detektif itu menggelengkan ke
“Kau menolak bicara padaku kemarin!” Carol menyahut dengan marah begitu mendengar jawaban dari seberang. Carol tahu pria itu sengaja menghindarinya.“Memang, dan kenapa juga aku harus mendengarmu?” Pria itu tidak terdengar gembira mendengar Carol marah padanya.“Aku dalam keadaan genting! Kau seharusnya membantuku!” Carol mendesis sementara matanya memandang sekitar. Ia berbisik amat pelan agar tidak ada yang mendengar. Polisi yang bertugas mengantarnya sudah berada dalam jarak aman karena memang peraturannya seperti itu, tapi Carol masih cemas kalau ada yang mendengar. Urusan ini harus ditangani dengan hati-hati.“Memang apa yang terjadi?” Pria itu akhirnya bertanya.“Aku tertangkap oleh Polisi,” kata Carol.“Lalu? Aku harus prihatin?” Pria itu tidak terdengar peduli.“Kau harus membantuku! Kau ingin aku membuka mulut tentang apa yang kau lakukan?” Carol langsung mengancam, dan terdengar geraman marah dari seberang.“Aku sudah membuatmu kaya raya dengan memberimu banyak uang—sesuai d
“Mrs. Mary, saya mohon jangan mendengar apapun permohonan darinya. Wanita ini licik dan akan berusaha untuk membuat Anda kasihan. Dia bersalah, tapi akan memohon pada Anda. Ingat ini.” Stone memberi peringatan saat Carol belum muncul.“Ya.” Mae mengangguk sementara mengeratkan genggaman tangannya yang gemetar.Ruang interogasi di kantor polisi itu terasa dingin dan kaku. Dindingnya putih polos, tanpa hiasan apapun, dan lampu neon yang menyala terang di atas kepala, otomatis memberikan suasana yang tegang. Ini bukan pertama kali Mae ada disana, tapi pengalamannya jauh berbeda. Mae dulu ada di sisi lain meja, dan tidak berusaha mengkonfrontasi wanita yang sudah dikenalnya seumur hidup. Mae separuh takut mendengar jawaban yang akan didengarnya dari Carol, tapi harus.“Datang juga.” Stone bergumam, saat pintu terbuka dan Carol masuk, dikawal oleh salah satu anak buahnya.Carol tampak tenang, tapi matanya melebar terkejut saat melihat Mae. Terkejut yang tidak lagi ditahan, karena cocok de
Carol menatap Stone dengan mata yang berlinang air mata. "Karena aku juga ditipu. Dokter itu mengatakan ada kelebihan uang dan menyuruh saya menyimpan, akan digunakan lagi bulan berikut. Saya berhemat dan menyimpan semua sesuai instruksi. Saya bahkan menambahkan uang itu saat Daisy membutuhkan biasa besar—saat operasi jantung dulu.”Ini adalah kisah paling panjang yang diberikan Carol selama ada dalam ruangan itu. Tapi Stone malah tersenyum geli.“Lucu juga. Dokter sudah memeriksa dan Daisy tidak pernah menjalani operasi apapun. Memang ada bekas jahitan di dadanya, tapi hanya dari luka biasa. Memang ada luka dibuat—dijahit, tapi tidak ada operasi yang terjadi.”Mae merasakan bisa merasakan hatinya mengerut. Seperti kempis begitu saja oleh sara kecewa yang menusuk, saat kenyataan yang benar itu datang. “Aku—aku harus mengiba dan merayu Barnet untuk mendapatkan sebagian uang itu. Apa kau tahu? Evelyn memanggilku Jalang Murahan setiap hari setelah itu, dan aku menerima. Karena benar.”S
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga