Hayooo siapa? :))
“Mrs. Mary, saya mohon jangan mendengar apapun permohonan darinya. Wanita ini licik dan akan berusaha untuk membuat Anda kasihan. Dia bersalah, tapi akan memohon pada Anda. Ingat ini.” Stone memberi peringatan saat Carol belum muncul.“Ya.” Mae mengangguk sementara mengeratkan genggaman tangannya yang gemetar.Ruang interogasi di kantor polisi itu terasa dingin dan kaku. Dindingnya putih polos, tanpa hiasan apapun, dan lampu neon yang menyala terang di atas kepala, otomatis memberikan suasana yang tegang. Ini bukan pertama kali Mae ada disana, tapi pengalamannya jauh berbeda. Mae dulu ada di sisi lain meja, dan tidak berusaha mengkonfrontasi wanita yang sudah dikenalnya seumur hidup. Mae separuh takut mendengar jawaban yang akan didengarnya dari Carol, tapi harus.“Datang juga.” Stone bergumam, saat pintu terbuka dan Carol masuk, dikawal oleh salah satu anak buahnya.Carol tampak tenang, tapi matanya melebar terkejut saat melihat Mae. Terkejut yang tidak lagi ditahan, karena cocok de
Carol menatap Stone dengan mata yang berlinang air mata. "Karena aku juga ditipu. Dokter itu mengatakan ada kelebihan uang dan menyuruh saya menyimpan, akan digunakan lagi bulan berikut. Saya berhemat dan menyimpan semua sesuai instruksi. Saya bahkan menambahkan uang itu saat Daisy membutuhkan biasa besar—saat operasi jantung dulu.”Ini adalah kisah paling panjang yang diberikan Carol selama ada dalam ruangan itu. Tapi Stone malah tersenyum geli.“Lucu juga. Dokter sudah memeriksa dan Daisy tidak pernah menjalani operasi apapun. Memang ada bekas jahitan di dadanya, tapi hanya dari luka biasa. Memang ada luka dibuat—dijahit, tapi tidak ada operasi yang terjadi.”Mae merasakan bisa merasakan hatinya mengerut. Seperti kempis begitu saja oleh sara kecewa yang menusuk, saat kenyataan yang benar itu datang. “Aku—aku harus mengiba dan merayu Barnet untuk mendapatkan sebagian uang itu. Apa kau tahu? Evelyn memanggilku Jalang Murahan setiap hari setelah itu, dan aku menerima. Karena benar.”S
“Kalau kau membutuhkan sesuatu, katakan saja.” Ash mengatakannya untuk Daisy yang ada di kursi belakang.“Hm…” Daisy menyahut seadanya, sementara matanya sibuk memandang apapun yang ada di luar. Ini pertama kalinya ia pergi jauh dari Bakewell. Setelah dokter mengizinkan dan memastikan keadaannya, Daisy keluar dari rumah sakit hari ini.“Aku akan berhenti kalau memang kau lelah. Dimana—”“Just shut up! Apa dia memang selalu seberisik ini? Aku pikir pendiam!” Daisy akhirnya berpaling meninggalkan pemandangan kota ramai, bertanya dengan jengkel pada Mae—yang ada di samping Ash.Ash sudah menyebut pertanyaan yang sama saat mereka akan berangkat tadi, dan kini mengulanginya lagi untuk ketiga kalinya. Daisy kesal dan malah menganggapnya mengganggu, meski itu adalah bentuk perhatian.“Memang. Tapi aku menganggapnya perhatian yang manis.” Mae tidak heran lagi dengan pertanyaan beruntun dari Ash saat ada hal yang diperkirakan salah atau berbahaya.“Oh, please. Jangan bermanis-manis saat aku ada
“Kau membuatnya menjadi dapur?!” Mae memekik saat melihat perubahan besar lain begitu sampai di dalam.Bukan hanya banyak perabotan baru menggantikan yang tua, area rumah yang kemarin masih menjadi bagian diskusi belum tahu akan dipakai untuk menjadi apa, kini sudah terisi menjadi dapur lain yang lebih luas dari dapur yang kemarin sudah ada. Ada oven yang lebih besar, juga meja panjang yang lebih luas. Tujuannya jelas, agar Mae bisa membuat kue dengan lebih bebas. Kini kegiatan dapur sehari-hari—baik bahan-bahan maupun peralatan—akan terpisah dari kegiatan Mae membuat kue. Tidak akan saling mengganggu.“Itu tidak…”“Ini rumahmu. Harus diisi dengan apapun yang kau butuhkan, dan kau inginkan aku rasa.”Ash tersenyum lalu membuka pintu oven besar yang bernilai itu untuk memeriksa kekuatannya.Ia sudah meminta kontraktor untuk memakai merk terbaik, tapi belum sempat mengawasi prosesnya.Tapi melihat sekilas, semua peralatan yang ada disana tampak sangat kokoh dan lebih profesional.“Aku
“Ada apa?’Ash yang baru keluar dari kamar mandi, bingung melihat Mae berdiri di tengah kamar lalu tertawa begitu saja. Tanpa sebab.“Mary, jangan membuatku takut.” Ash benar-benar takut karena masa rawan emosional belum benar-benar terlewat. Mae masih sangat mudah menangis, dan tertawa seperti itu tidaklah normal juga.“Aku sedang mengingat saat pertama masuk ke sini. Kau lucu.” Mae menunjuk ranjang Ash. Ranjang yang ada di kamar Ash. Mae menempatinya bersama Ash sekarang, Daisy menempati kamar yang dulu dipakai Mae. Masih ada kamar lain, tapi dua kamar itu yang paling layak huni—karena memang hanya dua kamar itu yang diperbaiki. Ash belum memikirkan kemungkinan kamar lain akan dipakai, karena tentu tidak mungkin ia akan membiarkan Mae memakai kamar berbeda dengannya.“Aku lucu?” Ash mengerutkan kening, mengingat.“Oh? Aku menganggapmu mimpi.” Ash bisa tersenyum sekarang, meski tingkat stres saat kejadian itu membuatnya memerlukan mandi berendam paling tidak setengah jam untuk bisa
“Boleh aku meminta sesuatu?” tanya Daisy.“Tentu saja!” Mae menjawab tanpa berpikir panjang, karena tengah bergembira melihat piring sarapan Daisy sudah licin tanpa sisa.Mae tadi membuat sarapan yang cukup berat—avocado toast, juga kacang merah rebus. Ia juga memberi porsi yang banyak dengan menambahkan dua keping roti tawar. Melihatnya habis, membuat Mae amat lega.Tidak ada lagi masalah pencernaan yang membuat Daisy memuntahkan makanannya. Salah satu obat dari dokter Faraday yang membuatnya seperti. Tentu agar berat tubuhnya kurang—agar Daisy tampak sakit.“Sure.” Ash juga mengangguk saat Daisy melirik ke arahnya. Ia tidak keberatan memberinya apapun asal masuk akal.“Aku ingin peredam suara,” kata Daisy.Ash menelan persetujuannya, karena ternyata permintaan itu tidak masuk akal. “Kau ingin membuat studio rekaman atau apa?” “Tidak. Peredam suara itu untuk kamar kalian, agar suara berisiknya tidak sampai keluar.”PRANG!Mae yang masih fokus pada piring Daisy, menjatuhkan garpunya d
Parker yang tadinya hanya separuh mendengarkan— tidak menganggap apapun yang akan dikatakan Ash sangat penting –langsung mendongak. “Apa yang…”“Saya akan mengundurkan diri.” Ash mengulang keputusannya yang sudah bulat itu dengan lebih tegas—tanpa menyisakan keraguan sedikitpun.Ash sudah menimbang hal itu semenjak detik pertama mendengar celaan ayahnya. Walau enggan mengakui dengan keras, Ayahnya benar. Ash tidak akan mengingkari—terutama karena berhubungan dengan Mae.Ash tidak bisa meninggalkannya terus menerus untuk bertugas—apalagi tugas yang berbahaya. Ia akan menjadi beban lain yang harus dipikirkan Mae. “Tapi… kenapa? Maksudmu dari pasukan khusus atau…” Parker sampai terbata, karena memang keputusan itu terlihat tanpa sebab olehnya.“Seluruhnya.” Ash menegaskan lagi. Kalau hanya mengundurkan diri sebagai pasukan khusus, akan ada waktu dimana ia bertugas lebih dari sebulan terkadang. Tidak amat berbahaya tapi tetap lama dan beresiko.“Alasannya, saya—akan menyebutnya alasan p
“Bloody hell! No way!” Daisy berseru sambil menggeleng.Menolak untuk percaya dengan apa yang baru saja disampaikan Mae. Terlalu diluar dugaan.“Aku tidak melebih-lebihkan. Aku sudah pergi ke rumahnya—mirip sekali dengan Buckingham Palace, dan istri ayahnya adalah tipe Lady yang bisa melubangi tengkorak hanya dengan pandangan mata,” jelas Mae, sambil menyelipkan potongan cookies melon hangat ke dalam mulut Daisy yang terus membuka karena masih terkejut.Mae baru saja menjelaskan dari mana asal kekayaan Ash pada Daisy. Fakta yang lebih dari sekadar mengejutkan tentu.“Tunggu!” Daisy meraih ponsel sambil mengunyah, lalu menunjukkan layarnya pada Mae.“Ini ayah Ash? Kau yakin? Bukan hanya mirip?” Daisy menunjukkan foto Dean Cooper, berjas, tersenyum cemerlang, dengan bendera Inggris di belakangnya. Foto resmi pose perdana menteri.“Ya. Aku bertemu dengannya—di dunia nyata dia agak menakutkan menurutku.” Mae sedikit bergidik karena kesan foto itu hangat sekali. Padahal Dean tidak amat hang
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga