Halooo besok akan terbit biasa, cuma mungkin agak siang ya 😁 ada sesuatu dan lain hal😆
“Kau ingin apa?” Mae meninggalkan catatannya yang baru terisi separuh, duduk lebih tegak untuk mendengarkan Ash yang baru saja menghubunginya dan mengatakan hal aneh.“Aku ingin menebus hutang padamu.” Ash mengulang.“Hutang apa?” Mae tidak ingat Ash punya hutang apapun.“Makan malam. Kita belum jadi melakukannya dulu.” Ash menyebut kencan mereka yang batal akibat Mae ditangkap.“Ah!” Mae akhirnya ingat. “Kau ingin kita makan malam diluar?” “Benar. Kau tidak sibuk bukan?”“Tidak.” Mae langsung menutup buku catatannya. Tidak mungkin menolak ajakan itu.Ash terkekeh mendengar semangat Mae. “Aku akan menjemputmu. Mungkin satu jam lagi. Aku sudah dalam perjalanan pulang.” “WAH!” Mae tergesa memutus panggilan itu dan bangkit.“Ada apa?” tanya Daisy. Sejak tadi memang ia ada di samping Mae, memberi usulan apa saja menu yang bisa dipakai Mae untuk bahan percobaan.“Aku harus bersiap. Ash mengajakku makan malam!” Mae panik karena satu jam sepertinya tidak cukup untuk bersiap-siap. Rambutnya
Restoran Perancis "La Belle Époque" terletak tidak jauh dari rumah mereka yang di Reading, sudah masuk area lebih kota, jadi tidak amat sepi.Ash memesan restoran yang dengan yang dulu dibatalkannya, karena memang restoran itu cukup terkenal dengan makanan dan ambience yang tenang. Mae juga langsung terpikat saat melihatnya.“Aku tidak tahu ada suasana seperti ini tanpa perlu pergi jauh,” Mae, sambil mengagumi lampu kristal menggantung dari langit-langit, tidak amat besar yang berlebihan, tapi elegan dan memancarkan cahaya remang yang hangat.Musik klasik lembut mengalun di latar belakang, semakin melembutkan atmosfer. Mae seperti menyentuh udara yang terbuat dari beludru, nyaman.“Mr. Cooper, silakan.” Pelayan mengantar mereka ke meja pesanan Ash, terletak di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Jalan raya tidak terlihat lagi. Mereka seperti terisolasi dalam gelembung dunia lain.“Tolong singkirkan. Istri saya alergi.” Ash menunjuk mawar merah dalam vas kristal menghiasi meja
“Aku mengerti Ash. Ini adalah bagian dari tanggung jawabmu.” Mae tidak akan mengaku, ini memang hal yang wajar.” Mae mencoba terdengar profesional, seperti Poppy atau Gina saat tengah menjelaskan pekerjaan suaminya.“Berapa lama?” Mae bertanya tapi hatinya dengan cepat menciut, semakin takut mendengar jawabannya.“Sekitar sebulan atau dua bulan—bisa jadi lebih. Tidak bisa dipastikan, karena keadaannya tidak pasti. Ada perundingan dan lain sebagainya untuk menyelesaikan keadaan itu.”Ash memang tidak punya jawaban pasti. Tidak seperti misi saat bertugas sebagai pasukan khusus, Ash hanya perlu menyelesaikan tugas pendek—dengan bahaya berlipat ganda—tugas yang ini lama, meski tidak seberbahaya itu.“Oke.” Mae mengangguk dengan bahu turun. Ia sudah bersiap mendengar minggu, tapi tidak bulan. Ini salah sebenarnya, karena Poppy kemarin memberi contoh tahun saat menyebut tugas jangka panjang. Mae seharusnya menyiapkan hati untuk mendengar tahun, jadi tidak amat kecewa.“Mary, jangan diam. Aku
“Ha?” Mae ternganga. Ia tidak tahu hal itu mungkin. “Bagaimana—”“Tuntut mereka. Atas kerusakan mental dan lainnya. Suruh mereka membayar kerja keras yang kau lakukan. Entah fisik atau psikis, minta ganti rugi. Carol menyimpan perhiasannya bukan? Dia punya uang untuk membayarmu.” Ash menjelaskan caranya.Mae diam menatapnya, menyusun pemikiran yang tiba-tiba itu. Mae tahu kalau harta hasil penipuan kemungkinan kecil bisa kembali pada korban, sulit membuktikan uang mana dipakai membeli apa, terutama karena benar Mae memberikan sendiri uang itu tanpa paksaan.Karena itu Stone menitikberatkan kesalahan Carol pada tuduhan menyebabkan kematian—untuk Lisa Scott, dan sakit pada Daisy, bukan jumlah uang yang diberikan Mae padanya. Saat ini harta Carol disita, tapi kalau pengacaranya bisa membuktikan Mae tidak keberatan memberikannya, maka Carol bisa mempertahankan semua hartanya. Meski tidak bisa memakai, tapi semuanya akan tetap tertahan atas nama Carol. Mae juga tidak bisa memakainya. Saat
Pagi kelabu dan dingin. Mae menatap langit yang dengan menyebalkan cocok dengan suasana hatinya. Mae ingin langit cerah, atau setidaknya matahari akan menyinari tumpukan salju dan membuatnya berkilau.Kelabu membuatnya semakin sendu, seakan menegaskan kalau hari Mae akan buruk.“Bukannya ingin mengganggu lamunan, tapi apa perlu kau membawa semua itu?” Ash bertanya sambil menunjuk kursi belakang. Ada lima box besar kue yang sudah berpita cantik.Ash sudah ingin bertanya saat Mae memindahkannya dari meja ke dalam mobil, tapi menahan diri karena tahu suasana hati Mae buruk. Tapi sekarang mereka sudah hampir sampai ke bandara militer—tempat pesawat yang akan membawa Ash ke Andorra, Ash merasa harus tahu kenapa Mae perlu membawa kue, dengan aneka macam jenis kalau kegiatan hari ini hanya mengantar ke bandara.“Kau tidak mau membawa dan membagikannya?” Mae menatap Ash dengan mata melebar, tampak kecewa. Seolah tujuannya sudah amat jelas, dan seharusnya Ash tahu.Ash sampai nyaris menghentika
Salju turun perlahan di atas perumahan suburban Inggris yang tenang, tidak sampai lebat, tapi rambut Mae tetap dihinggapi benda putih yang dingin itu saat berjalan melintasi halaman salah satu rumah disana.Rumah dua lantai dengan gaya khas Inggris. Pintu depannya berwarna merah cerah, sebuah kontras yang menarik dengan dinding batu bata yang kusam. Ada aroma kayu bakar yang menguar dari cerobong asapnya.Mae tapi tetap bisa tersenyum meski kedinginan, terutama saat melihat mobil yang terparkir di halaman itu. Mobil Gina. Dia juga sudah ada di dalam, sesuai janji.Mae menghela napas panjang, mencoba mengusir sisa sedih yang membebani hatinya setelah perpisahan dengan Ash, setelah tenang baru ia mengetuk."Mae! Ayo masuk, kau pasti kedinginan di luar sana.” Poppy belum melihatnya, tapi tahu siapa yang datang. Ia membuka pintu dengan senyum lebar.Ini kali kedua Mae kesana, ruang tamu yang hangat menyambutnya—dengan perapian yang menyala dan sofa yang empuk, tampak semakin hangat, karena
“Strawberry jam. Kau tidak boleh melupakannya. Bukan kue, tapi aku yakin banyak orang yang akan mengincar, terutama karena kau sudah memasukkan roti tawar sebagai menu yang ada setiap hari.” Poppy menunjuk kertas, menyuruh Mae mencatatnya.Menu itu masih terus mengalami revisi beberapa kali. Mae sudah banyak mencoret jenis karena menyadari ia akan mati cepat kalau memaksakan diri membuat jenis kue sebanyak itu setiap hari. Apalagi selama ia belum punya pegawai, Mae akan membuat semuanya sendiri“Setuju, dan ini. Jangan sampai kau melupakan ini. Aku akan marah sekali kalau kau tidak membuat ini setiap hari.” Gina mengangkat potongan akhir lemon drizzle cake, terlihat agak marah karena setelah gigitan itu ia tidak bisa menambah lagi. Mae hanya membawa satu memang, karena Daisy juga menyukainya, yang lain Mae tinggalkan di Reading."Kau sudah yakin akan memilih ini?” tanya Poppy, menunjuk sekitar. Setelah memantapkan menu, Mae tentu harus memilih lokasi. Hari ini Poppy dan Gina membantun
“Ian…mana Ash?” Mae mengulang sambil perlahan berdiri, sebisa mungkin karena kakinya sudah lemas.“Ada apa? Tidak ada kabar apapun!” Gina dengan panik ikut memeriksa ponsel. Ia seharusnya mendapat kabar juga kalau terjadi sesuatu pada Ash. Parker akan tahu dan menghubunginya. Tapi tidak ada pesan atau panggilan tidak terjawab.“Ian…”“GOT YOU!” Ian berseru girang sambil tertawa tergelak. Ponsel Ash yang dipakainya sampai bergetar dan kehilangan fokus, menampakkan langit-langit tenda barak. Ian tertawa terguling di atas ranjang dan ponselnya mengikuti setiap gerakannya.“Jangan menjadi seperti anjing dan melakukan lelucon rendah seperti itu!” Mae murka. Ia tidak keberatan dengan kejahilan Ian, tapi yang ini keterlaluan. Mae sangat amat ketakutan.“Ayolah, Mae. Itu tadi lelucon yang paling bagus. Sulit sekali membuatmu panik.” Ian tidak peduli dengan amukan dan cacian Mae, dan masih membela diri. Mae mendengus. “That’s a load of bollocks!”Memang selama ini ia beberapa kali berbuat jah
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga