Ini pesta ulang tahun paling akrab yang pernah dihadirinya. Mae merayakan ulang tahunnya dengan Daisy saja—dan sebaliknya, tapi terkadang lupa karena Daisy sedang amat sakit. Ini juga pesta pertama yang bisa dinikmati Mae, karena mudah saja bersimpati pada emosi Amy yang meledak-ledak itu.Kini Amy memekik girang ketika melihat glitter ikut beterbangan saat ia meniup lilinnya. Mae memang menaburkan glitter yang juga bisa dikonsumsi di bagian bawah lilin. Jumlahnya tidak banyak, tapi karena Amy meniupnya dengan sekuat tenaga, glitter itu beterbangan, mengundang gelak tawa yang ribut khas anak pra remaja.“Daddy, aku ingin liburan ke Perancis.” Amy tiba-tiba menyebutkan keinginannya.“Bukankah seharusnya tidak boleh? Tidak akan terkabul.” Mae menyahut heran. Ia tidak percaya dengan takhayul, tapi setahunya permintaan saat meniup lilin ulang tahun harus dirahasiakan agar terkabul.“Siapa bilang? Justru aku harus mengatakannya agar terkabul.” Amy terkekeh riang sambil menatap ayahnya. Dea
“Ada apa, Ro? Kenapa kau marah?”Dean bertanya sambil menahan lengan Rowena agar tidak berjalan semakin jauh. Mereka belum sampai ke kamar—masih di dekat pintu teras samping, tapi sudah cukup jauh dari ruang tempat pesta itu.“Untuk apa kau membantunya?!” bentak Rowena sambil menyentakkan tangan Dean.“Huh? Karena memang Mae butuh bantuan?” Dean dengan heran menatap tangannya. Ia tidak merasa telah melakukan kesalahan besar sampai harus mendapat kekasaran sejauh itu.“Tidak perlu!” Rowena masih membentak.“Apa maksudmu, Ro? Ash sangat menginginkannya. Aku akan membantunya. Ini akan membuat Ash akan kembali ramah padaku.” Tujuan Dean seharusnya jelas untuk Rowena.“Selalu begitu! Apa perasaannya begitu penting untukmu?!” Rowena mendengus sambil bersedekap. Amarahnya sudah bercampur sekarang.Dean menghela napas, dan mengelus lengan istrinya dengan lebih lembut. Paham kalau amarah itu harus dilawan dengan lunak.“Ro, aku tahu ini berat untukmu, tapi aku tidak bisa tenang saat tahu Ash be
Mae membanting kemudi ke arah samping, menghindari mobil yang muncul dari belokan. Tidak kencang, Mae saja yang tidak melihat karena memang pandangannya tertutup air mata.Mae tidak peduli keadaan tapi, ia kembali menginjak gas dan mobilnya melaju lagi. Ia tidak tahu sedang ada dimana, karena memang tidak memilih ke arah mana. Mae hanya sembarangan berbelok setiap kali menemukan pertigaan atau perempatan. Ia hanya ingin menjauh, tanpa tahu juga sudah berapa lama melaju, Mae bahkan tidak menyadari kapan hari terang telah berubah gelap.“Pantas—pantas saja.”Mae bergumam sambil menghapus air matanya. Tangannya tampak gemetar, campuran dingin dan terguncang. Mae tidak sempat mengambil mantel maupun sarung tangannya saat berlari keluar tadi. Mae hanya sempat membawa ponsel karena memang ada di kantong celananya. Tasnya saja masih tertinggal, bersama dengan aneka alat dan perlengkapan membuat kue yang dibawanya tadi. Pemanas di dalam mobil cukup membantu, tapi dingin yang dirasakan Mae l
“Sir, Anda tidak seharusnya ada di sini.” Petugas yang menangani cargo kembali melirik ke arah tanda pangkat yang tersemat di seragam Ash. Kalau sedikit saja lebih rendah, ia mungkin akan menyuruh dengan lebih tegas agar Ash keluar dari pesawat itu.“Terlambat bukan?” Ash duduk pada kursi yang menempel miring pada dinding pesawat, lalu mengencangkan sabuk pengaman. Ia menutup mata saat merasakan tarikan akrab yang menandakan pesawat menukik.Mereka sudah sampai di tanah Inggris lagi. Durasi penerbangan Andorra ke London kurang lebih dua setengah jam saja memang.“Tapi nanti akan ada masalah, Sir. Saya…”“Namaku… Ashton Cooper.” Ash menepuk namanya yang ada pada seragam, menunjukkannya pada petugas yang kini juga sudah duduk tidak jauh darinya.“Sebut dengan lengkap namaku dan pangkatnya saat ada yang bertanya. Kau boleh juga mengatakan kalau aku mengancam akan membunuh kalau tidak diizinkan naik. Mereka akan percaya.” “Anda memang mengancam akan membunuh saya.” Pria itu kembali mengg
“Kau sudah menemukannya? Dimana?” Daisy sampai terdengar terengah saat bertanya, ia menunggu kabar dari Ash sejak tadi.“Sudah. Aku membawanya ke Andover tapi. Terlalu jauh ke Reading. Ia butuh istirahat.” Ash melirik Mae yang tertidur di kursi sebelah. Ash menyelimutinya dengan seragam yang dipakainya. Gemetar tubuhnya sudah berhenti dan Mae tertidur hampir seketika.Mobil itu norak, tapi penghangatnya bekerja dengan baik. Mae bisa nyenyak terlelap meski baju dan tubuhnya lembab oleh salju.“Apa yang terjadi? Apa mereka menyakitinya?” tanya Daisy.Satu tangan Ash yang masih memegang kemudi meremas dengan kencang. “Aku tidak tahu.” Ash punya bayangan, tapi tidak mau memikirkannya sekarang, karena ingin fokus pada Mae.“Keluargamu brengsek!” Daisy memaki dengan jelas.“Aku tahu.” Ash memutus panggilan setelah itu. Tidak perlu mendengar makian itu karena hanya akan memperburuk amarahnya. Ash tidak butuh godaan untuk lebih marah saat ini.Ash mengusap kening Mae, hangat tapi tidak amat m
“Mary…”Mae menggeleng. “Kau bisa bersama yang tidak rusak. Yang lebih baik… yang tidak selalu menangis… yang tidak selalu membutuhkanmu setiap saat, tidak memerlukan bantuan hanya untuk berdiri…” “Mary, untuk apa aku bersama seseorang yang tidak membutuhkanku?” Ash menutup bibir Mae dengan jari.“Aku ingin berada di tempat yang benar—tempat dimana aku diinginkan. Aku ingin berada bersama orang yang membutuhkanku karena dengan begitu aku dihargai—aku dicintai. Ini tidak salah bukan?”Mae ingin menyingkirkan tangan Ash yang ada di pipinya, tapi Ash malah semakin kencang mencengkram.“Maaf, tapi tidak mau. Aku tidak mau bersama yang lain,” tandas Ash.Mae menggeleng, lalu mundur untuk melepaskan diri. Pergulatan yang percuma tentunya, karena Ash dengan mudah mendorong, dan mengunci tubuhnya. Hanya butuh kurang dari sepuluh detik, Mae tidak lagi bisa bergerak, dengan kedua tangan ada dalam genggaman Ash di samping kepalanya,“Untuk apa?” tanya Mae. “Aku tidak bisa memberimu apapun! Aku t
“Ash? Kau ada di Inggris?”Dean muncul dengan kesadaran yang mungkin tidak lebih dari separuh, tampak tersaruk-saruk dan mengusap wajahnya untuk melihat dengan lebih jelas, dan memastikan kalau yang datang benar-benar Ash.“Kau bisa tidur nyenyak setelah menyiksanya?!” Ash tidak memberi kesempatan bernapas untuk Dean, langsung membentak. Tentu saja benci melihat kenyaman tidur yang diperlihatkan ayahnya, sementara Mae harus gelisah, menangis dalam kedinginan sebelum akhirnya bisa terlelap.“Aku tidur belum sampai setengah jam, dan—”“AKU TIDAK PEDULI!” Ash memotong dengan keras.“Pelankan suaramu! Kau ingin Amy mendengar?”Dengan lelah, Dean memberi isyarat agar Ash mengikutinya ke ruangan lain yang lebih jauh dari kamar Amy, agar pertengkaran mereka tidak terdengar olehnya.Meski sambil mengepalkan tangan, Ash terpaksa mengikutinya. Akan menambah kerepotan lain kalau sampai Amy tahu memang.“Apa yang kau lakukan padanya?!” Ash menyerang lagi begitu sampai di ruang tengah.“Aku—tidak m
“Did you…”Dean melangkah mundur karena shock oleh gerakan tangan itu. Tentu sulit menerima kalau Ash baru saja berusaha mencekiknya.Ash kini sudah ditarik mundur oleh anggota RaSP, dan tidak melawan juga meski bisa. Sedikit tersadarkan kalau tangannya tadi bergerak lebih cepat dari pikiran. Tapi Ash tidak menyesal.“Kau—““Kalian keluar.” Rowena mengangkat tangan, meminta Ash diam dulu, sementara mengusir bodyguardnya yang masih menunggu dengan sikap canggung. Merasa keadaan belum aman, tapi bukan tugas mereka juga untuk ikut campur urusan domestik. Rowena mengusir karena lebih baik mereka tidak mendengar lanjutan semua pertengkaran itu memang.“Aku tidak akan membunuhnya!” Ash mendesis, ikut mengusir mereka. Alasannya tentu Mae. Mereka tidak perlu mendengar tentang latar belakang Mae yang mungkin tersebut dalam pertengkaran itu.Akhirnya mereka mengangguk dan menjauh—lebih jauh dar sebelumnya, karena Rowena mengusir lagi dengan kibasan tangan.“Kau baru saja ingin mencekikku?” Dean