Emang Mae :))
“Gina tidak akan suka, tapi ini indah.” Poppy mengeluh sambil mengelus rak yang ada di belakang kasir.“Ini akan cocok sekali untuk meletakkan toples selai, juga roti tawar hangat.” Poppy belum apa-apa sudah membayangkan akan seperti apa pemandangan toko Mae nanti.“Setuju. Aku juga membayangkan seperti itu. Cake akan ada di sini.” Mae menunjuk etalase bulat yang berbentuk aesthetic di sudut.“Kalau sudah lebih stabil, aku akan menambahkan teh agar bisa mengisi sudut itu. Pelanggan bisa menikmati kue dan teh disana.” Mae dengan antusias menunjuk area tambahan yang terpisah oleh partisi jalinan kayu. Toko yang ditemukannya itu sempurna, sampai Mae bisa membayangkan aneka macam hal yang diinginkannya nanti.Belum lagi letaknya strategis. Tidak jauh dari rumah Reading, dan tidak jauh dari objek wisata terkenal—The Museum of English Rural Life. Museum yang menampilkan sejarah Inggris dan aneka ragam kehidupan pedesaan masa lalu. Cukup terkenal, dan Mae mengincar pengunjungnya. Belum lagi
“Halo, Mae. Kau semakin cantik—”“Ash mungkin tidak ada, tapi aku akan mengadukan setiap bunyi napas yang kau hirup padanya.”Mae tersenyum dan memotong rayuan gombal Hubert seketika—malas kalau harus mendengar versi panjangnya. Hubert langsung mengatupkan bibirnya dengan kecewa.“Aku hanya ingin beramah-tamah padamu, Mae. Jangan kejam begini.” Hubert mengeluh, tapi kemudian kembali tersenyum saat berpaling pada Daisy.“Kau bersama siapa? Cantik juga sepertimu.” Daisy langsung mendesis seperti ular. Meski pujian, Daisy malah jijik dan beringsut ke belakang tubuh Mae. Tubuhnya yang lebih mungil dari Mae jelas akan amat kalah kalau Hubert melakukan sesuatu.“Mae, kau memelihara hewan apa?” tanya Daisy, yang tentu langsung disambut oleh tawa Mae. Daisy bahkan tidak menganggap Hubert sebagai manusia dalam sekali pandang. Mae butuh beberapa saat untuk memanggil Hubert babi.“Oke, kau tidak manis.” Hubert mengeluh dalam kecewa.“Ini Hubert. Kau boleh memanggilnya Babi Mesum. Dia pengacara
“Menunduk, kalian tidak boleh terlihat terlalu bangga atau bahagia.” Hubert berbisik pada Mae yang mencoba menjulurkan leher untuk melihat pintu dimana Carol akan muncul. Sudah ada juri yang memperhatikan mereka. “Oke.” Mae menurut meski kesal. Ia tidak sabar karena hakim datang terlambat tadi.“Bawa tersangka masuk.” Jantung Mae berdetak lagi, dan langsung mendongak lagi. Seragam orange mencolok yang pertama terlihat, lalu tangan terborgol dan rambut yang terkuncir. Mae ingin tersenyum—terutama saat melihatnya berat badannya berkurang. Tubuh gempalnya sudah menyusut dan pipinya cekung. Meski tidak sekurus Daisy, tapi Mae sudah cukup gembira melihatnya tidak bisa makan dengan tenang. Mae terus menatapnya, sampai mata mereka bertemu. Mae tidak mengedip, terus memandang mata yang kemarin masih mencoba berbohong padanya—dan masih.Begitu melihat Mae, mata yang tadi lebar membuka, menjadi redup dan terlihat menahan tangis.“Dia akan berbohong lagi.” Mae berbisik sambil meremas tangan D
Mae nyaris saja berdiri, tapi tangan Hubert menahannya. Hubert juga tampak menggeleng pada Daisy yang juga tampak ingin mengatakan sesuatu. Bukan saatnya mereka bicara. Daisy yang sudah mencengkeram sisi podium, tampak kembali duduk.“Tenang. Aku akan menghancurkannya.” Hubert berbisik, dan Mae mengangguk. Ia cukup percaya Hubert akan mampu.“Karena itu, adalah absurd kalau saat ini Anda mengatakan uang itu bukan hak Mrs. Jobs. Uang itu adalah haknya, bahkan lebih karena Mrs. Jobs juga menyediakan makanan, perlindungan, dan kasih sayang yang tentu saja tidak ternilai.” Pengacara itu mengakhiri gilirannya sambil tersenyum puas.“Silakan.” Hakim menyuruh Hubert maju.“Aku akan membawa penyakitmu lagi nanti. Jangan menendangku lagi, oke?” Hubert berbisik sekali lagi sebelum maju. Mae hanya mendengus, meski tidak suka, tapi Mae tidak akan melarang. Lagi pula ia sudah sembuh, tapi tidak perlu ada yang tahu. “Ms. Gardner, sejauh ingatan Anda, apakah hanya Mrs. Jobs yang selalu merawat Anda
“Mrs. Cooper, ini nama suami Anda yang terakhir?” Pengacara Carol bertanya dengan manis.“Ya.” Mae menjawab sambil meremas tangannya. Ia tahu apa saja pertanyaan yang akan ditanyakan pengacara itu.“Anda sudah menikah empat kali?”“Benar.”“Dengan pria yang semuanya berumur lanjut dan kaya?”“Tidak.” Mae hampir saja menjawab dengan senyum. Apalagi saat melihat jawabannya berhasil membuat pengacara itu terkejut. Ia pasti mendengar kisah dari Carol yang menyebut kalau semua suami Mae tua dan kaya. Tapi Carol tidak tahu tentang Ash.“Oh? Tapi data…”“Suami yang sekarang berumur tiga puluh lima dan bekerja sebagai tentara biasa. Tidak tua ataupun kaya. Anda boleh mencari infonya kalau mau.” Mae tentu tidak akan jujur menyebut Ash mewarisi sekian juta pound dan ayahnya perdana menteri.“Tapi, Anda kemarin sempat mendapat tuduhan pembunuhan untuk suami ketiga Anda bukan? Barnet…”“Objection, Your Honor!” (Keberatan, Yang Mulia!) Hubert langsung menyalak. “Tidak ada hubungannya dengan kasus
“Ada apa?” Daisy yang masih berbaring, di ruang darurat bangun dengan susah payah saat melihat Hubert tiba-tiba membuka pintu.“MAE?!” Daisy memekik dan turun dari ranjang sambil tergagap mencari tongkat.“Ada apa?” Daisy mengulang sambil menarik lengan Hubert yang tengah mengarahkan petugas polisi yang membawa tubuh Mae agar dibaringkan.“Mae pingsan. Membicarakan suami pertamanya. Aku menyuruhnya kemarin, tapi mungkin berlebihan.” Hubert mengangkat bahu.“Siapa? Apa yang dilakukannya?” Daisy bingung.“Kau tidak tahu?” Hubert ikut bingung.“Tidak. Katakan…”“Maaf, tapi aku harus segera kembali ke depan. Ini kesempatanku untuk menekan mereka. Sudah terlihat kalau Mae terluka batin. Ini bagus sekali.” Hubert menggeleng, tidak punya waktu.“Bagus apa?!” Daisy tentu ingin mengamuk mendengar Hubert menyebut Mae pingsan sebagai hal yang bagus.“Maksudku bagus untuk kesempatan kita menang. Kau tanya saja padanya tentang yang tadi.” Hubert memperbaiki dan tergesa keluar, karena Hakim tidak me
Mae tersentak, ada sesuatu yang menyengat hidungnya. Ia nyaris saja menampar orang yang ada di sampingnya, karena yakin benar kalau orang itu yang membuat hidungnya terasa terbakar sekarang.“Mae?”Untung saja ada suara Daisy yang membuatnya teralih. Pria yang ada di sampingnya itu adalah petugas paramedis yang menyadarkannya dengan aroma menyengat entah apa, tapi ampuh.“Terima kasih.” Daisy yang mengucapkan terima kasih. Mae mengangguk saat mereka membereskan peralatan, dan berpamitan. Tugas mereka telah selesai.“Aku mengambil tempat tidurmu.” Mae duduk dan menyadari keberadaannya. Berada di atas ranjang yang seharusnya dipakai Daisy untuk istirahat.“Aku tidak memerlukannya lagi, Mae.” Daisy menepuk kursinya. Benda yang juga dipakainya untuk beristirahat.“Kau terlalu lelah sepertinya. Kesibukanmu akhir-akhir ini tidak masuk akal sebenarnya.” Daisy mengetukkan tongkatnya perlahan ke kening Mae. Teguran yang melegakan tapi.Mae tadi sudah bingung harus menjelaskan seperti apa kalau
“Akan ada proses, jadi tidak bisa langsung kau terima. Uang dari rekening akan ditransfer, tapi perhiasan dan rumah akan berpindah dengan utuh.”Hubert menjelaskan detail proses yang akan terjadi setelah putusan itu, tapi Mae sudah tidak mendengar. Perhatiannya total beralih pada ponsel, karena panggilan dari Ash baru saja masuk.“Bagaimana? Apa kau baik-baik saja?”Ash langsung bertanya sebelum Mae bisa menyuarakan keheranan karena seharusnya Ash sibuk hari ini. Ia sempat menyebut tidak akan menghubunginya selama dua hari kemarin.“Baik sekali!” Mae berseru lantang, tidak peduli mereka ada di cafe. Beberapa pengunjung langsung berpaling dengan heran. Bahkan Daisy menarik tangannya, agar Mae memelankan suara.Tapi Mae sedang terlalu gembira. “Aku menang—kita menang. Aku mendapatkan semuanya!”Mae menumpahkan antusias, setelah beberapa lama tadi masih mencerna. Ia bahkan tidak bisa merayakannya di ruang sidang, karena sibuk memandang Carol yang membayar keributan besar.“Aku akan membay
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga