Cale tampak membuka mulut untuk membalas—ingin memilih pergi mungkin, tapi Poppy mendahului.“Tidak semudah itu! Aku ke sini karena menurutku hal itu sulit dipercaya! Lalu ternyata benar—aku…” Poppy mengeluh sambil menggaruk rambut, lalu menghempaskan punggung ke sofa. Jawaban Ash yang membenarkan itu sepertinya jauh dari dugaan.“Aku tidak putih bersih. Kau boleh bertanya pada Cale apa saja daftar dosaku—”“Untuk—” Protes Cale dibungkam oleh Poppy lagi memakai tangan.“Tapi aku juga punya toleransi batas perbuatan buruk. Aku tahu kau tidak bodoh, Ash. Tapi apa harus memilih jalan-–”“Tidak usah fokus padaku. Kau datang karena tidak percaya bukan? Apa yang membuatmu tidak percaya?” Ash menyela. Menurutnya titik tidak percaya itu adalah awal yang bagus. Setidaknya Poppy memberi ruang keraguan.“Karena tidak cocok. Aku tidak ingin percaya Mae bisa melakukannya.” Poppy menggeleng lagi, semakin kuat karena ingin menolak kenyataan itu.“Mungkin kau tidak tahu, tapi aku belum pernah salah me
Namun, Poppy bukan sedang meminta izin. Ia baru saja memutuskannya sendiri dan hanya menginformasikan, bukan mengajak diskusi.“Karena lebih baik mengatakannya sekarang daripada Gina mendengar dari sumber lain. Terus terang saja, bukan hanya aku yang mendengar saat Ibu Mae bicara. Bisa jadi ada kabar dari sumber lain.” Memang itu rencana Poppy sejak awal. Ia perlu mengkonfirmasi sebelum meneruskannya pada Gina. Poppy tidak ingin Gina mendapat kejutan, kalau mungkin tanggul ancaman untuk Harper dan Enola bocor.“Apa perlu?” Cale ikut meragukan ide itu.“Perlu, Cale. Kalian para pria jangan sekali-kali meremehkan gosip jahat. Mungkin terdengar berlebihan atau kau meremehkan karena sekadar gossip. Tapi percayalah, gosip semacam ini bisa sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup, karena mempengaruhi sikap orang lain terhadap kita.”Ceramah dadakan yang mengorek ranah asing bagi Ash, tapi tidak amat mengejutkan, masuk akal. Ayahnya sangat takut pada gossip jahat saat masa kampanye seperti ini
“Lalu setelahnya ia berencana membawaku ke pesta lain bersama teman-temannya. Aku sudah mau karena terus terang saja, semua orang di circlenya tampak tampan cemerlang. Tapi Mama Carol datang ke sekolah dan menyeretku pulang. Aku malu sekali saat itu, tapi sekali lagi itu lebih benar. Karena keesokan harinya beberapa remaja di circle itu ditangkap polisi karena mengemudi sambil mabuk, belum lagi ada yang mengacau di kantor kepala sekolah—ada yang memakai sofa kepada sekolah untuk tidur—tidur bersama kekasihnya maksudku.” Mae terkekeh, karena teringat kehebohan saat kepala sekolah menemukan dua remaja mabuk berpelukan di sofa kantornya.Ash sama sekali tidak tertawa tapi. Semua cerita berbalut kenakalan remaja itu malah membuatnya merindang karena menyadari skema Carol. Ia menjaga Mae sampai waktunya bisa ‘dipakai’. Semakin terdengar seperti mucikari yang menjual wanita.“Mama Carol tidak pernah mengizinkanmu dekat dengan pria, tapi menyuruhmu menikah? Ini aneh, Mary,” desis Ash. Diliha
“Kenapa kau ikut?” Amy menunjuk Ash yang tentu saja mengantar Mae saat berkunjung ke rumahnya.“Kau kemarin merengek agar aku sering datang, dan ini balasannya?” Ash menekan hidung mancung Amy dengan gemas.“Justru itu! Kau kemarin membuatku memohon, tapi sekarang kau mudah saja datang karena mengantar Mae! Aku membencimu!” Amy menarik tangan Mae untuk masuk, meninggalkan Ash yang memutar matanya. Tidak menanggapi serius amarah Amy karena absurd.“Amy, Ash mari ini kebetulan saja tidak sibuk karena itu bisa mengantarku. Dia masih libur karena terluka.” Mae menjelaskan dengan tergesa, saat mengikuti langkah kaki Amy. Mae tentu tidak mau keberadaannya malah memicu pertengkaran antara bersaudara itu.“Aku tahu.” Amy tampak menahan senyum. Amarahnya tidak serius. Ia hanya ingin membuat Ash jengkel.Mae tertawa pelan. “Kau benar-benar bisa menipuku. Aku pikir kau marah dengan serius.”“Tentu saja tidak. Mungkin menjengkelkan karena Ash membutuhkan dirimu untuk datang, tapi apapun asalkan
“Dia benar-benar kelemahanmu rupanya.”Ash mendecak saat mendengar komentar itu. Tidak perlu berpaling, Ash akan mengenali suara ayahnya meski ia berdiri di tengah kegelapan malam tanpa bintang.“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Ash berpura-pura tidak peduli, kembali mengalihkan perhatian pada deretan buku yang tertata rapi pada rak dinding. Perpustakaan itu terletak di sebelah ruang kerja Dean, jadi pertemuan itu tidak terlalu mengejutkan untuk Ash. Apalagi ia datang tanpa bertanya pada Brad apakah Ayahnya ada di rumah atau tidak. “Gadis itu—cantik memang. Aku paham.” Dean duduk pada salah satu sofa dan memandang punggung Ash yang terus bergerak mengelilingi ruangan agar tidak menatapnya. Ash tidak menanggapi komentar itu, karena memang tidak butuh juga.“Apa kau sudah memutuskan usulanku?” tanya Dean. Tentu saja ia membicarakan Ash yang berganti pekerjaan.“Apapun keputusanku bukan karenamu—dan tidak ada hubungannya denganmu, jadi tidak perlu tahu.” Ash menjawab dengan tenang, kar
“Oh? Ya! Namanya Mary.” Dean menepuk tangannya.“Tapi aku memberikannya bukan? Aku tidak menolak atau menghancurkan. Aku ragu, tapi katanya harus, jadi aku menyetujuinya. Seharusnya bukan itu.” Dean menggeleng, menganulir karena tidak ada yang hancur dari permintaan itu.“Tidak semulus itu. Anda meminta saya menyelidiki sebelum memberi, tapi tidak jadi karena pada alamat itu sudah tidak ada apapun. Terjadi kebakaran, dan tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang tahu penghuninya kemana.” Brad menjelaskan lanjutannya, karena ingatan Dean amat kabur disana.Dean bukan merasa hal itu tidak penting, tapi memang bebannya saat itu sedang amat berat. Permintaan itu datang bersamaan saat masa kampanyenya yang pertama untuk menjadi perdana menteri. Pertama kali Dean berusaha sangat keras untuk menang.“Ah, benar. Kebakaran itu. Apa yang terjadi?” Dean lupa detail kejadian setelahnya.“Tidak ada. Saya melaporkan keadaan dan sudah. Saat saya mengatakan keadaan rumah itu pada Sir Cooper Junior, katan
“Kalian belum selesai?”Ash mengetuk dan membuka pintu kamar Amy, untuk melihat keadaan. Amy dan Mae masih duduk di teras.“Aku bilang tidak boleh masuk!” Amy memekik marah, dan melotot pada Ash“Kami harus pulang, Amy.” Ash menjelaskan sambil melambai memanggil Mae.“Kenapa begitu? Kue ku belum habis.” Amy cemberut sambil mengangkat piring kuenya yang masih tersisa separuh.“Aku sudah meminta izin dari pelatih tadi. Khusus hari ini boleh makan kue sebanyak mungkin.” Amy menghempaskan diri ke kursi dengan kecewa. Memang bisa saja memakan sisanya setelah Mae pulang, tapi tidak istimewa lagi menurut Amy.“Kau perlu izin untuk makan kue?” Ash terkejut.“Tentu saja! Kau pikir aku akan bisa melompat kalau ukuranku dua kali lipat sekarang?!” Amy membentak dengan tidak sabar karena menurutnya hal itu jelas.“Maaf, Amy. Tapi kami harus pulang. Terus terang saja, kepalaku sedikit pusing sejak tadi.” Mae menepuk pelan pipi Amy, meminta pengertian.“Pusing? Kenapa? Apa kau hamil? Temanku ada yang
“Ceria sekali.” Ash memandang Stone yang menghampiri meja tempatnya duduk. Mereka kembali bertemu di cafe, masih di dekat apartemen Ash.“Karena saya memang membawa kabar baik.” Kegembiraan dan semangatnya itu sampai membuat Stone tampak beberapa tahun lebih muda.“Kau menemukan apa?” tanya Ash, ikut bersemangat dan menyingkirkan teh pesanannya.Stone menyerahkan map yang kemarin diberikan oleh anak buahnya.“Wow!” Ash tentu saja terkejut melihat betapa banyaknya usaha yang dilakukan Mama Carol untuk mencari sumbangan.“Dia mengambil uang Mary dan masih melakukan ini?” Ash sudah tidak bisa lagi berprasangka baik pada Carol.“Dia memang memanfaatkan keadaan untuk mencari uang—semaksimal mungkin. Memetik dari aneka sumber apapun, yang sekiranya bisa menghasilkan uang akan dilakoninya.” Ash menggelengkan kepala saat membalik halaman demi halaman.“Eksploitasi. memanfaatkan keadaan untuk menghasilkan uang kata lainnya adalah eksploitasi,” kata Stone.“Dan bukan yang terburuk.” Stone memba
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga