“Lalu setelahnya ia berencana membawaku ke pesta lain bersama teman-temannya. Aku sudah mau karena terus terang saja, semua orang di circlenya tampak tampan cemerlang. Tapi Mama Carol datang ke sekolah dan menyeretku pulang. Aku malu sekali saat itu, tapi sekali lagi itu lebih benar. Karena keesokan harinya beberapa remaja di circle itu ditangkap polisi karena mengemudi sambil mabuk, belum lagi ada yang mengacau di kantor kepala sekolah—ada yang memakai sofa kepada sekolah untuk tidur—tidur bersama kekasihnya maksudku.” Mae terkekeh, karena teringat kehebohan saat kepala sekolah menemukan dua remaja mabuk berpelukan di sofa kantornya.Ash sama sekali tidak tertawa tapi. Semua cerita berbalut kenakalan remaja itu malah membuatnya merindang karena menyadari skema Carol. Ia menjaga Mae sampai waktunya bisa ‘dipakai’. Semakin terdengar seperti mucikari yang menjual wanita.“Mama Carol tidak pernah mengizinkanmu dekat dengan pria, tapi menyuruhmu menikah? Ini aneh, Mary,” desis Ash. Diliha
“Kenapa kau ikut?” Amy menunjuk Ash yang tentu saja mengantar Mae saat berkunjung ke rumahnya.“Kau kemarin merengek agar aku sering datang, dan ini balasannya?” Ash menekan hidung mancung Amy dengan gemas.“Justru itu! Kau kemarin membuatku memohon, tapi sekarang kau mudah saja datang karena mengantar Mae! Aku membencimu!” Amy menarik tangan Mae untuk masuk, meninggalkan Ash yang memutar matanya. Tidak menanggapi serius amarah Amy karena absurd.“Amy, Ash mari ini kebetulan saja tidak sibuk karena itu bisa mengantarku. Dia masih libur karena terluka.” Mae menjelaskan dengan tergesa, saat mengikuti langkah kaki Amy. Mae tentu tidak mau keberadaannya malah memicu pertengkaran antara bersaudara itu.“Aku tahu.” Amy tampak menahan senyum. Amarahnya tidak serius. Ia hanya ingin membuat Ash jengkel.Mae tertawa pelan. “Kau benar-benar bisa menipuku. Aku pikir kau marah dengan serius.”“Tentu saja tidak. Mungkin menjengkelkan karena Ash membutuhkan dirimu untuk datang, tapi apapun asalkan
“Dia benar-benar kelemahanmu rupanya.”Ash mendecak saat mendengar komentar itu. Tidak perlu berpaling, Ash akan mengenali suara ayahnya meski ia berdiri di tengah kegelapan malam tanpa bintang.“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Ash berpura-pura tidak peduli, kembali mengalihkan perhatian pada deretan buku yang tertata rapi pada rak dinding. Perpustakaan itu terletak di sebelah ruang kerja Dean, jadi pertemuan itu tidak terlalu mengejutkan untuk Ash. Apalagi ia datang tanpa bertanya pada Brad apakah Ayahnya ada di rumah atau tidak. “Gadis itu—cantik memang. Aku paham.” Dean duduk pada salah satu sofa dan memandang punggung Ash yang terus bergerak mengelilingi ruangan agar tidak menatapnya. Ash tidak menanggapi komentar itu, karena memang tidak butuh juga.“Apa kau sudah memutuskan usulanku?” tanya Dean. Tentu saja ia membicarakan Ash yang berganti pekerjaan.“Apapun keputusanku bukan karenamu—dan tidak ada hubungannya denganmu, jadi tidak perlu tahu.” Ash menjawab dengan tenang, kar
“Oh? Ya! Namanya Mary.” Dean menepuk tangannya.“Tapi aku memberikannya bukan? Aku tidak menolak atau menghancurkan. Aku ragu, tapi katanya harus, jadi aku menyetujuinya. Seharusnya bukan itu.” Dean menggeleng, menganulir karena tidak ada yang hancur dari permintaan itu.“Tidak semulus itu. Anda meminta saya menyelidiki sebelum memberi, tapi tidak jadi karena pada alamat itu sudah tidak ada apapun. Terjadi kebakaran, dan tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang tahu penghuninya kemana.” Brad menjelaskan lanjutannya, karena ingatan Dean amat kabur disana.Dean bukan merasa hal itu tidak penting, tapi memang bebannya saat itu sedang amat berat. Permintaan itu datang bersamaan saat masa kampanyenya yang pertama untuk menjadi perdana menteri. Pertama kali Dean berusaha sangat keras untuk menang.“Ah, benar. Kebakaran itu. Apa yang terjadi?” Dean lupa detail kejadian setelahnya.“Tidak ada. Saya melaporkan keadaan dan sudah. Saat saya mengatakan keadaan rumah itu pada Sir Cooper Junior, katan
“Kalian belum selesai?”Ash mengetuk dan membuka pintu kamar Amy, untuk melihat keadaan. Amy dan Mae masih duduk di teras.“Aku bilang tidak boleh masuk!” Amy memekik marah, dan melotot pada Ash“Kami harus pulang, Amy.” Ash menjelaskan sambil melambai memanggil Mae.“Kenapa begitu? Kue ku belum habis.” Amy cemberut sambil mengangkat piring kuenya yang masih tersisa separuh.“Aku sudah meminta izin dari pelatih tadi. Khusus hari ini boleh makan kue sebanyak mungkin.” Amy menghempaskan diri ke kursi dengan kecewa. Memang bisa saja memakan sisanya setelah Mae pulang, tapi tidak istimewa lagi menurut Amy.“Kau perlu izin untuk makan kue?” Ash terkejut.“Tentu saja! Kau pikir aku akan bisa melompat kalau ukuranku dua kali lipat sekarang?!” Amy membentak dengan tidak sabar karena menurutnya hal itu jelas.“Maaf, Amy. Tapi kami harus pulang. Terus terang saja, kepalaku sedikit pusing sejak tadi.” Mae menepuk pelan pipi Amy, meminta pengertian.“Pusing? Kenapa? Apa kau hamil? Temanku ada yang
“Ceria sekali.” Ash memandang Stone yang menghampiri meja tempatnya duduk. Mereka kembali bertemu di cafe, masih di dekat apartemen Ash.“Karena saya memang membawa kabar baik.” Kegembiraan dan semangatnya itu sampai membuat Stone tampak beberapa tahun lebih muda.“Kau menemukan apa?” tanya Ash, ikut bersemangat dan menyingkirkan teh pesanannya.Stone menyerahkan map yang kemarin diberikan oleh anak buahnya.“Wow!” Ash tentu saja terkejut melihat betapa banyaknya usaha yang dilakukan Mama Carol untuk mencari sumbangan.“Dia mengambil uang Mary dan masih melakukan ini?” Ash sudah tidak bisa lagi berprasangka baik pada Carol.“Dia memang memanfaatkan keadaan untuk mencari uang—semaksimal mungkin. Memetik dari aneka sumber apapun, yang sekiranya bisa menghasilkan uang akan dilakoninya.” Ash menggelengkan kepala saat membalik halaman demi halaman.“Eksploitasi. memanfaatkan keadaan untuk menghasilkan uang kata lainnya adalah eksploitasi,” kata Stone.“Dan bukan yang terburuk.” Stone memba
“Mama.” Daisy merintih memanggil, karena persediaan tabung oksigennya habis. Nafasnya sudah sesak semenjak bangun tadi, berusaha diabaikan tapi semakin buruk. Ia tadi memang tidak mengeluh karena itu Mama Carol tidak menyediakan tabung oksigen baru di samping ranjangnya.Biasanya saat persediaan menipis, Daisy langsung menyebutnya agar Mama Carol menyediakan yang baru. Tapi setelah mengetahui apa yang dilakukan Mae, Daisy memang mengurangi keluhannya. Sekarang saja kalau tidak benar-benar sesak, Daisy akan memilih menahan sakitnya, agar persediaan oksigennya tidak habis. Habis berarti memerlukan uang untuk membelinya, Daisy tidak mau memakai uang Mae.“Mama—” Karena tidak mendapat jawaban, Daisy akhirnya meraih rak obat yang ada di samping ranjangnya, menariknya agar jatuh atau menimbulkan suara keras. Lebih keras dari rintihannya sampai Mama Carol mendengar.Tapi untuk menggeser pun sudah tidak mampu, kekuatan tangannya tidak ada—terlalu lemas. Daisy akhirnya mengambil salah satu tab
“Apa… Tunggu!” Sebelum Carol bisa mencerna, sudah ada polisi wanita yang menyambar tangan dan menarik tanganya ke belakang punggung.“AW! Punggungku—Ah… Sakit!” Carol mengeluh, membungkuk dan menangis kesakitan. Berusaha menarik simpati dan berhasil, karena tangan yang mencengkram lengannya mengendur. Carol sudah hampir tersenyum, sampai terdengar bentakan berikutnya.“Jangan tertipu! Dia sangat sehat.” Polisi itu datang dengan informasi lengkap, dan tentu cengkraman itu kembali menguat dan jeritan Carol juga semakin membahana.“KALIAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI! Apa ini?!”Tidak ada yang memperdulikan tapi. Semua polisi itu bergerak dengan cekatan, sesuai dengan tugasnya masing-masing. Selain yang membawa Carol ke mobil, ada sekitar lima yang masuk ke dalam rumah itu sambil membawa kardus besar.“Kumpulkan semua benda yang sekiranya menjadi bukti—sesuai briefing. Periksa setiap sudut, jangan sampai ada yang terlewat. KERJAKAN!” Salah satu polisi yang memimpin mulai memberi perintah, da